Minggu, 24 Maret 2019

”Dendam” yang Mengobok-obok Emosi


Sun, 24 Mar 2019 - 01:34 WIB



Ada orang-orang yang memasuki masa hidup di tengah ketidakpastian, ketika nasib mereka terjungkir-balik. Mereka tak bisa memilih, tak bisa melawan. Masa yang tak mudah mereka lewati; membekas hingga akhir hayat dan melahirkan dendam tak berkesudahan.

Tak mudah menjalani hidup macam itu. Namun dari sana banyak pelajaran berharga. Dari sana pula lahir novel Dendam Gunawan Budi Susanto. Novel 418 halaman ini benar-benar terasa tebal, baik secara fisik maupun isi. Novel ini bercerita soal konflik riil di masyarakat, langsung dari bawah, dari kenyataan. 

Ada tiga perempuan yang jadi bandul utama cerita. Pertama, Rini.
Dia jadi buruh migran karena tak tahan melihat sang suami, Murdani, serong. Ia merasa kehormatannya terenggut. Saat itu Murdani jadi kepala desa. Tak bisa saya bayangkan, bagaimana proses istri kepala desa pergi meninggalkan suami dan masyarakat. Juga meninggalkan anak semata wayang yang beranjak dewasa. Entah apa yang Rini pikirkan. Kedua, Tinuk. Anak semata wayang Rini dan Murdani itu kecewa atas perbuatan sang ayah. Dia melihat sang ayah membawa pulang pelacur, tepat di depan matanya. Saat ibunya mencari rezeki di luar negeri, sang ayah malah berbuat nirmoral. Sakit hati Tinuk menderas dan mengeras. Bagi Tinuk, kehormatan sang ayah sudah terjun bebas.

Persis seperti sang ibu, Tinuk pun berhasrat pergi dari rumah, jauh dari sang ayah. Karena itulah, selulus sekolah ia kuliah di kota; menjauhkan diri dari pandangan menyesakkan dada. Sosok Tinuk menarik, karena penulis memasukkan banyak hal yang berjangkauan jauh dari konflik utama. Ketiga, ibu Rini. Tanpa mengesampingkan empati terhadap kemanusiaan yang dicederai pada dua tokoh sebelumnya, saya merasa dendam paling kuat ada pada sosok ini.

Dari sinilah, semua konflik bermula. Peristiwa G30S jadi penyebab. Orang tua Rini diduga terlibat dan dipenjara, tanpa pengadilan. Tanpa bisa melawan. Betapa mudah masa itu, orang dicap PKI, lalu dijebloskan ke penjara, termasuk orang tua Rini. Saat itu sang ibu hamil adik Rini, tetapi akhirnya keguguran. Dia diperkosa; dilecehkan sedemikian rupa sebagai perempuan, sebagai manusia. Ia tak terima. Ia anggap itu aib hingga berpuluh tahun lamanya. Perkara selingkung peristiwa itu sudah penulis tulis dalam dua buku cerpen, Nyanyian Penggali Kubur (2011, 2016) dan Penjagal Itu Telah Mati (2015). Namun, menarik, dalam novel ini penulis seperti beroleh ruang lebih luas dan luwes untuk membahas segala yang tak terbahas dalam dua buku cerpen itu. Dari soal pandangan politik hingga alasan di balik peristiwa itu, dia ceritakan secara gamblang. 
 ”Bapak dianggap keras kepala, sehingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Padahal, bapakmu ini tak pernah masuk partai apa pun. Bapak tahu politik. Itu harus. Namun Bapak tak suka berpolitik, apalagi masuk partai politik. Bapakmu memang tak menghalangi dan bahkan setuju ibumu masuk Gerwani, karena organisasi itu bukan partai politik. Bahwa Gerwani berpolitik untuk memperjuangkan kaum wanita, iya dan itu harus. Bapak memang tak suka berpolitik, tapi Bapak tak menghalangi ibumu berpolitik.” (halaman 117). 
Itulah salah satu dialog favorit saya. Di situlah salah satu titik penulis melesapkan sikap politik.

Pada titik-titik itu, betapa Dendam terasa amat kuat dan dalam. Impresi saya boleh jadi berbeda (bahkan harus) dari motif penulis saat menulis. Namun pengayaan pengalaman macam ini tentu tak bisa dikatakan tak berguna. Dan, saya tak bisa bohong: saya sangat menikmati. Rasanya seperti diberi kunci gembok tempat menyimpan salah satu konflik kemanusiaan terbesar di republik ini. Ibu Rini, selepas dari penjara, merawat Rini hingga beranjak dewasa tanpa suami. Tiba-tiba, setelah sekian tahun, sang suami pulang dan Rini ”kembali” punya ayah. Betapa canggung, betapa kaku, kehidupan mereka.

Dengan alasan tak mudah hidup sebagai bekas tapol, mereka pindah ke desa untuk membangun fondasi hidup baru. Mereka memulai dari minus, karena dendam ibu Rini atas masa lalu yang menyakitkan masih mengerak. Dari persoalan itu, tak mungkin tidak Rini juga jadi korban. Hidup dengan cap anak tapol sering membawa petaka. Pulang sekolah badan memar dengan sederet perundungan verbal mau tak mau harus ia terima. Meski melawan sebisa-bisa, dia tetap kalah. Untung, selepas pindah tak lagi ia terima perlakuan macam itu.

Yang Menarik dan Tak Menarik

Menulislah yang dekat denganmu, yang kamu tahu, yang kamu mengerti, yang kamu pahami. Kalimat itu sering saya baca dalam teori dasar menulis. Penulis, yang memiliki kedai kopi, yang mengampu kelas membaca dan kelas menulis di kedai, memiliki kawan buruh migran, jadi dosen, membersamai gerakan perlawanan masyarakat Kendeng, anak tapol, ini menuliskan itu semua dalam Dendam. Semua. Di satu titik, saya melihat penulis membuka diri pada pembaca: inilah saya, lewat Dendam. Itu sekaligus legitimasi sikap politik dan kulturalnya mengenai banyak hal.

Lokalitas yang lesap dalam Dendam, dari struktur bahasa hingga struktur sosial, membuat bangunan cerita terasa makin dekat dengan pembaca yang memilki preferensi serupa. Juga memberikan pengalaman lain pada pembaca yang memiliki preferensi berbeda. Kekayaan macam itu yang kira-kira jarang dimiliki karya sastra hari ini. Segala yang urban dan modern makin kencang merangsek segala lini kehidupan, tak terkecuali karya sastra.

Persoalan buruh migran, kejahatan hak asasi manusia pada masa lalu, perampasan tanah oleh negara dan korporasi, mengelola hidup yang dipenuhi dendam politik dan kultural, adalah persoalan kita. Setiap di antara kita juga punya potensi untuk terdampak. Maka tak boleh ada yang senyap dalam persoalan kemanusiaan. Setiap orang selalu memiliki cara untuk melakukan sesuatu, untuk membantu sesama.

Penulis melakukan itu lewat menulis. Fiksi, dalam berbagai fungsinya, adalah permodelan realitas dan alternatif realitas. Sebagai permodelan realitas, Dendam mewakili banyak hal: realitas sosial, kultural, dan politik. Itu tak bisa kita tolak. Bahwa itu benar-benar terjadi dan menubuh dalam sekian aspek kehidupan bersama. Lalu pada Tinuk bisa kita lihat, bagaimana penulis memberikan alternatif kejadian, alternatif realitas, bagaimana kaum muda bisa berkontribusi, aktif membantu sesama; selalu ada cara melakukan sesuatu, menjadi manusia berguna. Itu baru satu contoh. Tak ada novel sempurna. Dendam mengisahkan banyak persoalan di sekitar kita. Namun dalam beberapa hal ada yang membuatnya tak menarik.

Pada transisi skena Tinuk dari Desa Watulandep ke Semarang, rasanya seperti terburu-buru ditulis. Tidak sedalam ketika saat di Watulandep. Pertemuan Tinuk dan Pak Sus, dosen di kampusnya, yang kelak jadi guru menulis, menjadi bos di kedai; pertemuan kembali dengan Dodik, lalu jatuh cinta; proses penyaluran bantuan ke desa sang nenek, membuat saluran biopori — saya heran, dari mana Tinuk mendapat ide secemerlang itu.

Ya, memang bisa dari mana saja. Namun sebelum masuk bab itu, tampaknya tak ada referensi apa pun soal pengetahuan macam itu pada Tinuk. Entah. Barangkali, karena novel ini juga berangkat dari cerita bersambung yang ditulis bertahun sebelumnya, lantas membuat ada bab-bab yang rasanya meloncat. Namun, apa pun itu, Dendam berhasil mengobok-obok emosi saya. Konflik tumpang-tindih, berurutan, hingga akhiran yang tak tertebak, membuat saya tak bisa melepaskan begitu saja waktu membaca. 

(Ken Kausar Amar Abdurrakhman, pembaca buku, pendiri dan pengelola Nir Cafe & Workingspace-28)

0 komentar:

Posting Komentar