Hendaru Tri Hanggoro - 16 Maret 2019
Abuya Dimyathi dipenjara karena mengkritik intimidasi partai penguasa. Dituduh pemberontak dan PKI.
Abuya
Dimyathi dan keluarganya. (Wikipedia).
Jalanan
utama Kota Pandeglang, Banten, Jawa Barat, penuh massa. Tak ada kendaraan
lewat. Massa memblokir jalan. Mereka siap menyerbu penjara Pandeglang dekat
alun-alun kota. Mereka hendak mengeluarkan paksa K.H. Muchamad Dimyathi,
ulama berpengaruh di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, dari
dalam penjara. Sehari sebelumnya, 14 Maret 1977, polisi menangkap
Abuya Dimyathi.
Penangkapan
terhadap Abuya Dimyathi (lahir 7 JunI 1920) bermula dari laporan seorang
Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) Cadasari, Pandeglang. Dia mendengar Abuya
Dimyathi berbicara di hadapan orang-orang sebelum Salat Jumat di Masjid Cidahu
pada 11 Maret 1977. Isi pembicaraannya seputar kritik Abuya Dimyathi tentang
intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang menjelang
Pemilu 1977.
“Zaman itu, maklumlah, (ada) penekanan-penekanan. Yang namanya kekuasaan, setengah diktatorlah. Harus A, ya A. Harus B, ya B. Banyak orang yang dikejar-kejar, dipaksa,” kata K.H. Ariman Anwar, salah satu santri Abuya Dimyathi sejak 1975, kepada Historia.
Golkar
menjadi pemenang Pemilu 1971 secara nasional, termasuk di Pandeglang. Mereka
menguasai parlemen dan pemerintahan. Mereka berupaya mempertahankan posisi itu
pada pemilu selanjutnya.
Golkar
adalah mesin politik Orde Baru. Tanpa kemenangan Golkar dalam pemilu, kekuasaan
Orde Baru akan goyah. Orde Baru perlu memastikan dominasi Golkar dalam Pemilu
1977. Antara lain dengan mempreteli kekuatan partai-partai pesaing,
monoloyalitas pegawai negeri, dan menyusun Undang-Undang Pemilu 1977.
“Inti dari pemilihan umum 1977 ialah mempertahankan dominasi ini dan berusaha sekali lagi melegitimasikannya melalui proses yang seolah-olah demokratis,” tulis William Liddle dalam Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik.
Golkar
memperoleh banyak keistimewaan dalam pemilu 1977. Di Pandeglang, misalnya,
mereka menyatakan dirinya sebagai pemerintah. Mereka mempolitisasi ulama dan
mengajaknya bergabung mendukung Golkar demi keberlangsungan pembangunan
pesantren dan Banten. Mereka tak segan menawarkan dana perbaikan bangunan
pesantren kepada para ulama.
Sejumlah
ulama akhirnya menyatakan bergabung dengan Golkar dan memperkuat pernyataan
bahwa Golkar adalah pemerintah. Tidak berpihak pada Golkar berarti tidak
mendukung pembangunan. Tidak memilih Golkar berarti menentang pemerintah atau
makar. Intimidasi seperti ini sepi dari tindakan kepolisian.
Masjid
Cidahu tempat Abuya Dimyathi memberi jawaban kepada masyarakat soal pilihan
dalam Pemilu 1977. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia).
Golkar bukan Pemerintah
Masyarakat
Pandeglang memiliki keterikatan kuat pada budaya politik NU. Salah satu cirinya
adalah setia pada pemerintahan. Mereka tidak boleh makar pada pemerintahan.
Keadaan ini membingungkan masyarakat Pandeglang. Mereka bertanya kepada Abuya
Dimyathi, apakah ini berarti memilih partai politik selain Golkar benar-benar
tindakan makar?
“K.H. Dimyathi menjawab bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar memiliki posisi yang setara dengan partai politik lain, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka adalah kontestan pemilu 1977,” kata Juhdi Syarif, pengajar Program Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, kepada Historia.
Juhdi
meneliti sikap politik Abuya Dimyathi pada pemilu 1977 dalam disertasinya. Dia
berkesimpulan bahwa Abuya Dimyathi hanya berupaya menjernihkan persoalan
seputar pemilu di masyarakat. Abuya Dimyathi bukan salah satu pendukung partai
politik atau Golkar. Sebagai ulama, dia menghindari politik praktis. Dia tidak
mengarahkan masyarakat harus memilih Golkar, PPP, atau PDI.
Masyarakat
mengakui kearifan dan keulamaan Abuya Dimyathi. Mereka telah memandangnya
selaik bapak sendiri. Jika masyarakat bimbang dan takut, ke dialah
masyarakat mengadu. Karena itu, masyarakat bertanya kepadanya tentang sikap apa
yang harus mereka ambil dalam pemilu.
“Jawaban beliau berarti masyarakat bebas memilih dalam pemilu. Tidak boleh dipaksa-paksa. Tidak memilih Golkar bukanlah tindakan makar,” kata Juhdi.
Selain
memberi masyarakat jawaban, Abuya Dimyathi meminta kepala desa, pejabat
pemerintah, dan pengurus Golkar agar tak menakut-nakuti masyarakat menjelang
Pemilu 1977. Dia menginginkan situasi damai dan tenang melingkupi kehidupan
masyarakat.
Tetapi jawaban dan permintaan Abuya Dimyathi beroleh artian lain dari Kapolsek. Dia menggangap Abuya Dimyathi menentang pemerintah. “Dia lapor Kapolres, kemudian diproses,” kata K.H. Ariman.
Polisi
datang ke rumah Abuya Dimyathi pada 14 Maret 1977. Mereka membawanya ke kantor
dan memproses verbal selama beberapa jam.
“Jam sembilan pagi diambil, jam empat sore masuk penjara. Sidang kilat. Terus masuk penjara. Intinya dianggap mengkafirkan Golkar. Ya sudah, begitu. Jangan diperpanjang lagi itu, mah, ha-ha-ha,” kata Abuya Muhtadi, salah seorang anak Abuya Dimyathi kepada Historia.
Abuya
Murthado, adik Abuya Muhtadi, mengakui bahwa keluarga terkejut dengan peristiwa
tersebut. Dia datang ke penjara untuk menanyakan kondisi ayahnya. Wakil kepala
penjara menemuinya dan berkata,
“Kyaimu pemberontak dan orang merah (Partai Komunis Indonesia, red.),” tulis Abuya Murtadho dalam Manaqib Abuya Cidahu dalam Pesona di Dua Alam.
Keluarga
Abuya Dimyathi akhirnya menerima kabar lanjutan. Pengadilan Negeri Pandeglang
memvonis Abuya Dimyathi dengan hukuman penjara enam bulan. Sidang berlangsung
tanpa saksi dan pengacara.
Keesokan
harinya kabar itu tersebar. Jawara dan santri berkumpul di jalanan. Tentara pun
keluar dari markasnya. Pandeglang mencekam.
“Cidahu saat itu laksana gunung yang meletus mengeluarkan gumpalan-gumpalan lahar dan lava yang amat panas, berbagai komentar baik yang sehat maupun yang tidak sehat salah berdatangan,” tulis Abuya Murthado.
0 komentar:
Posting Komentar