HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 30 Oktober 2013

[Resensi] Pengakuan Algojo 1965: Saatnya Sejarah Diluruskan

30 Oktober 2013   08:04 | Surya Narendra


Judul : Pengakuan Algojo 1965 (Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965)
Penulis : Kurniawan et al.
Penerbit : Tempo Publishing
Jumlah Halaman : viii+178 halaman
Tahun Terbit : September 2013

Pesan Jas Merah Bung Karno adalah pesan yang singkat tetapi efeknya bisa sangat panjang. Melupakan sejarah atau memilih apatis terhadap kebenaran sejarah yang ditutupi oleh penguasa akan menjadikan kita bangsa yang tidak pernah belajar dari kesalahan. Akibatnya kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di masa lalu akan terulang, bahkan menjadi lebih fatal tanpa ada tindakan penghindaran.

Inilah yang menjadi dasar Tim Laporan Khusus Majalah Tempo ketika memutuskan untuk mengungkap fakta sejarah dibalik penumpasan G30S/PKI. Majalah Tempo berusaha mengungkap kenyataan sejarah dari peristiwa pembantaian terhadap anggota PKI oleh ABRI (sekarang TNI-Polri) yang dibantu masyarakat, khususnya para tokoh agama-musuh utama PKI, sesaat setelah pecahnya Gestapu.

Laporan Tim Khusus yang tadinya dimuat dalam bentuk majalah edisi 1-7 Oktober 2012 ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pengakuan Algojo 1965 (Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965) setebal 186 halaman. Buku ini berisi pengakuan dari beberapa orang yang dulu pernah menjadi algojo pada saat proyek penumpasan PKI sampai akar-akarnya digencarkan oleh Soeharto dan Orde Baru.

Buku dan Perlengkapan untuk Meresensinya
Tim investigasi Tempo menelusuri jejak peristiwa pembantaian anggota-anggota PKI sekitar tahun 1965 di berbagai daerah. Dari hasil penelusuran tersebut terungkaplah bahwa di berbagai daerah di Indonesia dulu pernah terjadi pelanggaran HAM berat berupa pembantaian masal terhadap anggota PKI maupun simpatisannya.

Pengakuan paling menggetarkan berasal dari seorang mantan algojo berjuluk Anwar Congo. Di buku ini ia tak sekedar menceritakan pengalamannya mengeksekusi para anggota dan simpatisan PKI. Lebih dari itu Anwar Congo juga memperagakan bagaimana cara ia membunuh. Dengan sigap dia memperagakan : seorang kawannya ia dekatkan ke tiang, lalu seutas kawat ia lilitkan di leher. Kawat itu kemudian ditarik. “Ini supaya tidak ada darahnya, “katanya. “Ini saya tiru dari film-film gangster.” (halaman 152)

Selain berisi pengakuan para algojo, buku yang dilengkapi beberapa dokumentasi foto ini juga berisi pengakuan para korban yang dulu pernah dipenjara, disuruh kerja paksa, bahkan disiksa tanpa ada proses pengadilan karena mereka dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI.

Di bagian akhir buku juga dilampirkan beberapa pendapat para ahli dan tokoh mengenai tragedi yang kabarnya lebih kejam daripada peristiwa G30S/PKI itu sendiri. Karena buku ini awalnya adalah laporan investigasi Tim Laporan Khusus Majalah Tempo, maka disertakan pula beberapa tanggapan dari pembaca. 
Sebagian besar surat pembaca tersebut berasal dari tokoh-tokoh ormas agama yang organisasinya disebut dalam hasil investigasi ini. Kebanyakan mereka tidak terima organisasi mereka disebut ikut dalam pembantaian 1965. Bahkan mereka menganggap bahwa Tempo memiliki “agenda tertentu” dalam investigasinya.

Sebagai buku sejarah, Pengakuan Algojo 1965 adalah buku yang sangat menarik. Membacanya membuat wawasan kita tentang sejarah bangsa menjadi tercerahkan. Lewat buku ini kita juga akan disadarkan bahwa komunis memang dilarang di Indonesia, tetapi bukan berarti bahwa pembantaian terhadap komunis diijinkan dan diskriminasi terhadap keluarganya diperbolehkan. Bahkan mempelajari ideologi komunis atau sosialis juga sebenarnya jangan dilarang. 

Sejarah bangsa Indonesia yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah harus diluruskan, karena masih dipenuhi unsur propaganda rezim Orde Baru. 

Sumber: Kompasiana

Usai rusuh diskusi soal PKI, warga Banyumas tak bisa dihubungi


Rabu, 30 Oktober 2013 03:32 | Reporter : Chandra Iswinarno

PKI. ©foto IPOS

Merdeka.com - Aksi Forum Anti-Komunis Indonesia (FAKI) yang melakukan pembubaran, disertai tindakan kekerasan terhadap keluarga keturunan dan korban tragedi 1965 di Shanti Dharma Godean Bantul Yogyakarta pada Minggu (27/10), menuai kecaman. Tindakan yang dilakukan oleh FAKI tersebut dinilai telah melanggar hak warga negara.
"Bagaimana pun juga setiap warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama, karena dilindungi UUD 1945," kata Koordinator IV Sekretariat Bersama (Sekber) korban 65 Banyumas, Slamet Sp di Banyumas, Selasa (29/10).
Slamet mengungkapkan, selama ini anak keturunan korban tragedi 1965 kerap mendapat perlakuan diskriminatif dalam aturan di masyarakat. Meski begitu, Slamet mengaku masih menunggu penyelesaian dalam kasus kekerasan yang menimpa peserta kegiatan. 
"Saat ini kami masih akan menunggu informasi dari pihak yang ikut dalam melaksanakan acara tersebut," katanya.
Lebih jauh, ia mengatakan empat korban yang mendapatkan tindakan kekerasan tersebut, memang berasal dari wilayah Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah. 
"Salah satu korban kekerasannya menjabat sebagai sekretaris Sekber 65 Kecamatan Sumpiuh, Bayu Cahyadi. Tetapi hingga sekarang kami masih belum bisa menghubunginya," ucapnya.
Menurut Slamet, kondisi yang terjadi di Yogyakarta tersebut sangat bertolak belakang dengan di wilayah Banyumas. Dalam setiap kegiatan korban tragedi 1965 di Banyumas, nyaris tidak pernah mendapat gangguan dari pihak lain. "Bahkan dari unsur Bakesbangpolinmas juga turut serta dalam pertemuan yang biasanya kami gelar setiap selapanan. Di sini, kami bisa berkumpul dan berpendapat," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Aliansi untuk Kebenaran Keadilan dan Rekonsiliasi (AKKAR) Banyumas, Ahmad Sabiq mengemukakan tindakan oleh kelompok orang yang melakukan pembubaran di Shanti Dharma merupakan tindakan yang tidak beradab. Ia juga menyesalkan pihak kepolisian yang terus melakukan pembiaran terhadap kekerasan terhadap anak korban kekerasan tragedi Tahun 1965.
"Karena sejatinya tindakan yang dilakukan terhadap peserta acara di Godean Yogyakarta sudah membahayakan kehidupan sendi-sendi dalam berdemokrasi di Indonesia. Perilaku tersebut merupakan bentuk ancaman nyata terhadap demokrasi di Indonesia," jelasnya.
Sabiq melanjutkan, selama ini wilayah Banyumas dan Cilacap merupakan salah satu wilayah dengan jumlah mantan eks-tapol dan napol tragedi 1965 yang cukup banyak. 
"Dalam perkiraan saya ada ribuan warga Eks tapol dan napol 1965 di Banyumas dan semuanya tersebar di pelosok. Tetapi di Banyumas sendiri, warganya selalu menghargai perbedaan tersebut. Kalau pun ada itu juga bisa diselesaikan duduk bersama karena hanya merupakan bentuk kesalahpahaman saja," ucapnya.
Sumber: Merdeka 

Senin, 28 Oktober 2013

Ormas tekan LBH Yogyakarta tak bantu anak PKI

Senin, 28 Oktober 2013 14:43 | Reporter : Kresna

PKI. ©foto IPOS

Merdeka.com - Forum Anti-Komunis Indonesia (FAKI) membubarkan diskusi di Shanti Dharma Godean, Minggu (27/10). Diskusi itu dilakukan anak-anak mantan korban tragedi 1965. Terkait pembubaran itu, peserta diskusi berniat mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Namun Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (PP GM FKPPI) juga mengunjungi LBH Yogyakarta. Mereka meminta LBH Yogyakarta untuk tidak melayani aduan kelompok diskusi yang diduga melibatkan anak-anak mantan korban 65.

Ketua FKPPI Bantul, Hanung mengatakan, sebaiknya LBH Yogyakarta tidak melayani bantuan hukum untuk anak-anak PKI.
"Kita dari GM FKPPI tidak menginginkan ada bantuan hukum untuk anak-anak PKI, Idelogi komunis tidak boleh hidup di Indonesia lagi karena sangat menyengsarakan rakyat," ujar Hanung, di kantor LBH Yogyakarta, Senin (28/10).
Kedatangan juga mereka berusaha menekan LBH Yogyakarta agar tidak meneruskan laporan dari peserta diskusi. Mereka mengancam akan datang dengan jumlah massa lebih banyak lagi jika LBH Yogyakarta melanjutkan laporan tersebut.
"Apabila LBH akan meneruskan kita akan dengan massa lebih banyak dan akan kami segel LBH. Kalau mau nerima laporan dari PKI, langkahi mayat kami dulu," kata Hanung.
Sementara itu ketua FAKI Budi Santoso mengatakan mereka melakukan penyerangan karena ada indikasi pertemuan tersebut merupakan koordinasi anak-anak PKI dan tokoh PKI.
"Mereka bilang diskusi soal ekonomi kerakyatan, itu hanya kedok," ujar Budi.
Menanggapi itu ketua LBH Yogyakarta, Syamsudin Nurseha mengatakan pada dasarnya LBH Yogyakarta belum menerima laporan dari kelompok diskusi yang dikoordinatori Iren tersebut.
"Kami belum menerima laporan, namun pada prinsipnya LBH Yogyakarta melayani tanpa mendiskriminasikan siapapun," kata Syamsudin singkat.
Sebelumnya puluhan aktivis FAKI membubarkan diskusi yang berlangsung di Padepokan guru dan karyawan PGK Shanti Dharma, di Godean Sleman, Minggu (27/10). Dalam penyerangan tersebut setidaknya ada korban luka sebanyak tiga orang. [ian]

Sumber: Merdeka.Com 

LBH Yogya Diminta Tolak Laporan Eks Tapol 65

Senin, 28 Oktober 2013 | 14:19 WIB

 Massa memasang sapanduk di teras depan kantor LBH Yogya. [KOMPAS.com/wijaya kusuma]

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Massa Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) Yogyakarta dan FKPPI DIY mendesak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk menolak laporan pengaduan keluarga dan anak-anak eks Tapol 65.

Seperti diketahui pada Minggu (27/10/2013), acara keluarga eks Tapol 65 di Padepokan Santi Dharma dibubarkan. Akibat pembubaran itu, keluarga eks Tapol 65 berencana mengadukan kejadian itu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta di Jalan Ngeksigondo, Kotagede, Senin (28/10/2013).

Namun sekitar pukul 10.00 WIB, massa FAKI dan FKPPI mendatangi LBH Yogyakarta. Mereka meminta LBH menolak Irene, ketua panitia pelaksana pertemuan keluarga eks Tapol 65 yang akan melaporkan kasus pembubaran.

"Kami tegas menolak kehadiran para mantan keluarga Tapol 65 di Yogyakarta," tekan Burhanuddin, Ketua FAKI, saat menemui perwakilan LBH Yogyakarta.

Menurut Burhanuddin, pertemuan di Padepokan Santi Dharma bukanlah pertemuan biasa, melainkan kongres yang dilakukan keluarga dan anak-anak eks Tapol 65. Burhanuddin mengatakan, mereka merupakan kader-kader PKI. Jadi, pertemuan itu menurutnya wajib dibubarkan.

Burhanuddin mengatakan, peserta pertemuan itu bukan hanya dari Yogyakarta, melainkan juga dari kota-kota lain, seperti Pacitan, Banyumas, dan Purwokerto.

"Mereka itu bukan korban, melainkan pelaku pemberontakan (PKI). Yang korban itu para jenderal AD yang dibunuh. Yogya tegas menolak kehadiran mereka. Kalau tetap nekat, kami akan menghadapinya," tandasnya.

Seusai menyatakan sikap kepada Direktur LBH Yogyakarta Syamsudin Nurseha, massa kemudian memasang spanduk yang bertuliskan "Posko Anti Perbudakan dan Pelanggaran  Hak-Hak Pekerja" dan "PKI Dilarang Masuk". Spanduk tersebut dipasang di teras kantor LBH Yogyakarta. Setelah memasang spanduk, massa membubarkan diri.

Penulis: Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma
Editor : Kistyarini
 
http://regional.kompas.com/read/2013/10/28/1419527/LBH.Yogya.Diminta.Tolak.Laporan.Eks.Tapol.65.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Rabu, 23 Oktober 2013

Di Suatu Siang Dipa Pinensula Whani Bertanya Soal PKI, Buru, dan Tapol

Sebelum sampai di sketsa ini, dia suatu siang yang gerah bertanya pada saya, apakah “PKI” itu. Tak terlalu jelas dari mana ia mendapatkan kata itu. Kemungkinan dari buku Gumelar yang dibukanya secara random. Maklum saja ratusan buku di rumah maupun di perpustakaan gelaranibuku/Patehan dibiarkan saja berada di rak dan/atau tergeletak di lantai.
Atas pertanyaan “sulit” dari Dipa, saya menjawabnya secara normal: PKI adalah Partai Komunis Indonesia. Saya hanya mengurai akronim tiga huruf itu. Namun ternyata itu tak berhenti di situ. Sudah disiapkannya pertanyaan susulan yang ini tak kalah sulitnya karena menjadi semacam vonis umum: “PKI itu penjahat ya!”
Saya tak menjawabnya langsung, tapi mengambil sebuah buku tebal bersampul jelaga yang sebetulnya “tak layak” bagi usia anak 10 tahun, melainkan mahasiswa sejarah semester 8. Saya lupa sama sekali bahwa sebetulnya ada “buku bergambar” karya Gumelar Demokrasono.
Baca ini! kata saya yang kemudian menyodorkan buku John Roosa “Dalih Pembunuhan Massal”. Dia menerima buku itu secara enteng saja. Dan benar, baru 10 menit membaca buku itu–itu pun di bagian kesimpulan–bocah yang lahir 10 November 2003 itu pun tidur siang dengan lelap.
Namun tidak dengan buku sketsa Gumelar Demokrasono. Buku ini dibawanya ke tempat tidur bercampur dengan tumpukan komik Tin Tin, Koel, dan Benny & Mice. Jika buku sudah dibawa ke tempat tidur, alamat bahwa buku itu bakal dibaca berulang-ulang. Itu pun jadi alamat bahwa buku itu masuk kategori “Favorit”.
Tiga hari kemudian setelah menyelesaikan sketsa-sketsa Gumelar Demokrasono ia memiliki pandangan baru. Saya mencoba bertanya frase “Buru”, maka Dipa dengan cekatan menjawabnya: “penjara dan pembuangan”. Istilah “Tapol” juga diingatnya dengan baik sebagai “Tahanan Politik”. Nah, frase Tahanan Politik ini sedikit membingungkannya.
Di luar soal “Tapol” itu ia bisa membandingkan bahwa penjajah Jepang dan Soeharto sama kejamnya. Bahkan Soeharto melakukannya kepada bangsanya sendiri–kata “kejam” dipakai Dipa sebagai frasa. Mungkin dalam sketsa Gumelar ada istilah “kerja rodi”. Namun, sejumlah teks penjelas dalam sketsa-sketsa Gumelar, seperti Pengantar Penerbit PUSdEP (ix-xi), Pengantar Harsutejo (xiii-xxiv), Catatan Amarzan Ismail Hamid (135), Catatan Misbach Tamrin (137-139), tak satu pun membandingkan kejamnya Soeharto dan Jepang, selain bahwa frasa “kerja rodi” terpacak di halaman sampul depan. Atau entahlah, mungkin saya kurang awas dan teliti dengan keseluruhan teks yang tercetak dalam buku yang diterbitkan pada 2006 itu.
Mengapa Soeharto kejam? tanya saya pada suatu sore di kedai susu di dekat Lapangan Kasihan bantul. Jawabnya datar saja sambil mengudap roti bakar keju: ia membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Nah, kata saya, itulah yang disebut “Tapol”, mereka yang ditahan/dibuang karena perbedaan pendapat.
Selain itu, ia juga pelan-pelan mengeja nama Pramoedya Ananta Toer (dilafadkannya sesuai dengan apa yang tertulis). Gumelar dalam sketsanya sedikit menyinggung pengarang ini. Menurut Dipa, Toer diperlakukan dengan kejam di Pulau Buru, disuruh mencangkul dari pagi hingga malam, padahal ia seorang penulis (saya yakin dia belum menjamah novel-novel Pram sebab tak sekalipun saya melihat ia memegang buku Tetralogi Buru).
Dia juga memberi catatan kaki bahwa buku-buku Pram dilarang karena berurusan dengan pemerintah. Tahu dari mana buku Pram dilarang? tanya saya. Ini jawabnya: “Dari buku ‘Awas Penguasa Tipu Rakyat’.” Sayang, ia tak ingat siapa pengarang buku yang menurutnya campuran antara gambar dan tulisan itu. Lagi pula, setahu saya buku karya Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa sudah lama sekali dibacanya di perpustakaan gelaraibuku Patehan saat lelah main game.
Baiklah!
Lalu saya bertanya kembali, tepatnya membalik pertanyaannya seperti awal, “Jadi, PKI itu penjahat?” (saya tahu bahwa ada teks ini di sketsa Gumelar [hlm 36]: “Para penduduk telah menerima indoktrinasi bahwa akan datang manusia tapol yang kejam, pembunuh, pemerkosa agar mereka tidak bergaul dengan Tapol”). Dan inilah jawaban Dipa–sederhana dan tegas–dan sepertinya ia sedang mempertahankan argumen dasarnya: “Mereka diperlakukan kejam hanya karena berbeda pendapat dengan Soeharto”.
Ah, mengapa anak ini tak menyebut mantan Presiden Soeharto dengan “Pak Harto”. Mungkin saja ia tak mendengar sama sekali nama ini setelah selama 4 tahun duduk di bangku SD Padokan 2, Kasihan, Bantul.
Sumber: MuhidinMDahlan 

Kamis, 17 Oktober 2013

‘Sulawesi Bersaksi' mengungkapkan perspektif langka tentang pembantaian 1965


Evi Mariani - The Jakarta Post / Kamis, 17 Oktober 2013 / 01:09 siang

Mengingat 1965: "Ketika Sulawesi datang ke depan, itu harus dipuji," menurut sejarawan Hilmar Farid. (JP/Lembaga Kreatiftas Kemanusiaan)

Lima orang muda telah menulis permata sejarah dari sebuah buku berjudul Sulawesi Bersaksi (Sulawesi Bersaksi), mengungkap kisah langka para penyintas dan keluarga mereka setelah pembersihan para tersangka komunis pada 1965 di Sulawesi.

Diedit oleh penulis Putu Oka Sukanta, dirinya dipenjara selama 10 tahun oleh Orde Baru, buku, yang ditulis oleh para aktivis muda HAM dari Sulawesi Tengah ini, menampilkan wawancara dengan kaki tangan pembunuh empat tahanan di provinsi tersebut serta dengan 12 para penyintas dan anak-anak serta istri para penyintas yang disiksa, dipenjara, dan dipaksa bekerja setelah tragedi 30 September 1965.

Sejarawan Hilmar Farid mengatakan dalam sebuah diskusi baru-baru ini yang diselenggarakan oleh pusat budaya Jerman Goethe Institut di Jakarta Pusat bahwa buku itu luar biasa, karena akun 1965 kebanyakan berpusat di sekitar Jawa. 
 "Ketika Sulawesi datang ke depan, itu harus dipuji." 
Penulis buku lainnya, Gagarisman, putra pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) Sulawesi Tengah, membacakan puisi di atas panggung di Goethe, menceritakan kisah keluarganya setelah ayahnya , Abdul Rahman Dg. Maselo, ditahan pada tahun 1965 dan dinyatakan hilang pada tahun 1967.

Mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Maselo sampai 2007, ketika seorang pensiunan tentara, Ahmad Bantam, maju ke depan dan memberi tahu keluarga apa yang terjadi.

Bantam mengatakan bahwa dia dan dua rekan kerjanya menggali dua lubang di sebuah bukit antara Donggala dan Palu. Dia mengatakan dia diberitahu oleh atasannya, Kapten Umar Said untuk duduk di samping mobil sementara Umar, dua tentara dan seorang pria bersenjatakan senapan Sten mengantar tiga tahanan yang diikat, termasuk Maselo, ke lubang-lubang.

Terdengar suara keras dan orang-orang itu kembali tanpa tahanan, kata Bantam.

Kisah Bantam, diceritakan melalui wawancara dengan Nurlaela AK Lamasitudju, atau Ella, adalah satu-satunya kisah dari kaki tangan.

Kisah para penyintas, anak-anak dan para istri bahkan lebih pedih.

Semua akun yang ditulis oleh Ella, Alamsyah AK Lamasitudju, Gagarisman, Muhammad Abbas dan Nurhasanah didasarkan pada wawancara mereka yang dibantu oleh kelompok advokasi hak asasi manusia SKP HAM Palu, tempat Ella bekerja.

Sebagian besar dari mereka yang menceritakan kisah itu berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.

Ella mengatakan bahwa SKP HAM telah mencatat 1.210 kisah korban di Sulawesi Tengah dan lebih banyak di provinsi lain.

Tidak seperti yang terjadi di Jawa, militer di Sulawesi tidak memobilisasi warga sipil untuk membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai komunis, yang oleh Hilmar disebabkan oleh pengaruh lokal yang lebih rendah dari PKI dan perbedaan dalam militer, yang, pada awal rezim Soeharto, tidak sebagai monolitik seperti itu nanti selama pemerintahannya.

Nasir, seorang aktivis mahasiswa dari Palu, mengatakan bahwa tidak adanya keterlibatan warga sipil dalam kekerasan dapat disebabkan oleh kegagalan untuk menerapkan kebijakan reformasi tanah PKI, yang memberikan kepemilikan tanah kepada petani, di Sulawesi.

Di Jawa, anggota sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial Muslim terbesar di negara itu, termasuk di antara para algojo yang dicurigai komunis, karena banyak yang dipaksa melepaskan tanah adalah para pemimpin agama dari NU.

Ella mengatakan, pola kejadian setelah 30 September 1965 di Sulawesi berbeda antar provinsi.

Di Sulawesi Tengah, misalnya, hanya 17 yang dilaporkan hilang atau mati.Angka-angka itu lebih tinggi di tempat lain, katanya. 

 "Di Bone [Sulawesi Selatan] saja, ada lebih dari seribu." 
Dia mengatakan dia bahkan mendengar cerita dari para penyintas Sulawesi Utara tentang penggunaan alat pemenggalan kepala.

Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan dan didukung oleh Kampanye Tapol di London, adalah bagian dari pekerjaan SKP HAM untuk menjelaskan apa yang terjadi di Sulawesi, dan khususnya di Palu.

Kerja bertahun-tahun telah menghasilkan permintaan maaf yang langka dari pejabat publik. Pada bulan Maret 2012, setelah banyak diskusi, termasuk pemutaran Joshua Oppenheimer 'The Act of Killing, Walikota Palu Rusdy Mastura membuat permintaan maaf publik kepada korban dan penyintas pembersihan di Palu.

Walikota mengatakan bahwa orang yang selamat, sebagian besar lansia miskin, akan mendapatkan asuransi kesehatan dari anggaran kota. 
“Aku juga bersalah. Pada 24 Maret 1966, saya diberitahu oleh militer, sebagai seorang pramuka, untuk membantu menjaga [yang dicurigai] PKI yang berkumpul di sebuah alun-alun. Aku menjaga mereka dengan tongkat pramuka anakku." 
Rusdy kemudian mengumumkan kampanye yang disebut "Palu, Kota dengan Kesadaran Hak Asasi Manusia ".

Sementara itu, Ella mengatakan banyak keinginan para penyintas itu sederhana: hanya untuk mengungkapkan kebenaran.

Keinginan keluarga Gagarisman, mungkin kurang megah, lebih mengharukan. 
"Cara ayah saya dimakamkan tidak beradab, hanya cocok untuk mereka yang tidak setia," kata Gagar. “Saya seorang Muslim. Tolong, kembalikan jasad ayahku, kembalikan dia ke keluarga sehingga kita bisa mengadakan pemakaman sebagaimana layaknya keluarga Muslim".

Sabtu, 05 Oktober 2013

Meluruskan Sejarah G30S

5 Oktober 2013





Judul Buku: 
Bunga Tabur Terakhir

Penulis: 
GM. Sudarta

Penerbit: 
Galangpress

Tahun Terbit: 
2011

Tebal: 
156 halaman





_______________________________________________

Tiap September kita diingatkan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Tragedi berdarah G30S/PKI adalah dramaturgi bertajuk pembantaian massal. PKI dianggap dalang pembunuh enam jenderal. Walhasil, doktrin dan wacana anti PKI merebak di seantero negeri.

Pun negeri ini hidup dalam kegelapan. Mereka yang dianggap PKI, entah itu tokoh, pengurus, kader dan bahkan simpatisan “partai terlarang” ditangkap, diculik, dibunuh, dengan cara biadab, jauh dari norma serta etika kemanusian. Singkat kata, hal-hal yang berbau bahkan bersentuhan PKI: ideologi, simbol, identitas, dan sebagainya—wajib disingkirkan dari tanah republik.

Kengerian itu digambarkan dengan dramatis, mendalam, dan apa adanya dalam buku Bunga Tabur Terakhir. Kisah-kisah pilu dialami saudara kita yang di-PKI-kan direkam secara apik karikaturis GM Sudarta. Ia menggambarkan bagaimana situasi tegang, menakutkan, dan tindakan bengis terjadi ketika peristiwa kelabu pecah dan PKI/mereka yang dituduh “partai terlarang” itu hidup dalam bayang-bayang ketakutan serta kematian.

Sungguh situasi yang begitu mencengangkan. Penulis buku mengilustrasikan kembali keadaan zaman meminjam istilah pujangka Joyoboyo zaman edan ke dalam sepuluh cerpen yang ia racik berdasarkan pengalaman pribadi, hasil investigasi dan wawancara langsung dengan para korban kekejaman peristiwa genocide PKI.

Membaca sepuluh cerpen buku ini, pembaca seakan merasakan langsung betapa mengerikan peristiwa PKI. Dengan kreatif, penulis buku membawa imajinasi kita pada keadaan sebenarnya, saat di mana pengejaran terhadap PKI serta hal-hal bersentuhan dengan PKI terjadi ketika itu. Mulai didaftar sebagai anggota PKI, diculik, dibantai, hingga disiksa dengan cara bengis. Tak sampai di situ, citra dan bahkan pembunuhan karakter serta identitas anggota PKI yang juga sebagai pemilik sah republik ini turut dilenyapkan—ironinya masih terjadi hingga saat ini.

Reformasi dan demokrasi memang telah memberikan “angin kebebasan”, termasuk pada keturunan PKI. Tapi tak berarti stigma yang dialamatkan PKI beserta keturunannya bersih dari rekayasa politik masa silam. Manipulasi sejarah yang telah mengakar dan mendarah daging telah menghilangkan identitas kultural, sosial, hukum, budaya, serta politik generasi PKI.
Dalam bahasa lain, masih ada “Soeharto-Soeharto kecil” dalam diri kita ketika mengenang PKI. G30S selalu identik dengan PKI. Begitulah politik keji Orba di bawah panglima Soeharto melakukan manipulasi sejarah dengan menuduh PKI dalang di balik pembunuh enam jenderal. Padahal, hingga kini tak ada bukti otentik PKI aktor utama pembunuh enam jenderal.

Tapi, sejarah terlanjur mengajarkan pada anak bangsa bahwa PKI sebagai dalang di balik peristiwa G30S. Pembelokkan sejarah yang mesti diluruskan dengan sejarah yang benar. Merekonstruksi bahkan membongkar sejarah PKI yang dipelintir sepatutnya dilakukan supaya bangsa ini tak selamanya hidup dalam kebohongan rekayasa sejarah.

 Peresensi : Agus Lucky Syahputra (Ketua Umum IKPM Sumsel 2012-2014)
Sumber: IKPSumsel


Rabu, 02 Oktober 2013

Dunia dalam Peristiwa 1965

Rabu 02 Oktober 2013 WIB

Negara-negara asing bukanlah pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965

Diskusi buku "1965-Indonesia dan Dunia" di Goethe Haus, Jakarta, 30 September 2013. 
Foto

KETIKA Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang. Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan.
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade”di Goethe Haus tahun 2011.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya. Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia. 
“Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris. Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok. Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.

Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad. Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi. Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto. Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.

Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia. 
“Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.
Historia.Id 

Tahun 1965 ribuan Orang Dibantai di Gayo, Negara Mestinya Minta Ma’af

lintasgayo.co |

Takengon – LintasGayo.co : Aktivis sekaligus peneliti Hak Azasi Manusia (HAM), Mustawalad kembali mengingatkan harus dilakukannya pelurusan sejarah terkait tragedi kemanusiaan di Gayo Kabupaten Aceh Tengah termasuk Bener Meriah saat itu yang terjadi 48 tahun silam, persisnya di bulan Oktober 1965.

“Ada yang salah saat itu, sekitar 2500 nyawa melayang begitu saja dibantai karena dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia-red), padahal mereka belum tentu bersalah sehingga mesti dibunuh”, kata Mustawalad, Rabu 2 Oktober 2013.

Pembantaian itu, kata Mustawalad, terjadi selama 10 hari setelah tanggal 5 Oktober 1965. “Dari beberapa saksi hidup, kala itu suasana di dataran tinggi Gayo betul-betul mencekam melebihi peristiwa-peristiwa menakutkan lainnya yang pernah ada dalam sejarah Gayo”, kata dia.

Diantara tempat-tempat pembantaian orang dan kuburan massal yang diduga PKI saat itu, dirincikan Mustawalad diantaranya di Wih Percos Simpang Tige Redelong, Tunah Gajah di Ponok Gajah, Totor Besi dan di hutan Bur Lintang Aceh Tengah dan sejumlah tempat lainnya.

“Saat ini kuburan massal tersebut sudah tidak ada lagi karena kerangka-kerangka manusia tersebut sudah dipindahkan kuburannya oleh keluarga korban,” ujar Mustawalad.

Pun begitu, kata dia, ada satu tempat lagi tempat pembantaian sekaligus kuburan massal yang tempatnya mesti dirahasiakan. “Ada 118 kuburan di tempat itu”, kata Mustawalad.

Intinya, menurut dia harus ada pengungkapan sejarah terkait di bunuh dan dihilangkannya orang-orang yang dituduh PKI saat itu. “Penulisan sejarah ini penting agar sejarah kelam ini menjadi saksi bahwa pernah terjadi kasus seperti ini dan jangan lagi terulang sampai kapanpun”, ujar Mustawalad.

Atas peristiwa tersebut, dia meminta negara meminta ma’af kepada masyarakat Gayo khususnya keluarga korban, alasanya, selain banyaknya korban yang salah tangan juga karena gerakan PKI di Gayo sangat berbeda dengan di pulau Jawa.

“Ditinjau dari agama dan politik, Gerakan PKI di Gayo lebih ke aliran Tan Malaka. Sosialis, dekat ke agama Islam dan tetap melakukan shalat. Mereka tidak layak dibunuh,” tegas Mustawalad.

Pemicu terjadinya pembantaian massal saat itu, menurut Mustawalad adalah salah menafsirkan perintah dari penguasa meliter saat itu, Ishak Juarsyah yang memerintahkan “Hancurkan PKI sampai keakar-akarnya”.

“Dilapangan, perintah ini salah ditafsirkan. Dan parahnya, analisa saya, oleh pihak-pihak tertentu kondisi ini dimanfaatkan untuk menghabisi nyawa orang lain yang antara lain bermotif dendam pribadi”, kata Mustawalad. (WA)

Menyoal Stigma Hendra

EDISI, 2 OKTOBER 2013

Agus Dermawan T., 
PENULIS BUKU 'HENDRA GUNAWAN, A GREAT MODERN INDONESIAN PAINTER'


Namun, sampai 30 tahun setelah kematian, bahkan sampai dunia seni internasional membukukan karya Hendra senilai Rp 5 miliar selembarnya, pemerintah Indonesia tetap tidak memutihkan namanya.
"Saya masih ingat, Bapak dijemput tentara di Ciparay pada Desember 1965." Itulah tutur Karmini, istri pelukis Hendra Gunawan. Sejak itulah Hendra dimasukkan ke sel tapol (tahan an politik) Kebon Waru, Bandung, tanpa pengadilan sama sekali. 
Dan sejak itu pula, namanya masuk lembaran hitam sejarah Indonesia. Ia dituduh sebagai seniman pencedera bangsa lantaran dalam hidupnya pernah sangat bersahabat dengan para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia). 

Kudeta G30S (Gerakan 30 September) yang syahdan didalangi PKI telah menyeret Hendra ke dalam kehidupan yang membingungkan. Pemerintah Orde Baru menuduh Hendra sebagai penyebar paham Marxisme dan Leninisme lewat seni rupa, sehingga perlu dibenamkan ke dasar bumi. Sedangkan Hendra berkali-kali menunjukkan bukti bahwa ia sesungguhnya tidak memberangkatkan karyanya dari basis politik. Namun penistaan tetap berjalan, sehingga seniman kelahiran Bandung, 11 Juni 1918, ini tetap dikurung sampai 1978.

Apa yang diucapkan Hendra akhirnya diakui oleh berbagai pihak. Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri, menyebut bahwa Hendra adalah seorang humanis, bukan komunis. 
“Ia ditangkap semata-mata karena sahabat Bung Karno. Hendra memang sering diundang koffie uurtje (minum teh pagi hari, adt) oleh Bung Karno di istana presiden. Ia hanyalah seniman yang diseret-seret ke politik,” tuturnya dalam pidato pembukaan pameran pelukis Nuraeni, istri kedua Hendra, di Mitra Budaya, Jakarta, 1990.
Jauh hari sebelumnya, semasa Hendra masih dalam penjara, Mashudi, jenderal yang jadi Gubernur Jawa Barat, telah menjelaskan kepada para aparat agar Hendra selalu “dipelihara”, karena ia “bukan siapa-siapa”. 
Namun aparat pemburu tapol tampak tidak peduli. Dengan demikian, menjelang 1975, Hendra nyaris dibuang jauh ke Pulau Buru. 

Untung Aloysius Sugianto segera menghalangi upaya sembarangan itu. Aloysius bertindak atas instruksi diam-diam Jenderal Ali Moertopo, yang mengatakan bahwa keberadaan Hendra di Kebon Waru hanyalah untuk penyelamatan dari tindakan liar segelintir para pemburu tapol. Artinya, bukan untuk penghukuman. Hal yang sama dilakukan oleh Muluk Lubis, atas pesan dari M. Jusuf, jenderal yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. 

Seniman revolusi 

Pemosisian Hendra Gunawan sebagai pelukis “total kiri” juga dirasakan muskil oleh sahabat-sahabatnya yang seprofesi, bahkan yang berada di pihak “kiri-kanan”. Abas Alibasyah, pelukis yang pernah jadi Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri” Yogyakarta, mengatakan bahwa Hendra dicap kiri hanya lantaran mendirikan dan memimpin sanggar Pelukis Rakyat sejak 1948. 

Ia mengatakan bahwa, pasca-1965, segala yang beraroma rakyat memang langsung dianggap komunis. Dan siapa pun yang “komunis” pasti dikubur, meski kontribusinya terhadap bangsa dan negara bukan main banyaknya, seperti Hendra.

Hendra memang bukan seniman biasa. Di samping melukis, mendidik, serta memikirkan prospek kebudayaan, ia adalah pejuang revolusi yang tak pernah kendur. 
Pada 1940-an, bersama Sudjana Kerton, Abedy, dan lain-lain, ia mendirikan Pelukis Front, yang misinya terang-terangan melawan pendudukan pasukan kolonial. 
Dengan pensil, kuas, dan senjata di tangan, Hendra mengintai dan menghadang musuh. Lokasi-lokasi yang mereka tuju adalah sekitar Bekasi, Karawang, Bogor, Tasikmalaya, sampai Jakarta. Dari situ, ia lantas bergabung dalam Tentara Pelajar.

Ketika Belanda tergusur dan Jepang menguasai Indonesia pada 1942, Hendra aktif dalam Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), yang dipimpin Empat Serangkai, Ir Sukarno, Mohamad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Dalam organisasi ini, ia tak cuma siap bertempur, namun juga membuat poster-poster persiapan kemerdekaan yang ditempel sendiri di berbagai sudut Bandung. Isinya adalah seruan untuk mengusir Jepang. Ketika Poetra dibubarkan Jepang dan diganti Jawa Hokokai, Hendra tak mengurangi aktivitasnya.

Pada bulan-bulan setelah kemerdekaan, ia banyak membuat poster yang isinya mewaspadai gerak-gerik NICA. Poster-poster itu sebagian merupakan transformasi konsep yang didapat dari Angkatan Pemuda Indonesia, yang berkedudukan di Jalan Menteng 31, Jakarta. Juga dari Adam Malik dan Chairul Saleh.

Patriotisme Hendra mengundang minat Bung Karno, sang presiden, untuk mensponsori dalam pameran tunggal. Pameran itu digelar pada 1946 di gedung Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat, jalan Malioboro. Di sini sebuah drama terjadi pada saat peresmian pameran. Bung Karno disambut serombongan kere (tunawisma). Beberapa saat Presiden tertegun, untuk kemudian takjub dan terharu atas ulah Hendra yang betul-betul pro-rakyat itu. Sejak itulah Bung Karno dan Hendra bersahabat. Siapa pun tak menyangka, persahabatan itu pula yang kelak menghadirkan sejarah kehidupannya yang ganjil.

Hendra dibebaskan dari penjara pada 1978. Untuk mencari ketenteraman, pada 1980 ia pindah ke Ubud, Bali. Pada 17 Juli 1983, ia meninggal karena berbagai penyakit yang dibawanya dari penjara. Pada saat kematiannya, kembali terbukti betapa sesungguhnya Hendra adalah pelukis humanis non-politik yang sangat banyak memiliki sahabat.  

Dokter Murdowo, yang selama beberapa tahun mengurus kesehatan Hendra tanpa biaya, memulangkan jenazah Hendra ke Bandung. Setelah disembahyangi secara Hindu oleh warga setempat, jenazah diberangkatkan dengan mobil ambulans milik Koperasi Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Perjalanan jauh ditempuh, sehingga pengemudi ambulans perlu istirahat di Yogyakarta. Maka, jenazah Hendra secara spontan disemayamkan dulu di rumah pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja, di Jalan Singosaren Kidul, Yogyakarta. 

Di kediaman Bagong, jenazah Hendra kembali diselubungi doa-doa. Keluarga Bagong mengupacarainya secara Kristen. Puluhan pelayat, di antaranya pelukis Affandi, Sapto Hudojo, Amri Yahya, dan Djajeng Asmoro, menghantarnya secara Islam. Beberapa pelukis keturunan Tionghoa memetikkan doa secara Buddha. 
Jenazah Hendra akhirnya sampai di Bandung, untuk kemudian diberangkatkan ke Purwakarta menuju pekuburan Muslimin, di Gang Pekuburan, Jalan Ahmad Yani. 

Pada Selasa, 19 Juli 1983, itu Kiai Haji E.Z. Muttaqien menghantar jasad Hendra ke liang kubur dengan khidmat. Setelah pemakaman, Ketua Majelis Ulama Jawa Barat itu berkata bahwa Hendra adalah seorang nasionalis yang tidak ada alasan untuk dilukai stigma politik. Namanya harus dianggap bersih, sebersih kain kafan yang mengantarnya ke alam baka. 

Namun, sampai 30 tahun setelah kematiannya, bahkan sampai dunia seni internasional membukukan karya Hendra senilai Rp 5 miliar selembarnya, pemerintah Indonesia tetap tidak memutihkan namanya.  

Sumber: Tempo.Co 

Isu Angkatan Ke-V Dan Peristiwa G30S

Historia | 2 Oktober 2013 | 13:22


Selama ini, salah satu dalih yang dipakai untuk menuduh PKI mendalangi Gerakan 30 September (G30S) 1965 adalah isu Angkatan ke-V. Bagi mereka yang memakai dalih ini, Angkatan ke-V merupakan gagasan PKI untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani, sebagai persiapan merebut kekuasaan.

Cerita ini terus-menerus dipropagandakan oleh sejarawan militer dan Orde Baru. Tidak sedikit orang yang mempercayainya. Bahkan dikembangkan cerita, bahwa Pemuda Rakyat dan Gerwani yang berada di Lubang Buaya, yang menyiksa para Jenderal, adalah perwujudan “Angkatan ke-V”. Mereka mendapat pasokan senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Saya berusaha melihat isu Angkatan ke-V ini dari versi lain. Salah satunya adalah Soebandrio, yang menjabat Wakil Perdana Menteri RI di era itu. Dalam buku berjudul Kesaksianku Tentang G30S, yang terbit pada tahun 2000 lalu, Subandrio menceritakan sekilas perihal Angkatan ke-V.

Menurutnya, pada akhir 1963, Ia selaku Waperdam sekaligus Menlu berkunjung ke RRT. Di sana ia disambut hangat. Pemimpin RRT mengelu-elukan Bung Karno sebagai pemimpin anti-imperialis dan anti-kolonialisme. Dalam pembicaraan saat itu, pihak RRT menawarkan bantuan berupa peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Peralatan itu meliputi senjata manual, otomatis, tank, dan kendaraan lapis baja. Semuanya gratis dan tanpa syarat.

Saat itu, menurut pengakuan Soebandrio, pihaknya tidak langsung menyatakan menerima. Begitu tiba di tanah air, ia menyampaikan hal tersebut ke Bung Karno. Jawaban Bung Karno: Ya, terima saja. Akhirnya, persetujuan Bung Karno itu disampaikan ke pihak RRT. Namun, belum ada jadwal kapan perlengkapan militer itu akan dikirimkan.

Awal tahun 1965, kata Soebandrio, barulah Bung Karno muncul ide mengenai pembentukan Angkatan ke-V itu. Tujuannya untuk menampung persenjataan bantuan RRT tersebut. Saat itu, Bung Karno merasa persenjataan keempat angkatan lain, yakni AD, AU, AL, dan Kepolisian, sudah dianggap cukup. Sehingga muncullah ide untuk membentuk angkatan ke-V.

Namun, seperti ditegaskan Soebandrio, Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan ke-V itu. Intinya, angkatan ini tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Saat itu, kata Soebandrio, isu angkatan ke-V belum ada embel-embel mempersenjatai buruh dan tani.

Manai Sophiaan, dalam bukunya Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno tidak terlibat G30S/PKI, punya penjelasan yang mirip dengan Soebandrio. Ia mengungkapkan, isu angkatan ke-V barulah sebatas wacana yang dihembuskan oleh Bung Karno. Kalaupun mau dikonkretkan, maka ide Angkatan ke-V itu harus dibahas dan disetujui tiga lembaga negara, yakni Sidang Kabinet (eksekutif), DPRGR (legislatif), dan Dewan Pertimbangan Agung. Pada kenyataannya, dibahas saja belum pernah, apalagi disetujui.

Menurut Manai Sophiaan, Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung Karno. Ide itupun bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara. Selain itu, ada kebutuhan untuk menopang gerakan ‘Ganyang Malaysia’.

Namun, menurut Manai, pihak pers-lah yang membesar-besarkan isu tersebut, sehingga mengundang reaksi dari Menteri/Panglima Angkatan Darat saat itu, Jenderal Ahmad Yani. Ia pun menyampaikan ketidaksetujuannya kepada Bung Karno. Para Jenderal yang lain juga menyuarakan penolakan itu.

Penolakan Yani inilah yang memicu perbincangan luas. Plus embel-embelnya: mempersenjata buruh tani. Bung Karno sendiri berencana memanggil Yani untuk membahas hal tersebut. Jadwalnya: 1 Oktober 1965, pukul 08.00 WIB. Sayang, beberapa jam menjelang pemanggilan itu, Jenderal Yani dibunuh oleh pasukan G30S.

Yang menjadi pemantik hangatnya isu Angkatan ke-V adalah adanya 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftar di Front Nasional guna memenuhi seruan Bung Karno mengganyang Malaysia. Pihak kanan menghembuskan isu bahwa 22 juta sukarelawan inilah yang akan disaring masuk ke Angkatan ke-V. Padahal, keberadaan sukarelawan itu tidak ada kaitannya dengan pembentukan Angkatan ke-V.


RRT Dan Bantuan Senjata

Saya kira, yang menarik untuk dicari tahu dalam masalah ini adalah kepentingan RRT memberikan senjata gratis bagi Indonesia. Benarkah itu bantuan tanpa syarat?

Pada tahun 1960, setelah retaknya kubu sosialis akibat konflik Sino-Soviet, RRT berupaya merangkul negara-negara bekas jajahan, yang sedang dilanda perjuangan anti-kolonial. Ini sejalan dengan teori tiga kubu dunia-nya Mao Zedong saat itu: dunia pertama adalah negara-negara kapitalis maju; dunia kedua adalah negara sosialis yang berada di blok Soviet; dan dunia ketiga adalah negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang rata-rata bekas negara jajahan.

Bagi pemimpin RRT saat itu, Indonesia di bawah Soekarno bisa menjadi motor bagi negara-negara dunia ketiga di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin, guna mengimbangi kekuatan negara kapitalis yang dikomandoi oleh AS maupun blok Soviet. Untuk itu, RRT mendukung Indonesia dalam kampanye Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. (Taomo Zhou: 2013).

Di sisi lain, Bung Karno punya konsep tentang dunia yang terbagi dalam dua kubu, yakni OLDEFO ( Old Established Forces) dan NEFO (New Emerging Forces). Oldefo mewakili negara-negara imperialis dan rezim kompradornya di negara berkembang. Sedangkan Nefo mewakili negara-negara yang baru merdeka, negara-negara sosialis, dan rakyat progressif di negeri kapitalis. Dalam konteks ini, RRT berada dalam kubu Nefo, yang berarti sekutu yang perlu dirangkul.


Konsep Pertahanan Rakyat

Kalau kita lihat uraian Soebandrio dan Manai Sophiaan, isu angkatan ke-V dilontarkan oleh Bung Karno. Lontaran isu itu berbasiskan tiga hal: i) kebutuhan menampung bantuan senjata gratis dari RRT; ii) kebutuhan menangkal serbuan Inggris terkait konfrontasi dengan Malaysia; iii) mengacu pada amanat pasal 30 UUD 1945 tentang bela negara.

Saya kira, isu mengenai Angkatan ke-V tidak perlu begitu diributkan jika kita mengacu ke konsep pertahanan kita, bahwa pertahanan negara bukan hanya tanggung-jawab tentara profesional, tetapi tanggung-jawab seluruh rakyat. Ini diatur oleh pasal 30 UUD 1945. Itu pula makna konsep hankamrata atau pertahanan keamanan rakyat semesta.

Konsep itu juga diatur dalam TAP MPRS No.II tahun 1960: Politik keamanan/pertahanan Republik Indonesia berlandaskan Manifesto Politik Republik Indonesia beserta perinciannya dan berpangkal pada kekuatan Rakyat dengan bertujuan menjamin keamanan/pertahanan nasional serta turut mengusahakan terselenggaranya perdamaian dunia.

Kemudian, di Bab II Pasal 4, ayat (4) dan (5) TAP MPRS tersebut, ada penekanan bahwa “Pertahanan Negara Republik Indonesia bersifat defensif-aktif dan bersikap anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dan berdasarkan pertahanan Rakyat semesta yang berintikan tentara sukarela dan milisi.”

Dengan demikian, isu angkatan ke-V yang dilontarkan Bung Karno bukanlah hal yang salah. Tidak bertolak-belakang dengan amanat konstitusi dan aturan jaman itu. Hanya saja memang, usulan tersebut harus didiskusikan lebih lanjut untuk mendetailkan konsepsinya.

Hanya saja, dalam konsepsi PKI, memang ada penenakan pada buruh dan tani. Hal ini tidak terlepas dari cara pandang bahwa buruh dan tani-lah kekuatan pokok dalam revolusi. DN Aidit dalam risalah PKI dan AD (1963), menjelaskan mengapa buruh dan tani menjadi kekuatan pokok dalam revolusi. Dan, dengan demikian, paling pokok untuk dipersenjatai.

Menurut Aidit, kaum buruh menjadi kekuatan pokok Revolusi oleh karena mereka, berhubung dengan kedudukan sosialnya, adalah yang paling konsekuen berjuang untuk Sosialisme, yaitu masyarakat yang bersih dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Karena paling konsekuen memperjuangkan sosialisme, maka klas buruh pula yang menjadi klas yang tidak akan berhenti berjuang sebelum hapus segala bentuk penghisapan. Termasuk dalam melawan imperialisme dan feodalisme.

Sementara petani menjadi kekuatan pokok revolusi, kata Aidit, karena mereka meliputi mayoritet yang terbesar sekali dari Rakyat dan yang tertindas dari sisa-sisa feodalisme.


Isu perebutan Kekuasaan

Saya kira, isu angkatan ke-V menjadi sensitif dan kemudian menggelinding kemana-mana bak bola panas karena situasi politik jaman itu.
Di tahun 1950-an, politik Indonesia makin menajamkan polarisasi antara kiri dan kanan. Salah satu pemicunya adalah: apakah revolusi nasional sudah selesai atau belum selesai. Soekarno dan kelompok sayap kiri, termasuk PKI dan sayap kiri PNI, beranggapan bahwa revolusi belum selesai. Sementara kelompok tentara (Nasution Cs), Masyumi, dan PSI menolak anggapan itu.

Di pertengahan tahun 1950-an, kubu kiri membesar secara politik karena adanya kampanye nasionalisasi perusahaan Belanda, pembebasan Irian Barat, dan lain-lain. Dan, tidak disangkal lagi, kelompok kiri yang paling menonjol perkembangannya adalah PKI. Apalagi, dalam pemilihan daerah di tahun 1957, PKI menang besar. Ini menciptakan kekhawatiran besar bagi sayap kanan. Inilah yang memicu aksi sayap kanan, yang disokong CIA/AS, untuk melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta. Nah, pasca pemberontakan PRRI-Permesta, hampir semua sayap kanan berkumpul di belakang di tentara.

Banyak peneliti sejarah menilai, termasuk penulis Soviet, Kapitsa M.S dan Maletin N.P dalam Soekarno: Biografi Politik, kehadiran Soekarno sebagai pemimpin besar saat itu sangat penting untuk menjadi katup pengaman guna mencegah terjadinya bentrokan diantara kedua kubu tersebut. Inipula yang mendasari manuver angkatan 45, yang dimotori Chaerul Saleh, mendorong ide ‘Presiden Seumur Hidup’. Yakni: untuk mencegah adanya pemilu. Sebab, kalau ada pemilu saat itu, maka dipastikan PKI akan menang.

Di sini, ada tiga isu yang membuat pertentangan kedua kubu memanas dan isu angkatan ke-V mengalami politisasi sedemikian rupa. Pertama, kabar sakitnya Bung Karno. Kedua, isu Dewan Jenderal yang berupaya melakukan kup terhadap Bung Karno. Ketiga, adanya dokumen Gillchrist.

Pada awal Agustus 1965, Bung Karno sakit. Dalam versi sejarah Orba dikatakan, DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT untuk mengobati Bung Karno. Kesimpulan dokter RRT: Bung Karno sudah kritis. Kalau tidak meninggal dunia, beliau akan lumpuh. Cerita ini dikembangkan untuk mendapatkan alibi bahwa PKI terlibat G30S. Logikanya sederhana: kalau Bung Karno parah, AD akan merebut kekuasaan dan memukul PKI. Karena itu, PKI harus bertindak duluan.

Ternyata, menurut versi Soebandrio, dokter Tiongkok yang dibawa Aidit untuk mengobati Bung Karno bukanlah dari RRT, melainkan dari Kebayoran Baru, Jakarta. Menurut Soebandrio, Bung Karno hanya masuk angin. Namun demikian, isu sakitnya Bung Karno ini dibesar-besarkan sedemikian rupa. Termasuk tuduhan bahwa PKI sudah mempersiapkan diri, termasuk mengorganisir militer dan milisi, untuk merebut kekuasaan.

Isu lain yang juga heboh saat itu adalah Dewan Jenderal. Menurut Soebandrio, ia mendengar isu Dewan Jenderal pertama sekali dari Badan Pusat Intelijen (BPI). Tetapi masih informasi yang tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok Jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal merencanakan kup terhadap Bung Karno.

Selain BPI, Brigjend Supardjo dan Kolonel Untung juga sangat percaya dengan isu Dewan Jenderal itu. Keyakinan itu pula yang mendorong keduanya mengorganisir aksi G30S untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal tersebut.
Jenderal Ahmad Yani sendiri membantah. Menurutnya, Dewan Jenderal memang ada, tetapi tidak seperti yang dituduhkan. Ia mengungkapkan, Dewan Jenderal yang dimaksud hanyalah dewan kepangkatan yang memproses kenaikan pangkat para jenderal.

Namun, menurut Soebandrio, isu Dewan Jenderal menjadi jelas informasinya pada 26 September 1965. Artinya, hanya empat hari menjelang G30S. Informasi itu datang dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution,  Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang. Dua yang pertama dari NU, sedangkan dua yang terakhir adalah IPKI.

Mereka bercerita, bahwa pada tanggal 21 September 1965, diadakan Rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membahas kabinet versi Dewan Jenderal. Tak hanya bercerita, keempat orang itu menunjukkan tape rekaman. Dalam tape itu ada suara Letjend S Parman sedang membacakan susunan Kabinet.

Pada saat berhembusnya isu Dewan Jenderal, beredar pula Dokumen Gillchrist, yakni telegram (klasifikasi rahasia) dari Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist, kepada Kemenlu Inggris. Inti dokumen itu: Andrew Gillchrist melapor ke atasannya Kemenlu Inggris, bahwa ia sudah melakukan pembicaraan koleganya Dubes AS di Jakarta terkait rencana operasi untuk menggulingkan Soekarno. Yang menarik, dokumen menyebut adanya “our local army friends” yang siap membantu operasi itu.

Soebandrio dan BPI percaya keotentikan dokumen itu. Ia melaporkan hal itu kepada Bung Karno. Menurut Soebandrio, Bung Karno merasa cemas dengan dokumen itu. Yang menarik, kendati percaya keotentikan dokumen itu, Soebandrio menganggap itu sebagai provokasi untuk memainkan situasi politik di Indonesia. Termasuk memprovokasi pendukung Bung Karno dan PKI untuk bereaksi duluan.

Saya kira, provokasi-provokasi itulah yang membuat isu Angkatan Ke-V makin sensitif pula. Yang menarik, Prof Wertheim (1990) menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Tape Rekaman mengenai rapat Dewan Jenderal itu hanya pelancungan alias pemalsuan. Tujuannya untuk menyakinkan pendukung Soekarno dan pimpinan PKI akan keberadaan Dewan Jenderal yang merencanakan kup pada 5 Oktober 1965. Dengan begitu, mereka bisa menggelar aksi pencegahan lebih dulu. Dan jebakan ini berhasil.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

http://www.berdikarionline.com/isu-angkatan-kelima-dan-peristiwa-g30s/

Dunia dalam Peristiwa 1965


Aryono - 02 Oktober 2013

Negara-negara asing bukanlah pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965

Diskusi buku "1965-Indonesia dan Dunia" di Goethe Haus, Jakarta, 30 September 2013. Foto: Agus Kurniawan.

KETIKA Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang. Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan.
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Haus tahun 2011.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya. Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia.
 “Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris.

Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok. Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.

Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad.

Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi. Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto. Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.

Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia. 
 “Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.