Senin, 11 Maret 2019
"Soeharto bukan Wakil Presiden dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarkan PKI"
Presiden Sukarno bersama Jenderal Soeharto
Foto: Perpusnas/Yayasan Idayu
Malam itu, Minggu, 13 Maret 1966, lampu di Istana Bogor
masih terang benderang. Ada kesibukan dan suasana tegang di satu ruang. Pada
malam itu, Presiden Sukarno memanggil tiga Wakil Perdana Menteri yakni
Soebandrio, Johannes Leimena, dan Chairul Saleh, ke Istana Bogor. Hadir pula di
Istana Bogor, Panglima Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) Brigadir Jenderal
Hartono dan Anak Marhaen Hanafi, Duta Besar Indonesia untuk Kuba.
Sehari sebelumnya Presiden Sukarno baru mendengar kabar
yang membuatnya naik darah. Menteri Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal
Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden nomor 1/3/1966 soal pembubaran Partai
Komunis Indonesia (PKI). Keputusan Presiden itu ditandatangani Soeharto dengan
mengatasnamakan Presiden Sukarno tanpa menyampaikan pemberitahuan lebih dulu
kepada Bung Karno.
"Soeharto bukan Wakil Presiden dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarkan PKI kalau memang PKI telah memberontak," kata Presiden Sukarno seperti dikutip Hanafi dalam bukunya, A.M. Hanafi Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto. Mestinya, tak ada alasan Soeharto tak minta persetujuan dan tanda tangan dari Presiden Sukarno karena Presiden ada di Istana Bogor, hanya berjarak satu jam berkendara dari Jakarta.
Soeharto memang punya 'senjata' yakni Surat Perintah
Presiden Sukarno tanggal 11 Maret 1966. Perintah yang kemudian dikenal sebagai
Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Lewat Supersemar, Presiden Sukarno
menginstruksikan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk
mengembalikan keamanan dan ketenangan, juga menjamin keselamatan Presiden.
Bung Karno menilai tindakan Soeharto sudah melampaui
kewenangan yang diberikannya. Pada malam itu, dua hari setelah turun
Supersemar, dibantu ketiga Wakil Perdana Menteri, Presiden Sukarno menyusun
Surat Perintah 13 Maret 1966 sebagai 'koreksi' atas pelaksanaan Supersemar.
Lewat Surat Perintah 13 Maret itu, Presiden mengingatkan Jenderal Soeharto
bahwa Supersemar adalah surat perintah, bukan penyerahan kekuasaan. Setiap
pelaksanaannya harus dikonsultasikan dengan Presiden. Presiden juga meminta
Jenderal Soeharto menghadap untuk memberikan pertanggungjawaban.
Salah satu versi Supersemar
Foto : Wikipedia
Menjelang pukul 21.00, Surat Perintah 13 Maret itu
ditandatangani Presiden Sukarno. Presiden meminta Wakil Perdana Menteri Leimena
ditemani Panglima KKO Jenderal Hartono segera menyerahkan surat itu kepada
Jenderal Soeharto. Dengan menumpang helikopter, keduanya terbang meninggalkan
Istana Bogor menuju Jakarta.
Surat Perintah 13 Maret itu juga digandakan sebanyak 5000
lembar. Rencananya, surat itu akan disebarkan ke pelbagai tempat dan surat
kabar. Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi ditunjuk sebagai
penanggungjawab penyebaran surat tersebut.
Menjelang tengah malam, helikopter yang membawa Leimena
dan Jenderal Hartono tiba kembali di Istana Bogor. Kepada Presiden Sukarno,
Leimena melaporkan tanggapan Mayor Jenderal Soeharto setelah menerima surat
perintah itu.
"Sampaikan kepada Presiden semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri," Leimena, seperti dikutip dalam buku A.M. Hanafi, menirukan kata-kata Soeharto.
Jenderal Soeharto juga menolak menghadap Presiden
keesokan harinya. Dia berkilah, ada rapat pimpinan Angkatan Bersenjata pada
hari itu di Istana Merdeka, Jakarta. Mendengar penuturan Wakil Perdana Menteri
Leimena, suasana menjadi hening dan muram.
"Presiden diam dan kami pun terdiam. Om Jo menunduk melihat ke lantai," kata Hanafi.
Sungguh sayang, dua dokumen sejarah yang amat penting
itu, Supersemar maupun Surat Perintah 13 Maret, hilang tak berjejak. Arsip
Nasional RI menyimpan tiga versi Supersemar. Enam tahun lalu, Arsip Nasional
bekerjasama dengan Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri
telah menguji tiga versi Supersemar. Kesimpulannya, tak ada satu pun yang
orisinil. Sementara arsip Surat Perintah 13 Maret 1966 tak ada sama sekali.
Menurut Melani Leimena, putri Wakil Perdana Menteri, J. Leimena, ayahnya tak
pernah bercerita soal Surat Perintah Presiden dan kejadian pada 13 Maret 1966
di Istana Bogor itu.
"Saat itu saya masih SMP, jadi belum dilibatkan," kata Melani beberapa hari lalu.
"Sampaikan kepada Presiden semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri"
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban Mayor Jenderal Soeharto
Supersemar versi TNI
Foto : Wikipedia
Jejak keberadaan Surat Perintah 13 Maret 1966 itu
disinggung Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dalam memoarnya. Soebagio Anam,
mantan Kepala Biro Penerangan di Departemen Koperasi dan Transmigrasi, kepada
harian Bernas pada 1 September 1998 juga menuturkan bahwa dia pernah
membaca Surat Perintah 13 Maret tersebut.
Surat Perintah Presiden Sukarno itu, menurut Soebagio,
diantarkan oleh Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Soetjipto
Joedodihardjo kepada Menteri Penerangan Achmadi.
"Saya melihat surat itu. Buktinya saya memang tidak bisa menunjukkan. Tapi saya berani berbicara di bawah sumpah bahwa saya melihatnya," kata Soebagio. "Anda bisa mencari kesaksian dari A.M. Hanafi. Atau dari Pak Tumakaka (J.K. Tumakaka, mantan Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional)."
Keluarnya dua surat perintah Presiden Sukarno itu
merupakan tahap menentukan dalam proses tumbangnya kekuasaan Bung Karno dan
peralihan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Pembubaran PKI hanya langkah
pertama Soeharto setelah memegang Supersemar. Dengan Supersemar di tangan,
Soeharto makin percaya diri, kendati tetap sangat berhati-hati. Hanya berselang
beberapa hari setelah Partai Palu Arit diberangus, orang-orang dekat Presiden
Sukarno mulai 'diamankan'.
Pada 16 Maret 1966, dalam rapat kabinet, Presiden Sukarno
menolak memenuhi permintaan Jenderal Soeharto agar memecat beberapa menteri
yang dicurigai punya hubungan dekat dengan PKI, salah satunya Wakil Perdana
Menteri Soebandrio. Tapi dua hari kemudian, daftar 15 menteri yang diincar
gerakan mahasiswa dan Angkatan Darat, Harold Crouch menulis dalam
bukunya, The Army and Politics in Indonesia, tersebar di jalan-jalan.
Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang
dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bersama Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal
Amirmachmud memimpin operasi penangkapan ke-15 menteri itu. Di bawah tekanan
gelombang protes mahasiswa dan Angkatan Darat, Presiden Sukarno terpaksa
'melepaskan' Soebandrio kepada Jenderal Amir. Kepada Amir, Presiden berpesan
agar Soebandrio tak dibunuh.
Menurut Soeharto, ada beberapa dosa para menteri yang
ditangkap itu. Soebandrio, Oei Tjoe Tat, Setiadi Reksoprodjo dan Astrawinata,
dianggap punya kaitan dengan PKI dan Gerakan 30 September. Wakil Perdana
Menteri Chaerul Saleh dan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam dianggap
punya dosa lain lagi.
"Mereka secara tak bermoral hidup bermewah-mewah di tengah penderitaan rakyat."
Pengaruh Jenderal Soeharto makin kokoh setelah lewat
sejumlah manuver, berhasil 'mengubah' status Supersemar menjadi Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara(MPRS) lewat Sidang MPRS pada akhir
Juni hingga awal Juli 1966. Dengan keluarnya Tap. MPRS nomor IX/MPRS/1966,
Presiden Sukarno tak bisa lagi menganulir Supersemar.
Presiden Sukarno diapit Jenderal Abdul Haris Nasution dan
Jenderal Soeharto
Foto : Perpusnas
Tak banyak cerita soal jejak Surat Perintah 13 Maret.
Namun sebaliknya dengan Supersemar. Meski dokumen asli Supersemar sampai hari
ini tak juga ditemukan, ada lumayan banyak kisah soal dokumen ini. Satu cerita
dituturkan oleh Kolonel (purnawirawan) Aloysius Sugiyanto, orang kepercayaan
Ali Moertopo, tangan kanan Jenderal Soeharto
Saat itu, Jumat malam, 11 Maret 1966, Mayor Sugiyanto
sedang ada di tengah rapat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad), Jakarta. Rapat dipimpin langsung oleh Jenderal Soeharto.
Tiba-tiba datang Letnan Kolonel Ali Moertopo dan menyorongkan dokumen
kepadanya.
"Tolong cepat gandakan dan cepat kembali," Sugiyanto menirukan perintah Ali dikutip dalam buku Rahasia-rahasia Ali Moertopo.
"Setelah itu saya tidak tahu lagi ada di mana Supersemar"
Rupanya, dokumen itu baru datang dari Istana Bogor dibawa
oleh tiga jenderal ; Basuki Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud. Itu lah surat
perintah Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto, Supersemar. Perintah Ali
bukan tugas yang gampang. Saat itu Jakarta sudah gelap dan diberlakukan jam
malam di ibukota. Zaman itu juga belum ada mesin foto kopi. Yang ada hanya
mesin stensil.
Kendati sudah berkeliling Jakarta di atas jipnya, Mayor
Sugiyanto tak kunjung menemukan tempat menggandakan Supersemar. Untung dia punya
teman pengusaha asal Manado, Jerry Sumendap. Jerry punya banyak alat-alat baru
yang canggih. Dengan kamera polaroid milik Jerry, dia menggandakan dokumen
Supersemar. Hasil penggandaan dan dokumen Supersemar asli dia masukkan ke dalam
map dan segera dibawa kembali ke Markas Kostrad.
Di ruang rapat Markas Kostrad, di depan Soeharto, Mayor
Sugiyanto menyerahkan map itu kepada Brigadir Jenderal Soetjipto, Ketua G-V
Komando Operasi Tertinggi (Koti).
"Setelah itu saya tidak tahu lagi ada di mana Supersemar," kata Kolonel Sugiyanto.
Bertahun-tahun kemudian, dalam
satu seminar di Jakarta, Mayor Jenderal (purnawirawan) Moerdiono, Menteri
Sekretaris Negara, mengaku sempat memegang dua lembar dokumen asli Supersemar
selama satu jam. Sebelum akhirnya dokumen itu dibawa pergi Boediono, ajudan
Jenderal Soetjipto untuk dibawa kembali ke Markas Kostrad.
---
Editor: Sapto Pradityo
Sumber: xDetik.Com
0 komentar:
Posting Komentar