Pius Ginting
Saya tidak seantusias
tahun 2014 untuk ikut pemilu.Semangat menghambat kandidat pilpres pelanggaran
HAM membuat saya ikut bersama ribuan lainnya di GBK saat kampanye kandidat yang
dianggap tidak pelaku pelanggaran HAM kala itu.
Setelah menang, realisasi
untuk mengurai pelanggaran HAM berat masa lalu macet. Bahkan ditambah dengan
pernyataan-pernyataan akan gebuk (notabene korban pelanggaran HAM masa lalu,
kebanyakan tanpa proses peradilan, mekanisme yang harusnya diberikan oleh
negara terhadap pihak yang makar, dsb. Bahkan Belanda mengadili Soekarno
terlebih dulu, tidak membuangnya begitu saja).
Banyak aktivis yang tak
puas dengan kebijakan penguasa. Dan juga rakyat. Misalnya, warga Batang memilih
kandidat bukan bagian dari elit masa lalu, balasan yang mereka terima adalah
penggusuran demi infrastruktur PLTU. Padahal, penguasa sebelumnya pun tak punya
tekad kuat memaksakan proyek yang telah molor 2 tahun itu karena keberatan
warga. Namun penguasa baru pasang badan dengan gagahnya percepat pwmbangunan,
memberikan sinyal dan jaminan kepada investor luar negeri.
1960-an. Aktivis mahasiswa
benci dengan Soekarno. Gaya hidup disekeliling istana disebutkan mewah.
Selanjutnya gerakan mahasiswa menjadi seirama dengan Soeharto yang melakukan
agendanya sendiri untuk berkuasa.
Soe Hok Gie hendak
jatuhkan dulu kediktatoran Soekarno. Setelahmya, siapapun berkuasa, jika tidak
benar, akan gilirannya dikritisi dan dilawan. Kenyataannya tak semudah itu.
Orde Baru kemudian berkuasa selama 32 tahun, berkuasa lebih represif dibanding
masa Soekarno. Struktur perlawanan Soe Hok Gie tidak mampu sama sekali
mengontrol kekuasaan Orde Baru.
Kita mencatat agenda
agenda penyelesaian HAM masa lalu yang macet. Kemacetan itu membuat penguasa
saat ini menjadi ramah terhadap pelaku pelanggar HAM masa lalu. Ditambah dengan
catatan penggusuran demi infrastruktur, membuat kita tak seantusias 2014.
Namun membiarkan kandidat
yang jadi bagian langsung Orde Baru, akan membuat langkah gerakan demokratik
lebih sulit lagi ke depan.
Kita tidak lebih beruntung
dari rakyat Amerika yang kecewa tokoh lebih progresif Bernie Sanders, akhirnya
memilih golput ketimbang memilih Hilliary yang pro investasi, dekat dengan
financiers Wall Street. Kita belum punya kekuatan oposisi progresif di parlemen
yang bisa mengontrol penguasa yang lebih buruk, dan juga punya nyali di
partainya sendiri hadapi status quo, seperi Ilhan Omar, Alexandria, Bernie
Sanders. Budiman S lebih banysk ngetwit sepakbola ketimbang bela Novel
Baswedan.
Karenanya, demi tidak
menutup ruang gerak demokrasi makin sempit, baiklah kita kali ini tidak membuka
ruang bagi kandidat pelaku langsung pelanggar HAM. Sambil terus bersuara
kedepan. Nasib Soe Gok Gie yang hadapi ruang demokrasi kian sempit dengan
penguasa yang lebih diktator kemudian jangan terulang lagi.
*tulisan bersahabat untuk kawan-kawan seperti saya
yang tidak seantusias tahun 2014 memilih.
Disclaimer: penulis ini tidak dalam rangka direkrut
timses atau ngarir ke penguasa.
Sumber: pius ginting
0 komentar:
Posting Komentar