HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Putmu'inah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Putmu'inah. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 September 2017

Tragedi G30S/PKI – Tentara, Mari Belajar Pada Tokoh Banser Ini


Penulis admin - September 18, 2017

MZ. Kayubi (tengah) di antara para kader GP Ansor NU. Foto:

Warasmedia. Com– Mohammad Zainuddin Kayubi adalah pendiri Banser (Barisan Ansor Serba-Guna) yang berada di bawah naungan Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU). Pegawai Urusan Agama Islam pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar ini pernah aktif sebagai politisi Partai NU di tahun 1950-an dan Sekretaris Pengurus Cabang NU Blitar.

Lahir di Desa Pengkol, Kecamatan Sumoroto, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada 1 Januari 1926. Ayahnya seorang petani biasa. Kakeknya dari jalur ayah adalah seorang lurah yang disegani di kampungnya. Sementara kakek dari jalur ibu pernah menjabat sebagai wedono. Sejak kecil beliau mengenyam pendidikan di Sekolah Ongko Loro Brotonegaran hingga tamat di kelas enam pada tahun 1941. Tidak semua anak desa bisa mencapai tingkatan itu. Sebab pada jaman penjajahan Belanda pendidikan untuk anak pribumi sangat dibatasi. Di wilayah kecamatan Sumoroto saja, hanya dua anak yang bisa tamat sampai kelas enam Sekolah Ongko Loro – dan Kayubi adalah salah satunya.

Setelah itu Kayubi nyantri di Pesantren Waung, Baron, Nganjuk. Enam tahun beliau menimba ilmu di pesantren asuhan Kiai Bonondo, pakde atau pamannya sendiri. Selama di pesantren, beliau tidak jauh berbeda dengan santri-santri yang lain – tidak ada keistimewaan untuk keponakan kiai.
Materi pelajaran kesukaannya di pesantren adalah ilmu nahwu dan ilmu sharaf, dan beberapa ilmu lainnya. Di tahun-tahun terakhir nyantri di pesantren, seperti halnya anak-anak santri di masa itu, Kayubi ingin masuk bergabung ke Barisan Hizbullah. Barisan Hizbullah adalah sebuah laskar rakyat yang dibentuk oleh Masyumi usai Proklamasi Kemerdekaan 1945. Namun orang tuanya tidak mengizinkan. Tapi semangat beliau tetap menyala untuk masuk berjuang ke gelanggang perang membela agama dan negara. Patriotismenya tidak pernah pupus dalam hatinya.

Sepulang dari pesantren beliau langsung mendaftar ke dalam Barisan Hizbullah di Ponorogo. Hingga sempat maju ke medan perang ketika Belanda menggelar Agresi Militer pertama di bulan Juli 1947. Tak lama kemudian dari Hizbullah, beliau bergabung ke dalam tentara reguler, bergabung ke TNI, setelah adanya perintah peleburan seluruh dewan kelaskaran ke dalam wadah tentara nasional di tahun 1947.
Ketika Pemberontakan FDR/PKI di Madiun terjadi pada tahun 1948, Kayubi ikut ke dalam kancah perjuangan menumpas aktor-aktor pemberontakan dan pengkhianatan terhadap NKRI itu. Operasi militer beliau gelar dari Madiun hingga ke Magetan dan Ponorogo. Demikian pula, ketika Agresi Militer II tentara Belanda menyerang Republik Indonesia hingga masuk ke kota Madiun, Kayubi juga ikut dalam perjuangan gerilya melawan pendudukan tentara asing itu.

Usai revolusi kemerdekaan, tahun 1952 Kayubi meninggalkan dunia militer dan masuk ke dalam jajaran pegawai Departemen Agama. Awalnya beliau bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Jenangan, Ponorogo, mengurus masalah-masalah pernikahan dan cerai. Pada tahun 1953 beliau pindah ke Blitar bersama keluarganya, karena dipindah-tugaskan ke Bagian Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Departemen Agama Kabupaten Blitar.

Selain sibuk di kantor, Kayubi juga aktif di Kepanduan Ansor NU dan juga di organisasi NU. Tidak lama kemudian beliau dipercaya sebagai Ketua Pandu Ansor NU Kabupaten Blitar, merangkap Sekretaris PCNU Blitar (1953-1955). Ketika Kwartir Nasional Pandu Ansor menggelar kegiatan perkemahan Jambore Nasional di Jakarta pada tahun 1954, Kayubi memimpin satu rombongan mengikuti acara itu di daerah Kemayoran.

Kayubi ikut Partai NU yang memisahkan diri dari Masyumi dan aktif berkampanye dalam Pemilu 1955. Hasilnya, Partai NU menduduki posisi ketiga secara nasional, dan mengantarkan Kayubi terpilih sebagai salah seorang anggota DPRD Kotamadya Blitar dari unsur Partai NU. Setelah Dekrit Presiden di bulan Juli 1959, beliau terpilih kembali sebagai anggota DPRD Kabupaten Blitar dari unsur Partai NU hingga tahun 1968. Tahun 1968 terpilih sebagai salah seorang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Blitar dari unsur Partai NU. Jabatan itu diembannya hingga tahun 1977.

Di masa-masa ketegangan NU-PKI di Jawa Timur di tahun 1964-1965, Mohammad Zainuddin Kayubi memainkan peranan penting. Pada tahun 1964 beliau terpilih sebagai Ketua Pengurus Cabang GP. Ansor Blitar. Diakui, masa-masa memimpin Ansor merupakan masa yang sangat berat bagi beliau – apalagi di daerah yang merupakan basis PKI. Waktu itu Ansor harus berhadapan dengan pemuda-pemuda PKI dan BTI (Barisan Tani Indonesia).
Disahkannya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan UU Bagi Hasil Pertanian tahun 1960 mendorong pemuda-pemuda PKI yang tergabung dalam BTI melakukan aksi-aksi sepihak menyerobot tanah-tanah masyarakat. Di Jawa Timur, tanah-tanah yang diserobot itu kebanyakan adalah tanah-tanah pesantren atau tanah milik kiai. Slogan BTI saat itu adalah “Serobot dulu, urusan belakangan”.
Akhirnya bentrokan pun tak terelakkan antara kalangan Ansor dan BTI di desa-desa. Tak terkecuali di desa-desa sekitar Blitar, Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. Tanah-tanah kiai banyak dipatok semena-mena. Bentrok fisik pun terjadi hampir setiap hari di beberapa tempat.

Usai revolusi kemerdekaan, tahun 1952 Kayubi meninggalkan dunia militer dan masuk ke dalam jajaran pegawai Departemen Agama. Awalnya beliau bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Jenangan, Ponorogo, mengurus masalah-masalah pernikahan dan cerai. Pada tahun 1953 beliau pindah ke Blitar bersama keluarganya, karena dipindah-tugaskan ke Bagian Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Departemen Agama Kabupaten Blitar.

Selain sibuk di kantor, Kayubi juga aktif di Kepanduan Ansor NU dan juga di organisasi NU. Tidak lama kemudian beliau dipercaya sebagai Ketua Pandu Ansor NU Kabupaten Blitar, merangkap Sekretaris PCNU Blitar (1953-1955). Ketika Kwartir Nasional Pandu Ansor menggelar kegiatan perkemahan Jambore Nasional di Jakarta pada tahun 1954, Kayubi memimpin satu rombongan mengikuti acara itu di daerah Kemayoran.

Kayubi ikut Partai NU yang memisahkan diri dari Masyumi dan aktif berkampanye dalam Pemilu 1955. Hasilnya, Partai NU menduduki posisi ketiga secara nasional, dan mengantarkan Kayubi terpilih sebagai salah seorang anggota DPRD Kotamadya Blitar dari unsur Partai NU. Setelah Dekrit Presiden di bulan Juli 1959, beliau terpilih kembali sebagai anggota DPRD Kabupaten Blitar dari unsur Partai NU hingga tahun 1968. Tahun 1968 terpilih sebagai salah seorang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Blitar dari unsur Partai NU. Jabatan itu diembannya hingga tahun 1977.

Di masa-masa ketegangan NU-PKI di Jawa Timur di tahun 1964-1965, Mohammad Zainuddin Kayubi memainkan peranan penting. Pada tahun 1964 beliau terpilih sebagai Ketua Pengurus Cabang GP. Ansor Blitar. Diakui, masa-masa memimpin Ansor merupakan masa yang sangat berat bagi beliau – apalagi di daerah yang merupakan basis PKI. Waktu itu Ansor harus berhadapan dengan pemuda-pemuda PKI dan BTI (Barisan Tani Indonesia).

Disahkannya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan UU Bagi Hasil Pertanian tahun 1960 mendorong pemuda-pemuda PKI yang tergabung dalam BTI melakukan aksi-aksi sepihak menyerobot tanah-tanah masyarakat. Di Jawa Timur, tanah-tanah yang diserobot itu kebanyakan adalah tanah-tanah pesantren atau tanah milik kiai. Slogan BTI saat itu adalah 
“Serobot dulu, urusan belakangan”.
Akhirnya bentrokan pun tak terelakkan antara kalangan Ansor dan BTI di desa-desa. Tak terkecuali di desa-desa sekitar Blitar, Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. Tanah-tanah kiai banyak dipatok semena-mena. Bentrok fisik pun terjadi hampir setiap hari di beberapa tempat.

PKI, namun tidak demikian dalam urusan politik. Selama menjadi anggota DPR-GR Kabupaten Blitar di tahun 1960-an, Kayubi berkawan akrab dengan para politisi PKI. Salah seorang kawan akrabnya adalah Putmainah (kini sudah berusia 84 tahun). Politisi perempuan dan anggota Fraksi-PKI di DPR-GR Kabupaten Blitar ini jarang berbeda pendapat dengan Kayubi. 
“Kami sering boncengan motor bersama pas masuk kantor. Pak Kayubi selalu menyapa saya dengan panggilan Mbak Yu,” tutur Putmainah, yang pernah ditahan 10 tahun oleh pemerintah Suharto karena keterlibatannya di PKI, saat ditemui di rumahnya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. 
Putmainah adalah putri KH. Mansyur (tokoh Serikat Islam Merah Blitar dan juga seorang penghafal al-Quran atau hafidz) dan juga cucu KH.
 Abdurrahman (mantan anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang hijrah ke Jawa Timur). Itu sebabnya Kayubi begitu hormat pada Ketua Gerwani Blitar ini. Menurut Putmainah, setiap ada musyawarah membahas program kerja di DPRG-GR, antara dia dan Kayubi hampir selalu menemukan suara bulat. Dengan kata lain, komunikasi di antara mereka bisa berjalan mudah.

Dan itu bukan hanya di dalam gedung parlemen. Dalam setiap agenda kerja turun ke bawah (turba), mereka selalu berjalan bersama untuk mencari solusi bersama dalam menghadapi persoalan yang muncul di bawah antara kader-kader kedua partai ini, seperti soal serobot tanah itu. Soalnya, bagi Putmainah, PKI-NU sama-sama memiliki spirit yang kurang lebih sama dalam menolak segala bentuk penjajahan dan penindasan satu manusia atas manusia lainnya.

Atas prestasinya yang gemilang dalam merintis dan membentuk Banser, pada tahun 1967 beliau mendapatkan penghargaan Bintang Satya Lencana Gerakan dari Pimpinan Pusat GP. Ansor. Penghargaan ini hanya dikhususkan untuk Kayubi, sang jenderal Banser ini. Pada tahun 1978 beliau pensiun dari kantor Departemen Agama Blitar. Setahun kemudian beliau bersama keluarga kembali ke tanah kelahirannya di Ponorogo.

Mohammad Zainuddin Kayubi wafat pada hari Rabu 2 Desember 1983 dalam usia 57 tahun dan dimakamkan di Makam Taman Arum Ponorogo.

Rujukan:
·         “MZ. Kayubi: Jenderal Banser yang Terlupakan”. Majalah Aula (terbitan PWNU Jawa Timur), edisi April 2009.
·         Solichan Arif (wartawan Koran Sindo), “Putmainah: Sekelumit Cerita tentang Hubungan PKI dengan NU”. Seputra Indonesia, 30 September 2014.
·         http://news.okezone.com/read/2014/09/30/521/1046083/sekelumit-cerita-tentang-hubungan-pki-dengan-nu (diakses 29 Juni 2015)
Penulis: Anonim
Sumber Tulisan: Tersebar viral di Grup-Grup WhatsApp
Judul Asli: SOAL G30S/PKI-TENTARA, MARI BELAJAR KE TOKOH BANSER ALMAGHFURLAH MOHAMMAD ZAINUDDIN KAYUBI (1926-1983)

Kamis, 29 September 2016

Kecamatan Bakung, Kab. Blitar (+ Sejarah Pembantaian Pasca G30S PKI)


29 September 2016



Kecamatan Bakung merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Blitar. Luas wilayah Kecamatan Bakung 7 persen dari luas Kabupaten Blitar atau seluas 111,24 Km2.

Batas-batas wilayah Kecamatan Bakung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wonotirto Kabupaten Blitar, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Pucanglaban Kabupaten Tulungagung.

Kecamatan Bakung memiliki 11 desa yaitu :
Tumpakkepuh
Sidomulyo
Bululawang
Tumpakoyot
Plandirejo
Pulerejo
Ngrejo
Lorejo
Kedungbanteng
Sumberdadi
Bakung

-Sejarah Monumen Trisula & Pembantaian Terbesar Di Indonesia Setelah G30S PKI-

Paska peristiwa G30S PKI tidak hanya menyimpan misteri, tetapi ternyata menyisakan cerita yang sangat mengerikan. Pembantaian dan pembunuhan kepada anggota PKI terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.

Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.”

Penangkapan Simpatisan PKI

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).

Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”.

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.

Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
 “Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Basis PKI Blitar

Blitar Selatan adalah basis PKI. Cap itu masih melekat hingga sekarang meski PKI sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketika negara mengejar anggota serta mereka yang dianggap sebagai pendukung PKI pada tahun 1965, ribuan nyawa melayang. Dieksekusi tanpa peradilan. Sebagian dari mereka dikuburkan secara massal di sejumlah desa di Blitar Selatan, Jawa Timur. Peristiwa 1965 memang masih menyisakan beribu tanda tanya. Membongkar makam massal punya nilai penting, tidak hanya bagi mereka yang dikuburkan di dalamnya, tapi penting bagi kebenaran itu sendiri. Namun rupanya ada yang tak setuju makam dibongkar.

Markus Talam dan Sanjoyo, bekas narapidana di Pulau Buru, mengatakan, di makam Bakung inilah pertama kali terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI. 
 “Di sini ini saja ada 48, disitu ada 7. Mati itu bukan semuanya ditembak. Ya ada yang dipukul, digorok, disembelih,” ujar Markus Talam.
Sementara Sanjoyo berkata: “Sekitar 25 atau 30 orang itu dalam satu lobang.”
Ini kuburan massal PKI, begitu kata warga Blitar. Kuburan ini adalah buntut dari Operasi Trisula yang digelar tahun 1966 di Blitar Selatan, ketika itu warga yang dicap PKI dikejar dan dibunuh. Lebih jauh Markus Talam berkata: 
 “Itu gencar sekali, istilahnya operasi Tumpes Kelor!!!! Jumpa kelihatannya itu orang mencurigakan langsung dibawa, termasuk saya. Tinggal yang di rumah itu cuma perempuan-perempuan. Ada orang yang bertani dibawa, direntengi sampe 10, 7, 4 itu dibunuh. Pembunuhannya ya di tempat-tempat itu aja. Yang dibunuh di sini juga ada, yang dibawa di gunung di luar desa juga ada.”
Markus Talam lolos dari pembunuhan karena kabur saat diangkut tentara dari tempat persembunyiannya di Trenggalek, menuju Markas Kodim di Blitar. Tapi selama ia melarikan diri, giliran anggota keluarganya yang jadi sasaran. Ditangkap, lantas dieksekusi.
“Saya ini nggak kurang dari 30 dik, korban. Keponakan, terus saudara-saudara sepupu, banyak! Orang-orang yang nggak tahu apa-apa itu, petani. Ya mereka itu ditembak di sini saja, yang deket sungai ya dibuang ke sungai, kalo nggak ya ditaruh begitu saja, nggak dikubur”.

Kuburan massal bagi mereka yang dicap PKI juga bisa ditemukan di Kecamatan Nglegok, Blitar Utara. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari desa pertama. Sanjoyo adalah bekas Kepala Desa Kedawung.

Di desa ini, kata dia, ada dua kuburan massal PKI. Sementara di desa lain seperti Selorejo, Penataran, Bangsri dan Karanganyar terdapat tiga hingga lima makam. Total di Kecamatan Nglegok saja, ada puluhan kuburan massal. Sanjoyo salah seorang saksi dalam peristiwa pembantaian massal bagi mereka yang dicap PKI. Ketika Operasi Trisula digelar TNI, hampir setiap malam di Desa Tumpakoyot, Kecamatan Bakung, terdengar bunyi rentetan senjata. Setiap pagi pun ia harus mencari potongan bambu sepanjang dua meter, untuk mendorong puluhan mayat yang bergelimpangan di sungai belakang rumahnya.
“Kalau di Blitar Selatan malah lebih ngeri lagi karena cuma diceburkan di kali aja. Pada waktu peristiwa Gestapu itu airnya nggak putih lagi atau cokelat lagi tapi merah! Itu karena banyak jenazah-jenazah yang dibuang begitu saja.”
Bagi warga Blitar, makam massal yang paling terkenal, di antara ratusan yang ada, adalah Goa Tikus di Desa Lorejo. Letaknya di pegunungan kapur Blitar Selatan, yang dikenal sebagai lokasi pembuangan mayat. Goa Tikus adalah lubang selebar 2,5 meter dengan kedalaman 20 meter. Tampak puluhan tengkorak manusia menyembul di antara air berlumpur. Tulang belulang juga terserak bercampur serpihan kain.

Begitu peluit dibunyikan, Santiko dan Jumani menarik tubuh saya ke atas.    
 “Saya baru saja melihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, didalam gua tikus tadi ada tumpukan tulang manusia yang sudah tak utuh lagi setinggi 2 meter. Dan tulang tulang itu bercampur dengan lumpur serpihan kain, sandal karet dan batu. Dari banyaknya tulang yang ada, sepertinya benar yang dikatakan warga, bahwa jenazah yang dibuang di gua Tikus mencapai ratusan orang.”
Bu Put, dikenal warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Blitar, sebagai tokoh Gerwani Jawa Timur. Gerwani adalah organisasi perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia, PKI. Posisinya cukup tinggi, ia sempat menjabat sebagai anggota DPRD Blitar. Tahun 1965, ia lari ke Blitar Selatan.
 “Ya lari, he….he…. kenapa Bu ?. Ya takut to saya, wong orang orang pada disembelih, rumahnya dibakar harta bendanya diambilin.”
Put Mainah sudah kenyang merasakan penjara 10 tahun karena keputusannya bergabung dengan PKI. Ia tak pernah menyesal menjadi anggota PKI. Satu-satunya penyesalan adalah karena negara tak menghargai keyakinan dan jalan hidup orang lain.

Upaya pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar bukannya tak pernah dilakukan. Pemkab Blitar beberapa kali melontarkan gagasan ini, tapi selalu ditentang. Penentang utama datang dari kelompok tentara. Sukirno seorang pensiunan Komandan Kodim di Blitar berpendapat, pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar lebih banyak sisi negatifnya.
 “Kalau itu dilaksanakan menurut saya justru akan menimbulkan efek yang negatif. Baik korban maupun yang dikorbankan pada tahun 65-66 itu, bahkan mungkin akan mereview pada tahun 48.”
Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya meminta meminta Komnas HAM meneliti keberadaan kuburan massal tersebut. Kuburan dirasa perlu dibongkar, untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat saat berlangsung Operasi Trisula.   “Peristiwa tahun 65 itu merupakan tidak hanya pelanggaran tidak hanya HAM, tapi lebih dalam pada perikemanusiaan itu. Tidak bisa menghilangkan nyawa orang itu seenaknya sendiri tanpa proses yang jelas. Oleh karena itu saya sangat mendukung upaya upaya itu dan mudah mudahan setelah bukti bukti kongkrit, kebenaran bisa ditegakkan.”
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.

Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Rumor Masyarakat

Menurut warga masyarakat yaitu Bapak Talimin. Beliau mengatakan bahwa terdapat sejarah hitam di Bakung, yaitu “Dulu pernah terjadi pembunuhan-pembunuhan sadis kepada warga masyarakat yang dilakukan oleh oknum-oknum PKI”.

Maka untuk mengenang kejadian tersebut di desa Bakung didirikan Monumen yang diberi nama Monumen Trisula. Menurut pendapat beliau munomen trisula itu berhubungan dengan hal-hal yang mistis .Monumen itu dibangun bertujuan untuk mengingatkan masyarakat jaman sekarang dan generasi muda, bahwa di Blitar selatan tepatnya di desa Bakung pernah terjadi peristiwa PKI yang sering disebut G 30 S/PKI.

Monumen Tugu Trisula

Monumen Tugu Trisula dibentuk dan diresmikan pada tanggal 18 Desember 1972 oleh Deputy Kasad Bapak Letjen TNI M. Jasin di daerah Blitar Jawa Timur tepatnya di Desa Bakung Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar selatan.

Monumen Trisula dibangun untuk memperingati  dan mengenang tragedi pemberantasan PKI didaerah Blitar dimana satuan jajaran Brigif Linud 18 melaksanakan Operasi pemberantasan PKI dipimpin langsung  oleh Danbrigif Linud 18 pertama  Kolonel Inf Witarmin.

Pada tahun 1968 adalah merupakan sejarah yang sangat heroik kota Blitar tepatnya di Desa Bakung terjadi aksi penumpasan sisa-sisa gerombolan PKI yang melarikan diri ke daerah Blitar  selatan. Pasukan Brigif linud 18 yang dipimpin oleh Kolonel Inf  Witarmin bersama sama rakyat Blitar yang masih setia  terhadap Pancasila  saling bahu membahu dan bekerjasama untuk menumpas aksi pemberontakan PKI di Blitar.

Sebagai tanda peringatan aksi penumpasan ini di daerah Bakung kabupaten Blitar selatan  yang dijadikan Markas Komando operasi ini didirikan satu monumen yang diberi nama “Monumen Trisula“ monumen ini juga dijadikan suatu tempat bersejarah  dimana para prajurit yang masuk dalam jajaran Brigif linud 18  melaksanakan napak tilas dan melaksanakan tradisi pembaretan Wing Lintas Udara serta melaksanakan renungan atas jasa-jasa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulu Brigif linud 18 dan tidak  sedikit  dari masyarakat dan mahasiswa di Wil Jawa Timur yang melaksanakan napak tilas dan renungan suci  di Monumen Trisula untuk mengenang aksi penumpasan PKI di Blitar.

Rabu, 30 September 2015

Tokoh PKI Ini Masih Hidup, tapi Sudah Tak Ingat G30S PKI


Rabu, 30 September 2015 | 10:58 WIB


JAKARTA – Salah satu tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih hidup saat ini adalah  Putmainah. Usianya sudah 87 tahun. Dia tak bisa lagi berjalan. Setiap hari dia duduk di kursi roda. Ia pun sudah tak ingat Gerakan 30 September atau G 30 S PKI.

Putmainah tinggal di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sebelum terkena stroke tiga tahun lalu, Putmainah kerap didatangi mahasiswa, peneliti sejarah, hingga orang biasa. Mereka ingin menjadikan Putmainah sebagai rujukan untuk mengisahkan penumpasan PKI yang menewaskan ribuan nyawa di Blitar pada tahun 1965.

Putmainah merupakan mantan Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Dia juga pernah menjabat anggota DPRD Kabupaten Blitar dari Fraksi PKI. Sementara suaminya, Subandi adalah anggota TNI. Subandi juga merupakan mantan Ketua Front Nasional Blitar serta Ketua DPRD Kota Blitar dari Fraksi PKI.

Ketokohan dan kiprah Putmainah dan suaminya di PKI praktis membuatpasangan suami istri ini menjadi tokoh sentral PKI di Kota dan Kabupaten Blitar.

Putmainah pernah menceritakan kedekatannya dengan keluarga Bung Karno yang selalu dibanggakan. Ia juga pernah berkisah tentang perjuangan dirinya bersama suami membesarkan partai dan menolong kaum tani serta perempuan, hingga drama pelariannya menyelamatkan diri dan tujuh anaknya dari upaya pembantaian yang dilakukan Gerakan Pemuda Anshor.

Putmainah dan keluarganya harus lari masuk hutan dari kejaran tentara, namun dia masih bertahan hidup hingga sekarang. Tapi tidak demikian dengan suaminya. Suami Subandi dijemput maut saat dalam perjalanan pulang usai mengikuti Kongres PKI di Jakarta.

Putmainah bersyukur karena masa kelam itu sudah berlalu. Terlebih, dia lepas dari pembantaian massal yang terjadi 50 tahun lalu itu. Kini, Putmainah sudah hampir melupakan semuanya.

Putmainah sudah tidak ingat lagi dengan masa-masa peruanganya membesarkan partai dan menolong rakyat miskin. Dia juga sudah tidak ingat bagaimana kelamnya pembantaian PKI di Blitar. Bahkan, Putmainah sudah tak ingat bulan September, bulan pembantaian PKI. “September ya,” ujar Putmainah datar, seperti dilansir Tempo, Selasa (29/9/2015).

Adik Putmainah, Patmiati mengatakan, kakaknya sudah tak bisa diajak berkomunikasi dan mengingat apa-apa. Penyakit stroke dan usia yang menderanya telah mengikis sebagian masa lalunya bersama partai yang diperjuangkan.

Menurut dia, lima tahun lalu Putmainah masih aktif menjadi pembicara di berbagai forum soal peristiwa 1965. 
 “Tapi sekarang Mbak Put sudah tak bisa diajak bicara lagi soal 65,” ujar Patmiati.
(tem/one)

Minggu, 11 Mei 2008

Wawancara Dengan Ibu Put Mu'inah

May 11, 2008

“tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun.”

Masa Kecil Ibu di mana?

Saya asli Srengat, Kabupaten Blitar. Dilahirkan pada Bulan Nopember 1930 di Srengat. Pendidikan pertama yang saya terima di Sekolah Taman Siswa di Tulung Agung. Akibat pendudukan Jepang, Ayah saya yang seorang tokoh NU Pakis Rejo, Srengat dan tokoh Syarikat Rakyat di tahan oleh tentara Jepang. Karena Bapak ditahan, berikut hasil pertanian di sawah sekaligus persediaan pangan dirumah dirampas oleh Jepang, akhirnya saya disuruh berhenti oleh ibu untuk membantu kegiatan ekonomi keluarga. Saya sempat juga belajar sebentar di taiso untuk mempelajari katakana dan hiragana.

Bagaimana dengan kisah berorganisasi ibu?

Saya katakan kepada Bapak saya, “Pak saya tidak usah sekolah, tetapi ikutkan ke teman Bapak yang paling pandai’. Akhirnya saya diikutkan oleh Bapak kepada Ibu Umi Sarjono. Beliau orang Salatiga, ketika pendudukan Jepang lari ke Blitar serta membuka restoran di Hotel Lestari. Perkenalan Ibu Umi dengan Bapak, ketika keduanya ditahan oleh Jepang di Rumah Tahanan di Blitar. Setelah keluar tahanan beliau berdua dibantu oleh Kyai Mucshin membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang Blitar. Waktu itu saya diperbantukan sebagai juru ketik. Pada tahun 1946 saya gabung di PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia).
Kertika pada tahun 1948 Belanda melakukan agresi ke Indonesia, saya bersama kawan kawan melakukan konfrontasi (push font) dengan Belanda di daerah Pakis Aji, Kabupaten Malang. Pada tahun 1949, ketika Gerwes (Gerakan Wanita Sedar)berdiri, saya bergabung di sana.

Kenapa Ibu gabung di Gerwes? Apa hubungan dengan PESINDO?

Secara struktural tak ada hubungannya, Gerwes adalah organisasi yang terpisah dengan PESINDO. Saya gabung di Gerwes karena prihatin melihat posisi perempuan kala itu. Perempuan sangat menyedihkan, seakan tak ada harganya, bahkan dijadikan obyek. Kita lahir sebagai wanita kan bukan kehendak kita sendiri, tapi itu kan ketentuan dari Alloh. Namun kenapa harus ada pendeskreminasian terhadap kaum wanita. Kita lihat konflik rumah tangga kerapkali kesalahan ditumpakan kepada wanita. Melalui Gerwes saya berharap dapat mengangkat derajat kaum wanita untuk membela kebenaran dan menuntut hak haknya.
Perkembangan selanjutnya tahun 1950 Gerwes, bersama sama dengan 51 organisasi kewanitaan lainnya melakukan kongres dan membentuk organisasi besar yang bernama Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun yang sama pula, saya bersama kawan kawan di Kotapraja Blitar mendirikan Gerwani Cabang Blitar, dan saya diangkat melalui konferensi Cabang Gerwani sebagai Ketua, yang tadinya aktif di kabupaten Blitar. Karena berasal dari Kabupaten Blitar, maka keanggotaan saya di DPRD juga di Kabupaten Blitar. Saya menjadi anggota DPRD Peralihan sejak tahun 1955, yang akhirnya terus berubah menjadi DPRD Sementara, berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Saya duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili dari Gerwani.

Berapa komposisi perolehan kursi di DPRD Kabupaten dan Kotapraja Blitar saat itu?

Seingat saya, dari 45 kursi DPRD di Kabupaten Blitar melalui pemilu tahun 1955, PKI memperoleh kursi 23. Sisanya dibagi NU dan PNI, sedangkan Masyumi, Murba, dan Perti kalau tak salah hanya mendapat 1 atau 3 suara. Untuk di wilayah Kotapraja Blitar, dari 15 kursi di DPRD, PKI mendapatkan kursi 10, sedangkan 5 kursi sisanya dibagi NU dan PNI. Karena kursi yang diperoleh mayoritas, maka Walikota Blitar saat itu Bapak Kusnadi juga simpatisan kiri. Sementara di Kabupaten, Bupatinya Bapak Darmaji memang terpilih sejak jaman Belanda.

Kapan Ibu menjadi anggota DPRD terakhir kalinya?

Ya sejak peristiwa 1965 terjadi

Bagaimana dengan situasi sosial politik di Blitar sebelum meledaknya persitiwa 1965? Apa ada ketegangan ketegangan antar kelompok masyarakat?

Di Blitar kala itu situasinya sangat kondusif, tak ada ketegangan ketegangan antara kelompok masyarakat. Daerah kami sangat damai, bahkan saya sering kerja bareng dengan Bapak Kayubi dari Fraksi NU, beliau orang ansor. Jadi Agama-Nasionalis-Komunis, tetap kompak.

Terus, Ibu memaknai peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta itu bagaimana?

Kita waktu itu tidk mengerti apa apa tentang kejadian di Jakarta. Biasanya kalau PKI itu punya gawe (hajat) sudah pasti kita yang didaerah daerah mengetahuinya. Kira kira bulan Oktober 1965 rumah saya tiba tiba dijaga oleh tentara. Dan ketika saya melihat orang orang ansor bersama pasukan loreng loreng merusaki rumah rumah (baca: aset PKI) lantas saya pergi mengungsi.

Bagaimana dengan visualisasi tentang perilaku PKI yang ada di Film G 30 S/PKI yang dulu ditayangkan setiap tanggal 30 September?

Uuuuhhh, itu omong kosong. Sama sekali tak benar dan itu menunjukkan kebohongan. Kalau Gerwani digambarkan menyileti Jenderal Jenderal semacam itu, justru bertentangan dengan ideologi komunis. Kok gagah betul gerwani menyileti Jenderal Jenderal. Tapi yang melihat kok percaya juga yaa. Pokoknya semua itu bertolak belakang dengan cara perjuangan PKI. Saya menyimpulkan bahwa yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (baca: Mantan Presdien Soeharto) untuk ditanam disini sebagai agennya. Tugasnya adalah untuk menjatuhkan Soekarno. Tahun 1963 Bung Karno kan pernah punya konsep Trisakti, yaitu; Berpolitik bebas, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berbudaya bangsa yang luhur. Nah, yang paling ditakuti oleh Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami oleh IMF. Bung Karno merencanakan dengan kekuatan bangsa sendiri kita pasti akan dapat hidup.

Kalau memang harto benci Karno kenapa, Kenapa PKI dilibatkan?

Sebab pendukung setia Bung Karno itu PKI. Karena Bung Karno itu satunya kata dan perbuatan dipihak rakyat tertindas, anti kapitalis, pemerasan dan penindasan. Jadi tak logis kalaui PKI berontak, wong PKI pendukung Bung Karno. Maka Soeharto menggunakan siasat para pendukung Bung Karno dulu yang dihancurkan. Karena kalau waktu itu ia “nembak” langsung ke Soekarno pasti akan mengalami kesulitan. Setelah peristiwa 1965 meledak katanya Bung Karno diamankan, setelah diamankan Bung Karno dikatakan sebagai PKI, Supersemar dihilangkan dan sebagainya. Saat pembunuhan terhadap tujuh jenderal itu, Harto kan menggunakan Letkol Oentung.

Lho, Oentung kan orang PKI?

Bukan, siapa bilang. Kita tidak punya Jenderal yang PKI. Saya akui bahwa kita kemasukan Sjam yang sebetulnya orang orang Amerika dan orangnya Soeharto.

Tapi apakah di PKI ada Biro Militer yang dipimpin oleh Sjam yang sifatnya rahasia?

Tak ada Biro Militer, yang ada itu Biro Politik

Sjam kok bisa masuk ke PKI bagaimana?

Itulah lihainya tentara, seakan akan dia komunis deles (tulen). PKI itu kelemahannya mudah percaya pada orang dan tak menaruh curiga apa apa, karena menurut agama su’udzhon (berburuk sangka) itu kan tak boleh.

Terus, bagaimana dengan pasukan yang dibawa oleh Oentung untuk operasi militer kala itu?

Itu kan pasukan dari Solo yang belum dikenal oleh Bung Karno ketika mereka menyamar sebagai cakrabirawa dan membawa Bung Karno ke Lubang Buaya. Tapi setelah kejadian itu, Oentung kan ditembak sendiri oleh orang orangnya harto dengan dalih untuk operasi pemulihan keamanan, disamping untuk menutup adanya hubungan rahasia antara Harto dan Oentung.

Tapi apakah benar bahwa para pemuda rakyat dan gerwani saat itu juga di Lubang Buaya?

Begini lho nak, saat itu kita kan lagi konfrontasi dengan Malaysia. Kita menginginkan Malaysia sebagai saudara kita lepas menjadi boneka Inggris. Jadi persiapan kita untuk menggayang Malaysia adalah untuk menyingkirkan Inggris. Karena konfrontasi itu, maka pemuda rakyat dan gerwani sedang menjalani latihan latihan militer dibanyak tempat, dan tak ada yang di lubang buaya waktu tragedi 65. Perlu dicatat sewaktu Bung Karno masih berkuasa, Pak Nas (Jend. Pur. Nasution) tak setuju jika Soeharto diberi posisi yang strategis, bahkan minta harto dipecat saja. Pak Yani (Jendr. Pur. Ahmad Yani) adalah musuhnya Harto waktu itu. Harto itu pernah mengenyam pendidikan intelegen dari Amerika Serikat melalui Jenderal Suwarto yang merupakan gurunya. Pak Yani adalah orang yang tak setuju Harto disekolahkan. Jadi kita lihat waktu Oentung melakukan penculikan, rumah yang paling awal dituju kan rumahnya Pak Yani dan Pak Nas, karena memang keduanya merupakan musuh Harto. Sementara PKI mengkonsentrasikan diri untuk mendukung upaya upaya perjuangan Bung Karno.

Bagaimana dengan pendapat bahwa PKI tak bertuhan?

Itu kan kata mereka, tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan untuk berbuat baik. Karena kalau kita baik, jangankan perintah agama, naluri kemanusiaan saja sudah pasti orang itu tergugah.

Melanjutkan yang tadi Bu, Sewaktu G 30 S/PKI meledak, ibu mengungsi dimana?

Saya ya cari hidup, anak-anak saya pergi sendiri-sendiri, kecuali Si bungsu yang berumur 1 (satu) bulan bersama saya?. Lari pertama saya di adik saya di komplek AURI Abdurahman Saleh Malang, lantas saya lari dan menjadi babu di kebun kentang wilayah lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Selama disana 3(tiga) bulan (1996) dan ketika tentara mau menggerebek saya turun. Ketika turun saya mencari teman saya bernama Letnan Supeno, saya minta surat pengakuan bahwa saya istrinya dia, surat itu saya gunakan untuk surat jalan ke Jakarta tapi sebelum ke Jakarta saya menginap di rumah keponakan yang kuliah di Universitas Gajah Mada (aktivis CGMI). Namun ketika saya di Yogja saya ditangkap oleh orang-orang ansor sebanyak delapan orang dan tentara tujuh orang. Mereka tahu atas informasi dari pemuda demokrat Blitar yang waktu itu ada di Yogja. Saya ditahan 3 (tiga) bulan di Kantor Polisi Militer karena berdasar surat saya yang tak bawa dianggap bahwa saya adalah istri tentara. Pemeriksaan pertama dilakukan Letnan Silitonga. Ditahanan CPM ada limaorang perempuan bersama saya, diantaranya Bu Ridono (tokoh ketoprak siswobudoyo), seorang Tionghoa, Bu Artin (anak UGM). Setelah tiga bulan kami dibawa di Rumah Tahanan di Yogja. Tapi saat itu pukul 12.00 WIB saya dibebaskan dengan syarat saya malam itu juga tak boleh berada di Yogja. Tepat jam 22.00 WIB ada kereta yang menuju ke Jakarta. Saya lantas naik kereta itu menuju Jakarta.

Pertimbangan ibu waktu itu ke Jakarta apa?

Pertimbangannya bahwa Jakarta adalah kota besar sehingga tempat perlindungan tentunya akan lebih baik, tapi tak tahunya justru lebih menyedihkan. Ketika sampai Jakarta saya teringat pernah memiliki kenalan dari Jember yang tinggal disana. Dulu ia adalah pegawai koperasi di Blitar lalu pindah ke Jakarta, namanya Imam Santoso. Dengan sisa uang Rp. 8.000,- saya naik becak dengan ongkos Rp. 5.000,- menuju ke tempat dia didaerah Bedara Cina. Sesampainya disana, ternyata rumahnya justru dijadikan tempat pelarian kawan kawan dari Jember dan Banyuwangi sehingga penuh sesak. Terlihat orang orang begitu banyak didalam rumahnya, hingga untuk tidurpun harus duduk. Akhirnya terpikir dalam benak saya, “tak mungkin saya disitu”. Pertimbangannya akan mengundang kecurigaan orang, disamping juga tak ada tempat buat anak saya. Lalu saya pergi menuju tempat famili dari kakak saya di daerah Pisangan Baru, namun ketika sampai disanapun saya melihat suasana yang kurang kondusif.

Kenapa?

Ya, di samping rumahnya kecil, takut juga nanti membebani dia dan keluarganya. Saya tak enak sendiri, takutnya nanti kalau ada pertanyaan macam macam dari pihak Rukun Tetangga (RT). Jadi selama dua bulan di Jakarta saya hidup ngere (baca: Gelandangan) hanya berbekal pakaian dan perhiasan yang menempel ditubuh saya (sebagian perhiasan telah saya jual) serta keranjang bodol (baca:usang) yang berisi pakaian lusuh dari anak saya. Perhiasanku satu per satu, saya jual untuk memenuhi kebutuhan perut dan si kecil. Sedangkan tidurnya di tempat seadanya di Jakarta. Terakhir saya jual kalung untuk pergi ke Surabaya. Dengan bantuan famili yang bekerja di tempat penjualan tiket kereta api di Stasiun Jakarta Kota, saya berhasil mendapatkan tiket. Selama perjalanan di dalam kereta, tak terpikir olehku untuk singgah kemana sesampainya di Surabaya nanti. Beruntung didalam gerbong itu saya ditawari oleh seorang tentara berpangkat Kapten bersama isteri dan bayinya untuk bekerja di rumahnya merawat bayi dan isterinya. Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya, sang Kapten ternyata telah dijemput dengan mobil sedan waktu itu. Akhirnya kita semua meluncur menuju rumahya di daerah Kenjeran. Ternyata sang Kapten memiliki pabrik kaos di rumahnya, dan saya tinggal seminggu disana dengan bekerja merawat bayi mereka berdua. Tapi saya tak enak juga dengan keluarga Kapten itu, mengingat hanya bekerja sebagai perawat bayi kebutuhan hidup saya dipenuhi. Apalagi waktu itu operasi operasi di surabaya juga sedemikian ketatnya. Akhirnya saya memutuskan untuk pamit keluar, untuk pindah ke keluarga saya di daerah sekitar Rumah Sakit Karang Menjangan. Ia adalah kakak sepupu dari suami saya, ia juga sorang tentara bernama Letnan satu Nyoto dari kesatuan Sawonggaling. Ketika saya berada di rumah Pak Nyoto, keenam anak saya tiba tiba menyusul. Tak tahu siapa yang memberitahukan waktu itu kalau saya tinggal di rumah Pak Nyoto. Karena kebetulan Pak Nyoto adalah ketua RT, maka kami semua dikasih surat pindah rumah dengan alasan rumah telah kebakaran. Dengan cincin yang sebenarnya tak ingin saya jual, akhirnya saya jual, guna menyambung hidup. Dengan modal jual cincin saya berjualan singkong rebus, dengan mengontrak didaerah Bendul Merisi (belakang Rumah Sakit Angkatan Laut) Surabaya. Di Bendul Merisi seingat saya di awal-awal tahun 1967 dan selama tujuh bulan saya jualan didaerah situ. Waktu di surabaya saya tak pernah keluar, jadi yang belanja itu anak saya yang pertama berumur 14 tahun. Anak saya memang tak sekolah semua, karena waktu itu anak PKI tak boleh sekolah. Sampai bulan Agustus 1967 waktu itu saya sedang belanja di Pasar Wonokromo namun berjumpa dengan seorang Polisi dari Blitar, ia tetangga saya, walaupun secara pribadi baik, tapi lebih baik saya antisipasi terhadap apa yang kemungkinan terjadi, terpaksa anak-anak saya (kecuali Bungsu) suruh menyebar meninggalkan tempat itu entah kemana terserah mereka untuk mencari hidup walaupun waktu itu tak bisa memberi uang saku. Malam itu juga saya lari menuju Blitar Selatan bersama Si bungsu. Di Blitar di daerah pegunungan kan banyak teman-teman. Saya diterima baik disana, diberi makan meskipun dengan apa adanya. Pertama saya singgah di Desa Pakisaji, Kecamatan Maron Kabupaten Blitar. Namun tak tak lama tentara masuk ke daerah itu , takut tercium oleh tentara, maka saya pindah di Dukuh Krisik, Desa Ngrejo. Waktu saya di Ngrejo anak-anak saya mengetahuinya dan kita kumpul lagi. Walau hanya makan tiwul (jagung dilembutkan dan ditanak) rasanya bahagia sekali. Tanggal 22 Deseber 1967 tentara melakukan operasi di Krisik, maka seluruh anak-anak saya termasuk bungsu dibawa turun oleh kakak-kakaknya. Saya lantas dengan orang-orang di daerah situ masuk ke hutan, karena pada waktu itu kalau ada laki-laki yang dianggap simpatisan PKI pasti ditembak. Tentara sangat lihai untuk mengidentifikasi orang gunung atau bukan dilihat dari posisi berdiri, kalau orang gunung kan kalau berdiri agak bungkuk kesamping, karena seringnya ngambil air dari jauh. Selama di hutan saya bersembunyi di gua-gua dan berpindah-pindah kalau malam hari. Sedangkan kalau makan ya menu seadanya, seperti pupus-pupus daun, pisang kalau ada, sedang kalau minum memakai kaleng-kaleng bekas minumnya tentara yang kebetulan melewati daerah itu. Dan pada tanggal 11 Agustus 1968 saya tertangkap di dalam gua oleh Batalyon 511, kemudian diikat kedua ibu jari ke belakang dan disambungkan keseluruh badan. Waktu di dalam hutan awal-awalnya banyak orang yang sama sama pelarian tapi lambat laun habis, ada yang tertangkap, pun juga ada yang dibunuh. Waktu itu pula sebelum tertangkap saya sering sembunyi di Bultuk, gua yang menjorok ke bawah (mirip sumur) dengan menyulur menggunakan akar-akar pohon. Gua Bultuk dahulu itu memang bersejarah, yaitu dipakai orang-orang gunung menyimpan cadangan pangan, karena waktu Operasi Trisula di Blitar selatan banyak oknum tentera yang merampas kekayaan penduduk bahkan jika melihat anak gadis atau janda yang cantik tak segan-segan untuk memperkosanya. Seperti kejadian yang terjadi di desa Ngleduk Kecamatan Surowadang, beberapa oknum tentara secara brutal memperkosa beberapa anak gadis dan janda lalu membunuhnya di gunung Kemiri. Ada sembilan lembu diambil oleh oknum oknum itu namun ketika Komandan Batalyon 511 mengetahui prajurit itu disiksa. Kejadian lain yang dialami Pak Loso beserta 12 anggota keluarganya termasuk cucu ditembak, harta bendanya diambil dan rumahnya dibakar. Kalau PKI dikatakan Partai Kampak justru yang merampok adalah oknum-oknum itu. Pernah juga dalam suatu kejadian seluruh warga daerah situ sebanyak lima desa dikumpulkan jadi satu desa dan dikumpulkan di lapangan termasuk wanita dan anak-anak sampai kehujanan dan kepanasan bahkan tak dikasih makan.

Waktu tertangkap lantas Ibu dibawa ke mana ?

Pertama dibawa ke Bululawang kecamatan Bakung Blitar. Di situ merupakan pos pertama operasi Trisula, di situ saya di ejek dan diolok-olok oleh istri-istri tentara “ dapat roti dari RRT ya”? sambil menetap sinis. Di pos inilah saya pertama merasakan nasi, setelah sembilan bulan dalam hutan. Walaupun campur gabah (padi) dengan sayur buah pepaya yang digarami, rasanya begitu enal sekali.
Lalu dari Bululawang dibawa ke mana lagi?

Saya dipindah ke Surowadang, saya handle oleh Letnan Bonar, di situ merupakan pos kedua Trisula. Waktu diintrogasi oleh Letnan Bonar, nasib baik menyertai saya, pakaian yang saya pakai compang-camping lalu dicarikan ganti oleh Pak Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar, diberi sarung untuk pakaian bawah sedang atasnya dikasih pakaian tentara milik temannya dari Jawa Tengah. Waktu diintrogasi saya bahkan diberi susu, namun orang-orang di sekitar saya yang juga diintrogasi, nasibnya sungguh menyedihkan, disekujur tubuhnya penuh dengan lumuran darah. Di sebelah saya ada yang pantatnya rusak akibat jatuh ke jurang waktu akan ditangkap sehingga tak bisa duduk, orang itu bernama Sukro. Susu yang diberikan ke saya lantas aku bagikan ke teman-teman itu, saya katakan “minumlah susu ini sebelum kita mati nanti”, karena dalam benak saya, saya yakin pasti akan dibunuh. Nasib sial menemui anak-anak yang bersamaku tadi, mereka mati ditembak. Mereka sebanyak 25 orang yang umurnya rata-rata 20 tahun. Sedangkan saya kenal dengan komandan Batalyon 511, yaitu Bapak Muslim Bagyo, akhirnya saya diajak tidur di tempatnya, tepatnya ditempatkan di Letnan Bonar. Dari tempatnya Pak Muslim lalu saya dibawa ke Lodoyo (pusat pos Operasi Trisula). Saya ditempatkan di perumahan yang merupakan tempat Mantri Kehutanan, kebetulan ia keponakan dari suami saya. Bahkan di tempat itu saya diperbantukan di dapur pos tentara di Lodoyo yang dipimpin Kolonel Witarmin. Ditempat ini pula saya baru ketemu dengan teman-teman saya yang Gerwani. Setelah diperbantukan di situ teman-teman sebanyak tujuh orang dimasukkan di LP perempuan di Malang, tapi saya ditempatkan di tahanan kantor Polisi Lodoyo yang waktu itu dipenuhi oleh orang-orang gila. Dari Lodoyo lantas dipindah ke Kodim Blitar, lalu dipindah lagi di Kantor Polisi Militer Blitar, ada beberapa malam dan dipindah lagi di LP Blitar diawal Tahun1969. Waktu di LP Blitar saya dipanggil di Kodim dan diberitahu bahwa suami saya Pak Bandi (Orang nomor satu di Comite Seksi PKI Blitar) telah ditembak, lalu saya menanyakan di mana ? dan kapan ? Pihak Kodim menjawab eksekusinya hari ini, sedangkan tempatnya tak diberitahukan. Saya sendiri berfikir akan ditembak sesaat lagi,jadi tak bisa menangis waktu itu. Dari LP Blitar saya dipindah ke pabrik rokok Kediri, di sana terdapat ratusan pria, sedang wanita hanya beberapa orang. Karena sedikit tahanan wanita, maka dipindah ke PM Kediri dan dipindah lagi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun (saya menduga akan dibuang ke pulau Buru), tapi rupanya dugaan saya keliru. Ternyata saya di bawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, dan dipindah lagi di Sidoarjo lalu dipindah ke Plantungan Kendal. Saya termasuk rombongan pertama ke tempat itu karena wilayahnya masih hutan. Pada tahun 1970 (pertengahan) sampai tahun 1978 saya menetap di Plantungan. Plantungan merupakan edisi terakhir saya dipenjara, walapun begitu debgab adanya keputusan Pangkobkamtib hak-hak saya sebagai warga negara Indonesia hilang dan tak boleh menuntuk hak tersebut.
Sejak keluar dan menghadapi Pemilu 1980-an, apa ibu boleh memilih
Oh ya tak boleh, saya baru boleh memilih sejak Pemilu 1999. Walaupun saya punya hak memilih atau tidak, saya juga tak tahu yang saya pilih, wong saya ikut kumpul-kumpul pengajian saja tak boleh, dicurigai melakukan gerakan politik. Bahkan melawat orang matipun tidak boleh. Mungkin hal ini sifatnya kasuistik yang terjadi di desa saya. Waktu saya dari Plantungan pulang ke rumah, saya disambut bak orang pulang dari haji.

Sejak menikmati hari-hari di rumah, apa ibu juga sering dipanggil yang berwajib ?

Ya saya sering. Wajib lapor, ya di Koramil maupun di Kodim untuk diinterogasi.

Bagi tahanan yang masih hidup apa agendanya Bu ?

Saya tak akan bentuk organisasi, tetapi saya akan mencoba meluruskan sejarah 1965. Saya kan sebagai korban d mana saya merasa tak berbuat apa-apa.

Sampai sekarang Ibu aktif di mana ?

Saya gabung dengan LPKP (Lembaga Penelitian Korban Pergerakan G 30/ S PKI) yang dipimpin dr Ribka Ciptaning Proletariat.

Apa anak Ibu ada yang pegawai negeri?

Ya pasti tak ada, karena pasti tak boleh. Anak anak saya cari makan seadanya. Walapun begitu toh Tuhan masih memberikan rezeki yang cukup kepada mereka, bahkan ada yang menjadi direktur.

Pasca kejadian di tahun 1965 sampai berakhirnya operasi trisula di Blitar Selatan daerah daerah mana saja yang diperkirakan menjadi tempat tempat pembantaian?

Di sekitar sini saja (Srengat) ada beberapa tempat diantaranya di Poluwan, di pertigaan lempung, di Dermojayan, di Kawedusan, dan di Ponggok. Pokoknya kalau di Blitar secara keseluruhan banyak sekali. Ada yang satu tempat saja kurang lebih 100 orang. Menurut informasi yang saya dengar bahwa di Gunug Betet (Lodoyo) itu saja banyak sekali. Di Krisik saja satu desa ada 600 orang korban yang dibantai. Jadi jumlah total di Blitar angkanya mencapai ribuan.

Harapan ibu kepada pemerintah sekarang bagaimana?

Pemerintah supaya memberikan kembali (rehabilitasi) hak hak kita sebagai seorang WNI, termasuk juga keterunannya. Kedua, harus ada upaya upaya pelurusan sejarah menengenai peristiwa G 30 S. Ketiga yang meninggal harus diberi kompensasi kepada keluarganya, terutama secara ekonomi. Kita tak ada rasa dendam, atau benci. Justru kita merasa kasihan kepada orang orang yang terlibat dalam pratek pembantaian dulu, karena mereka hanya diperalat. Terakhir, generasi muda harus diberi informasi apa adanya.

Sumber: Averroes

Selasa, 11 Maret 2008

Put Mu’inah: Orang PKI Juga Ber-Tuhan


11 Maret 2008

“…Orang orang PKI bertuhan. Kami memeluk agama masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya mendapat contoh dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau memberikan cinta kasih, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan hidup.”
Ungkapan ini meluncur begitu saja dari bibir mantan Ketua Gerwani Cabang Blitar, Put Mu’inah (73 tahun), saat ditanya apakah benar orang PKI anti Tuhan. Put Mu’inah adalah aktivis organisasi yang berafiliasi ke PKI, dan turut merasakan pedihnya tragedi 1965. Seperti kebanyakan rakyat Indonesia lainnya, ia tak banyak mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada 1965. Hanya saja sebagai aktivis politik, Put Mu’inah mempunyai analisa dari perspektif politik global.

Menurutnya, tidak masuk akal jika PKI membunuh para jenderal dan melakukan kup terhadap Soekarno. Mengapa? Karena Bung Karno sangat melindungi PKI. PKI justru sangat berkepentingan terhadap tegaknya kekuasaan Bung Karno.
“Yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (Soeharto-red) untuk ditanam di sini sebagai agennya. Tugasnya (Soeharto) adalah menjatuhkan Soekarno,” tegasnya.
Dalam analisa Put Mu’inah, Amerika berkepentingan untuk menjatuhkan Soekarno, karena Amerika tidak suka Soekarno membawa Indonesia menjadi negara yang besar, dengan konsep Trisakti yang diucapkan dalam pidato tahun 1963, yaitu; berpolitik bebas, berdikari dalam bidang ekonomi dan berbudaya bangsa yang luhur.
“Nah yang paling ditakuti Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami IMF. Bung Karno merencanakan membangun negeri ini dengan kekuatan sendiri,” tegas Mu’inah.
Mu’inah mungkin mewakili politisi lokal (daerah) dalam memaknai peristiwa elite Jakarta yang menyeret berbagai elemen masyarakat Indonesia dalam konflik berdarah. Ia tak mengerti apa-apa tentang peristiwa di Jakarta saat itu. Di dalam organisasinya sendiri, PKI, biasanya jika ada program atau rencana pasti selalu ada koordinasi yang ketat, dari tingkat pusat hingga ke daerah. Sejauh yang ia ketahui, tak pernah ada informasi apapun tentang tragedi 1965 itu. Sehingga ketika di bulan Oktober 1965 itu tentara dan sejumlah anggota Ansor melakukan perusakan aset-aset milik PKI, dan mengepung rumahnya, ia hanya menduga PKI sedang difitnah dan hendak dihancurkan.

Maka, wanita asli Srengat, Kabupaten Blitar yang dilahirkan pada bulan Nopember 1930, ini pun tak punya pilihan lain. Ia harus menyingkir, menyelamatkan diri. Dengan menggendong anak bungsunya yang berusia satu bulan (anak yang lainnya entah pada pergi kemana), Mu’inah pergi mengungsi, menyusuri kebun kentang di Lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Semula ia hendak menumpang di rumah adiknya, di Komplek AURI Abdurrahman Saleh. Tetapi karena di sana tidak aman, ia pergi ke kebun kentang, dan menjadi buruh di sana hingga tiga bulan.

Karena selalu dihantui penggerebekan, Mu’inah berniat pergi ke Jakarta. Dalam bayangannya Jakarta adalah kota besar, sehingga tempat perlindungan pun bisa lebih baik. Untuk lebih menjamin keamanan, Mu’inah menemui Letnan Supeno, anggota tentara yang dikenalnya dengan baik. Kepada Supeno, ia meminta dibuatkan surat pengakuan bahwa dia adalah istrinya. Dengan berbekal surat keterangan istri tentara, Mu’inah bertolak ke Jakarta. Dalam perjalanan ia singgah dulu di Yogya. Tetapi malang, ia justru ditangkap dan ditahan di kantor Polisi Militer Yogya selama tiga bulan, karena ‘istri tentara’. Setelah tiga bulan ditahan, dia dibebaskan dengan syarat harus meninggalkan Yogya. Maka Mu’inah langsung bertolak ke Jakarta.

Jauh dari yang ia bayangkan, Jakarta ternyata lebih ketat. Beberapa rumah famili dan kenalan yang ia datangi, kondisinya sangat memperihatinkan. Maka ia pun pergi ke Surabaya, tanpa tujuan yang jelas. Beruntung di dalam kereta, ia berkenalan dengan seorang tentara berpangkat Kapten, yang sedang bepergian bersama anak dan istrinya.

Dan dari perkenalan itu, keluarga tentara itu memberikan pertolongan kepada Mu’inah, dengan menjadikannya sebagai pengasuh bayi dan pembantu rumah tangga. Tentara ini rupanya juga mempunyai pabrik kaos. Meski terasa enak, Mu’inah tetap tidak bisa tenteram, karena terpisah dengan keluarga dan famili. Maka beberapa hari kemudian ia pergi lagi.

Setelah mengungsi kesana-kemari, pada tanggal 11 Agustus 1968, Mu’inah akhirnya ditangkap oleh Batalyon 511 dalam Operasi Trisula, saat ia berada di dalam persembunyian. Kedua ibu jari tangannya diikat di belakang, lalu disambungkan ke seluruh badan. Bersama sejumlah orang, ia dibawa ke pos pertama di Bululawang, Kecamatan Bakung, Blitar.

Setelah itu dipindah ke pos kedua, di Surowadang. Waktu diinterogasi Letnan Bonar, pakaian Mu’inah yang compang-camping dicarikan ganti oleh Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar. Untuk pakaian bawah ia dikasih sarung, sementara pakaian atasnya ia dikasih pakaian tentara milik temannya.

Yang sangat mengharukannya, saat diinterogasi ia sempat diberi segelas susu. Namun nasib sejumlah orang lain yang diinterogasi sangat menyedihkan, tubuhnya berlumuran darah, sebagian karena disiksa, sebagian karena kecelakaan. Di sebelah Mu’inah juga ada orang yang pantatnya rusak karena jatuh ke jurang waktu hendak ditangkap, sehingga ia tak bisa duduk. Mu’inah lalu membagikan susu itu ke teman-temannya.
“Minumlah susu ini sebelum kita mati nanti,” ujar Mu’inah, karena dalam bayangannya ia pasti akan dibunuh juga.
Nasib naas menjumpai anak-anak muda yang tertangkap bersama Mu’inah. Sebanyak 25 orang yang rata-rata berusia 20 tahun itu, akhirnya mati ditembak. Sedang Mu’inah sendiri beruntung, karena kebetulan ia kenal baik dengan Komandan Batalyon 511, Muslim Bagyo.

Atas bantuan Muslim ini, Mu’inah mendapatkan tempat tidur yang layak di tempat Letnan Bonar. Dari sini kemudian perjalanan Muinah terus berpindah-pindah dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan yang lain. Yang terakhir (hingga tahun 1978) ia ditempatkan di penjara Plantungan, Kendal.

Mu’inah memang profil seorang wanita aktivis politik. Masa remaja dilaluinya sebagai juru ketik di Komite Nasional Indonesia (KNI) Cabang Blitar. Tahun 1946 bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Ketika Belanda melakukan agresi militer tahun 1948, ia turut melakukan perlawanan di daerah pakis Aji, Kabupaten Malang. Tahun 1949, ketika Gerakan Wanita Sedar (Gerwes) berdiri, ia bergabung.
Bersama Gerwes ia berharap dapat memperjuangkan martabat wanita Indonesia yang dinilainya, berada dalam kondisi memprihatinkan.

Ketika pada tahun 1950 Gerwes bersama 51 organisasi wanita lainnya berkongres dan membentuk organisasi bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Mu’inah aktif di Gerwani Cabang Blitar. Tak lama kemudian, ketika Gerwani Cabang Blitar mengadakan konferensi, Mu’inah dipercaya menjabat sebagai Ketua. Karier politik Mu’inah terus melejit.

Ketika berlangsung Pemilu 1955, PKI memperoleh suara besar, dan mengantarkan Mu’inah ke kursi anggota DPRD Peralihan, yang kemudian berubah menjadi DPRD Sementara, dan berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Di situ Mu’inah duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili Gerwani.

Perjalanan politik itu tiba-tiba terbalik secara cepat dan drastis. Rasanya kemarin ia masih menjalin hubungan yang akrab dengan berbagai elemen masyarakat Blitar. kehidupan yang sangat harmonis, tak ada ketegangan apapun. Muinah saat itu menjalin hubungan akrab dengan banyak pihak, termasuk Bapak Kayubi anggota DPRD dari Fraksi NU, yang juga anggota Ansor. Tetapi konflik elite politik Jakarta telah menyeret mereka dalam pertumpahan darah yang terlalu mengerikan. Ia tak tahu, kapan luka itu bisa disembuhkan….. Desantara

Sumber: Desantara