HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Oktober 2019

Aroma Tanah Moncongloe


Cerpen Alfian Dippahatang | Jawa Pos, 20 Oktober 2019

EMPAT tahun sebelum bebas, petang itu di Moncongloe, ia berselonjor dan tampak letih. Ia banting tulang mengerjakan proyek perkebunan milik tentara. Cangkul telah ia biarkan tergeletak. Karena bertelanjang dada, keringat yang bercucuran seakan membuat tubuhnya mengilap. Ia menerima cerek berisi air yang saya tawarkan kepadanya. Ia buru-buru membuka mulut, mereguknya tanpa memakai gelas. Saya menyilakan untuk ia habiskan. Setelah dahaganya terpenuhi, ia berterima kasih dan mencoba mencairkan suasana dengan basa-basi.

Kamp pengasingan yang ditempati Mardi berbatasan dengan perkebunan milik keluarga saya. Hari itu, saya dalam perjalanan mengunjungi orang tua dan adik saya, Karman, yang belum pulang dari kebun. Seseorang datang memberi kabar, ada dua toko bangunan di Makassar membuka lebar lowongan kerja. Kabar bahagia itu ingin segera saya sampaikan kepada Karman, sebab ia sudah lama bercita-cita ingin merasakan pengalaman kerja selain berkebun.

Pertemuan saya dengan Mardi pun terus berulang. Saya jadi keseringan membawakannya air minum dan makanan. Semuanya tak butuh alasan. Intinya, Mardi membuat saya jatuh cinta.

***

Tahun 1977, Mardi resmi bebas dari kamp pengasingan. Lepas dari kerja paksa. Tetapi, menyandang gelar eks tapol membuat hati keluarga, terutama Karman, tak kunjung melunak. Ia terus menyuarakan penolakannya dengan segala sisi pertimbangan. Ia menyuruh saya melupakan Mardi. Karman pun sudah meninggalkan pekerjaannya di toko bangunan karena tak tahan disuruh-suruh dan merasa takdirnya hanya mengelola kebun.

“Lapangan kerja untuk eks tapol susah karena identitas yang melekat pada dirinya. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri saat akhir-akhir bekerja di toko. Mau dikasih makan apa Kakak sama Mardi? Malah keluarga kita akan dianggap tak bersih lingkungan. Kita akan tercemar.”
“Tercemar apa? Jaga ucapanmu.”
“Kakak pasti lebih tahu.”
“Mardi itu tak bersalah.”
“Tak mungkin ditangkap kalau tak bersalah. Kakak kan guru, mestinya bisa lebih jernih berpikir.”
“Ini tak ada hubungannya dengan diri saya sebagai guru. Kejadian ini terjadi karena kepentingan politik. Ia bisa bekerja di kebun keluarga dan membantu kebutuhan hidup saya nantinya.”
“Saya tetap tak setuju. Masih banyak lelaki yang bisa membimbing Kakak.”
“Banyak lelaki, tetapi ia telah jadi pilihan saya.”
“Keluarga kita tak akan leluasa bergerak jika Kakak bersama Mardi. Saya yakin itu. Tolong jangan siksa kami dengan pilihan Kakak.”
“Apakah lelaki lain lebih baik dari Mardi?”
“Ya.”
Karman menjawab dengan tegas dan yakin.
“Belum tentu. Kau tak bisa menjamin.”
“Ruslang. Kakak mengenalnya, kan? Hatinya baik. Guru agama pula.”
Saya benar-benar heran. Ruslang, sepupu dua kali saya yang juga belum menikah, selalu dikait-kaitkan dengan kesendirian saya. Ruslang memang cukup terbuka dan baik hati kepada adik saya, tetapi kebaikannya tak pernah saya tanggapi.

Umur saya tahun ini memasuki kepala empat. Saya ingin menikah. Saya ingin menimang anak. Saya selalu sedih jika ditanya murid-murid saya mengenai anak. Ruslang hanya bisa saya anggap sebagai keluarga.

***

Orang tua saya jika bicara selalu menyakitkan. Mereka telah kukuh memberi batasan bahwa saya tak boleh menikah dengan Mardi. Padahal, lelaki yang kini membuat saya jatuh cinta itu hanya korban politik. Saya percaya itu. Mardi dan lainnya tak bersalah.

Rekan saya, Embas, sesama guru di tempat saya mengajar, mengalami nasib serupa –juga dituduh terlibat gerakan kiri karena sering mengumpulkan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, ia hanya menjalankan tugas karena dipercaya bisa memimpin dan mengayomi penduduk. Berembuk membicarakan masalah-masalah lingkungan malah dianggap membahayakan negara.

Keluarga saya tetap tak percaya meski saya menceritakan kisah ini, yang nyata-nyata terjadi begitu dekat di sekitar saya.

***

Sepulang mengajar, saya menyambangi Mardi yang menumpang tinggal di rumah Matto, kawannya di Gowa ini. Ia baru selesai mandi dan terlihat segar. Kendati ia mencoba tegar, raut pilu memang masih terpampang nyata di wajahnya. Ia masih susah menerima kenyataan. Saya berusaha mencurahkan perhatian agar ia bisa tenang.

“Dari Embas, rekan kerjamu yang juga ditangkap, kau mungkin sudah diberi tahu banyak siapa saya sebelum dikirim ke Moncongloe.”

“Ya, saya mencari tahu yang bisa saya ketahui tentangmu selama kalian ditahan. Saya juga sudah mendatangi dan melihat keadaan Embas.”

“Saya, Matto, dan Embas akrab karena punya kesamaan ideologi dan kesamaan profesi. Embas banyak memberi informasi mengenai dirimu.

Katanya, kau berbudi baik. Saya senang mendengar pujian itu.”
“Ia bilang apa lagi padamu?”

Meski rasa ingin tahu saya cukup besar, saya mencoba tetap tenang bertanya.

“Banyak. Intinya, ia memujimu.”

“Semoga tak terdengar berlebihan.”

“Saya kira tidak.”

“Kau benar-benar bebas. Saya senang melihat tanganmu lepas dari cangkul.”

“Kau menerima keadaan saya seperti ini suatu keajaiban.”

“Tak usah berkata seperti itu. Tak baik didengar.”

“Saya ingin mengatakan sesuatu. Boleh?”

Wajah saya langsung serius. Jantung saya terasa berdenyut lebih kencang.

“Jangan bilang kau menyerah melihat keadaan keluarga saya!”
Saya mencoba berspekulasi. Mardi sepertinya memang ingin meluapkan hal tersebut.

“Ya…”

Dada saya tiba-tiba sesak.

“Hanya seperti itu batas kesanggupanmu?”
Tak terasa, air mata saya meluncur ke pipi. Usia juga takluk di hadapan kesedihan.

“Setelah apa yang telah saya lakukan padamu, kau menambah luka di dada saya.”

“Saya juga kasihan melihat diri saya seolah hina dina dan tak ada baik-baiknya. Dianggap pelaku kejahatan itu menyakitkan. Padahal, kau tahu, saya hanya korban. Ini bukan kehendak saya dan saya tak pernah membayangkan ini bakal terjadi.”

“Tetapi, saya yakin kau bisa berjuang melunakkan dada keluarga saya yang keras.”

“Tak mudah, Nanni. Itu butuh waktu berlipat-lipat. Status saya juga masih seorang suami, meski saya merasa sudah tak dipedulikan lagi oleh istri saya. Saya mungkin dianggap mati sehingga tak perlu dicari-cari. Saya akan pulang ke Takalar, mencari yang tersisa di hidup saya walau kini saya seperti ampas tebu yang tak berguna.”

“Saya akan menemanimu.”

“Tak usah. Murid-murid butuh sosok guru sepertimu yang berpikiran terbuka.”

“Saya tetap mengajar di sekolah meski nantinya tinggal bersamamu di Takalar.”

“Kau harus adil.”

“Maksudmu?”

“Keluarga membutuhkanmu, meski saya juga demikian.”
Mardi terus berusaha mencairkan suasana hati saya yang tahun ini mestinya menunjukkan diri sudah matang, makin dewasa, dan lebih dari cukup untuk memiliki suami.

***

Sore hampir selesai. Saya menyambangi ibu yang mulai melipat baju yang sedari tadi ia jahit ketiaknya.

“Tak ada penghulu yang bakal menikahkanmu, Nanni!”

Ibu langsung memberi garis batas. Ia sudah membaca maksud hati saya.

“Jangan keras kepala seperti itu. Hargai saya. Saya harap kau mendengarkan saya,” tegas ibu.

Saya tak bermaksud membantah harapan keluarga, termasuk ibu saya. Tetapi, saya ingin mereka tahu bahwa saya telah bertemu lelaki yang bisa membimbing saya. Mardi bisa bekerja keras untuk saya.

“Ia hanya korban, Bu.”

Tak henti saya meyakinkan ibu saya.

“Ruslang. Kenapa kau tolak kebaikannya?”

Saya diam. Telinga saya panas mendengar nama itu. Ibu tetap tak mengerti bahwa orang-orang yang diasingkan di Moncongloe hanya korban.

“Meski Mardi berkali-kali menghadap di hadapan saya, hubungan kalian tak bakal saya restui. Ia tak bisa dapat pekerjaan layak lagi dengan statusnya.”

Ibu memang sudah begitu keras memberi batasan.

“Mardi itu orangnya pandai, Bu. Ia seorang guru. Ia bisa diajak bertukar pikiran. Ia siap kerja keras menggarap lahan keluarga jika ibu memberi kesempatan.”

“Dulu mungkin ia seorang guru, tetapi sekarang kan tidak lagi.”

“Apa ayah tidak mau menjadi penghulu buat kami?”

Saya masih tetap bersikeras.

“Kau ini sudah gila ya? Ayahmu tak akan melakukannya. Ternyata, manjur juga guna-guna lelaki pilihanmu itu. Sadar, Nanni. Sadar. Keluarga kita ini bersih. Kita susah payah membangun nama keluarga agar terhindar dari gelombang yang jahat ini.”

Ayah saya seorang penghulu yang menikahkan lumayan banyak orang di Gowa. Saat ini hanya ayah saya yang bisa membuat hubungan kami sah secara agama. Namun, sah di mata hukum juga seperti mustahil saya peroleh.

Mardi masih setia menetap di rumah Matto. Tetapi, ia sudah merasa tak enak berlama-lama menumpang. Saya berusaha menenangkannya agar bertahan dan memintanya bersabar lagi menunggu hasil dari keluarga saya. Saya yakin masih bisa membujuk keluarga.

***

Saya dan Mardi tiba di tempat kami pertama kali berjumpa. Kami ingin mengenang peristiwa masa lalu yang membuat kami bersatu. Tak lama, saya mengeruk tanah. Mardi pun ikut melakukannya. Kami cium aroma tanah Moncongloe yang pernah ditetesi keringat Mardi sendiri dan keringat orang-orang yang disiksa.

“Tanah ini bersaksi pada kita, Mardi.”

“Kehidupan saya hancur, tetapi kedatanganmu memberi harapan.”

Saya ingin menanggapi, tetapi saya tahan karena ingin sejenak hanyut dengan perkataan Mardi.

(*)

Alfian Dippahatang. Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 3 Desember. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Bahasa Indonesia Universitas Hasanuddin. Buku kumpulan cerpennya, Bertarung dalam Sarung (2019), masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Terpilih sebagai salah satu penerima Residensi Penulis 2019 oleh Komite Buku Nasional ke Prancis.

Rabu, 04 September 2019

Obituari | Amarzan Loebis Tak Mau Mengutuk Rezim yang Memersekusi Dirinya


Goenawan Soesatyo Mohamad
Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 4 September 2019

Ilustrasi Amarzan Ismail Hamid. tirto.id/Sabit

Amarzan Loebis atau Amarzan Ismail Hamid adalah salah satu seniman Lekra yang cemerlang. Ia sempat bekerja di Tempo dan Matra, namun mesti angkat kaki karena tekanan penguasa.

Di mata para koleganya, Njoto dikenal sebagai orang yang pilih-pilih kawan. Kalau sudah klop dengan seseorang, wakil ketua Comite Central PKI cum pimpinan surat kabar Harian Rakjat ini akan mengistimewakannya.

Salah satu contohnya terjadi menjelang perhelatan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1963. Harian Rakjat membentuk tim peliput khusus untuk kompetisi olahraga tandingan Olimpiade ini. Salah satu syarat protokoler yang harus dipenuhi para wartawan adalah keharusan memakai jas dan berdasi.

Celakanya, para wartawan Harian Rakjat yang ditugaskan rupanya tak ada yang punya dasi. Akhirnya Njoto berbaik hati, masing-masing mereka dipinjaminya selembar dasi. Semuanya dasi biasa buatan Shanghai, kecuali satu dasi khusus untuk Amarzan Loebis atau Amarzan Ismail Hamid, yakni dasi pilihan buatan Italia.
“Kalau dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa dilangkahi,” kata Amarzan sebagaimana dikutip tim majalah Tempo dalam Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara (2010, hlm. 87).
Pada kesempatan lain di bulan September 1964, Amarzan disidang oleh redaksi Harian Rakjat lantaran menerabas cuti. Amarzan dapat hukuman, tapi Njoto tak peduli. Wartawan itu justru diikutkan Njoto dalam delegasi khusus Harian Rakjat untuk meliput perayaan ulang tahun ke-15 Republik Rakyat Cina.

Amarzan dan rombongannya merupakan delegasi pertama sekaligus terakhir yang dikirim Harian Rakjat ke Tiongkok. Pasalnya, setahun kemudian G30S meletus dan menamatkan riwayat PKI dan organ-organ di bawah naungannya, termasuk Harian Rakjat.

Senin (2/9/2019), wartawan kesayangan Njoto itu wafat di usia 78 tahun. Sebagaimana dikabarkan laman Tempo, wartawan gaek ini mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Cikarang, Bekasi, setelah sebelumnya terkena serangan stroke dan sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam, Cikarang.
“Setiap ditinggal sahabat, kita pasti kehilangan. Tapi perginya Amarzan meninggalkan lubang yang lebih besar. Karena dia bukan hanya rekan sekerja, tapi juga teman bergurau, bertukar pikiran, dan tak kurang dari itu bertukar pengalaman,” tutur Goenawan Mohamad saat pemakaman Amarzan.


Dari Medan ke Jakarta

Amarzan Ismail Hamid lahir di Medan, Sumatra Utara pada 1941. Ayahnya seorang pekerja di surat kabar lokal. Tak heran jika sejak kecil tumbuh ketertarikannya pada dunia kepenulisan. Menurut Janet Steele dalam Wars Within: The Story of Tempo (2005), Amarzan sudah jadi jurnalis sejak duduk di jenjang SMA.

Bidang lain yang menarik minat Amarzan remaja adalah sastra, terutama puisi. Sejak muda ia mengidolakan Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani yang saat itu tergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Maka pada 1957, saat usianya 16 tahun, ia bergabung dengan Lekra dan sempat mengikuti Konferensi Daerah Lekra di Tanjung Balai. Dari sana ia berkenalan dengan beberapa seniman dan kemudian terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Lekra.

Seturut pengakuan Amarzan yang dikutip tim Tempo dalam Lekra dan Geger 1965 (2014), ada dua sebab yang membuatnya tertarik masuk organisasi tersebut. Pertama, ia bisa berkumpul dengan seniman-seniman terkemuka. Kedua, ia tertarik dengan semangat kerakyatan yang diusung Lekra.
“Ia mengaku bangga bisa mengenal dan bekerja bersama para seniman tersohor saat umurnya masih belasan tahun,” tulis tim Tempo (hlm. 15).
Selepas sekolah menengah, Amarzan memutuskan merantau ke Jakarta. Di sana ia memperdalam minatnya di Perguruan Tinggi Ilmu Jurnalistik. Di samping itu, ia pun kembali bergaul dengan orang-orang Lekra dan makin giat berkarya.
Tentang masa ini, Steele menulis, “Amarzan menulis serbaneka jenis puisi, mulai dari sajak liris hingga balada, yang membuat kritikus macam Keith Foulcher menyebutnya sebagai penyair LEKRA paling unggul.”
Sebagaimana penyair Lekra lainnya, ia pun menulis puisi dengan nada revolusioner dengan pertimbangan: tinggi mutu dan ideologi. Maka tak jarang ia juga menulis eulogi kepada PKI. Namun, menurut Goenawan Mohamad, idiomnya segar dan tak terduga. Ia memberi warna berbeda dari penyair-penyair Lekra lain yang kerap mengulang slogan revolusioner.
“Solidaritasnya kepada yang tercekik lebih dalam justru karena ia bukan produser klise,” kata Goenawan.
Simaklah misalnya puisi Memilih Djalan gubahan Amarzan ini yang masuk dalam antologi Kepada Partai (1965).

Sampai suatu ketika/anak djantan itu mengachiri kembara/mengachiri dukatjita.//

Dan ditemuinja:/tangan jang terbuka/hati jang terbuka/menjimpul djadi satu:/selamat bekerdja!//

Lalu sepi./Jang tinggal padanja,/kejakinan sepadat hati.//


...

Dan bahagialah!/bahwa sisa turunan kita/telah memilih djalan terbaik/djalan ke hari depan/jang dirambah dan diterangi:/Komunisme!//




Wartawan yang Terbuang

Pada 1963, Amarzan memulai kariernya di Harian Rakjat. Ia didapuk jadi redaktur edisi Minggu yang merupakan edisi istimewa karena rutin memuat lembar “Kebudajaan”. Inilah etalase bagi karya-karya pilihan orang-orang Lekra, mulai dari puisi, cerpen, esai, resensi, hingga kritik.

Ia dan redaktur lainnya melakukan kurasi terhadap cerpen dan puisi, yang dalam seminggu setidaknya ada kiriman 5 cerpen dan 40-an puisi. Bahkan, suatu kali ada juga seorang penyair yang mengirim 20 puisi sekaligus.

Kenangan paling menarik dari masa ini adalah ketika ia menolak puisi-puisi kiriman D.N. Aidit. Tentu saja keputusannya membuat pemimpin PKI itu berang, untung ada Njoto yang melindunginya. 
“Sajak Aidit itu jelek benar, sajak-sajak maksa,” kata Amarzan mengungkapkan alasannya.
Setelah peristiwa G30S, Lekra gulung tikar dan Amarzan ikut diburu aparat. Sejak itu menurut Janet Steele, Amarzan hidup sebagai pelarian. Selama tiga tahun ia bersembunyi dan menyambung hidup dengan cara berjualan bensin. Tempatnya bernaung hanyalah kios kecil di pinggir jalan.
“Mungkin mereka lupa sama saya, atau saya yang terlalu lihai sembunyi,” tutur Amarzan kepada Janet Steele seraya tertawa (hlm. 145).
Amarzan baru tertangkap pada 1968. Mula-mula ia dikurung di penjara Salemba. Dua tahun kemudian ia dipindahkan bersama tapol lain ke Pulau Nusa Kambangan. Hingga akhirnya ia menjalani masa pembuangan di Pulau Buru dari 1971 sampai 1979.
“Yang paling sulit adalah melupakan Soeharto merampas usia produktif saya. Saya ditahan pada umur 27 dan dilepas pada umur 39. Ini usia produktif. Saat saya keluar, teman-teman saya sudah jadi doktor...,” kenang Amarzan dalam sebuah wawancara dengan Tempo Institute.
Setelah dibebaskan pada 1979, Amarzan memilih bekerja lagi sebagai wartawan. Ia memberanikan diri melamar kerja ke majalah Tempo. Goenawan Mohamad yang saat itu jadi pemimpin redaksi menerimanya. Beberapa karyawan sempat mempertanyakan keputusan esais Caping itu. Bagaimana mungkin ia bisa menerima orang Lekra yang dulu pernah bersitegang dengannya.

Tekanan juga datang dari luar. Dalam obituari yang ditulisnya, Goenawan menjelaskan bahwa Rosihan Anwar sampai menulis sebuah sindiran di Pos Kota yang isinya seakan memberi tahu penguasa bahwa ada wartawan-wartawan kiri yang ditampung “sebuah majalah”.
“Saya senang Amarzan bekerja di Tempo, karena menemukan mutiara itu tidak mudah,” kenangnya.
Goenawan yakin bisa mengatasi tekanan itu karena sebelumnya Tempojuga menerima Martin Aleida, mantan kolega Amarzan di Harian Rakjat, dan Maniaka Thayeb yang juga anggota Lekra. Tak ketinggalan Buyung Saleh, tokoh cendekiawan PKI, yang kerap menyumbang tulisannya untuk Tempo.

Sudah jadi rahasia umum bahwa Tempo menampung para eks-tapol dan itu membikin risih pemerintah. Harmoko menyurati media itu agar menghapus nama Amarzan dari susunan redaksi. Permintaan pemerintah dipenuhi, meski Amarzan tetap bekerja di sana.

Beberapa waktu kemudian, pemerintah bukan hanya meminta Tempo menghapus nama Amarzan dari susunan redaksi, tapi benar-benar mengeluarkannya dari redaksi. Mereka tak mau seorang eks-tapol mengisi sebuah majalah politik seperti Tempo. Dan kali ini Amarzan memilih mengalah.
“Jadilah Amarzan pindah ke Matra, majalah hiburan pria yang masih dimiliki Grafiti Press [grup yang juga menaungi Tempo]. Dia bekerja di situ hingga 1988, ketika rezim Orde Baru makin gencar mempersekusi eks-PKI,” tulis Janet Steele (hlm. 163).
Pelbagai tekanan itu akhirnya membuat Amarzan terpaksa angkat kaki dari Matra. Rezim Orde Baru jelas memperlakukannya secara tak adil. Namun, bagaimana Amarzan menanggapi itu semua?

Dalam wawancaranya dengan Tempo Institute Amarzan berkata,

 “Saya tidak mau mengutuk rezim yang membekap saya supaya saya tetap lebih baik dari mereka. Saya coba meredam dendam, juga penyesalan. Tapi jangan melupakan, memori kolektif itu harus tetap dipelihara. Kalau tidak, nanti kita tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk.”
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Irfan Teguh

Sebagai anggota Lekra, Amarzan Loebis berani menolak puisi-puisi D.N. Aidit karena dinilai buruk.

Jumat, 16 Agustus 2019

Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda


Oleh Nur Janti

Nasib perempuan dalam praktik pergundikan di Hindia Belanda. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai pengecualian.

Nyai Ontosoroh dan Annelis Mellema dalam film arahan Hanung Bramantyo. (Falcon Pictures).

DARI balik pintu muncul seorang perempuan pribumi mengenakan kebaya putih berenda, berkain jarik dengan selop beludru hitam berhias sulaman perak.

Dialah Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema yang banyak dikagumi orang. Kehadirannya begitu mengesankan sebab selain penampilannya yang anggun dan rapi, bahasa Belandanya pun apik. Hal yang sulit ditemui pada diri seorang nyai.

Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer menjadi gambaran umum kondisi pergundikan di era kolonial. Praktik ini sebenarnya sudah dilakukan sejak VOC bercokol di Hindia Timur.

Ketika Terusan Suez dibuka pada November 1869 peluang kehadiran orang Eropa makin tinggi karena perjalanan lebih singkat. Antara 1870-1880 ada sekira sepuluh ribu orang Eropa yang datang ke koloni, kebanyakan lelaki.

Perempuan Eropa masih amat langka, dengan perbandingan tiap 10 ribu lelaki terdapat 123 perempuan kulit putih. Angka ini belum termasuk golongan mestizo.

Karena kesulitan mencari pasangan satu ras inilah, para bujangan Eropa kebanyakan hidup bersama nyai. Praktik pergundikan ini jamak ditemui di tangsi militer, perkebunan, dan masyarakat sipil di kota.
“Mereka anggap tinggal bersama gundik sebagai tindakan illegal dan tidak diterima secara moral tapi di saat yang sama mereka membutuhkan bahkan diuntungkan dengan praktik ini,” kata Reggie Baay penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda kepada Historia.
VOC dan pemerintah kolonial mendiamkan perilaku ini karena selain memudahkan pengenalan adat dan bahasa setempat, mereka juga tak dibebani tunjangan lebih karna status pegawai yang masih lajang. Para elite tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil.

Namun, di balik semua keuntungan ini ada cibiran dan penolakan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan. Di era VOC, penolakan paling dominan datang dari kalangan gereja yang melarang pernikahan dengan orang non-kristen.

Sementara, di era berikutnya, penolakan lebih didasarkan pada perbedaan rasial. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Dymaer van Twist pada 1850-an menyebut tentara yang hidup bersama nyai akan ditangguhkan kenaikan pangkatnya.

Djoemiha tinggal bersama Alfred Wilhelm, anggota KNIL. (Repro Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).

Ketidaksukaan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan juga memunculkan asumsi bahwa alasan perempuan pribumi mau menjadi nyai karena pertimbangan materialistis. Anggapan tersebut, menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, melupakan posisi para perempuan terjajah dalam sistem kolonial. Para perempuan muda ini tidak punya suara apalagi pilihan. Ia hidup pada lingkungan tertindas di mana kemauan lelaki (ayah atau tuannya) harus dipenuhi tanpa penolakan.

Ketidakberdayaan pada keputusan ayah ini pula yang dialami Sanikem. Ia hanya bisa patuh pada keinginan ayahnya. Protes dari sang ibu pun tak berbuah hasil, akhirnya mereka hanya bisa berbalas tangis dalam perjalanan menuju rumah Herman Mellema. Nasib perempuan yang lebih buruk dikisahkan Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. Seorang kuli perempuan di perkebunan Deli menolak pinangan tuannya untuk menjadi seorang nyai lantaran ingin bersetia pada pasangan pribuminya. Keputusannya alih-alih diterima malah berbuah hukuman dengan siksaan yang kejam.

Setelah jadi nyai pun, nasib para perempuan Asia ini belum tentu mujur. Seorang nyai bisa dibilang tidak punya hak apa pun. Mereka hanya diangap sebagai properti tuannya. Itulah mengapa beberapa orang Eropa menyebut nyai dengan julukan penuh hinaan. Meubel atau inventarisstukkarena mereka dengan mudah dipindahtangankan ke lelaki Belanda lain, atau bahkan dilelang sebagai bagian dari inventaris.

Hubungan tuan-gundik nyatanya tak melulu buruk. Ada yang hidup bahagia seperti Nyai Ontosoroh, mendapat kesempatan megembangkan kemampuan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda. 
“Tentu ada pengecualian. Meski secara umum ditolak oleh masyarakat kolonial, ada juga lelaki Eropa yang bersikap baik seperti perlakuan Herman pada Ontosoroh. Penulis Willem Welraven misalnya. Relasi baik jadi kesempatan nyai untuk mendapat pengetahuan baru, meningkatkan intelektualitas, dan statusnya,” kata Reggie Baay.
Willem Welraven adalah penulis dan wartawan yang hidup pada pergantian abad ke-19. Ia menikahi gundiknya, Itih dan memperlakukannya laiknya ibu dan istri. Ia mengajari Itih membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Belanda. Ia juga mengajari Itih cara mengelola keuangan setelah sebelumnya jengkel pada ketidakpahaman istrinya itu. Walraven tak ambil pusing dengan stigma kolonial. Ia bahkan tak malu mengenalkan Itih sebagai istrinya.

Kawin campur Welraven-Itih bisa terjadi setelah pelarangan pernikahan dengan non-kristen dihapus pada 1848. Disusul kemudian pemberian status Eropa bagi para gundik yang dinikahi tuannya pada 1898. Setelah pernikahan campuran diakui, ada 80-100 pasangan yang menikah tiap tahun pada dekade 1886-1897.

Hanneke Ming dalam “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920” mencatat anggota tentara baru diizinkan menikahi pasangan pribuminya pada 1908. Namun perilaku hipokrit masyarakat kolonial tak hilang begitu saja. Mereka mengejek pergundikan, namun ketika pasangan beda ras ini hendak melegalkan hubungannya, ancaman karier menghadang si lelaki.

Hal inilah yang dialami pasangan Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen seperti diceritakan Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jurjen merupakan apoteker militer kelahiran Belanda. Sementara Pe Nio bekerja sebagai pembantu di rumah residen Bandung.

Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).

Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia  pun meminta Djoemiha menjadi nyainya. Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.

Mereka bertemu ketika Jurjen bertamu ke rumah residen itu. Jurjen meminta Pe Nio menjadi nyainya yang disambut kata setuju. Pada 1908 mereka dikaruniai anak pertama lalu menikah setahun setelahnya. Keputusan ini berdampak pada karier Jurjen. Ia lantas keluar dari dinas militer dan membuka apotek di Bandung.

Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. 

Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia  pun meminta Djoemiha menjadi nyainya.
Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.

Hubungan Tragis

Kisah Nyai Ontosoroh selain memberikan gambaran perempuan mandiri, juga mencerminkan kerapuhan posisi nyai. Dalam hubungan pergundikan, tak ada pengakuan secuil pun baik sebagai pasangan lelaki Eropa atau ibu.

Ketika Annelis dan Robert sudah diaku sebagai anak Herman Mellema, mereka berhak menyandang nama belakang ayahnya dan punya status sebagai orang Eropa. Pengakuan ini di lain sisi, membuat posisi sosial mereka lebih tinggi dibanding ibunya sendiri.

Aturan tentang pengakuan keturunan mulai dikeluarkan pada 1828 lantaran anak-anak hasil pergundikan tak terhitung jumlahnya. Bila si ayah tak ingin mengadopsi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan. Anak-anak yang tak diadopsi tapi tetap didaftarkan kelahirannya itu menyandang nama ayahnya dengan penulisan terbalik. Misal, Kijdsmeir dari van Riemsdijk, Rhemrev dari Vermehr, Snitsevorg dari Grovestins, atau Esreteip dari Pieterse.

Aturan lain menyusul kemudian yang memuat tentang hak asuh anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 40 dan 354 tahun 1848. Anak-anak hasil pergundikan yang sudah diadopsi ayahnya, secara hukum hubungan dengan ibu kandungnya gugur. Anak-anak itu murni milik ayahnya. Bila suatu hari ayahnya meninggal, si ibu tidak dapat mengambil alih hak asuh anak itu.

Itulah sebabnya setelah kematian Herman Mellema, perwalian Annelis diserahkan ke tangan Maurits Mellema, yang secara hukum diakui punya hubungan kekerabatan. Sementara Nyai Ontosoroh tak punya kuasa apa pun di mata hukum koloni.

Keputusan pengadilan yang mengalihkan hampir seluruh hak waris dan perwalian Annelis ke tangan Maurits meruntuhkan segala usaha Nyai Ontosoroh yang ia bangun bertahun-tahun. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh dilempar dari permainan hukum kolonial yang tidak berpihak pada kaum bumi putera.

Annelis, satu-satunya harapan Nyai Ontosoroh, pun akhirnya dikirim Maurits ke Belanda. Menjadi pelengkap kisah tragis dalam hubungan nyai dan anaknya.

Perpisahan para nyai dengan anaknya ini jadi kasus yang jamak terjadi. Hal serupa juga dialami ayah Reggie Baay. Ayah Reggie tak tahu betul siapa ibunya. Jejaknya hanya tertinggal dalam akta pengakuan keturunan yang dibuat kakeknya, Daniel Baay.

Nenek Reggie, bernama Moeinah yang berasal dari kelaurga muslim miskin di Jengkilung, Surakarta (kemugkinan kini Desa Pendem, Sumberlawang, Sragen). Ia bekerja sebagai pelayan di rumah Daniel Baay dan Parijem, anak dari bangsawan rendah Kraton Surakarta.

Rupanya Louis Baay, anak Daniel, menaruh perhatian pada Moeinah. Mereka pun hidup bersama di villa kecil milik keluarga Baay di Surakarta. Hubungan ini membuat Moeinah melahirkan seorang putra, ayah Reggie pada 1919. Belum genap setahun mengurus bayinya, Moeinah diminta meninggalkan rumah dan kembali ke desanya.

Pada 1926, ketika Moeinah berusia sekira 25 tahun, ia kembali dipanggil oleh keluarga Baay untuk pembuatan “akta” anaknya. Setelah hak atas anak jatuh pada keluarga Baay, Moeinah kembali dilupakan. Ia tidak diperkenankan menemui anaknya.
“Saya seorang indo. Nenek saya dulu seorang nyai, tapi ayah saya tak pernah tahu siapa ibu kandungnya,” kata Reggie.
Moeinah dipisahkan dan dipaksa melupakan anaknya. Namun kenangan atas anak yang ia lahirkan dan rawat selama beberapa bulan, barangkali tak bisa ia lupakan begitu saja.

Ayah Reggie lebih-lebih tak punya bayangan seperti apa rupa ibunya. Ia pun selalu menolak membicarakan tentang ibu kandungnya itu. Namun, sedikit ingatan buram pada masa kecilnya, ia catat di belakang akta pengakuan.

Ketika masih kecil beberapa kali ia menyaksikan seorang perempuan Jawa berdiri di dekat pagar rumah. 
 “Berkali-kali ia berusaha untuk mendekatiku tetapi kerap dihalau oleh pelayan kami. Akankah ia…”

Rabu, 14 Agustus 2019

Pram dan Pulau Buru, Tempat Lahirnya Bumi Manusia


AHMAD NAUFAL DZULFAROH - 14/08/2019, 05:30 WIB

Pramoedya Ananta Toer.(KOMPAS/LASTI KURNIA)

KOMPAS.com - Sosok Pramoedya Ananta Toer, kembali menjadi perbincangan ketika novelnya yang berjudul Bumi Manusia difilmkan.  


Pram, nama panggilannya, merupakan sastrawan Indonesia yang pernah menjadi tahanan politik di masa Orde Baru. Ia dituduh terlibat dengan PKI, sehingga dipenjara bersama ribuan tahanan politik lainnya di Pulau Buru pada tahun 1966.

Berbicara sosok Pram, tak bisa dilepaskan dari Pulau Buru. Selama 13 tahun dalam masa tahanannya, Pram menghasilkan karya besar berupa Tetralogi Pulau Buru yang hingga saat ini masih bisa kita nikmati. Tetapi, apakah empat novel tersebut ditulis tanpa fasilitas mesin tik, kertas, dan meja tulis?

Dikutip dari Harian Kompas (15/5/2006), Pram tidak memiliki fasilitas untuk menulis atau mengarang sebagaimana tahanan politik lainnya.

Para tahanan, termasuk Pram, diharuskan bekerja di ladang atau kerja fisik lainnya hampir sembilan jam per hari. Humor dan Seks Di malam hari pun, lampu wajib dimatikan pada pukul 20.00 malam.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua. (KOMPAS/SINDHUNATA)

Dalam kondisi demikian, sulit bagi para tahanan untuk menulis. Selain tidak ada waktu, para tahanan juga tidak memiliki fasilitas untuk itu. Akan tetapi, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro datang ke Pulau Buru pada tahun 1972 dan menanyakan kebutuhan yang diinginkan Pram.


Pada saat itu juga si pengarang ulung itu mengajukan permintaan untuk memperoleh mesin tik, dan alat tulis-menulis. Permintaan tersebut pun segera dipenuhi oleh Jenderal Soemitro.

Baru pada tahun 1973, Pram diperlakukan lebih khusus dibandingkan dengan ribuan tahanan lainnya dan mendapatkan fasilitas yang ia minta sebelumnya.

Penderitaan Pram di Pulau Buru juga berpengaruh pada gaya penceritaannya. Pram hampir tidak pernah menyelipkan humor dan seks dalam novelnya.
 "Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek. Kalau soal seks banyak, cuma tidak mendetail," kata Pram seperti diberitakan Harian Kompas (4/4/1999).
Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun dirayakan kini?

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram. Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya.

Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh
Editor : Sari Hardiyanto


Senin, 12 Agustus 2019

Perburuan dalam Sepekan


Oleh Andri Setiawan

Kekejaman Jepang dan sakit hati Pram mengilhami novel Perburuan. Ditulis di penjara dalam waktu seminggu.

Adipati Dolken memerankan Hardo dalam film Perburuan (2019). (Twitter CGV Cinemas).

Bunyi gamelan yang penghabisan telah lenyap di udara senja hari. Sepagi anak lurah Kaliwangan telah disunati. Tamu-tamu telah habis pulang. Senja rembang datang.

Begitulah Pram memulai ceritanya, Perburuan. Sejak senja rembang 16 Agustus 1945 itulah Hardo untuk pertama kalinya menampakkan diri. Setelah setengah tahun bersembunyi dari buruan Nippon, ia muncul di depan rumah Ningsih, tunangannya. Hari itu adalahhari sunatan Ramli, adik Ningsih.

Namun Den Hardo, bukan lagi pemuda yang orang-orang Kaliwangan kenal. Saat itu telah menjadi seorang kere. Kere dengan rambut gondrong dan lengket. Wajah kotor dan dipenuhi brewok. Tidak berbaju dan telanjang kaki.

Hardo telah menjadi buruan sejak pertama kali memutuskan untuk memberontak. Menjadi pelariandi bukit batu padas dan bersembunyi di dalam gua yang pekat. Meninggalkan sanak keluarga bahkan tunangannya. Lalu sampai kapan Hardo akan bertahan?
“Sampai Nippon kalah,” kata Hardo.

Semangat Anti Jepang

Hardo adalah mantan sodhanco. Ia memberontak bersama dua sodhanco lainnya, Dipo dan Karmin, serta para shodan. Namun sayang, pemberontakan kepada balatentara Dai Nippon itu gagal karena Karmin berkhianat. Para pemberontakan pun harus mundur ke perbukitan dan hutan-hutan.

Kengerian masa penjajahan Jepang yang kemudian melahirkan semangat anti-Jepang nampaknya mengilhami lahirnya novel Perburuan. Bagaimana tidak, hal itu dirasakan bahkan sejak baru beberapa hari Jepang memasuki kota kelahirannya, Blora.
“Jepang mulai memperkosai wanita. Dua serdadu Jepang yang dihukum mati di alun-alun karena perkosaan tidak meredakan keresahan. Para wanita dari remaja sampai nenek pada berbedak jelaga,” ungkap Pram dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang.
Dua bulan Jepang berkuasa, ibu dan adik bungsu Pram meninggal dunia. Pram, yang kala itu masih berusia 17 tahun pergi ke Batavia. Di Batavia, kengerian penjajahan semakin jelas di mata Pram. Mulai dari penyiksaan terhadap penduduk hingga pembunuhan karena kejahatan kecil.

Selain itu, ada satu kejadian sepele namun meninggalkan sakit hati bagi Pram. Suatu hari ketika Pram sedang mengayuh sepedanya di jalanan berlubang, tiba-tiba sebuah truk militer membunyikan klakson dari belakang.
“Truk itu mengerem. Dari kabin truk meledak petir: Nan da kurah! Dan mata melotot,” ingat Pram.
Ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda). Ketika seorang serdadu melompat turun, Pram memikul sepedanya dan melemparkannya ke pinggir jalan lalu lari.
“Dari belakangku, meraung-raung dia: Bagero mae! Genjumin! Hanya rangkaian caci-maki. Sakit hati itu ternyata tak pernah lenyap,” kenang Pram.
Sementara itu, Pram memang bekerja di kantor berita Domei milik Jepang. Ia harus memberitakan kemenangan, kebenaran dan kebajikan Jepang.
 “Keadaan di luar dan di dalam diri sudah tidak tertahankan,  Domei kutinggalkan,” ungkapnya.
Pram kabur ke Kediri, Jawa Timur. Di desa terpencil dan miskin bernama Tunjung, ia menumpang di rumah bekas kepala desa, seorang paman.

Pada 23 Agustus 1945, Pram baru mendapat kabar seputar proklamasi. Lewat Surabaya, Pram pulang ke Blora. Di kota kelahirannya, saat itu sedang diadakan pertunjukan sandiwara “Indonesia Merdeka”. Namun Pram hanya menonton selama seperempat jam.
“Pada waktu itu timbul tantangan dalam hati aku akan tulis berita yang jauh lebih baik dari ‘Indonesia Merdeka’ Blora ini, sebuah cerita yang bersemangat anti-Jepang, patriotik, ditutup dengan proklamasi kemerdekaan,” tegas Pram.
Pram dan novel Perburuan.

Kebebasan dan Revolusi

Keinginan untuk menulis cerita yang lebih baik dari sandiwara ‘Indonesia Merdeka’ itu terlaksana pada 1949. Namun, kala itu Pram sedang dipenjara di Bukit Duri oleh Belanda.

Kerja paksa di luar penjara dengan upah 7,5 sen perhari dan kenyataan bahwa perang melawan Belanda belum kelihatan ujungnya membuat Pram putus asa.
“Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga, yang hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi,” ungkap Pram.
A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer­ mengatakan bahwa pengalaman mistik Pram dalam hubungan dengan penciptaan perburuan, datang sebagai semacam pencerahan dan pembebasan ketika Pram mengalami krisis kejiwaan yang sangat parah.

Pengalaman yang disebut Pram sebagai mistikum itu, lahirlah proses kreatif. Perburuan kemudian mulai ia tulis di dalam penjara, di bawah tekanan serdadu Belanda.
“Ya, dilakukan pada waktu tidak terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tempat tidur,” kata Pram.
Jika dari dalam kamar terdengar langkah sepatu bot serdadu KNIL yang sedang meronda, Pram segera mengemas peralatan menulisnya. Lalu di malam hari, Pram hanya bisa menulis di bawah ambin beton sambil tengkurap dengan menggunakan lampu minyak. Karena jika tidak sembunyi, Pram bisa ketahuan karena pintu sel memiliki jendela sorong tempat para serdadu mengintip.
“Minyak tanah dibeli dari teman-teman yang bekerja di dapur. Kertas di dapat dari sang pacar,” ungkap Pram.
Meskipun dalam kondisi menulis yang sulit, Pram tetap berhasil menyelesaikan naskah itu. Pram merampungkan Perburuan hanya dalam waktu satu minggu. 
“Saya mengerjakan roman itu persis selama satu minggu. Waktu itu saya masih memiliki kekuatan alamiah saya,” kata Pram dalam wawancaranya dengan Kees Snoek yang terbit dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir.
Naskah itu kemudian diselundupkan oleh Dr. Mr. G.J. Resink yang sering berkunjung ke penjara untuk menemui para mahasiswanya yang ditahan.
“Resink menyerahkan naskah Perburuan kepada H.B. Jassin yang waktu itu sebagai redaktur Balai Pustaka,” tulis sastrawan Ajip Rosidi dalam Mengenang Orang Lain: Sebuah Obituari.
Oleh Jassin, naskah Perburuan diikutkan sayembara tanpa sepengetahuan Pram. Novel itu menang dan kemudian diterbitkan Balai Pustaka pada 1950.

A Teeuw mengatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang mencuat tinggi dalam mencitrakan revolusi Indonesia baik dari jumlah karya maupun mutunya.
“Segala aspek perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala grandeur et misere (keagungan dan kemelaratan) rakyat dicitrakannya, dan berkat penguasaan bahasanya, kekuatan gayanya, keaslian imajinasinya, ia berkali-kali berhasil mentransformasikan kenyataan hulu revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia yang sebagian besar dihayatinya dalam hidupnya sendiri menjadi epos, wiracerita,” tulis A Teeuw.
Mengutip A Teeuw, novel Perburuan ditutup Pram dengan sebuah goro-goro. Ketika kabar Nippon kalah telah terdengar, tiba saatnya Hardo kembali. Namun, terjadi kekacauan di Kawilangan. Dada Ningsih, tunanganya, telah ditembus oleh peluru parabellum Jepang. Terbaring di hadapan Hardo yang gugup, Ningsih mengembuskan napas terakhirnya.

Begitulah Pram mengakhiri ceritanya. Siang hari lewat jam dua, 17 Agustus 1945. Ketika hawa kota Blora sampailah pada puncak panasnya… panas yang mengganggang seluruh kota.

Kamis, 23 Mei 2019

Sebuah Masa Kelam yang Melahirkan Keterasingan Satu ke Keterasingan yang Lain


TITIK KARTITIANI - 23 MAY

Buku kumpulan cerpen "Kata-Kata Membasuh Luka" karya Martin Aleida. FOTO: JATIMPLUS.ID/Titik Kartitiani

Kadang, ketakutan memang sengaja diwariskan. Apalagi ketakutan kolektif yang bisa digunakan kapan saja bila dibutuhkan. Pada sebuah bangsa yang miskin literasi, maka hoaks pun menjadi senjata pemusnah massal untuk membunuh nalar.

Judul buku          : Kata-Kata Membasuh Luka
Penulis               : Martin Aleida
Penerbit             : Penerbit Buku Kompas
Tahun                : 2019
Jumlah halaman  : xii+340hlm

Tahun 1965 saya belum lahir. Saya hanya mendengar kisah dari bapak saya, betapa mencekam masa itu. Cekaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi melalui narasi kekejian PKI. Narasi yang ditanamkan sejak belia. Melalui film wajib tonton dan buku-buku P dan K.

Jahat dalam satu sisi, sisi si pencerita a.k.a penguasa. Tak ada pembanding dan pendapat kedua. Bagi kami yang miskin “bacaan”, maka narasi itu menjadi kebenaran tunggal. “KTP merah” adalah label yang berarti kesialan hidup di atas NKRI. Generasi yang tak mengalami masa itu, lahir tahun 1970-an, 1980-an, hingga 1990-an akan mewarisi nalar itu. Ada yang kemudian terbuka menerima wacana bahwa kedua belah pihak bisa jadi adalah korban. Ada yang sudah nyaman dan tak mau menerima masukan.

Bahkan sampai hari ini, ketika politik elektoral sudah kehabisan bahan, PKI yang sudah berkalang tanah pun dibangkitkan lagi. Menjadi sumba yang bisa mewarnai siapa saja. Mereka paham betul bahwa memori kolektif ini pun serupa bahaya laten. Dengan sedikit pemantik, maka kekelaman itu kembali berkecambah. Kekelaman yang rasanya tak hendak dituntaskan. Atau memang untuk digunakan jika sewaktu-waktu dibutuhkan?

Kekejian itu tak pernah menemukan cermin untuk berkaca. Sampai 21 Mei 1998, ketika Soeharto (yang tentu saja punya peran besar dalam masa yang suram itu) tumbang. Tumbang pula jajaran si pencerita satu sisi. Saya mulai mendengar versi lain. Baik dari risalah sejarah yang mengais fakta, juga fakta-fakta yang dikemas dalam karya sastra.

Pernah ada suatu masa ketika angin kebebasan berekspresi bertiup sepoi-sepoi, menulis tentang PKI dan komunis terasa begitu seksi. Sehingga banyak sastrawan yang menggeluti tema ini.

Namun tidak dengan Martin Aleida. Ia menulis bukan karena tren. Ia menulis karena mengabarkan lukanya. Luka yang akan selalu memar ketika narasi kegelapan ini selalu disamarkan. Oleh sebab itu, ia adalah penulis Indonesia yang konsisten mengajak pembaca untuk bermuka-muka dengan kekelaman itu. Kekelaman pelaku sejarah.

Martin atau Nurlan ditangkap dan dipenjara karena ia wartawan Zaman Baru. Koran terbitan Lembaga Kesenian Rakyat yang berafiliasi dengan Lekra. Di sanalah karya-karya Martin berpijak.

Membaca cerpen-cerpen Martin bagi generasi yang dibesarkan dengan narasi satu sisi tentu tak mudah. Harus “berdamai” pada narasi lain dan mengelola jarak untuk mendekat. Tanpa bermaksud membandingkan dalam hal bobot karya, akan lebih mudah dan sesuai alur rasa ketika membaca karya-karya Iwan Simatupang (dan anggota Manikebu lainnya) untuk tema yang sama, G30 S PKI. Ini soal sisi berpijak penulis yang sama dengan sisi pembaca seperti saya. Perlu merobohkan sekat yang sudah membaja tertanam sejak belia.

Jarak memang menerbitkan pesona. Namun untuk masuk dalam alam kumpulan cerpen “Kata-Kata Membasuh Luka,” harus sejenak tak berjarak, lebur di dalamnya. Agar tokoh-tokoh yang dibangun penulis menjadi “aku” dan “kita”, bukan “kamu” dan “kalian”. Agar bisa meraba rasa kelam yang disajikan dalam 35 cerita pendek dalam buku ini.

Kekelaman yang sesungguhnya tanpa pelita. Gelap. Dalam gelap, segalanya bisa terjadi. Ketakutan tanpa anatomi, menginjak pecahan beling, hingga terperosok dalam jurang. Efek gelap itulah yang akan dipaparkan dalam cerpen-cerpen yang mengisahkan politik tahun 1965-1966. Sebagaimana yang ditulis Arswendo Atmowiloto dalam pengantar buku ini, kisah ini bukan teriakan amarah, menyumpah, dan meludah. Namun terasa pedih yang mendidih, sayatan yang mengentikan napas.

Kepedihan masyarakat biasa, yang hanya ingin menemui kekasihnya yang takkan pernah bisa pulang. Meski di sana dituliskan bahwa cinta tak membutuhkan secarik kertas. Dia hanya memanggil-manggil keteguhan hati (Asmara dan Kematian di Perbatasan Tiga Negara, hal. 27).
Namun tentu saja, cinta mengharapkan sebuah pertemuan, bahkan pertemuan kecil yang begitu sederhana. Itu pun susah terwujud karena impak sebuah pergolakan.

Pun orang-orang terasing karena “KTP merah” ini dialami oleh Mangku yang tak bisa mendapat pekerjaan layak. Ia menjadi pengamen topeng monyet yang bahkan monyetnya pun mati (Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh, hal 95).

Ada juga kisah yang begitu lugas dituturkan oleh seorang tapol (Surat Tapol kepada TKW, Cucunya, hal.9). Mengisahkan sisi manusiawi dari sebuah ideologi yang dipilih.

Separuh dari cerpen-cerpen ini pernah dimuat di KOMPAS. Tak semua tentang kisah politik tahun 1965-1966. Kisah keseharian yang tampaknya tak berhubungan dengan 1965, namun ternyata menghasilkan kesan yang sama: kekelaman yang melahirkan keterasingan bahkan di tanah sendiri.
Daulat yang tak dihelat bahkan di rumahnya sendiri. Misalnya seperti kisah anjing yang ditinggal pergi tuannya yang ditulis dari sisi si anjing bernama Eric (Eric, Makanlah…, hal. 85). Atau kisah paus pembunuh yang mengorbankan diri untuk menghentikan darah di Lamalera (Tiada Darah di Lamalera, hal. 67).

Bahasa lugas namun puitis sebagai ciri khas kumpulan cerpen ini mengetuk pembaca untuk berdialog dengan rasa yang mengendap. Hal yang semakin sulit didapatkan dalam sebuah era percepatan informasi seperti sekarang ini.
Pun menorehkan sisi-sisi kemanusiaan dari dua belah pihak yang berkonflik. Bagaimanapun, ketika dua gajah bertempur, maka pelanduk yang akan mati di tengah-tengahnya. Pelanduk yang kerap takkan mendapat apa-apa bahkan ketika dua gajah itu tidak bertarung.

Harus ada yang mencatat luka si pelanduk, bukan hanya untuk membasuh lukanya. Namun tersemat harap, masa gelap tak terulang. Pelanduk pun harusnya belajar untuk tak masuk dalam ring gajah, meski kerap diajak. Bahkan, diajak setiap 5 tahun sekali.

Minggu, 24 Maret 2019

”Dendam” yang Mengobok-obok Emosi


Sun, 24 Mar 2019 - 01:34 WIB



Ada orang-orang yang memasuki masa hidup di tengah ketidakpastian, ketika nasib mereka terjungkir-balik. Mereka tak bisa memilih, tak bisa melawan. Masa yang tak mudah mereka lewati; membekas hingga akhir hayat dan melahirkan dendam tak berkesudahan.

Tak mudah menjalani hidup macam itu. Namun dari sana banyak pelajaran berharga. Dari sana pula lahir novel Dendam Gunawan Budi Susanto. Novel 418 halaman ini benar-benar terasa tebal, baik secara fisik maupun isi. Novel ini bercerita soal konflik riil di masyarakat, langsung dari bawah, dari kenyataan. 

Ada tiga perempuan yang jadi bandul utama cerita. Pertama, Rini.
Dia jadi buruh migran karena tak tahan melihat sang suami, Murdani, serong. Ia merasa kehormatannya terenggut. Saat itu Murdani jadi kepala desa. Tak bisa saya bayangkan, bagaimana proses istri kepala desa pergi meninggalkan suami dan masyarakat. Juga meninggalkan anak semata wayang yang beranjak dewasa. Entah apa yang Rini pikirkan. Kedua, Tinuk. Anak semata wayang Rini dan Murdani itu kecewa atas perbuatan sang ayah. Dia melihat sang ayah membawa pulang pelacur, tepat di depan matanya. Saat ibunya mencari rezeki di luar negeri, sang ayah malah berbuat nirmoral. Sakit hati Tinuk menderas dan mengeras. Bagi Tinuk, kehormatan sang ayah sudah terjun bebas.

Persis seperti sang ibu, Tinuk pun berhasrat pergi dari rumah, jauh dari sang ayah. Karena itulah, selulus sekolah ia kuliah di kota; menjauhkan diri dari pandangan menyesakkan dada. Sosok Tinuk menarik, karena penulis memasukkan banyak hal yang berjangkauan jauh dari konflik utama. Ketiga, ibu Rini. Tanpa mengesampingkan empati terhadap kemanusiaan yang dicederai pada dua tokoh sebelumnya, saya merasa dendam paling kuat ada pada sosok ini.

Dari sinilah, semua konflik bermula. Peristiwa G30S jadi penyebab. Orang tua Rini diduga terlibat dan dipenjara, tanpa pengadilan. Tanpa bisa melawan. Betapa mudah masa itu, orang dicap PKI, lalu dijebloskan ke penjara, termasuk orang tua Rini. Saat itu sang ibu hamil adik Rini, tetapi akhirnya keguguran. Dia diperkosa; dilecehkan sedemikian rupa sebagai perempuan, sebagai manusia. Ia tak terima. Ia anggap itu aib hingga berpuluh tahun lamanya. Perkara selingkung peristiwa itu sudah penulis tulis dalam dua buku cerpen, Nyanyian Penggali Kubur (2011, 2016) dan Penjagal Itu Telah Mati (2015). Namun, menarik, dalam novel ini penulis seperti beroleh ruang lebih luas dan luwes untuk membahas segala yang tak terbahas dalam dua buku cerpen itu. Dari soal pandangan politik hingga alasan di balik peristiwa itu, dia ceritakan secara gamblang. 
 ”Bapak dianggap keras kepala, sehingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Padahal, bapakmu ini tak pernah masuk partai apa pun. Bapak tahu politik. Itu harus. Namun Bapak tak suka berpolitik, apalagi masuk partai politik. Bapakmu memang tak menghalangi dan bahkan setuju ibumu masuk Gerwani, karena organisasi itu bukan partai politik. Bahwa Gerwani berpolitik untuk memperjuangkan kaum wanita, iya dan itu harus. Bapak memang tak suka berpolitik, tapi Bapak tak menghalangi ibumu berpolitik.” (halaman 117). 
Itulah salah satu dialog favorit saya. Di situlah salah satu titik penulis melesapkan sikap politik.

Pada titik-titik itu, betapa Dendam terasa amat kuat dan dalam. Impresi saya boleh jadi berbeda (bahkan harus) dari motif penulis saat menulis. Namun pengayaan pengalaman macam ini tentu tak bisa dikatakan tak berguna. Dan, saya tak bisa bohong: saya sangat menikmati. Rasanya seperti diberi kunci gembok tempat menyimpan salah satu konflik kemanusiaan terbesar di republik ini. Ibu Rini, selepas dari penjara, merawat Rini hingga beranjak dewasa tanpa suami. Tiba-tiba, setelah sekian tahun, sang suami pulang dan Rini ”kembali” punya ayah. Betapa canggung, betapa kaku, kehidupan mereka.

Dengan alasan tak mudah hidup sebagai bekas tapol, mereka pindah ke desa untuk membangun fondasi hidup baru. Mereka memulai dari minus, karena dendam ibu Rini atas masa lalu yang menyakitkan masih mengerak. Dari persoalan itu, tak mungkin tidak Rini juga jadi korban. Hidup dengan cap anak tapol sering membawa petaka. Pulang sekolah badan memar dengan sederet perundungan verbal mau tak mau harus ia terima. Meski melawan sebisa-bisa, dia tetap kalah. Untung, selepas pindah tak lagi ia terima perlakuan macam itu.

Yang Menarik dan Tak Menarik

Menulislah yang dekat denganmu, yang kamu tahu, yang kamu mengerti, yang kamu pahami. Kalimat itu sering saya baca dalam teori dasar menulis. Penulis, yang memiliki kedai kopi, yang mengampu kelas membaca dan kelas menulis di kedai, memiliki kawan buruh migran, jadi dosen, membersamai gerakan perlawanan masyarakat Kendeng, anak tapol, ini menuliskan itu semua dalam Dendam. Semua. Di satu titik, saya melihat penulis membuka diri pada pembaca: inilah saya, lewat Dendam. Itu sekaligus legitimasi sikap politik dan kulturalnya mengenai banyak hal.

Lokalitas yang lesap dalam Dendam, dari struktur bahasa hingga struktur sosial, membuat bangunan cerita terasa makin dekat dengan pembaca yang memilki preferensi serupa. Juga memberikan pengalaman lain pada pembaca yang memiliki preferensi berbeda. Kekayaan macam itu yang kira-kira jarang dimiliki karya sastra hari ini. Segala yang urban dan modern makin kencang merangsek segala lini kehidupan, tak terkecuali karya sastra.

Persoalan buruh migran, kejahatan hak asasi manusia pada masa lalu, perampasan tanah oleh negara dan korporasi, mengelola hidup yang dipenuhi dendam politik dan kultural, adalah persoalan kita. Setiap di antara kita juga punya potensi untuk terdampak. Maka tak boleh ada yang senyap dalam persoalan kemanusiaan. Setiap orang selalu memiliki cara untuk melakukan sesuatu, untuk membantu sesama.

Penulis melakukan itu lewat menulis. Fiksi, dalam berbagai fungsinya, adalah permodelan realitas dan alternatif realitas. Sebagai permodelan realitas, Dendam mewakili banyak hal: realitas sosial, kultural, dan politik. Itu tak bisa kita tolak. Bahwa itu benar-benar terjadi dan menubuh dalam sekian aspek kehidupan bersama. Lalu pada Tinuk bisa kita lihat, bagaimana penulis memberikan alternatif kejadian, alternatif realitas, bagaimana kaum muda bisa berkontribusi, aktif membantu sesama; selalu ada cara melakukan sesuatu, menjadi manusia berguna. Itu baru satu contoh. Tak ada novel sempurna. Dendam mengisahkan banyak persoalan di sekitar kita. Namun dalam beberapa hal ada yang membuatnya tak menarik.

Pada transisi skena Tinuk dari Desa Watulandep ke Semarang, rasanya seperti terburu-buru ditulis. Tidak sedalam ketika saat di Watulandep. Pertemuan Tinuk dan Pak Sus, dosen di kampusnya, yang kelak jadi guru menulis, menjadi bos di kedai; pertemuan kembali dengan Dodik, lalu jatuh cinta; proses penyaluran bantuan ke desa sang nenek, membuat saluran biopori — saya heran, dari mana Tinuk mendapat ide secemerlang itu.

Ya, memang bisa dari mana saja. Namun sebelum masuk bab itu, tampaknya tak ada referensi apa pun soal pengetahuan macam itu pada Tinuk. Entah. Barangkali, karena novel ini juga berangkat dari cerita bersambung yang ditulis bertahun sebelumnya, lantas membuat ada bab-bab yang rasanya meloncat. Namun, apa pun itu, Dendam berhasil mengobok-obok emosi saya. Konflik tumpang-tindih, berurutan, hingga akhiran yang tak tertebak, membuat saya tak bisa melepaskan begitu saja waktu membaca. 

(Ken Kausar Amar Abdurrakhman, pembaca buku, pendiri dan pengelola Nir Cafe & Workingspace-28)