Rabu, 13 Maret 2019

Mengapa Golput Menjadi Pilihan Rasional: Tanggapan Untuk Franz Magnis Suseno

03/13/2019 | Danang Pamungkas*

“Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”­ – Soe Hok Gie


Hal yang menarik dari perdebatan siapa yang lebih baik diantara Jokowi atau Prabowo dalam pilpres kali ini adalah munculnya gerakan golput yang semakin masif. Hampir 35-40 persen pemilih yang belum menentukan pilihannya. Angka itu diperoleh dari beberapa lembaga survey nasional. Sementara diakun sosial media, kampanye golput semakin nyaring dan memiliki basis massa yang jumlahnya lumayan besar. Para pegiat kampanye golput rata-rata adalah para aktivis dan pendukung Jokowi yang kecewa. Tentunya, sang petahana saat ini gusar terhadap kampanye golput, dari beberapa survei yang muncul suara petahana semakin berkurang, sementara suara Prabowo juga masih stagnan. 

Artinya, suara golput punya kemungkinan besar jumlahnya diatas 30 persen, ini akan sangat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi pemenang dalam pilpres nanti.

Argumen Franz Magnis Suseno yang Sudah Usang

Baru-baru ini Franz Magnis Suseno yang dikenal sebagai pengajar filsafat dan tokoh pluralisme, menulis tentang Golput di Koran Kompas. Tulisannya secara  garis besar mengkritik para golputers yang ia anggap bodoh, parasit, dan tidak memikirkan masa depan bangsa. Ia beranggapan bahwa, pemilu adalah sarana paling demokratis agar publik mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terburuk. Jadi konsekuensi dari argumen ini adalah seburuk atau sejahat apapun kedua paslon, pasti ada yang lebih mendingan. Nah itu yang harus dipilih.

Argumen ini sebenarnya mengalami beberapa kejanggalan apabila dibedah satu persatu. Apa kelebihan Jokowi dan Prabowo sehingga mereka harus dipilih? Apakah benar, Jokowi dan Prabowo memiliki agenda yang bisa memecahkan persoalan bangsa ini kedepannya?

Baiklah sekarang ini saya akan membantu Franz Magnis agar bisa memilih calon presiden dengan baik, hanya denga dua kasus; persoalan HAM dan Konflik Agraria.

Persoalan Hak Asasi Manusia

Saat debat pertama Capres-Cawapres dengan tema “Hak Asasi Manusia dan Hukum,” baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama gagal menjelaskan secara konkret capaian-capaian mereka ataupun pemahaman mendalam mereka terhadap persoalan HAM. Sebagai Presiden, Jokowi saya anggap gagal dalam mengatasi kasus pelanggaran Hukum yang menimpa Novel Baswedanpara petani Kendengpara petani Kulon Progo dan kasus penggusuran lahan lainnya. Jokowi hanya berdiam diri, dan selalu berbicara “selesaikan dengan mekanisme hukum.” 

Namun hukum tidak berbicara soal mekanisme dan aturan, hukum membutuhkan dorongan kekuasan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang diduga melibatkan elit dan orang-orang besar disekitar kekuasaan. Itu contoh kasus pelanggran HAM dan hukum di periode Jokowi, belum lagi kasus penggaran HAM dimasa lalu, seperti; Pembantaian 65 terhadap orang-orang yang dituduh aktivis dan simpatisan PKI, kasus penculikan aktivis 1998, invasi Indonesia di Timor-Timor, DOM di Aceh dan Papua, semua tidak ada yang diselesaikan oleh Jokowi. Bahkan, Jokowi yang sebelumnya berbicara tentang Wiji Tukul pada debat capres 2014 yang berjanji mengusut dalang penculikan Wiji Tukul, sampai sekarang kasusnya pun belum ada kejelasan. Beberapa orang yang dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM malah merapat ke kubunya. Hasilnya jelas, sudah tidak mungkin lagi untuk Jokowi menyelesaikan kasus hukum itu dengan kekuasaannya, orang-orang disekitarnya adalah para beruang, buaya, singa, dan kalajengking, mereka sudah makan asam garam dunia gelap, dan saya yakin transaksi politik diantara mereka, tidak akan ada klausul menuntaskan kasus-kasus HAM dimasa kini maupun masalalu!

Sama halnya dengan Prabowo, ia tidak pernah secara terbuka dan jujur membuka kasus penculikan aktivis 1998. Ia bermain aman, beberapa kali ia dituduh menculik aktivis dan Prabowo menolak tuduhan itu. Namun anehnya, kasus penculikan akitivis 1998 hanya seperti berita gosip Lambe Turah ketimbang dibuka secara terang. Semasa menjabat sebagai Pangkostrad, Prabowo tentunya memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk bergerak mengidentifikasi siapa saja aktivis yang membahayakan rezim Suharto, atasannya Wiranto pun pasti tahu. Namun baik Prabowo dan Wiranto, sepertinya hanya berbasa-basi dalam membuka kasus ini.

Keduanya saling memahami, bahwa membuka kasus ini akan lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan. Bahkan untuk mengungkap –nya secara hukum di meja peradilan yang lebih jelas, mereka malah berdebat berani sumpah pocong atau tidak, ini adalah hal konyol yang kita dengar dari elit negeri ini.

Prabowo juga sedang terlilit permasalahan terkait para karyawannya yang tidak digaji selama berbulan-bulan. Bagaimana mungkin ia akan mensejahterakan rakyat Indonesia yang jumlahnya ratusan juta, jika mensejahterakan karyawannya saja tidak bisa. Bahkan malah mempersulit hidup karyawannya. Daripada menggelontorkan dana untuk kampanye, lebih baik Prabowo fokus melunasi gaji karyawannya yang belum dibayar.

Nah dari hal ini, apakah Franz Magnis sudah yakin menentukan pilihannya? Kalau belum, saya akan melanjutkan argumen kedua.

Ketimpangan Penguasaan Lahan, dan Konflik Agraria

Pada debat kedua Capres dengan tema “Lingkungan Hidup dan Pangan”, baik Jokowi dan Prabowo sama sekali tidak membahas akar konflik agaria di tingkat akar rumput. Konflik Samin vs Semen, konflik warga vs Pengembang bandara Kulon Progo, serta kasus kejahatan yang menimpa Budi Pego pun tidak dibicarakan. Krisis lingkungan dan kerusakan ekologis di wilayah pertambangan dan sawit juga tidak dibahas sama sekali. Keduanya seperti mengamini, bahwa pertambangan dan sawit adalah solusi agar Indonesia mendapatkan keuntungan yang melimpah, meskipun mengorbankan rakyat miskin sekalipun. Dari kubu Jokowi dan Prabowo, bertengger beberapa nama yang menguasai proyek tambang dan sawit, patut diduga keduanya sama-sama takut membahas hal ini secara serius, karena dapat membahayakan kepentingan dirinya dan para kroninya.

Hal yang menarik pada debat ini, ketika Jokowi menyebut Prabowo memiliki tanah yang luas di Aceh dan Kalimantan Timur, sementara Prabowo menanggapinya dengan santai, bahwa ia adalah seorang nasionalis, dan patriotik. “Lebih baik jatuh ke tangan saya ketimbang jatuh ke tangan asing,” ungkap Prabowo.

Mengapa Jokowi tidak membuka data lahan milik Erick Thohir, Surya Paloh, dan Hary Tanoe sekalian? Padahal mereka juga memiliki lahan yang luas seperti Prabowo. Pun juga Prabowo, jika ia seorang nasionalis dan patriotik sejati, mengapa ia tidak memberikan sebagian tanahnya itu kepada petani dan buruh yang hidup miskin. Itu jauh lebih patriotik dan nasionalis, ketimbang ia menjadi orang kaya raya, namun warga disekitar hutan dibiarkan sengsara.

Pada debat itu Jokowi berkata “tidak ada penggusuran, adanya  ganti untung.” Entah para staf dan bawahannya tidak pernah memberikan informasi kepada beliau atau menyembunyikannya, namun konflik agraria yang terjadi di Rembang dan Kulon Progo, cukup membuat publik bertanya; apakah benar Pak Jokowi sama sekali tidak tahu? Selama berminggu-minggu para petani Kendeng datang ke istana, dan melakukan aksi semen kaki, namun Jokowi hanya diam saja.

Sementara, Prabowo pun juga setuju-setuju saja dengan jawaban Jokowi atas persoalan lingkungan. Hal yang aneh, jika Prabowo dan Timnya serius mengulik masalah ini, pasti ada ratusan atau bahkan ribuan kasus hukum mengenai konflik agraria ini bisa dibuka dan mengkritik habis Jokowi. Namun nampaknya Prabowo sadar diri, membuka kasus ini sama saja dengan membuka lubang kuburnya dan rekan-rekan bisnis-politiknya. Hal ini sama sekali tak menguntungkan bagi keduanya.
“Jika saya menjadi Prabowo saat debat Pilpres kedua, pasti saya sudah habisi argumen Jokowi. Saya akan menarasikan retorika warga miskin yang tergusur dan dihancurkan ruang hidupnya oleh rezim pemerintah. Prabowo yang dikenal jago retorika pun tidak dapat menarasikan jeritan warga miskin itu dengan baik.”

Mengapa Golput Menjadi Relevan

Gerakan Golput adalah hal yang sangat relevan saat ini. Mengapa? Semua pintu untuk publik berpartisipasi dalam pemilu sudah ditutup oleh kekuasaan, sistem threshold 20 persen belum juga dicabut. Hal ini membuat publik tidak bisa mencalonkan presiden secara independen tanpa melalui partai. Padahal, semakin banyak calon akan semakin baik. Publik pun bisa menyeleksi dan memilih dengan seksama.

Sementara, cara selanjutnya agar pubik bisa berpartisipasi dalam proses politik adalah membuat partai politik. Namun untuk membuat partai politik yang bisa disahkan oleh KPU, publik diberikan syarat yang seabrek dan butuh biaya milyaran rupiah untuk mendirikan cabang DPC/DPD tiap kota. Ongkos pembiayaan yang sangat boros ini hampir mustahil bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat kelas menangah-bawah. Hal ini membuat sebagian besar partai yang mengikuti pemilu, tumbuh dan dihidupi oleh orang kaya dan pengusaha besar yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakat bawah. Maka jangan heran jika kebijakan-kebijakan yang dibuat partai cenderung tidak berpihak kepada rakyat miskin.

Dua prasyarat mendasar untuk publik berpartisipasi dalam pemilu sudah dipotong oleh kekuasaan. Masihkah Franz Magnis berargumen bahwa gerakan golput adalah gerakan para apatis, parasit, dan tidak peduli dengan nasib bangsa?

***

Danang Pamungkas, Jurnalis lepas, dan Pengajar Partikelir di Sekolah Swasta. Penulis bisa dihubungi lewat email: danangpamungkas637@gmail.com

Sumber: Colombo Studies 

0 komentar:

Posting Komentar