Oleh : Nisrina Nadhifah Rahman | Senin, 11 Maret
2019 07:00 WIB
Sejumlah korban peristiwa Talangsari 1989
membentangkan spanduk saat melakukan audiensi di gedung Komnas HAM, Jakarta,
Senin, 4 Maret 2019. Kedatangan mereka ke Komnas HAM untuk mengadukan deklarasi
damai yang dilakukan oleh Menkopolhukam Wiranto dan beberapa pejabat lokal di
Lampung. Mereka menyatakan deklarasi itu tanpa melibatkan korban. TEMPO/M
Taufan Rengganis
Nisrina Nadhifah Rahman
Staf Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
Staf Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
Sebuah “deklarasi damai” terhadap peristiwa Talangsari
1989 dilakukan pada 20 Februari 2019 oleh Kementerian Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan bersama Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Lampung Timur. Deklarasi ini merusak prinsip-prinsip pemenuhan
hak-hak korban pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) berat dan sarat akan
kepentingan politik.
Deklarasi ini ditandatangani oleh jajaran Pemerintah
Daerah Lampung Timur, termasuk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung
Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Timur,
Kepala Kepolisian Resor Lampung Timur, Komandan Distrik Militer 0429 Lampung
Timur, Kepala Pengadilan Negeri Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Ratu,
Kepala Desa Rajabasa Lama, tokoh masyarakat Talangsari, Ketua Tim Terpadu
Penanganan Pelanggaran HAM, serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan.
Dalam pertemuan tersebut, Tim Terpadu secara sepihak
membuat pernyataan “deklarasi damai” terhadap Tragedi Talangsari, yang terjadi
30 tahun lalu. Padahal para korban peristiwa Talangsari tidak dilibatkan dan
tidak dimintai masukannya ihwal upaya-upaya yang akan dilakukan pemerintah
untuk menuntaskan persoalan ini.
Pertemuan itu juga hanya terkesan sebagai “akal-akalan”
politik, yang seolah-olah dilakukan guna menyelesaikan peristiwa Talangsari
melalui jalur non-yudisial tanpa akuntabilitas dan proses pengungkapan
kebenaran, serta akses terhadap keadilan dan pemulihan bagi korban dan keluarga
korban.
Peristiwa Talangsari adalah serangan aparat keamanan
kepada Jemaah Warsidi, yang dituduh ingin mendirikan negara Islam di Indonesia,
di Dusun Talangsari, Provinsi Lampung, pada 7 Februari 1989. Pada Juli 2008,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melalui laporan penyelidikan
pro justitia-nya, menyimpulkan bahwa paling sedikit 130 orang telah dibunuh di
luar hukum oleh aparat militer; paling sedikit 53 orang ditahan secara
semena-mena dan mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya; dan paling
sedikit 77 orang diusir paksa dari kampungnya.
Penyelidikan Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa peristiwa
Talangsari memenuhi definisi “pelanggaran HAM berat” di bawah Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Maka proses penyelesaian tragedi
ini serta cara-cara pemenuhan hak-hak korban dan keluarga harus mengikuti
aturan perundang-undangan yang menaunginya.
Deklarasi damai itu setidak-tidaknya memiliki tiga
masalah. Pertama, legitimasi Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM bentukan
Kementerian untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat, khususnya
peristiwa Talangsari, tidak memiliki alas hukum dan cenderung bertentangan
dengan Undang-Undang Pengadilan HAM.
UU itu tidak memuat sedikit pun wewenang Kementerian
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dalam menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. Kewenangan itu dimandatkan kepada Komnas HAM sebagai
penyelidik, Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut, serta Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai pemberi rekomendasi kepada presiden untuk membentuk
Pengadilan HAM melalui Keputusan Presiden.
Kedua, deklarasi itu tidak memiliki dasar hukum untuk
memberikan kualitas keadilan dan pemenuhan hak-hak korban dan keluarga. Ketiga,
ketiadaan iktikad baik dari Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Talangsari, dan malah terlibat dalam jalan
pintas bertajuk “deklarasi damai” yang tidak sesuai dengan koridor hukum.
Sikap Kejaksaan ini tampak dari pengurusan sembilan
berkas pelanggaran HAM berat yang bolak-balik antara Kejaksaan Agung dan Komnas
HAM selama belasan tahun. Pada 27 November 2018, Kejaksaan kembali
mengembalikan sembilan berkas tersebut kepada Komnas HAM, tapi lagi-lagi
pengembalian berkas-berkas tersebut tanpa disertai petunjuk baru yang bisa
digunakan oleh Komnas HAM untuk memperkuat hasil penyelidikan pro justitia,
termasuk peristiwa Talangsari.
Jika pemerintah betul-betul serius ingin memulihkan dan
memenuhi hak-hak dasar korban, seharusnya para korban yang diutamakan dan
dilibatkan secara partisipatif dalam proses merumuskan langkah-langkah
pemenuhan hak-hak korban, seperti hak atas rehabilitasi, pendidikan,
memorialisasi, dan kesehatan. Bukan malah peran aktif dan kontribusi mereka
ditiadakan dan bahkan secara sepihak pemerintah membuat kemasan seremonial di
atas penderitaan korban.
Pemenuhan hak-hak korban adalah elemen krusial dalam
penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28I
Undang-Undang Dasar 1945: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Sumber: Kolom Tempo
0 komentar:
Posting Komentar