11 Maret 2008
“…Orang orang PKI bertuhan. Kami memeluk agama masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya mendapat contoh dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau memberikan cinta kasih, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan hidup.”
Ungkapan ini meluncur begitu saja dari bibir mantan Ketua
Gerwani Cabang Blitar, Put Mu’inah (73 tahun), saat ditanya apakah benar orang
PKI anti Tuhan. Put Mu’inah adalah aktivis organisasi yang berafiliasi ke PKI,
dan turut merasakan pedihnya tragedi 1965. Seperti kebanyakan rakyat Indonesia
lainnya, ia tak banyak mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada 1965.
Hanya saja sebagai aktivis politik, Put Mu’inah mempunyai analisa dari
perspektif politik global.
Menurutnya, tidak masuk akal jika PKI membunuh para
jenderal dan melakukan kup terhadap Soekarno. Mengapa? Karena Bung Karno sangat
melindungi PKI. PKI justru sangat berkepentingan terhadap tegaknya kekuasaan
Bung Karno.
“Yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (Soeharto-red) untuk ditanam di sini sebagai agennya. Tugasnya (Soeharto) adalah menjatuhkan Soekarno,” tegasnya.
Dalam analisa Put Mu’inah, Amerika berkepentingan untuk
menjatuhkan Soekarno, karena Amerika tidak suka Soekarno membawa Indonesia
menjadi negara yang besar, dengan konsep Trisakti yang diucapkan dalam pidato
tahun 1963, yaitu; berpolitik bebas, berdikari dalam bidang ekonomi dan
berbudaya bangsa yang luhur.
“Nah yang paling ditakuti Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami IMF. Bung Karno merencanakan membangun negeri ini dengan kekuatan sendiri,” tegas Mu’inah.
Mu’inah mungkin mewakili politisi lokal (daerah) dalam
memaknai peristiwa elite Jakarta yang menyeret berbagai elemen masyarakat
Indonesia dalam konflik berdarah. Ia tak mengerti apa-apa tentang peristiwa di
Jakarta saat itu. Di dalam organisasinya sendiri, PKI, biasanya jika ada
program atau rencana pasti selalu ada koordinasi yang ketat, dari tingkat pusat
hingga ke daerah. Sejauh yang ia ketahui, tak pernah ada informasi apapun
tentang tragedi 1965 itu. Sehingga ketika di bulan Oktober 1965 itu tentara dan
sejumlah anggota Ansor melakukan perusakan aset-aset milik PKI, dan mengepung
rumahnya, ia hanya menduga PKI sedang difitnah dan hendak dihancurkan.
Maka, wanita asli Srengat, Kabupaten Blitar yang
dilahirkan pada bulan Nopember 1930, ini pun tak punya pilihan lain. Ia harus
menyingkir, menyelamatkan diri. Dengan menggendong anak bungsunya yang berusia
satu bulan (anak yang lainnya entah pada pergi kemana), Mu’inah pergi
mengungsi, menyusuri kebun kentang di Lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Semula
ia hendak menumpang di rumah adiknya, di Komplek AURI Abdurrahman Saleh. Tetapi
karena di sana tidak aman, ia pergi ke kebun kentang, dan menjadi buruh di sana
hingga tiga bulan.
Karena selalu dihantui penggerebekan, Mu’inah berniat
pergi ke Jakarta. Dalam bayangannya Jakarta adalah kota besar, sehingga tempat
perlindungan pun bisa lebih baik. Untuk lebih menjamin keamanan, Mu’inah
menemui Letnan Supeno, anggota tentara yang dikenalnya dengan baik. Kepada
Supeno, ia meminta dibuatkan surat pengakuan bahwa dia adalah istrinya. Dengan
berbekal surat keterangan istri tentara, Mu’inah bertolak ke Jakarta. Dalam
perjalanan ia singgah dulu di Yogya. Tetapi malang, ia justru ditangkap dan
ditahan di kantor Polisi Militer Yogya selama tiga bulan, karena ‘istri
tentara’. Setelah tiga bulan ditahan, dia dibebaskan dengan syarat harus
meninggalkan Yogya. Maka Mu’inah langsung bertolak ke Jakarta.
Jauh dari yang ia bayangkan, Jakarta ternyata lebih
ketat. Beberapa rumah famili dan kenalan yang ia datangi, kondisinya sangat memperihatinkan.
Maka ia pun pergi ke Surabaya, tanpa tujuan yang jelas. Beruntung di dalam
kereta, ia berkenalan dengan seorang tentara berpangkat Kapten, yang sedang
bepergian bersama anak dan istrinya.
Dan dari perkenalan itu, keluarga tentara itu memberikan
pertolongan kepada Mu’inah, dengan menjadikannya sebagai pengasuh bayi dan
pembantu rumah tangga. Tentara ini rupanya juga mempunyai pabrik kaos. Meski
terasa enak, Mu’inah tetap tidak bisa tenteram, karena terpisah dengan keluarga
dan famili. Maka beberapa hari kemudian ia pergi lagi.
Setelah mengungsi kesana-kemari, pada tanggal 11 Agustus
1968, Mu’inah akhirnya ditangkap oleh Batalyon 511 dalam Operasi Trisula, saat
ia berada di dalam persembunyian. Kedua ibu jari tangannya diikat di belakang,
lalu disambungkan ke seluruh badan. Bersama sejumlah orang, ia dibawa ke pos
pertama di Bululawang, Kecamatan Bakung, Blitar.
Setelah itu dipindah ke pos kedua, di Surowadang. Waktu
diinterogasi Letnan Bonar, pakaian Mu’inah yang compang-camping dicarikan ganti
oleh Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar. Untuk pakaian bawah ia dikasih
sarung, sementara pakaian atasnya ia dikasih pakaian tentara milik temannya.
Yang sangat mengharukannya, saat diinterogasi ia sempat
diberi segelas susu. Namun nasib sejumlah orang lain yang diinterogasi sangat
menyedihkan, tubuhnya berlumuran darah, sebagian karena disiksa, sebagian
karena kecelakaan. Di sebelah Mu’inah juga ada orang yang pantatnya rusak
karena jatuh ke jurang waktu hendak ditangkap, sehingga ia tak bisa duduk. Mu’inah
lalu membagikan susu itu ke teman-temannya.
“Minumlah susu ini sebelum kita mati nanti,” ujar Mu’inah, karena dalam bayangannya ia pasti akan dibunuh juga.
Nasib naas menjumpai anak-anak muda yang tertangkap
bersama Mu’inah. Sebanyak 25 orang yang rata-rata berusia 20 tahun itu,
akhirnya mati ditembak. Sedang Mu’inah sendiri beruntung, karena kebetulan ia
kenal baik dengan Komandan Batalyon 511, Muslim Bagyo.
Atas bantuan Muslim ini, Mu’inah mendapatkan tempat tidur
yang layak di tempat Letnan Bonar. Dari sini kemudian perjalanan Muinah terus
berpindah-pindah dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan yang lain. Yang
terakhir (hingga tahun 1978) ia ditempatkan di penjara Plantungan, Kendal.
Mu’inah memang profil seorang wanita aktivis politik.
Masa remaja dilaluinya sebagai juru ketik di Komite Nasional Indonesia (KNI)
Cabang Blitar. Tahun 1946 bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Ketika Belanda melakukan agresi militer tahun 1948, ia turut melakukan
perlawanan di daerah pakis Aji, Kabupaten Malang. Tahun 1949, ketika Gerakan
Wanita Sedar (Gerwes) berdiri, ia bergabung.
Bersama Gerwes ia berharap dapat memperjuangkan martabat
wanita Indonesia yang dinilainya, berada dalam kondisi memprihatinkan.
Ketika pada tahun 1950 Gerwes bersama 51 organisasi
wanita lainnya berkongres dan membentuk organisasi bernama Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani), Mu’inah aktif di Gerwani Cabang Blitar. Tak lama kemudian,
ketika Gerwani Cabang Blitar mengadakan konferensi, Mu’inah dipercaya menjabat
sebagai Ketua. Karier politik Mu’inah terus melejit.
Ketika berlangsung Pemilu 1955, PKI memperoleh suara
besar, dan mengantarkan Mu’inah ke kursi anggota DPRD Peralihan, yang kemudian
berubah menjadi DPRD Sementara, dan berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Di
situ Mu’inah duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili Gerwani.
Perjalanan politik itu tiba-tiba terbalik secara cepat
dan drastis. Rasanya kemarin ia masih menjalin hubungan yang akrab dengan
berbagai elemen masyarakat Blitar. kehidupan yang sangat harmonis, tak ada
ketegangan apapun. Muinah saat itu menjalin hubungan akrab dengan banyak pihak,
termasuk Bapak Kayubi anggota DPRD dari Fraksi NU, yang juga anggota Ansor.
Tetapi konflik elite politik Jakarta telah menyeret mereka dalam pertumpahan
darah yang terlalu mengerikan. Ia tak tahu, kapan luka itu bisa disembuhkan…..
Desantara
Sumber: Desantara
0 komentar:
Posting Komentar