Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Minggu, 20 Oktober 2019
Aroma Tanah Moncongloe
Cerpen Alfian
Dippahatang | Jawa Pos, 20 Oktober 2019
EMPAT tahun sebelum bebas, petang itu di Moncongloe, ia
berselonjor dan tampak letih. Ia banting tulang mengerjakan proyek perkebunan
milik tentara. Cangkul telah ia biarkan tergeletak. Karena bertelanjang dada,
keringat yang bercucuran seakan membuat tubuhnya mengilap. Ia menerima cerek
berisi air yang saya tawarkan kepadanya. Ia buru-buru membuka mulut, mereguknya
tanpa memakai gelas. Saya menyilakan untuk ia habiskan. Setelah dahaganya
terpenuhi, ia berterima kasih dan mencoba mencairkan suasana dengan basa-basi.
Kamp pengasingan yang ditempati Mardi berbatasan dengan
perkebunan milik keluarga saya. Hari itu, saya dalam perjalanan mengunjungi
orang tua dan adik saya, Karman, yang belum pulang dari kebun. Seseorang datang
memberi kabar, ada dua toko bangunan di Makassar membuka lebar lowongan kerja.
Kabar bahagia itu ingin segera saya sampaikan kepada Karman, sebab ia sudah
lama bercita-cita ingin merasakan pengalaman kerja selain berkebun.
Pertemuan saya dengan Mardi pun terus berulang. Saya jadi
keseringan membawakannya air minum dan makanan. Semuanya tak butuh alasan.
Intinya, Mardi membuat saya jatuh cinta.
***
Tahun 1977, Mardi resmi bebas dari kamp pengasingan.
Lepas dari kerja paksa. Tetapi, menyandang gelar eks tapol membuat hati
keluarga, terutama Karman, tak kunjung melunak. Ia terus menyuarakan
penolakannya dengan segala sisi pertimbangan. Ia menyuruh saya melupakan Mardi.
Karman pun sudah meninggalkan pekerjaannya di toko bangunan karena tak tahan
disuruh-suruh dan merasa takdirnya hanya mengelola kebun.
“Lapangan kerja untuk eks tapol susah karena identitas
yang melekat pada dirinya. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri saat
akhir-akhir bekerja di toko. Mau dikasih makan apa Kakak sama Mardi? Malah
keluarga kita akan dianggap tak bersih lingkungan. Kita akan tercemar.”
“Tercemar apa? Jaga ucapanmu.”
“Kakak pasti lebih tahu.”
“Mardi itu tak bersalah.”
“Tak mungkin ditangkap kalau tak bersalah. Kakak kan
guru, mestinya bisa lebih jernih berpikir.”
“Ini tak ada hubungannya dengan diri saya sebagai guru.
Kejadian ini terjadi karena kepentingan politik. Ia bisa bekerja di kebun
keluarga dan membantu kebutuhan hidup saya nantinya.”
“Saya tetap tak setuju. Masih banyak lelaki yang bisa
membimbing Kakak.”
“Banyak lelaki, tetapi ia telah jadi pilihan saya.”
“Keluarga kita tak akan leluasa bergerak jika Kakak
bersama Mardi. Saya yakin itu. Tolong jangan siksa kami dengan pilihan Kakak.”
“Apakah lelaki lain lebih baik dari Mardi?”
“Ya.”
Karman menjawab dengan tegas dan yakin.
“Belum tentu. Kau tak bisa menjamin.”
“Ruslang. Kakak mengenalnya, kan? Hatinya baik. Guru
agama pula.”
Saya benar-benar heran. Ruslang, sepupu dua kali saya
yang juga belum menikah, selalu dikait-kaitkan dengan kesendirian saya. Ruslang
memang cukup terbuka dan baik hati kepada adik saya, tetapi kebaikannya tak
pernah saya tanggapi.
Umur saya tahun ini memasuki kepala empat. Saya ingin
menikah. Saya ingin menimang anak. Saya selalu sedih jika ditanya murid-murid
saya mengenai anak. Ruslang hanya bisa saya anggap sebagai keluarga.
***
Orang tua saya jika bicara selalu menyakitkan. Mereka
telah kukuh memberi batasan bahwa saya tak boleh menikah dengan Mardi. Padahal,
lelaki yang kini membuat saya jatuh cinta itu hanya korban politik. Saya
percaya itu. Mardi dan lainnya tak bersalah.
Rekan saya, Embas, sesama guru di tempat saya mengajar,
mengalami nasib serupa –juga dituduh terlibat gerakan kiri karena sering
mengumpulkan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, ia hanya
menjalankan tugas karena dipercaya bisa memimpin dan mengayomi penduduk.
Berembuk membicarakan masalah-masalah lingkungan malah dianggap membahayakan
negara.
Keluarga saya tetap tak percaya meski saya menceritakan
kisah ini, yang nyata-nyata terjadi begitu dekat di sekitar saya.
***
Sepulang mengajar, saya menyambangi Mardi yang menumpang
tinggal di rumah Matto, kawannya di Gowa ini. Ia baru selesai mandi dan
terlihat segar. Kendati ia mencoba tegar, raut pilu memang masih terpampang
nyata di wajahnya. Ia masih susah menerima kenyataan. Saya berusaha mencurahkan
perhatian agar ia bisa tenang.
“Dari Embas, rekan kerjamu yang juga ditangkap, kau
mungkin sudah diberi tahu banyak siapa saya sebelum dikirim ke Moncongloe.”
“Ya, saya mencari tahu yang bisa saya ketahui tentangmu
selama kalian ditahan. Saya juga sudah mendatangi dan melihat keadaan Embas.”
“Saya, Matto, dan Embas akrab karena punya kesamaan
ideologi dan kesamaan profesi. Embas banyak memberi informasi mengenai dirimu.
Katanya, kau berbudi baik. Saya senang mendengar pujian
itu.”
“Ia bilang apa lagi padamu?”
Meski rasa ingin tahu saya cukup besar, saya mencoba
tetap tenang bertanya.
“Banyak. Intinya, ia memujimu.”
“Semoga tak terdengar berlebihan.”
“Saya kira tidak.”
“Kau benar-benar bebas. Saya senang melihat tanganmu
lepas dari cangkul.”
“Kau menerima keadaan saya seperti ini suatu keajaiban.”
“Tak usah berkata seperti itu. Tak baik didengar.”
“Saya ingin mengatakan sesuatu. Boleh?”
Wajah saya langsung serius. Jantung saya terasa berdenyut
lebih kencang.
“Jangan bilang kau menyerah melihat keadaan keluarga
saya!”
Saya mencoba berspekulasi. Mardi sepertinya memang ingin
meluapkan hal tersebut.
“Ya…”
Dada saya tiba-tiba sesak.
“Hanya seperti itu batas kesanggupanmu?”
Tak terasa, air mata saya meluncur ke pipi. Usia juga
takluk di hadapan kesedihan.
“Setelah apa yang telah saya lakukan padamu, kau menambah
luka di dada saya.”
“Saya juga kasihan melihat diri saya seolah hina dina dan
tak ada baik-baiknya. Dianggap pelaku kejahatan itu menyakitkan. Padahal, kau
tahu, saya hanya korban. Ini bukan kehendak saya dan saya tak pernah
membayangkan ini bakal terjadi.”
“Tetapi, saya yakin kau bisa berjuang melunakkan dada
keluarga saya yang keras.”
“Tak mudah, Nanni. Itu butuh waktu berlipat-lipat. Status
saya juga masih seorang suami, meski saya merasa sudah tak dipedulikan lagi
oleh istri saya. Saya mungkin dianggap mati sehingga tak perlu dicari-cari.
Saya akan pulang ke Takalar, mencari yang tersisa di hidup saya walau kini saya
seperti ampas tebu yang tak berguna.”
“Saya akan menemanimu.”
“Tak usah. Murid-murid butuh sosok guru sepertimu yang
berpikiran terbuka.”
“Saya tetap mengajar di sekolah meski nantinya tinggal
bersamamu di Takalar.”
“Kau harus adil.”
“Maksudmu?”
“Keluarga membutuhkanmu, meski saya juga demikian.”
Mardi terus berusaha mencairkan suasana hati saya yang tahun
ini mestinya menunjukkan diri sudah matang, makin dewasa, dan lebih dari cukup
untuk memiliki suami.
***
Sore hampir selesai. Saya menyambangi ibu yang mulai
melipat baju yang sedari tadi ia jahit ketiaknya.
“Tak ada penghulu yang bakal menikahkanmu, Nanni!”
Ibu langsung memberi garis batas. Ia sudah membaca maksud
hati saya.
“Jangan keras kepala seperti itu. Hargai saya. Saya harap
kau mendengarkan saya,” tegas ibu.
Saya tak bermaksud membantah harapan keluarga, termasuk
ibu saya. Tetapi, saya ingin mereka tahu bahwa saya telah bertemu lelaki yang
bisa membimbing saya. Mardi bisa bekerja keras untuk saya.
“Ia hanya korban, Bu.”
Tak henti saya meyakinkan ibu saya.
“Ruslang. Kenapa kau tolak kebaikannya?”
Saya diam. Telinga saya panas mendengar nama itu. Ibu
tetap tak mengerti bahwa orang-orang yang diasingkan di Moncongloe hanya
korban.
“Meski Mardi berkali-kali menghadap di hadapan saya,
hubungan kalian tak bakal saya restui. Ia tak bisa dapat pekerjaan layak lagi
dengan statusnya.”
Ibu memang sudah begitu keras memberi batasan.
“Mardi itu orangnya pandai, Bu. Ia seorang guru. Ia bisa
diajak bertukar pikiran. Ia siap kerja keras menggarap lahan keluarga jika ibu
memberi kesempatan.”
“Dulu mungkin ia seorang guru, tetapi sekarang kan tidak
lagi.”
“Apa ayah tidak mau menjadi penghulu buat kami?”
Saya masih tetap bersikeras.
“Kau ini sudah gila ya? Ayahmu tak akan melakukannya.
Ternyata, manjur juga guna-guna lelaki pilihanmu itu. Sadar, Nanni. Sadar.
Keluarga kita ini bersih. Kita susah payah membangun nama keluarga agar
terhindar dari gelombang yang jahat ini.”
Ayah saya seorang penghulu yang menikahkan lumayan banyak
orang di Gowa. Saat ini hanya ayah saya yang bisa membuat hubungan kami sah
secara agama. Namun, sah di mata hukum juga seperti mustahil saya peroleh.
Mardi masih setia menetap di rumah Matto. Tetapi, ia
sudah merasa tak enak berlama-lama menumpang. Saya berusaha menenangkannya agar
bertahan dan memintanya bersabar lagi menunggu hasil dari keluarga saya. Saya
yakin masih bisa membujuk keluarga.
***
Saya dan Mardi tiba di tempat kami pertama kali berjumpa.
Kami ingin mengenang peristiwa masa lalu yang membuat kami bersatu. Tak lama,
saya mengeruk tanah. Mardi pun ikut melakukannya. Kami cium aroma tanah
Moncongloe yang pernah ditetesi keringat Mardi sendiri dan keringat orang-orang
yang disiksa.
“Tanah ini bersaksi pada kita, Mardi.”
“Kehidupan saya hancur, tetapi kedatanganmu memberi
harapan.”
Saya ingin menanggapi, tetapi saya tahan karena ingin
sejenak hanyut dengan perkataan Mardi.
(*)
Alfian
Dippahatang. Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 3 Desember.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Bahasa Indonesia
Universitas Hasanuddin. Buku kumpulan cerpennya, Bertarung dalam Sarung (2019),
masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Terpilih sebagai salah satu
penerima Residensi Penulis 2019 oleh Komite Buku Nasional ke Prancis.
Rabu, 04 September 2019
Obituari | Amarzan Loebis Tak Mau Mengutuk Rezim yang Memersekusi Dirinya
Goenawan Soesatyo Mohamad
Oleh: Fadrik Aziz Firdausi -
4 September 2019
Ilustrasi Amarzan Ismail Hamid. tirto.id/Sabit
Amarzan Loebis atau Amarzan Ismail Hamid
adalah salah satu seniman Lekra yang cemerlang. Ia sempat bekerja di Tempo dan Matra,
namun mesti angkat kaki karena tekanan penguasa.
Di mata para koleganya, Njoto dikenal sebagai orang yang
pilih-pilih kawan. Kalau sudah klop dengan seseorang, wakil ketua Comite
Central PKI cum pimpinan surat kabar Harian Rakjat ini akan
mengistimewakannya.
Salah satu contohnya terjadi menjelang perhelatan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1963. Harian Rakjat membentuk tim peliput khusus untuk kompetisi olahraga tandingan Olimpiade ini. Salah satu syarat protokoler yang harus dipenuhi para wartawan adalah keharusan memakai jas dan berdasi.
Celakanya, para wartawan Harian Rakjat yang ditugaskan rupanya tak ada yang punya dasi. Akhirnya Njoto berbaik hati, masing-masing mereka dipinjaminya selembar dasi. Semuanya dasi biasa buatan Shanghai, kecuali satu dasi khusus untuk Amarzan Loebis atau Amarzan Ismail Hamid, yakni dasi pilihan buatan Italia.
Salah satu contohnya terjadi menjelang perhelatan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1963. Harian Rakjat membentuk tim peliput khusus untuk kompetisi olahraga tandingan Olimpiade ini. Salah satu syarat protokoler yang harus dipenuhi para wartawan adalah keharusan memakai jas dan berdasi.
Celakanya, para wartawan Harian Rakjat yang ditugaskan rupanya tak ada yang punya dasi. Akhirnya Njoto berbaik hati, masing-masing mereka dipinjaminya selembar dasi. Semuanya dasi biasa buatan Shanghai, kecuali satu dasi khusus untuk Amarzan Loebis atau Amarzan Ismail Hamid, yakni dasi pilihan buatan Italia.
“Kalau dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa dilangkahi,” kata Amarzan sebagaimana dikutip tim majalah Tempo dalam Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara (2010, hlm. 87).Pada kesempatan lain di bulan September 1964, Amarzan disidang oleh redaksi Harian Rakjat lantaran menerabas cuti. Amarzan dapat hukuman, tapi Njoto tak peduli. Wartawan itu justru diikutkan Njoto dalam delegasi khusus Harian Rakjat untuk meliput perayaan ulang tahun ke-15 Republik Rakyat Cina.
Amarzan dan rombongannya merupakan delegasi pertama sekaligus terakhir yang dikirim Harian Rakjat ke Tiongkok. Pasalnya, setahun kemudian G30S meletus dan menamatkan riwayat PKI dan organ-organ di bawah naungannya, termasuk Harian Rakjat.
Senin (2/9/2019), wartawan kesayangan Njoto itu wafat di usia 78 tahun. Sebagaimana dikabarkan laman Tempo, wartawan gaek ini mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Cikarang, Bekasi, setelah sebelumnya terkena serangan stroke dan sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam, Cikarang.
“Setiap ditinggal sahabat, kita pasti kehilangan. Tapi perginya Amarzan meninggalkan lubang yang lebih besar. Karena dia bukan hanya rekan sekerja, tapi juga teman bergurau, bertukar pikiran, dan tak kurang dari itu bertukar pengalaman,” tutur Goenawan Mohamad saat pemakaman Amarzan.
Dari Medan ke Jakarta
Amarzan Ismail Hamid lahir di Medan, Sumatra Utara pada
1941. Ayahnya seorang pekerja di surat kabar lokal. Tak heran jika sejak kecil
tumbuh ketertarikannya pada dunia kepenulisan. Menurut Janet Steele dalam Wars
Within: The Story of Tempo (2005), Amarzan sudah jadi jurnalis sejak duduk
di jenjang SMA.
Bidang lain yang menarik minat Amarzan remaja adalah sastra, terutama puisi. Sejak muda ia mengidolakan Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani yang saat itu tergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Maka pada 1957, saat usianya 16 tahun, ia bergabung dengan Lekra dan sempat mengikuti Konferensi Daerah Lekra di Tanjung Balai. Dari sana ia berkenalan dengan beberapa seniman dan kemudian terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Lekra.
Seturut pengakuan Amarzan yang dikutip tim Tempo dalam Lekra dan Geger 1965 (2014), ada dua sebab yang membuatnya tertarik masuk organisasi tersebut. Pertama, ia bisa berkumpul dengan seniman-seniman terkemuka. Kedua, ia tertarik dengan semangat kerakyatan yang diusung Lekra.
Bidang lain yang menarik minat Amarzan remaja adalah sastra, terutama puisi. Sejak muda ia mengidolakan Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani yang saat itu tergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Maka pada 1957, saat usianya 16 tahun, ia bergabung dengan Lekra dan sempat mengikuti Konferensi Daerah Lekra di Tanjung Balai. Dari sana ia berkenalan dengan beberapa seniman dan kemudian terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Lekra.
Seturut pengakuan Amarzan yang dikutip tim Tempo dalam Lekra dan Geger 1965 (2014), ada dua sebab yang membuatnya tertarik masuk organisasi tersebut. Pertama, ia bisa berkumpul dengan seniman-seniman terkemuka. Kedua, ia tertarik dengan semangat kerakyatan yang diusung Lekra.
“Ia mengaku bangga bisa mengenal dan bekerja bersama para seniman tersohor saat umurnya masih belasan tahun,” tulis tim Tempo (hlm. 15).Selepas sekolah menengah, Amarzan memutuskan merantau ke Jakarta. Di sana ia memperdalam minatnya di Perguruan Tinggi Ilmu Jurnalistik. Di samping itu, ia pun kembali bergaul dengan orang-orang Lekra dan makin giat berkarya.
Tentang masa ini, Steele menulis, “Amarzan menulis serbaneka jenis puisi, mulai dari sajak liris hingga balada, yang membuat kritikus macam Keith Foulcher menyebutnya sebagai penyair LEKRA paling unggul.”Sebagaimana penyair Lekra lainnya, ia pun menulis puisi dengan nada revolusioner dengan pertimbangan: tinggi mutu dan ideologi. Maka tak jarang ia juga menulis eulogi kepada PKI. Namun, menurut Goenawan Mohamad, idiomnya segar dan tak terduga. Ia memberi warna berbeda dari penyair-penyair Lekra lain yang kerap mengulang slogan revolusioner.
“Solidaritasnya kepada yang tercekik lebih dalam justru karena ia bukan produser klise,” kata Goenawan.Simaklah misalnya puisi Memilih Djalan gubahan Amarzan ini yang masuk dalam antologi Kepada Partai (1965).
Sampai suatu ketika/anak djantan itu mengachiri kembara/mengachiri dukatjita.//
Dan ditemuinja:/tangan jang terbuka/hati jang terbuka/menjimpul djadi satu:/selamat bekerdja!//
Lalu sepi./Jang tinggal padanja,/kejakinan sepadat hati.//
...
Dan bahagialah!/bahwa sisa turunan kita/telah memilih djalan terbaik/djalan ke hari depan/jang dirambah dan diterangi:/Komunisme!//
Wartawan yang Terbuang
Pada 1963, Amarzan memulai kariernya di Harian Rakjat.
Ia didapuk jadi redaktur edisi Minggu yang merupakan edisi istimewa karena
rutin memuat lembar “Kebudajaan”. Inilah etalase bagi karya-karya pilihan
orang-orang Lekra, mulai dari puisi, cerpen, esai, resensi, hingga kritik.
Ia dan redaktur lainnya melakukan kurasi terhadap cerpen dan puisi, yang dalam seminggu setidaknya ada kiriman 5 cerpen dan 40-an puisi. Bahkan, suatu kali ada juga seorang penyair yang mengirim 20 puisi sekaligus.
Kenangan paling menarik dari masa ini adalah ketika ia menolak puisi-puisi kiriman D.N. Aidit. Tentu saja keputusannya membuat pemimpin PKI itu berang, untung ada Njoto yang melindunginya.
Ia dan redaktur lainnya melakukan kurasi terhadap cerpen dan puisi, yang dalam seminggu setidaknya ada kiriman 5 cerpen dan 40-an puisi. Bahkan, suatu kali ada juga seorang penyair yang mengirim 20 puisi sekaligus.
Kenangan paling menarik dari masa ini adalah ketika ia menolak puisi-puisi kiriman D.N. Aidit. Tentu saja keputusannya membuat pemimpin PKI itu berang, untung ada Njoto yang melindunginya.
“Sajak Aidit itu jelek benar, sajak-sajak maksa,” kata Amarzan mengungkapkan alasannya.Setelah peristiwa G30S, Lekra gulung tikar dan Amarzan ikut diburu aparat. Sejak itu menurut Janet Steele, Amarzan hidup sebagai pelarian. Selama tiga tahun ia bersembunyi dan menyambung hidup dengan cara berjualan bensin. Tempatnya bernaung hanyalah kios kecil di pinggir jalan.
“Mungkin mereka lupa sama saya, atau saya yang terlalu lihai sembunyi,” tutur Amarzan kepada Janet Steele seraya tertawa (hlm. 145).Amarzan baru tertangkap pada 1968. Mula-mula ia dikurung di penjara Salemba. Dua tahun kemudian ia dipindahkan bersama tapol lain ke Pulau Nusa Kambangan. Hingga akhirnya ia menjalani masa pembuangan di Pulau Buru dari 1971 sampai 1979.
“Yang paling sulit adalah melupakan Soeharto merampas usia produktif saya. Saya ditahan pada umur 27 dan dilepas pada umur 39. Ini usia produktif. Saat saya keluar, teman-teman saya sudah jadi doktor...,” kenang Amarzan dalam sebuah wawancara dengan Tempo Institute.Setelah dibebaskan pada 1979, Amarzan memilih bekerja lagi sebagai wartawan. Ia memberanikan diri melamar kerja ke majalah Tempo. Goenawan Mohamad yang saat itu jadi pemimpin redaksi menerimanya. Beberapa karyawan sempat mempertanyakan keputusan esais Caping itu. Bagaimana mungkin ia bisa menerima orang Lekra yang dulu pernah bersitegang dengannya.
Tekanan juga datang dari luar. Dalam obituari yang ditulisnya, Goenawan menjelaskan bahwa Rosihan Anwar sampai menulis sebuah sindiran di Pos Kota yang isinya seakan memberi tahu penguasa bahwa ada wartawan-wartawan kiri yang ditampung “sebuah majalah”.
“Saya senang Amarzan bekerja di Tempo, karena menemukan mutiara itu tidak mudah,” kenangnya.Goenawan yakin bisa mengatasi tekanan itu karena sebelumnya Tempojuga menerima Martin Aleida, mantan kolega Amarzan di Harian Rakjat, dan Maniaka Thayeb yang juga anggota Lekra. Tak ketinggalan Buyung Saleh, tokoh cendekiawan PKI, yang kerap menyumbang tulisannya untuk Tempo.
Sudah jadi rahasia umum bahwa Tempo menampung para eks-tapol dan itu membikin risih pemerintah. Harmoko menyurati media itu agar menghapus nama Amarzan dari susunan redaksi. Permintaan pemerintah dipenuhi, meski Amarzan tetap bekerja di sana.
Beberapa waktu kemudian, pemerintah bukan hanya meminta Tempo menghapus nama Amarzan dari susunan redaksi, tapi benar-benar mengeluarkannya dari redaksi. Mereka tak mau seorang eks-tapol mengisi sebuah majalah politik seperti Tempo. Dan kali ini Amarzan memilih mengalah.
“Jadilah Amarzan pindah ke Matra, majalah hiburan pria yang masih dimiliki Grafiti Press [grup yang juga menaungi Tempo]. Dia bekerja di situ hingga 1988, ketika rezim Orde Baru makin gencar mempersekusi eks-PKI,” tulis Janet Steele (hlm. 163).Pelbagai tekanan itu akhirnya membuat Amarzan terpaksa angkat kaki dari Matra. Rezim Orde Baru jelas memperlakukannya secara tak adil. Namun, bagaimana Amarzan menanggapi itu semua?
Dalam wawancaranya dengan Tempo Institute Amarzan berkata,
“Saya tidak mau mengutuk rezim yang membekap saya supaya saya tetap lebih baik dari mereka. Saya coba meredam dendam, juga penyesalan. Tapi jangan melupakan, memori kolektif itu harus tetap dipelihara. Kalau tidak, nanti kita tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk.”
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Irfan Teguh
Editor: Irfan Teguh
Sebagai anggota Lekra, Amarzan Loebis berani menolak puisi-puisi D.N.
Aidit karena dinilai buruk.
Jumat, 16 Agustus 2019
Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda
Oleh Nur Janti
Nasib perempuan dalam praktik pergundikan di Hindia
Belanda. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai pengecualian.
Nyai Ontosoroh dan Annelis Mellema dalam film arahan Hanung Bramantyo.
(Falcon Pictures).
DARI balik pintu muncul seorang perempuan pribumi
mengenakan kebaya putih berenda, berkain jarik dengan selop beludru hitam
berhias sulaman perak.
Dialah Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema yang banyak
dikagumi orang. Kehadirannya begitu mengesankan sebab selain penampilannya yang
anggun dan rapi, bahasa Belandanya pun apik. Hal yang sulit ditemui pada diri
seorang nyai.
Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan
Pramoedya Ananta Toer menjadi gambaran umum kondisi pergundikan di era
kolonial. Praktik ini sebenarnya sudah dilakukan sejak VOC bercokol di Hindia
Timur.
Ketika Terusan Suez dibuka pada November 1869 peluang
kehadiran orang Eropa makin tinggi karena perjalanan lebih singkat. Antara
1870-1880 ada sekira sepuluh ribu orang Eropa yang datang ke koloni, kebanyakan
lelaki.
Perempuan Eropa masih amat langka, dengan perbandingan
tiap 10 ribu lelaki terdapat 123 perempuan kulit putih. Angka ini belum
termasuk golongan mestizo.
Karena kesulitan mencari pasangan satu ras inilah, para
bujangan Eropa kebanyakan hidup bersama nyai. Praktik pergundikan ini jamak
ditemui di tangsi militer, perkebunan, dan masyarakat sipil di kota.
“Mereka anggap tinggal bersama gundik sebagai tindakan illegal dan tidak diterima secara moral tapi di saat yang sama mereka membutuhkan bahkan diuntungkan dengan praktik ini,” kata Reggie Baay penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda kepada Historia.
VOC dan pemerintah kolonial mendiamkan perilaku ini
karena selain memudahkan pengenalan adat dan bahasa setempat, mereka juga tak
dibebani tunjangan lebih karna status pegawai yang masih lajang. Para elite tak
perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit
kelamin yang tersebar di rumah bordil.
Namun, di balik semua keuntungan ini ada cibiran dan
penolakan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan. Di era VOC, penolakan
paling dominan datang dari kalangan gereja yang melarang pernikahan dengan
orang non-kristen.
Sementara, di era berikutnya, penolakan lebih didasarkan
pada perbedaan rasial. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Dymaer van
Twist pada 1850-an menyebut tentara yang hidup bersama nyai akan ditangguhkan
kenaikan pangkatnya.
Djoemiha tinggal bersama Alfred Wilhelm, anggota KNIL. (Repro Nyai
dan Pergundikan di Hindia Belanda).
Ketidaksukaan masyarakat kolonial pada praktik
pergundikan juga memunculkan asumsi bahwa alasan perempuan pribumi mau menjadi
nyai karena pertimbangan materialistis. Anggapan tersebut, menurut Tineke
Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, melupakan
posisi para perempuan terjajah dalam sistem kolonial. Para perempuan muda ini
tidak punya suara apalagi pilihan. Ia hidup pada lingkungan tertindas di mana
kemauan lelaki (ayah atau tuannya) harus dipenuhi tanpa penolakan.
Ketidakberdayaan pada keputusan ayah ini pula yang
dialami Sanikem. Ia hanya bisa patuh pada keinginan ayahnya. Protes dari sang
ibu pun tak berbuah hasil, akhirnya mereka hanya bisa berbalas tangis dalam
perjalanan menuju rumah Herman Mellema. Nasib perempuan yang lebih buruk dikisahkan
Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. Seorang kuli perempuan di
perkebunan Deli menolak pinangan tuannya untuk menjadi seorang nyai lantaran
ingin bersetia pada pasangan pribuminya. Keputusannya alih-alih diterima malah
berbuah hukuman dengan siksaan yang kejam.
Setelah jadi nyai pun, nasib para perempuan Asia ini
belum tentu mujur. Seorang nyai bisa dibilang tidak punya hak apa pun. Mereka
hanya diangap sebagai properti tuannya. Itulah mengapa beberapa orang Eropa
menyebut nyai dengan julukan penuh hinaan. Meubel atau inventarisstukkarena
mereka dengan mudah dipindahtangankan ke lelaki Belanda lain, atau bahkan
dilelang sebagai bagian dari inventaris.
Hubungan tuan-gundik nyatanya tak melulu buruk. Ada yang
hidup bahagia seperti Nyai Ontosoroh, mendapat kesempatan megembangkan
kemampuan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda.
“Tentu ada pengecualian. Meski secara umum ditolak oleh masyarakat kolonial, ada juga lelaki Eropa yang bersikap baik seperti perlakuan Herman pada Ontosoroh. Penulis Willem Welraven misalnya. Relasi baik jadi kesempatan nyai untuk mendapat pengetahuan baru, meningkatkan intelektualitas, dan statusnya,” kata Reggie Baay.
Willem Welraven adalah penulis dan wartawan yang hidup
pada pergantian abad ke-19. Ia menikahi gundiknya, Itih dan memperlakukannya
laiknya ibu dan istri. Ia mengajari Itih membaca, menulis, berhitung, dan
berbahasa Belanda. Ia juga mengajari Itih cara mengelola keuangan setelah
sebelumnya jengkel pada ketidakpahaman istrinya itu. Walraven tak ambil pusing
dengan stigma kolonial. Ia bahkan tak malu mengenalkan Itih sebagai istrinya.
Kawin campur Welraven-Itih bisa terjadi setelah
pelarangan pernikahan dengan non-kristen dihapus pada 1848. Disusul kemudian
pemberian status Eropa bagi para gundik yang dinikahi tuannya pada 1898.
Setelah pernikahan campuran diakui, ada 80-100 pasangan yang menikah tiap tahun
pada dekade 1886-1897.
Hanneke Ming dalam “Barracks-Concubinage in the Indies,
1887-1920” mencatat anggota tentara baru diizinkan menikahi pasangan pribuminya
pada 1908. Namun perilaku hipokrit masyarakat kolonial tak hilang begitu saja.
Mereka mengejek pergundikan, namun ketika pasangan beda ras ini hendak melegalkan
hubungannya, ancaman karier menghadang si lelaki.
Hal inilah yang dialami pasangan Gow Pe Nio dan suaminya
Jurjen seperti diceritakan Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan
di Hindia Belanda. Jurjen merupakan apoteker militer kelahiran Belanda. Sementara
Pe Nio bekerja sebagai pembantu di rumah residen Bandung.
Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia pun meminta Djoemiha menjadi nyainya. Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.
Mereka bertemu ketika Jurjen bertamu ke rumah residen
itu. Jurjen meminta Pe Nio menjadi nyainya yang disambut kata setuju. Pada 1908
mereka dikaruniai anak pertama lalu menikah setahun setelahnya. Keputusan ini
berdampak pada karier Jurjen. Ia lantas keluar dari dinas militer dan membuka
apotek di Bandung.
Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda).
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan
tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi
putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo.
Mereka bertemu di warung makan
tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi
juga mencari pasangan. Ia pun meminta Djoemiha menjadi nyainya.
Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka
saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di
Jakarta.
Hubungan Tragis
Kisah Nyai Ontosoroh selain memberikan gambaran perempuan
mandiri, juga mencerminkan kerapuhan posisi nyai. Dalam hubungan pergundikan,
tak ada pengakuan secuil pun baik sebagai pasangan lelaki Eropa atau ibu.
Ketika Annelis dan Robert sudah diaku sebagai anak Herman
Mellema, mereka berhak menyandang nama belakang ayahnya dan punya status
sebagai orang Eropa. Pengakuan ini di lain sisi, membuat posisi sosial mereka
lebih tinggi dibanding ibunya sendiri.
Aturan tentang pengakuan keturunan mulai dikeluarkan pada
1828 lantaran anak-anak hasil pergundikan tak terhitung jumlahnya. Bila si ayah
tak ingin mengadopsi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan.
Anak-anak yang tak diadopsi tapi tetap didaftarkan kelahirannya itu menyandang
nama ayahnya dengan penulisan terbalik. Misal, Kijdsmeir dari van Riemsdijk,
Rhemrev dari Vermehr, Snitsevorg dari Grovestins, atau Esreteip dari Pieterse.
Aturan lain menyusul kemudian yang memuat tentang hak
asuh anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 40 dan 354 tahun 1848.
Anak-anak hasil pergundikan yang sudah diadopsi ayahnya, secara hukum hubungan
dengan ibu kandungnya gugur. Anak-anak itu murni milik ayahnya. Bila suatu hari
ayahnya meninggal, si ibu tidak dapat mengambil alih hak asuh anak itu.
Itulah sebabnya setelah kematian Herman Mellema,
perwalian Annelis diserahkan ke tangan Maurits Mellema, yang secara hukum
diakui punya hubungan kekerabatan. Sementara Nyai Ontosoroh tak punya kuasa apa
pun di mata hukum koloni.
Keputusan pengadilan yang mengalihkan hampir seluruh hak
waris dan perwalian Annelis ke tangan Maurits meruntuhkan segala usaha Nyai
Ontosoroh yang ia bangun bertahun-tahun. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh dilempar
dari permainan hukum kolonial yang tidak berpihak pada kaum bumi putera.
Annelis, satu-satunya harapan Nyai Ontosoroh, pun
akhirnya dikirim Maurits ke Belanda. Menjadi pelengkap kisah tragis dalam
hubungan nyai dan anaknya.
Perpisahan para nyai dengan anaknya ini jadi kasus yang
jamak terjadi. Hal serupa juga dialami ayah Reggie Baay. Ayah Reggie tak tahu
betul siapa ibunya. Jejaknya hanya tertinggal dalam akta pengakuan keturunan
yang dibuat kakeknya, Daniel Baay.
Nenek Reggie, bernama Moeinah yang berasal dari kelaurga
muslim miskin di Jengkilung, Surakarta (kemugkinan kini Desa Pendem,
Sumberlawang, Sragen). Ia bekerja sebagai pelayan di rumah Daniel Baay dan Parijem,
anak dari bangsawan rendah Kraton Surakarta.
Rupanya Louis Baay, anak Daniel, menaruh perhatian pada
Moeinah. Mereka pun hidup bersama di villa kecil milik keluarga Baay di
Surakarta. Hubungan ini membuat Moeinah melahirkan seorang putra, ayah Reggie
pada 1919. Belum genap setahun mengurus bayinya, Moeinah diminta meninggalkan
rumah dan kembali ke desanya.
Pada 1926, ketika Moeinah berusia sekira 25 tahun, ia
kembali dipanggil oleh keluarga Baay untuk pembuatan “akta” anaknya. Setelah
hak atas anak jatuh pada keluarga Baay, Moeinah kembali dilupakan. Ia tidak
diperkenankan menemui anaknya.
“Saya seorang indo. Nenek saya dulu seorang nyai, tapi ayah saya tak pernah tahu siapa ibu kandungnya,” kata Reggie.
Moeinah dipisahkan dan dipaksa melupakan anaknya. Namun
kenangan atas anak yang ia lahirkan dan rawat selama beberapa bulan, barangkali
tak bisa ia lupakan begitu saja.
Ayah Reggie lebih-lebih tak punya bayangan seperti apa
rupa ibunya. Ia pun selalu menolak membicarakan tentang ibu kandungnya itu. Namun,
sedikit ingatan buram pada masa kecilnya, ia catat di belakang akta pengakuan.
Ketika masih kecil beberapa kali ia menyaksikan seorang
perempuan Jawa berdiri di dekat pagar rumah.
“Berkali-kali ia berusaha untuk mendekatiku tetapi kerap dihalau oleh pelayan kami. Akankah ia…”
Rabu, 14 Agustus 2019
Pram dan Pulau Buru, Tempat Lahirnya Bumi Manusia
AHMAD
NAUFAL DZULFAROH -
14/08/2019, 05:30 WIB
Pramoedya Ananta
Toer.(KOMPAS/LASTI KURNIA)
KOMPAS.com - Sosok Pramoedya Ananta Toer, kembali menjadi perbincangan ketika novelnya yang berjudul Bumi Manusia difilmkan.
Pram, nama panggilannya, merupakan sastrawan Indonesia
yang pernah menjadi tahanan politik di masa Orde Baru. Ia dituduh terlibat
dengan PKI, sehingga dipenjara bersama ribuan tahanan politik lainnya di Pulau
Buru pada tahun 1966.
Berbicara sosok Pram, tak bisa dilepaskan dari Pulau
Buru. Selama 13 tahun dalam masa tahanannya, Pram menghasilkan karya besar
berupa Tetralogi Pulau Buru yang hingga saat ini masih bisa kita nikmati.
Tetapi, apakah empat novel tersebut ditulis tanpa fasilitas mesin tik, kertas,
dan meja tulis?
Dikutip dari Harian Kompas (15/5/2006), Pram tidak
memiliki fasilitas untuk menulis atau mengarang sebagaimana tahanan politik
lainnya.
Para tahanan, termasuk Pram, diharuskan bekerja di ladang
atau kerja fisik lainnya hampir sembilan jam per hari. Humor dan Seks Di malam
hari pun, lampu wajib dimatikan pada pukul 20.00 malam.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar
tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua.
(KOMPAS/SINDHUNATA)
Dalam kondisi demikian, sulit bagi para tahanan untuk menulis. Selain tidak ada waktu, para tahanan juga tidak memiliki fasilitas untuk itu. Akan tetapi, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro datang ke Pulau Buru pada tahun 1972 dan menanyakan kebutuhan yang diinginkan Pram.
Pada saat itu juga si pengarang ulung itu mengajukan
permintaan untuk memperoleh mesin tik, dan alat tulis-menulis. Permintaan
tersebut pun segera dipenuhi oleh Jenderal Soemitro.
Baru pada tahun 1973, Pram diperlakukan lebih khusus
dibandingkan dengan ribuan tahanan lainnya dan mendapatkan fasilitas yang ia
minta sebelumnya.
Penderitaan Pram di Pulau Buru juga berpengaruh pada gaya
penceritaannya. Pram hampir tidak pernah menyelipkan humor dan seks dalam
novelnya.
"Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek. Kalau soal seks banyak, cuma tidak mendetail," kata Pram seperti diberitakan Harian Kompas (4/4/1999).
Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun
dirayakan kini?
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram.
Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya
juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya.
Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari
sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh
Editor : Sari Hardiyanto
Senin, 12 Agustus 2019
Perburuan dalam Sepekan
Oleh Andri Setiawan
Kekejaman Jepang dan sakit hati Pram mengilhami novel
Perburuan. Ditulis di penjara dalam waktu seminggu.
Adipati Dolken memerankan Hardo dalam film Perburuan (2019). (Twitter
CGV Cinemas).
Bunyi gamelan yang penghabisan telah lenyap di udara
senja hari. Sepagi anak lurah Kaliwangan telah disunati. Tamu-tamu telah habis
pulang. Senja rembang datang.
Begitulah Pram memulai ceritanya, Perburuan. Sejak
senja rembang 16 Agustus 1945 itulah Hardo untuk pertama kalinya menampakkan
diri. Setelah setengah tahun bersembunyi dari buruan Nippon, ia muncul di depan
rumah Ningsih, tunangannya. Hari itu adalahhari sunatan Ramli, adik Ningsih.
Namun Den Hardo, bukan lagi pemuda yang orang-orang
Kaliwangan kenal. Saat itu telah menjadi seorang kere. Kere dengan rambut
gondrong dan lengket. Wajah kotor dan dipenuhi brewok. Tidak berbaju dan
telanjang kaki.
Hardo telah menjadi buruan sejak pertama kali memutuskan
untuk memberontak. Menjadi pelariandi bukit batu padas dan bersembunyi di dalam
gua yang pekat. Meninggalkan sanak keluarga bahkan tunangannya. Lalu sampai
kapan Hardo akan bertahan?
“Sampai Nippon kalah,” kata Hardo.
Semangat Anti
Jepang
Hardo adalah mantan sodhanco. Ia memberontak bersama
dua sodhanco lainnya, Dipo dan Karmin, serta para shodan. Namun
sayang, pemberontakan kepada balatentara Dai Nippon itu gagal karena Karmin
berkhianat. Para pemberontakan pun harus mundur ke perbukitan dan hutan-hutan.
Kengerian masa penjajahan Jepang yang kemudian melahirkan
semangat anti-Jepang nampaknya mengilhami lahirnya novel Perburuan. Bagaimana
tidak, hal itu dirasakan bahkan sejak baru beberapa hari Jepang memasuki kota
kelahirannya, Blora.
“Jepang mulai memperkosai wanita. Dua serdadu Jepang yang dihukum mati di alun-alun karena perkosaan tidak meredakan keresahan. Para wanita dari remaja sampai nenek pada berbedak jelaga,” ungkap Pram dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang.
Dua bulan Jepang berkuasa, ibu dan adik bungsu Pram
meninggal dunia. Pram, yang kala itu masih berusia 17 tahun pergi ke Batavia.
Di Batavia, kengerian penjajahan semakin jelas di mata Pram. Mulai dari
penyiksaan terhadap penduduk hingga pembunuhan karena kejahatan kecil.
Selain itu, ada satu kejadian sepele namun meninggalkan
sakit hati bagi Pram. Suatu hari ketika Pram sedang mengayuh sepedanya di
jalanan berlubang, tiba-tiba sebuah truk militer membunyikan klakson dari
belakang.
“Truk itu mengerem. Dari kabin truk meledak petir: Nan da kurah! Dan mata melotot,” ingat Pram.
Ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda).
Ketika seorang serdadu melompat turun, Pram memikul sepedanya dan
melemparkannya ke pinggir jalan lalu lari.
“Dari belakangku, meraung-raung dia: Bagero mae! Genjumin! Hanya rangkaian caci-maki. Sakit hati itu ternyata tak pernah lenyap,” kenang Pram.
Sementara itu, Pram memang bekerja di kantor berita Domei milik
Jepang. Ia harus memberitakan kemenangan, kebenaran dan kebajikan Jepang.
“Keadaan di luar dan di dalam diri sudah tidak tertahankan, Domei kutinggalkan,” ungkapnya.
Pram kabur ke Kediri, Jawa Timur. Di desa terpencil dan
miskin bernama Tunjung, ia menumpang di rumah bekas kepala desa, seorang paman.
Pada 23 Agustus 1945, Pram baru mendapat kabar seputar
proklamasi. Lewat Surabaya, Pram pulang ke Blora. Di kota kelahirannya, saat
itu sedang diadakan pertunjukan sandiwara “Indonesia Merdeka”. Namun Pram hanya
menonton selama seperempat jam.
“Pada waktu itu timbul tantangan dalam hati aku akan tulis berita yang jauh lebih baik dari ‘Indonesia Merdeka’ Blora ini, sebuah cerita yang bersemangat anti-Jepang, patriotik, ditutup dengan proklamasi kemerdekaan,” tegas Pram.
Pram dan novel Perburuan.
Kebebasan dan
Revolusi
Keinginan untuk menulis cerita yang lebih baik dari
sandiwara ‘Indonesia Merdeka’ itu terlaksana pada 1949. Namun, kala itu Pram
sedang dipenjara di Bukit Duri oleh Belanda.
Kerja paksa di luar penjara dengan upah 7,5 sen perhari
dan kenyataan bahwa perang melawan Belanda belum kelihatan ujungnya membuat
Pram putus asa.
“Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga, yang hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi,” ungkap Pram.
A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam
Imajinasi Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa pengalaman mistik Pram
dalam hubungan dengan penciptaan perburuan, datang sebagai semacam pencerahan
dan pembebasan ketika Pram mengalami krisis kejiwaan yang sangat parah.
Pengalaman yang disebut Pram sebagai mistikum itu,
lahirlah proses kreatif. Perburuan kemudian mulai ia tulis di dalam
penjara, di bawah tekanan serdadu Belanda.
“Ya, dilakukan pada waktu tidak terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tempat tidur,” kata Pram.
Jika dari dalam kamar terdengar langkah sepatu bot
serdadu KNIL yang sedang meronda, Pram segera mengemas peralatan menulisnya.
Lalu di malam hari, Pram hanya bisa menulis di bawah ambin beton sambil
tengkurap dengan menggunakan lampu minyak. Karena jika tidak sembunyi, Pram
bisa ketahuan karena pintu sel memiliki jendela sorong tempat para serdadu
mengintip.
“Minyak tanah dibeli dari teman-teman yang bekerja di dapur. Kertas di dapat dari sang pacar,” ungkap Pram.
Meskipun dalam kondisi menulis yang sulit, Pram tetap
berhasil menyelesaikan naskah itu. Pram merampungkan Perburuan hanya
dalam waktu satu minggu.
“Saya mengerjakan roman itu persis selama satu minggu. Waktu itu saya masih memiliki kekuatan alamiah saya,” kata Pram dalam wawancaranya dengan Kees Snoek yang terbit dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir.
Naskah itu kemudian diselundupkan oleh Dr. Mr. G.J.
Resink yang sering berkunjung ke penjara untuk menemui para mahasiswanya yang
ditahan.
“Resink menyerahkan naskah Perburuan kepada H.B. Jassin yang waktu itu sebagai redaktur Balai Pustaka,” tulis sastrawan Ajip Rosidi dalam Mengenang Orang Lain: Sebuah Obituari.
Oleh Jassin, naskah Perburuan diikutkan
sayembara tanpa sepengetahuan Pram. Novel itu menang dan kemudian diterbitkan
Balai Pustaka pada 1950.
A Teeuw mengatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang
mencuat tinggi dalam mencitrakan revolusi Indonesia baik dari jumlah karya
maupun mutunya.
“Segala aspek perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala grandeur et misere (keagungan dan kemelaratan) rakyat dicitrakannya, dan berkat penguasaan bahasanya, kekuatan gayanya, keaslian imajinasinya, ia berkali-kali berhasil mentransformasikan kenyataan hulu revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia yang sebagian besar dihayatinya dalam hidupnya sendiri menjadi epos, wiracerita,” tulis A Teeuw.
Mengutip A Teeuw, novel Perburuan ditutup Pram
dengan sebuah goro-goro. Ketika kabar Nippon kalah telah terdengar, tiba
saatnya Hardo kembali. Namun, terjadi kekacauan di Kawilangan. Dada Ningsih,
tunanganya, telah ditembus oleh peluru parabellum Jepang. Terbaring
di hadapan Hardo yang gugup, Ningsih mengembuskan napas terakhirnya.
Begitulah Pram mengakhiri ceritanya. Siang hari lewat jam
dua, 17 Agustus 1945. Ketika hawa kota Blora sampailah pada puncak
panasnya… panas yang mengganggang seluruh kota.
Kamis, 23 Mei 2019
Sebuah Masa Kelam yang Melahirkan Keterasingan Satu ke Keterasingan yang Lain
TITIK KARTITIANI - 23 MAY
Buku kumpulan cerpen
"Kata-Kata Membasuh Luka" karya Martin Aleida. FOTO:
JATIMPLUS.ID/Titik Kartitiani
Kadang, ketakutan memang sengaja diwariskan. Apalagi
ketakutan kolektif yang bisa digunakan kapan saja bila dibutuhkan. Pada sebuah
bangsa yang miskin literasi, maka hoaks pun menjadi senjata pemusnah massal
untuk membunuh nalar.
Judul buku : Kata-Kata Membasuh Luka
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2019
Jumlah halaman : xii+340hlm
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2019
Jumlah halaman : xii+340hlm
Tahun 1965 saya belum lahir. Saya hanya mendengar kisah
dari bapak saya, betapa mencekam masa itu. Cekaman yang terus diwariskan dari
generasi ke generasi melalui narasi kekejian PKI. Narasi yang ditanamkan sejak
belia. Melalui film wajib tonton dan buku-buku P dan K.
Jahat dalam satu sisi, sisi si pencerita a.k.a penguasa.
Tak ada pembanding dan pendapat kedua. Bagi kami yang miskin “bacaan”, maka
narasi itu menjadi kebenaran tunggal. “KTP merah” adalah label yang berarti
kesialan hidup di atas NKRI. Generasi yang tak mengalami masa itu, lahir tahun
1970-an, 1980-an, hingga 1990-an akan mewarisi nalar itu. Ada yang kemudian
terbuka menerima wacana bahwa kedua belah pihak bisa jadi adalah korban. Ada
yang sudah nyaman dan tak mau menerima masukan.
Bahkan sampai hari ini, ketika politik elektoral sudah
kehabisan bahan, PKI yang sudah berkalang tanah pun dibangkitkan lagi. Menjadi
sumba yang bisa mewarnai siapa saja. Mereka paham betul bahwa memori kolektif
ini pun serupa bahaya laten. Dengan sedikit pemantik, maka kekelaman itu
kembali berkecambah. Kekelaman yang rasanya tak hendak dituntaskan. Atau memang
untuk digunakan jika sewaktu-waktu dibutuhkan?
Kekejian itu tak pernah menemukan cermin untuk berkaca.
Sampai 21 Mei 1998, ketika Soeharto (yang tentu saja punya peran besar dalam
masa yang suram itu) tumbang. Tumbang pula jajaran si pencerita satu sisi. Saya
mulai mendengar versi lain. Baik dari risalah sejarah yang mengais fakta, juga
fakta-fakta yang dikemas dalam karya sastra.
Pernah ada suatu masa ketika angin kebebasan berekspresi
bertiup sepoi-sepoi, menulis tentang PKI dan komunis terasa begitu seksi.
Sehingga banyak sastrawan yang menggeluti tema ini.
Namun tidak dengan Martin Aleida. Ia menulis bukan karena
tren. Ia menulis karena mengabarkan lukanya. Luka yang akan selalu memar ketika
narasi kegelapan ini selalu disamarkan. Oleh sebab itu, ia adalah penulis
Indonesia yang konsisten mengajak pembaca untuk bermuka-muka dengan kekelaman
itu. Kekelaman pelaku sejarah.
Martin atau Nurlan ditangkap dan dipenjara karena ia
wartawan Zaman Baru. Koran terbitan Lembaga Kesenian Rakyat yang berafiliasi
dengan Lekra. Di sanalah karya-karya Martin berpijak.
Membaca cerpen-cerpen Martin bagi generasi yang
dibesarkan dengan narasi satu sisi tentu tak mudah. Harus “berdamai” pada
narasi lain dan mengelola jarak untuk mendekat. Tanpa bermaksud membandingkan
dalam hal bobot karya, akan lebih mudah dan sesuai alur rasa ketika membaca karya-karya
Iwan Simatupang (dan anggota Manikebu lainnya) untuk tema yang sama, G30 S PKI.
Ini soal sisi berpijak penulis yang sama dengan sisi pembaca seperti saya.
Perlu merobohkan sekat yang sudah membaja tertanam sejak belia.
Jarak memang menerbitkan pesona. Namun untuk masuk dalam
alam kumpulan cerpen “Kata-Kata Membasuh Luka,” harus sejenak tak berjarak,
lebur di dalamnya. Agar tokoh-tokoh yang dibangun penulis menjadi “aku” dan
“kita”, bukan “kamu” dan “kalian”. Agar bisa meraba rasa kelam yang disajikan
dalam 35 cerita pendek dalam buku ini.
Kekelaman yang sesungguhnya tanpa pelita. Gelap. Dalam
gelap, segalanya bisa terjadi. Ketakutan tanpa anatomi, menginjak pecahan
beling, hingga terperosok dalam jurang. Efek gelap itulah yang akan dipaparkan
dalam cerpen-cerpen yang mengisahkan politik tahun 1965-1966. Sebagaimana yang
ditulis Arswendo Atmowiloto dalam pengantar buku ini, kisah ini bukan teriakan
amarah, menyumpah, dan meludah. Namun terasa pedih yang mendidih, sayatan yang
mengentikan napas.
Kepedihan masyarakat biasa, yang hanya ingin menemui
kekasihnya yang takkan pernah bisa pulang. Meski di sana dituliskan bahwa cinta
tak membutuhkan secarik kertas. Dia hanya memanggil-manggil keteguhan hati (Asmara
dan Kematian di Perbatasan Tiga Negara, hal. 27).
Namun tentu saja, cinta mengharapkan sebuah pertemuan,
bahkan pertemuan kecil yang begitu sederhana. Itu pun susah terwujud karena
impak sebuah pergolakan.
Pun orang-orang terasing karena “KTP merah” ini dialami
oleh Mangku yang tak bisa mendapat pekerjaan layak. Ia menjadi pengamen topeng
monyet yang bahkan monyetnya pun mati (Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh, hal
95).
Ada juga kisah yang begitu lugas dituturkan oleh seorang
tapol (Surat Tapol kepada TKW, Cucunya, hal.9). Mengisahkan sisi manusiawi dari
sebuah ideologi yang dipilih.
Separuh dari cerpen-cerpen ini pernah dimuat di KOMPAS.
Tak semua tentang kisah politik tahun 1965-1966. Kisah keseharian yang
tampaknya tak berhubungan dengan 1965, namun ternyata menghasilkan kesan yang
sama: kekelaman yang melahirkan keterasingan bahkan di tanah sendiri.
Daulat yang tak dihelat bahkan di rumahnya sendiri.
Misalnya seperti kisah anjing yang ditinggal pergi tuannya yang ditulis dari
sisi si anjing bernama Eric (Eric, Makanlah…, hal. 85). Atau kisah paus pembunuh
yang mengorbankan diri untuk menghentikan darah di Lamalera (Tiada Darah di
Lamalera, hal. 67).
Bahasa lugas namun puitis sebagai ciri khas kumpulan
cerpen ini mengetuk pembaca untuk berdialog dengan rasa yang mengendap. Hal
yang semakin sulit didapatkan dalam sebuah era percepatan informasi seperti
sekarang ini.
Pun menorehkan sisi-sisi kemanusiaan dari dua belah pihak
yang berkonflik. Bagaimanapun, ketika dua gajah bertempur, maka pelanduk yang
akan mati di tengah-tengahnya. Pelanduk yang kerap takkan mendapat apa-apa
bahkan ketika dua gajah itu tidak bertarung.
Harus ada yang mencatat luka si pelanduk, bukan hanya
untuk membasuh lukanya. Namun tersemat harap, masa gelap tak terulang. Pelanduk
pun harusnya belajar untuk tak masuk dalam ring gajah, meski kerap diajak.
Bahkan, diajak setiap 5 tahun sekali.
Minggu, 24 Maret 2019
”Dendam” yang Mengobok-obok Emosi
Sun,
24 Mar 2019 - 01:34 WIB
Ada orang-orang yang memasuki masa hidup di tengah
ketidakpastian, ketika nasib mereka terjungkir-balik. Mereka tak bisa memilih,
tak bisa melawan. Masa yang tak mudah mereka lewati; membekas hingga akhir
hayat dan melahirkan dendam tak berkesudahan.
Tak mudah menjalani hidup macam itu. Namun dari sana banyak
pelajaran berharga. Dari sana pula lahir novel Dendam Gunawan Budi Susanto.
Novel 418 halaman ini benar-benar terasa tebal, baik secara fisik maupun isi.
Novel ini bercerita soal konflik riil di masyarakat, langsung dari bawah, dari
kenyataan.
Ada tiga perempuan yang jadi bandul utama cerita. Pertama, Rini.
Dia jadi buruh migran karena tak tahan melihat sang suami,
Murdani, serong. Ia merasa kehormatannya terenggut. Saat itu Murdani jadi
kepala desa. Tak bisa saya bayangkan, bagaimana proses istri kepala desa pergi
meninggalkan suami dan masyarakat. Juga meninggalkan anak semata wayang yang
beranjak dewasa. Entah apa yang Rini pikirkan. Kedua, Tinuk. Anak semata wayang
Rini dan Murdani itu kecewa atas perbuatan sang ayah. Dia melihat sang ayah
membawa pulang pelacur, tepat di depan matanya. Saat ibunya mencari rezeki di
luar negeri, sang ayah malah berbuat nirmoral. Sakit hati Tinuk menderas dan
mengeras. Bagi Tinuk, kehormatan sang ayah sudah terjun bebas.
Persis seperti sang ibu, Tinuk pun berhasrat pergi dari
rumah, jauh dari sang ayah. Karena itulah, selulus sekolah ia kuliah di kota;
menjauhkan diri dari pandangan menyesakkan dada. Sosok Tinuk menarik, karena
penulis memasukkan banyak hal yang berjangkauan jauh dari konflik utama.
Ketiga, ibu Rini. Tanpa mengesampingkan empati terhadap kemanusiaan yang
dicederai pada dua tokoh sebelumnya, saya merasa dendam paling kuat ada pada
sosok ini.
Dari sinilah, semua konflik bermula. Peristiwa G30S jadi
penyebab. Orang tua Rini diduga terlibat dan dipenjara, tanpa pengadilan. Tanpa
bisa melawan. Betapa mudah masa itu, orang dicap PKI, lalu dijebloskan ke
penjara, termasuk orang tua Rini. Saat itu sang ibu hamil adik Rini, tetapi
akhirnya keguguran. Dia diperkosa; dilecehkan sedemikian rupa sebagai
perempuan, sebagai manusia. Ia tak terima. Ia anggap itu aib hingga berpuluh
tahun lamanya. Perkara selingkung peristiwa itu sudah penulis tulis dalam dua buku
cerpen, Nyanyian Penggali Kubur (2011, 2016) dan Penjagal Itu Telah Mati
(2015). Namun, menarik, dalam novel ini penulis seperti beroleh ruang lebih
luas dan luwes untuk membahas segala yang tak terbahas dalam dua buku cerpen
itu. Dari soal pandangan politik hingga alasan di balik peristiwa itu, dia
ceritakan secara gamblang.
”Bapak dianggap keras kepala, sehingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Padahal, bapakmu ini tak pernah masuk partai apa pun. Bapak tahu politik. Itu harus. Namun Bapak tak suka berpolitik, apalagi masuk partai politik. Bapakmu memang tak menghalangi dan bahkan setuju ibumu masuk Gerwani, karena organisasi itu bukan partai politik. Bahwa Gerwani berpolitik untuk memperjuangkan kaum wanita, iya dan itu harus. Bapak memang tak suka berpolitik, tapi Bapak tak menghalangi ibumu berpolitik.” (halaman 117).
Itulah salah satu
dialog favorit saya. Di situlah salah satu titik penulis melesapkan sikap
politik.
Pada titik-titik itu, betapa Dendam terasa amat kuat dan
dalam. Impresi saya boleh jadi berbeda (bahkan harus) dari motif penulis saat
menulis. Namun pengayaan pengalaman macam ini tentu tak bisa dikatakan tak
berguna. Dan, saya tak bisa bohong: saya sangat menikmati. Rasanya seperti
diberi kunci gembok tempat menyimpan salah satu konflik kemanusiaan terbesar di
republik ini. Ibu Rini, selepas dari penjara, merawat Rini hingga beranjak
dewasa tanpa suami. Tiba-tiba, setelah sekian tahun, sang suami pulang dan Rini
”kembali” punya ayah. Betapa canggung, betapa kaku, kehidupan mereka.
Dengan alasan tak mudah hidup sebagai bekas tapol, mereka
pindah ke desa untuk membangun fondasi hidup baru. Mereka memulai dari minus,
karena dendam ibu Rini atas masa lalu yang menyakitkan masih mengerak. Dari
persoalan itu, tak mungkin tidak Rini juga jadi korban. Hidup dengan cap anak
tapol sering membawa petaka. Pulang sekolah badan memar dengan sederet
perundungan verbal mau tak mau harus ia terima. Meski melawan sebisa-bisa, dia
tetap kalah. Untung, selepas pindah tak lagi ia terima perlakuan macam itu.
Yang Menarik dan Tak Menarik
Menulislah yang dekat denganmu, yang kamu tahu, yang kamu
mengerti, yang kamu pahami. Kalimat itu sering saya baca dalam teori dasar
menulis. Penulis, yang memiliki kedai kopi, yang mengampu kelas membaca dan
kelas menulis di kedai, memiliki kawan buruh migran, jadi dosen, membersamai
gerakan perlawanan masyarakat Kendeng, anak tapol, ini menuliskan itu semua
dalam Dendam. Semua. Di satu titik, saya melihat penulis membuka diri pada
pembaca: inilah saya, lewat Dendam. Itu sekaligus legitimasi sikap politik dan
kulturalnya mengenai banyak hal.
Lokalitas yang lesap dalam Dendam, dari struktur bahasa
hingga struktur sosial, membuat bangunan cerita terasa makin dekat dengan
pembaca yang memilki preferensi serupa. Juga memberikan pengalaman lain pada
pembaca yang memiliki preferensi berbeda. Kekayaan macam itu yang kira-kira
jarang dimiliki karya sastra hari ini. Segala yang urban dan modern makin
kencang merangsek segala lini kehidupan, tak terkecuali karya sastra.
Persoalan buruh migran, kejahatan hak asasi manusia pada
masa lalu, perampasan tanah oleh negara dan korporasi, mengelola hidup yang
dipenuhi dendam politik dan kultural, adalah persoalan kita. Setiap di antara
kita juga punya potensi untuk terdampak. Maka tak boleh ada yang senyap dalam
persoalan kemanusiaan. Setiap orang selalu memiliki cara untuk melakukan
sesuatu, untuk membantu sesama.
Penulis melakukan itu lewat menulis. Fiksi, dalam berbagai
fungsinya, adalah permodelan realitas dan alternatif realitas. Sebagai
permodelan realitas, Dendam mewakili banyak hal: realitas sosial, kultural, dan
politik. Itu tak bisa kita tolak. Bahwa itu benar-benar terjadi dan menubuh
dalam sekian aspek kehidupan bersama. Lalu pada Tinuk bisa kita lihat,
bagaimana penulis memberikan alternatif kejadian, alternatif realitas,
bagaimana kaum muda bisa berkontribusi, aktif membantu sesama; selalu ada cara
melakukan sesuatu, menjadi manusia berguna. Itu baru satu contoh. Tak ada novel
sempurna. Dendam mengisahkan banyak persoalan di sekitar kita. Namun dalam
beberapa hal ada yang membuatnya tak menarik.
Pada transisi skena Tinuk dari Desa Watulandep ke Semarang,
rasanya seperti terburu-buru ditulis. Tidak sedalam ketika saat di Watulandep.
Pertemuan Tinuk dan Pak Sus, dosen di kampusnya, yang kelak jadi guru menulis,
menjadi bos di kedai; pertemuan kembali dengan Dodik, lalu jatuh cinta; proses
penyaluran bantuan ke desa sang nenek, membuat saluran biopori — saya heran,
dari mana Tinuk mendapat ide secemerlang itu.
Ya, memang bisa dari mana saja. Namun sebelum masuk bab itu,
tampaknya tak ada referensi apa pun soal pengetahuan macam itu pada Tinuk.
Entah. Barangkali, karena novel ini juga berangkat dari cerita bersambung yang
ditulis bertahun sebelumnya, lantas membuat ada bab-bab yang rasanya meloncat. Namun,
apa pun itu, Dendam berhasil mengobok-obok emosi saya. Konflik tumpang-tindih,
berurutan, hingga akhiran yang tak tertebak, membuat saya tak bisa melepaskan
begitu saja waktu membaca.
(Ken Kausar Amar Abdurrakhman, pembaca buku,
pendiri dan pengelola Nir Cafe & Workingspace-28)
Langganan:
Postingan (Atom)