13032019
Setiap tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan penghargaan
kepada sejumlah insan pers dan masyarakat yang dianggap berjasa. AJI memberikan
tiga anugerah untuk kategori berbeda, yaitu Tasrif Award, Udin Award, dan SK
Trimurti Award.
SK Trimurti Award diberikan AJI sejak
tahun 2008 untuk mengenang dan menghormati tokoh perempuan pahlawan nasional
sekaligus jurnalis Indonesia bernama Surastri Karma Trimurti.
SK Trimurti adalah pengagum berat,
sekaligus murid Soekarno. Perempuan kelahiran Boyolali, 12 Mei 1912 ini sangat
anti kolonialisme dan imperialisme. Saat usia 18 tahun ia mulai mengajar di
Sekolah Guru Wanita Jebres, Solo. Guru adalah profesi yang diinginkan sang ayah
yaitu Salim Banjaran Sari Mangunsuromo, seorang wedana di Surakarta. Tak betah
di Sekolah Guru Wanita, ia pindah ke sekolah khusus anak perempuan di Banyumas.
Tahun 1930 Trimurti rela melepaskan
statusnya sebagai guru negeri dan memilih bergabung dengan Partindo Bandung.
Keputusan besar yang sangat ditentang oleh keluarganya. Ia memilih bergabung
dengan Partindo Bandung karena keinginannya mengikuti kursus politik yang
digelar Soekarno. Di situlah karier jurnalistik Tri bermula. Di sebuah majalah
yang dipimpin oleh Soekarno bernama Fikiran Ra’jat.
Pada usia 24 tahun Tri ditangkap Belanda
lantaran menyebarkan pamflet anti kolonialisme. Belanda menghukumnya selama 9
bulan di Penjara Wanita Bulu, Semarang. Setelah dibebaskan dari penjara Tri
kembali menulis di koran Sinar Selatan. Ia dikenal sebagai jurnalis yang sangat
kritis terhadap kolonialisme Belanda.
Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik
pada tahun 1937. Setahun kemudian mereka menikah. Mereka menikah dengan satu
ikrar, yaitu berjuang bersama. Karena aktivitas politiknya, pasangan ini
bergantian keluar masuk penjara.
Pada 17 Agustus 1945 Tri hadir di rumah
Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta. Bersama Latief Hendraningrat
dan Suhud Sastro Kusumo, SK Trimurti bertugas mengibarkan bendera merah putih
hasil jahitan Fatmawati. Detik-detik yang dinanti bangsa ini akhirnya tiba.
Tepat pukul 10 pagi Soekarno membaca dengan khidmat naskah proklamasi yang
diketik oleh Sayuti Melik, suami Trimurti.
Trimurti pernah menjabat sebagai menteri
perburuhan di era kabinet Perdana Menteri Amir Syariffudin. Jabatan itu sempat
ditolak oleh perempuan pendiri Partai Buruh Indonesia ini. Dalam struktur
kementerian yang dipimpinya, Tri memilih orang-orang yang cakap salah satunya
Wilopo, seorang praktisi hukum yang sangat teliti. Laki-laki itu juga adalah sosok
yang paling dipercaya Tri untuk merumuskan dan merancang Undang-Undang
Perburuhan.
Cita-cita terbesarnya adalah penghapusan
penindasan dan eksploitasi manusia terhadap manusia. Saat itu gaji Tri sebagai
menteri lebih kecil dari honor menulis. Trimurti membuktikan integritasnya,
meski gajinya kecil ia tak mengambil pekerjaan sampingan. Bahkan berhenti
menulis agar fokus mengurus soal perburuhan. Tahun 1948 ketika kabinet
Syariffudin dinyatakan bubar jabatan menteri tak lagi dipegang Tri, ia juga
meninggalkan Partai Buruh Indonesia.
Semangatnya belum mati, perjuangan terus
dilanjutkan. Trimurti lantas mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis)
pada tahun 1950. Setahun setelahnya Gerwis melaksanakan kongres pertama. Agenda
utamanya adalah perbaikan nasib perempuan dan pengkajian Undang-Undang
Perkawinan. Pada kongres ketiga, Tri tak terlibat sebab Gerwis menyatakan diri
menjadi Gerwani yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menginjak usia ke-41 semangat belajarnya
tetap tinggi. Tri mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1960. Mengetahui hal tersebut
Soekarno mengirimnya ke Yugoslavia untuk mendalami persoalan perburuhan.
Berkat dedikasanya Tri diganjar bintang
jasa oleh Soekarno. Sang Presiden hanya memasangkan penghargaan itu tanpa
saling sapa. Hubungan mereka sudah renggang selama bertahun-tahun, Tri yang
anti poligami tak sejalan dengan tindakan Soekarno.
Ketika 21 Juni 1970 Soekarno wafat.
Sebagai murid, Tri ingin hadir di acara pemakamannya, ia menembus barisan
tentara demi melihat sang guru untuk yang terakhir kalinya.
Usia tak menyurutkan semangat perlawanan
Trimurti. Tahun 1980, ketika usianya menginjak 68 tahun, Trimurti bersama 50
tokoh nasional lain menandatangani Petisi 50 yang mengkritik pemerintahan Orde
Baru yang otoriter.
20 Mei 2008 Trimurti wafat. Di hari yang
sama, sahabatnya Ali Sadikin juga meningal dunia. Hingga wafat SK Trimurti
tetap dikenal sebagai sosok berintegritas, pemimpin yang amanah dan aktivis
yang terus lurus di jalan kebenaran. Ia menemukan kemerdekaan sejatinya,
setelah 96 tahun berjuang.
Dalam #10tahunWatchdoc berkarya, kami
mendokumetasikan perjuangan SK Trimurti dalam program Memoar episode “SK
Trimurti Dari Revolusi Hingga Petisi” bekerja sama dengan salah satu stasiun
televisi swasta.
Sumber: Watchdoc
0 komentar:
Posting Komentar