March 12, 2018 | imajinasijoker
Dialita: “Dunia Milik
Kita” (2016)
Boleh jadi ini sentimental: beberapa tahun setelah saya
berpisah dengan pacar pertama sewaktu masih SMA, setiap angkutan kota di
kampung halaman mendadak hadir sebagai pengingat. Saya mengenang detik-detik
yang biasanya dianggap remeh dan bagaimana hal itu kemudian bisa sedemikian
jelas dikonstruksi oleh ingatan. Lalu saya menyadari betapa lucu (atau tragis) cara
ingatan manusia bekerja. Ketika saya merasa sudah genap melupakan,
kenangan-kenangan masa lalu datang menyergap layaknya sekumpulan bajingan yang
merampok kesadaran — bahwa ada yang belum selesai, kecuali saya berani
menghadapinya sendiri.
Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.
Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.
Album Dunia Milik Kita adalah sebuah rekaman
musik yang berupaya untuk menyajikan suara-suara yang dibungkam pada masa lalu,
suara-suara yang dipaksa sunyi karena dosa kolektif dari sebuah asosiasi yang
dianggap dan dituduh terlibat dalam peristiwa 1965, dari kelompok yang dicap
sebagai komunis dan pengkhianat. Saat rezim pemerintahan Orde Baru yang
otoriter itu tumbang, suara-suara yang dulunya dipaksa sunyi, dipaksa hilang,
dan dipaksa bungkam, sekarang kembali hadir dengan cara yang tegas, segar, dan
kuat. Paduan suara Dialita (Di atas lima puluh tahun) merupakan bebunyian
kolektif dari masa lalu, bebunyian yang dipaksa sunyi oleh rezim Orde Baru
setelah peristiwa 1965. Dialita beranggotakan para ibu tangguh dan perkasa yang
pernah ditahan, dipenjara, diasingkan, dan dihukum melakukan kerja paksa tanpa
pernah tahu kesalahannya — cuma karena mereka dituding terlibat dalam peristiwa
1965.
Formasi album ini terdiri dari sepuluh lagu lawas yang
diaransemen ulang beberapa musisi lintas-generasi, yang juga hadir untuk mengiringi
paduan suara Dialita. Dengan segala kerendahan hati yang ada, saya memohon agar
siapa saja yang mendengarkan album ini untuk menganggap nama-nama musisi
lintas-generasi di sini (Sisir Tanah, Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, Lintang
Radittya, Kroncongan Agawe Santosa, Frau, dan Cholil Mahmud) sebagai sesuatu
yang tidak signifikan, menempatkan mereka sebagai sekadar figuran saja, agar
mampu menangkap kenikmatan, keindahan, dan kesadaran album ini secara maksimal.
Album ini juga berperan sebagai sebuah arsip sejarah karena menghadirkan
kembali suara dari seniman-seniman besar Indonesia yang disingkirkan dari
manuskrip sejarah cuma karena mereka tercatat sebagai anggota Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), para maestro musik yang ditangkap pada masa pemerintahan
Orde Baru dan beberapa di antaranya harus meringkuk dalam kamp kerja paksa di
Pulau Buru, Kepulauan Maluku, Indonesia.
Berkumpul untuk bernyanyi, bercerita, dan berbagi
pengalaman bertahan hidup adalah upaya yang terus-menerus dilakukan oleh
keluarga penyintas tragedi kelam 1965 untuk merawat harapan. Bernyanyi
memberikan keluarga penyintas sebuah kapasitas suara untuk bicara dan didengar
bahwa mereka masih hidup dan menolak lupa, apalagi dibungkam dan dipaksa
menyerah-kalah. Ibu-ibu tangguh dan perkasa dalam paduan suara Dialita adalah
monumen hidup yang berusaha menuliskan sejarah baru agar bisa diingat
selamanya. Melalui album ini, Dialita tidak sedang mengasihani diri sendiri.
Dialita tegak bersuara untuk menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu dengan tegas,
sesuatu yang membikin mereka kuat menghadapi jahatnya stigma, kejamnya sel
penjara, dan bengisnya perlakuan diskriminasi. Suara-suara yang dihadirkan oleh
album ini merupakan titik tengah pertemuan antara semangat masa lalu dan
estetika seni masa kini: sebuah kumpulan musik yang segar dengan susunan teks
dan komposisi nada yang berasal dari momen-momen kelam di masa lampau.
Dua sosok yang sangat berjasa mengumpulkan arsip
dokumentasi dan mencatat lagu-lagu dari dalam penjara adalah Ibu Utati dan Ibu
Mudjiati (dua anggota Dialita yang pernah dipenjara di Bukit Duri, Tebet,
Jakarta Selatan), di mana keduanya mencoba menuliskan kembali lirik-lirik yang
tidak lagi utuh dalam ingatan, kemudian secara perlahan berhasil menggenapi
bagian-bagian yang terpenggal, lalu diberi notasi nada dan selanjutnya disalin
ke dalam lembar partitur secara sederhana, lantas partitur-partitur sederhana
yang jauh dari sempurna itu diperkenalkan dan dipelajari bersama kawan-kawan
mereka dalam paduan suara Dialita.
Dialita membuka Dunia Milik Kita dengan trek Ujian —
jawara dan favorit saya di album ini — yang ditulis oleh Ibu Siti Jus Djubariah
dan diaransemen ulang oleh Frau. Saya ingin menuliskan sesuatu yang indah untuk
mendeskripsikan lagu ini, namun jujur saja — setiap kali mendengarkan lagu ini,
jantung persegi saya terenyuh dan rasa-rasanya hampir mustahil menahan air mata
untuk tidak merembes keluar. Lagu ini lahir di dalam Penjara Bukit Duri, sebuah
tempat di mana ratusan perempuan dan lelaki, tua dan muda, yang berasal dari
berbagai macam serikat pekerja dan organisasi mahasiswa, ditahan karena
dituding telah melakukan kesalahan yang entah apa. Para perempuan dan lelaki
yang ada di tempat tersebut dipenjara tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka
dan tanpa proses pengadilan.
“Dari balik jeruji besi, hatiku diuji,” baris lirik
awal Ujian mengabarkan semangat para tahanan politik yang
dipecundangi oleh rezim pemerintahan pada masa itu, mereka yang dipenjara
tetapi menolak untuk larut dalam kekalahan, “apa aku emas sejati atau imitasi?”.
Suara denting piano yang dimainkan Frau sebagai musik
pengiring berhasil meruapkan atmosfer sendu dari manusia-manusia yang
sedemikian tegar dan kuat menahan derita.
Saya selalu membayangkan bahwa Ujian ditulis
dengan keteguhan dan sisa-sisa harapan sebagai upaya untuk tetap tegar
menghadapi gelapnya kehidupan di balik jeruji besi penjara yang pengap. Hidup
di penjara tanpa pernah tahu kapan bisa bebas adalah salah satu bentuk lain
dari vonis kematian. Banyak sekali tahanan politik yang melewati masa remajanya
dengan ketidak-pastian di dalam penjara. Ibu Siti adalah seorang guru yang
ditangkap dan ditahan di Penjara Bukit Duri pada tahun 1965. Kemudian, pada
pertengahan 1971, Ibu Siti — bersama dengan puluhan tahanan lainnya — dikirim
ke Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah, dan sempat dipindahkan ke Penjara
Bulu, Semarang, Jawa Tengah, sebelum akhirnya “dibebaskan” pada tahun 1978.
Lagu ini menjadi salah satu penyemangat dan upaya untuk tetap waras bagi para
tahanan politik yang direnggut-paksa kebebasan dan hak-haknya oleh Orde Baru.
Nomor Salam Harapan — karya Ibu Zubaedah
Nungtjik AR dan Ibu Murtiningrum (keduanya adalah tokoh Gerwani [Gerakan Wanita
Indonesia]) yang diaransemen ulang oleh Cholil — berfungsi sebagai doa yang
tulus, semacam niat untuk membesarkan hati yang dipersembahkan kepada
kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang-tahun di Penjara Bukit
Duri. (“Salam harapan padamu kawan: semoga kau tetap sehat sentosa. Bagai
gunung karang di tengah lautan, tetap tegar didera gelombang.”)
Musik hadir sebagai medium kebersamaan dan bentuk lain
dari kebahagiaan di tengah-tengah keterbatasan dan penindasan. Menurut beberapa
artikel yang saya baca, ada tradisi menarik yang selalu dilakukan di dalam
penjara tersebut: setiap ada yang berulang tahun, semua tahanan politik bakal
berdiri berjajar di depan sel penjara yang bersangkutan pada pagi-pagi buta
untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu sebagai ucapan selamat dan
memberikan sekuntum bunga apa pun yang bisa dipetik dari halaman penjara
sebagai hadiah. Cholil membikin lagu ini tetap sederhana dan bersahaja, namun
tidak menghilangkan ketulusan dan keteguhan yang menjadi karakter para ibu
penyintas tragedi 1965.
Kemudian ada materi Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu ciptaan
Putu Oka Sukanta dan Michiel Karatem yang dibuka dengan desir angin dan suara
gitar, kemudian suara-suara lirih mulai terdengar untuk mengabarkan semangat
para petani yang tidak akan pernah mati. Aransemen ulang lagu ini yang digarap
oleh Sisir Tanah, Lintang, dan Frau berhasil menyulap saya untuk sepenuhnya
luruh, tenggelam dalam rasa syukur dan rindu sekaligus sukacita menggairahkan
yang mirip dengan perasaan senang-gembira saat berdiri memandang hamparan sawah
dan mendengarkan suara angin bergesekan dengan padi.
“Malam dijemput suara
kecapi,” baris teks puitik lagu ini layak dibaca dan dipahami dengan serius, “siang
dibernasi suara aksi; di sini juang dipadu membina dunia baru nan jaya”.
Latar
belakang yang diabadikan oleh Putu dan Michiel dalam lagu ini adalah situasi
yang harus dihadapi oleh para petani di kaki Gunung Tangkuban Perahu saat
melawan dan menolak Undang-Undang Pokok Agraria pada dekade ‘60an. Saat itu,
para petani pejuang Tangkuban Perahu melakukan aksi protes sambil tetap bekerja
merawat sawah mereka di bawah terik mentari sianghari, sementara pada
malamhari, mereka berdiskusi sembari menikmati alunan kecapi dalam momen
kebersamaan yang hangat.
Lintasan perjalanan Dunia Milik Kita kemudian
dilanjutkan oleh trek Padi Untuk India: sebuah lagu yang bisa menjadi
arsip sejarah karena mendeskripsikan kontribusi Indonesia untuk dunia global di
masa lalu, tepatnya pada tahun 1946 saat India mengalami krisis pangan yang
cukup parah di bawah penjajahan kolonial Inggris. Meskipun pada saat itu
Indonesia merupakan bangsa bau kencur yang baru saja memproklamasikan
kemerdekaannya, sebagai bentuk solidaritas kepada negara yang masih terjajah,
Indonesia berhasil mengirimkan bantuan berupa 700 ton beras ke India setelah
sempat diadang oleh Belanda dengan aksi pembakaran dan pengeboman gudang
penyimpanan beras di Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu yang ditulis oleh A.
Alie (tidak ada catatan sejarah yang merekam sosoknya di dunia seni Indonesia)
ini diaransemen ulang oleh Sisir Tanah dan berhasil memaksimalkan keriangan
melodi lagu ini tanpa harus terdengar rumit. Saya bisa mendengar ritme
perjuangan yang menyenangkan dan merasakan semangat solidaritas kemanusiaan di
dalamnya.
Lagu berikutnya yang berjudul Taman Bunga Plantungan (karya
Ibu Zubaedah) diaransemen ulang dengan begitu indah oleh Kroncongan Agawe
Santosa. Lagu yang tercipta di Kamp Plantungan pada tahun 1971 ini merupakan
tanda cinta dan persahabatan para tahanan politik, menceritakan sebuah taman
kecil yang dibangun dengan swadaya oleh para tahanan politik di Kamp Plantungan
pada masa itu. Kamp Plantungan merupakan bekas rumah sakit yang dibangun pada
masa penjajahan kolonial Belanda untuk para penderita penyakit lepra / kusta.
Kondisi kamp ini mirip lapangan jagal yang dipenuhi “benda-benda ajaib” di mana
tidak jarang ditemukan potongan-potongan jari tangan atau jari kaki para
penderita lepra / kusta yang sempat dirawat di sana.
Bebunyian kolektif yang disuarakan oleh Dialita melalui
rekaman album ini adalah representasi dari ratusan ribu tahanan politik
Indonesia yang dipenjara tanpa proses pengadilan apa pun. Hak sipil para
tahanan politik tersebut sengaja dicabut, identitas dan jati diri mereka
dilecehkan, serta hak asasi mereka diludahi. Para tahanan politik itu dicap
sebagai komunis, seolah-olah hal itu merupakan dosa asal (original sin) yang
tidak layak untuk diampuni. Di Indonesia, ada semacam upaya sistematis untuk
menjadikan segala sesuatu yang terkait dengan komunisme sebagai pesakitan
menjijikkan. Keseluruhan album ini pada dasarnya bukanlah sekadar usaha untuk
menolak lupa saja, melainkan juga sebuah upaya kolektif untuk menempatkan
kembali sebuah konteks dari satu waktu di masa lalu. Dialita tidak sedang
menuntut dengan amarah dan dendam kesumat, namun mereka bernyanyi dengan tegas
untuk merayakan ingatan dan kenangan, serta memberikan suara dan perspektif
dari satu-dua peristiwa sejarah yang pernah dipaksa bungkam oleh penguasa agar
generasi mendatang bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Nomor Kupandang Langit (ciptaan Koesalah
Soebagyo Toer, diaransemen ulang oleh Lintang dan Frau) memberikan pengalaman
musikal dan efek magis yang serupa dengan Ujian. Terinspirasi oleh pohon
beringin pencekik di halaman Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, Jakarta, Koesalah
berusaha menjaga kewarasan sekaligus juga untuk menyemangati kawan-kawan sesama
tahanan politik di sana dengan menciptakan Kupandang Langit. Bagi
saya, Kupandang Langit memiliki efek magis yang dramatis — semacam
menyeruput secangkir kopihitam pahit hangat saat hujan menderas seharian di luar kandang dan menyadari
bahwa ada hal-hal yang tidak bisa saya lawan, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa
saya selamatkan. Meski begitu, ada semacam kesadaran bahwa saya toh masih punya
kekuatan untuk mengakhiri tragedi dengan tangisan tidak berkesudahan perihal
betapa buruknya hidup ini, atau dengan kebanggaan bahwa sampai pada titik akhir
yang paling getir sekalipun, saya tidak memundurkan kaki setapak pun darinya.
Dan kebanggaan semacam itu, tentunya, tidak muncul dari fatalisme yang pasrah
menerima nasib apa adanya, melainkan lahir dari keberanian untuk mengafirmasi
kehidupan seutuhnya: amor fati — yang tragis dan yang manis.
Formasi album Dunia Milik Kita selanjutnya
dihuni oleh dua lagu yang punya konteks politik penting sebagai perwujudan dari
sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di masa lalu: (1)
materi Viva Ganefo yang ditulis oleh Asmono Martodipoero dalam bahasa
Spanyol untuk merespons penyelenggaraan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang
[GANEFO: Games of the New Emerging Forces] pada dekade ‘60an dan
diaransemen ulang oleh Sisir Tanah; dan (2) trek Asia Afrika Bersatu yang
diciptakan oleh Sudharnoto untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi
Asia–Afrika pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat,
dan lagu ini diaransemen ulang oleh Prihatmoko, Nadya, dan Lintang.
Dua lagu yang menggenapi perjalanan album ini
adalah Lagu Untuk Anakku (aransemen ulang oleh Cholil) dan Dunia
Milik Kita (aransemen ulang oleh Lintang dan Cholil). Nomor Lagu
Untuk Anakku disusun bersama oleh Ibu Heryani Busono Wiwoho (lirik) dan
Mayor Djuwito (notasi musik) saat dipenjara oleh tentara di Lapas (Lembaga
Pemasyarakatan) Kelas II Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah, untuk menyuarakan
kegelisahan tentang nasib anak-anak Indonesia yang mendadak harus kehilangan
orangtua karena dipenjara, diasingkan, atau dibunuh oleh rezim pemerintahan
otoriter pada saat itu. Sementara materi Dunia Milik Kita karangan
Sudharnoto, yang mulai ditulis pada saat reformasi politik Indonesia sedang
terjadi dan selesai bertepatan dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia
pada 10 Desember 1998, menyampaikan gagasan besar tentang satu bangsa yang
terdiri dari berbagai macam identitas yang berbeda-beda.
Album ini berhasil membikin suasana hati saya
campur-aduk: berkali-kali saya dibikin sedih, hancur, dan menangis, untuk
kemudian dikuatkan dengan harapan dan semangat yang menggembirakan sewaktu
memutarnya kencang-kencang di dalam kandang. Ibu-ibu tangguh dan perkasa yang
tergabung dalam paduan suara Dialita adalah pohon rindang yang mampu memberikan
ketenangan dan keteduhan magis layaknya kasih sayang dari nenek dan ibu saya
sendiri. Suara vokal Dialita mungkin saja bergetar dan tidak merdu, namun ada
sesuatu yang membikin jantung saya luruh dan terenyuh ketika mendengarkannya —
serupa perasaan sentimental saat melihat hujan untuk pertama kalinya setelah
musim kemarau berkepanjangan.
Pada akhirnya, Dialita dan Dunia Milik Kita-nya
merupakan ketulusan estetis yang mahategar dan memesona, bebunyian kolektif
dari orang-orang yang menolak menyerah-kalah ketika dipaksa tunduk oleh
otoritas bangsat. Suara yang ada di dalamnya mewartakan luka dengan tegas,
sekaligus juga memberikan harapan serta rasa nyaman dan aman. Ini adalah resep
mujarab dengan takaran yang pas — seperti pelukan ibu yang menghangatkan, atau
semacam aroma tubuh sang kekasih sehabis bercinta tetapi belum sempat mandi —
yang memberikan hasrat dan harapan sebagai fondasi untuk melakukan aksi
perjuangan melawan kondisi brengsek hari ini yang semakin tidak baik-baik saja.
— Daftar lagu Dunia Milik Kita —
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]
Salam harapan dan peluk hangat, atas-nama cinta dan
anarki, untuk paduan suara Dialita dan seluruh ibu-ibu tangguh nan perkasa di
luar sana. {ѧ}
Sumber: MemoriSenja
0 komentar:
Posting Komentar