HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 28 April 2017

Siaran Pers Bersama

SIARAN PERS BERSAMA


JARINGAN AKADEMISI, PAGUYUBAN KORBAN UU ITE, DAN AKTIVIS PELINDUNG KEBEBASAN EKSPRESI MENGECAM KERAS UPAYA MEMBUNGKAM PERS TIRTO.ID DENGAN PASAL KARET UU ITE

illustrasi

 Jakarta, 28 April 2017 - Pasal karet UU ITE berkali-kali terbukti mengancam kebebasan pers di Indonesia, bukan hanya mengancam jurnalis tetapi juga kebebasan pers yang diusung media. Belum lama ini pada hari Selasa, 25 April 2017 Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo lewat kuasa hukumnya dari Partai Perindo melaporkan media online Tirto.id. dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Laporan teresbut diterima Polda Metro Jaya dengan LP/2000/IV/20n17/PMJ/Dit Reskrimum dengan kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik dengan terlapor masih lidik dan diancam dengan Pasal 310 KUHAP atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 A Ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Langkah serupa juga hampir digunakan oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia meskipun belakangan sikap TNI melunak dan tidak jadi melaporkan ke kepolisian, tetapi ke Dewan Pers.

Laporan ini didorong sejak dimuatnya tulisan jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, di media Tirto.id dengan judul "Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar". Tulisan tersebut merupakan alihbahasa dari tulisan Allan Nairn dengan judul "Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President" yang pertama kali diluncurkan di situs The Intercept. Tulisan itu menyebutkan kasus Al Maidah yang menyangkut penistaan agama oleh Ahok hanyalah pintu masuk untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi. Tulisan tersebut menyebut sejumlah nama, baik sipil maupun militer aktif dan pensiunan yang terlibat di dalam rencana makar, seperti: Fadli Zon, Hary Tanoesoedibjo, Munarman, Kivlan Zein, Tommy Soeharto, SBY, Gatot Nurmantyo, Prabowo, Ryamizard Ryacudu, Wiranto dan sejumlah nama lain, termasuk Donald Trump, Mike Pence dan Freeport.

Dalam keterangan persnya, kuasa hukum Hary Tanoesoedibjo mengatakan alasan pelaporan karena tulisan di Tirto.id bukan produk jurnalistik. Karena itu pihaknya menempuh jalur hukum ketimbang mengadu ke Dewan Pers.

"Ini tulisan dari orang yang baru bangun tidur berilusi. Dia merasa menjadi spionase, dia tulis dan dimuat, tapi hati-hati tuduhan ini tidak main-main, tuduhannya ini makar," ujar Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Perindo, Christophorus Taufik kepada sindonews pada hari Selasa 25 April 2017 setelah resmi melaporkan Tirto.id ke polisi.

Sedang Mabes TNI mengatakan lewat siaran pers nomor: SP-147/IV/2017/Pen pada tanggal 21 April 2017 bahwa berita tersebut adalah berita bohong (hoax).

"Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax," kata Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat 21 April 2017.

Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto menyatakan TNI mempertimbangkan untuk melapor ke polisi. Namun belakangan Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan laporan itu tak akan dilakukan.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami yang terdiri dari lebih 160 akademisi, 50 organisasi masyarakat sipil, dan individu yang ikut menandatangani surat ini, menilai bahwa :

Pertama, kami mengecam tindakan pelaporan pidana terhadap pemberitaan tirto.id oleh Hary Tanoesoedibjo melalui kuasa hukumnya, karena sebagaimana dalam UU Pers bahwa pekerjaan media dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu juga persoalan pemberitaan seharusnya terbebas dari ancaman pemidanaan dan oleh karena jika ada keberatan terkait pemberitaan maka seharusnya langkah yang harus diambil oleh Hary Tanoe adalah mengajukan hak jawab atau hak koreksi atau mengadukannya kepada Dewan Pers. Karena Dewan Pers mempunyai kewenangan untuk menilai kode etik wartawan atau media yang dianggap mencemarkan nama baik.

Kedua, kami mendorong Mabes TNI dan pihak-pihak lain yang merasa dirugikan oleh tulisan di media Tirto.id tersebut untuk menempuh jalur sengketa pers yang akan dimediasi oleh Dewan Pers dan bukan menggunakan pasal defamasi di dalam UU ITE.

Ketiga, kami khawatir apabila tindakan Hary Tanoesoedibjo ini dibiarkan akan memberi dampak ke depan dengan semakin banyak orang akan mempidanakan media jika ada persoalan pemberitaan yang menurutnya tidak menguntungkan salah satu pihak. Dan semangat tersebut adalah semangat yang jauh dari menjunjung tinggi kemerdekaan pers.

 Oleh karena hal tersebut, kami mendesak:

1. Kapolda Metro Jaya untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers dan meminta pelapor untuk menggunakan jalur sengketa pers dengan mengadukan pemberitaan kepada Dewan Pers sesuai dengan MOU Kesepahaman antara Kapolri dengan Dewan Pers tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum.

2. Dewan Pers untuk proaktif berkoordinasi dengan Kapolda Metro Jaya, dalam upaya dekriminalisasi media tirto.id dan kemudian memeriksa pemberitaan tirto.id sebagaimana pedoman kode etik jurnalistik Dewan Pers.

3. Hary Tanoesoedibjo untuk mencabut aduannya pada media Tirto.id dan mendorong penyelesaian melalui mekanisme Dewan Pers karena pekerjaan jurnalistik telah dilindungi oleh UU Pers.

4. Mabes TNI dan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tulisan di Tirto.id untuk menempuh cara penyelesaian melalui mekanisme Dewan Pers, daripada menggunakan pasal defamasi di UU ITE yang anti-demokrasi.

5. Pemerintah dan DPR untuk mencabut pasal-pasal represif seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2, pasal 29 dari UU ITE karena tanpa dicabutnya pasal-pasal tersebut, ancaman kebebasan pers, kebebasan ekspresi dan juga demokrasi akan selalu ada di negeri ini.

 Jakarta, 28 April 2017

 Narahubung:
 Damar Juniarto : 08990066000
 Asep Komarudin : 081310728770

Kami yang mendukung:

Organisasi/Institusi:
 1. Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet
 2. Pembebasan
 3. Sejuk
 4. KPJKB Makassar
 5. LBH Pers
 6. solidaritas.net
 7. F-SEDAR
 8. GSPB
 9. Satunama
 10. LSPP
 11. JRKI
 12. Klinik Hukum Media Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
 13. Satudunia
 14. YLBHI
 15. LBH Yogya
 16. Balebengong
 17. Civil Rights Defenders
 18. Yayasan Desantara
 19. LBH Jakarta
 20. Bhinneka Nusantara
 21. Remotivi
 22. UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung
 23. LBH Padang
 24. Purplecode Collective
 25. Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP)
 26. Garda Papua
 27. Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE)
 28. Yayasan Manikaya Kauci
 29. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
....

Individu:
 1. Deni Erliana
 2. Saut Situmorang
 3. Fitri Matondang
 4. Natasha Gabriella Tontey
 5. Soen Tjen Marching
 6. Donny Iswandono
 7. Furqan Ermansyah
 8. I Nyoman Mardika
 9. Hartanto
 10. Imam Munawir
 11. Bobby Ganaris
 12. Ni Made Ras Amanda (FISIP Universitas Udayana) 
 13. Okty Budiati
14. Aris Panji 
....

 [dam]
 Mobile: 08990066000
 Web: http://www.damarjuniarto.com
 Facebook: http://facebook.com/DamarJuniarto
 Twitter: @DamarJuniarto
 Skype: damar,juniarto
 Google+: http://google.com/+DamarJuniarto

Kajian Periodik PBB, Komnas HAM: Kita Dipermalukan

Jumat, 28 Apr 2017 08:16 WIB
Ninik Yuniati
"Indonesia masih belum sukses untuk merespon dan menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi itu."

illustrasi

Jakarta- Pemerintah Indonesia bakal dicecar tentang penegakan HAM dalam Kajian Universal Periodik (Universal Periodic Review, UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss 3-5 Mei mendatang. Setidaknya 93 negara akan mempertanyakan pelaksanaan 150 rekomendasi UPR   pada 2012. Di antaranya masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, Papua, perlindungan terhadap  minoritas, serta kebebasan berkeyakinan.

Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Dicky Komar mengatakan, delegasi Indonesia di Jenewa   dipimpin   Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

"Ini sinyal yang sangat baik dan sangat kuat terkait dengan komitmen pemerintah terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Di siklus pertama tahun 2008, delegasi Indonesia dipimpin oleh dirjen dari Kementerian Luar Negeri, siklus kedua, dipimpin oleh Menteri Luar Negeri. Jadi tahun ini, sekaligus menegaskan komitmen kita ketika delegasi dipimpin oleh dua menteri sekaligus," kata Dicky di Kantor Staf Kepresidenan, Kamis (27/4/2017).
Staf Ahli Deputi V (Bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM) Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ifdhal Kasim memperkirakan masalah hukuman mati juga akan ditanyakan dalam persidangan. Kata dia, delegasi sudah siap menjelaskan apa adanya tentang hal itu.
"Jadi akan tetap kami laporkan apa yang sudah pemerintah lakukan soal hukuman mati. Wujudnya kan sudah ada yakni revisi UU KUHP," ujar dia.
Selain memberikan jawaban perkasus, pemerintah juga akan melaporkan upaya pemerintahan baru dalam menegakkan HAM.

Dalam sidang UPR, Dewan HAM PBB juga akan menerima laporan dari masyarakat sipil serta badan PBB yang berada di Indonesia. Laporan ini disebut shadow report.
"Shadow report penting untuk memperoleh gambaran utuh. Dan ini bisa menjadi pertimbangan untuk siapapun delegasi yang akan mengamati HAM di suatu negara," imbuh Dicky Komar.
Komnas HAM sebagai salah satu pelapor khusus menyatakan telah mengirimkan laporan. Ketua Pelapor Khusus Komnas HAM Imdadun Rahmat memprediksi Indonesia kembali akan mendapat rapor merah. 

Kata Imdadun  pemerintah terbukti   gagal menjalankan rekomendasi UPR, salah satunya soal Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Ini tercermin dari masih banyaknya kasus yang belum terselesaikan. Ditambah lagi, pengaduan kasus-kasus baru tetap berlanjut.
"Saya menyampaikan keprihatinan bahwa setelah 5 tahun kita diberi waktu oleh Komisi HAM PBB, untuk memperbaiki kondisi pelaksanaan HAM di Indonesia termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, Indonesia masih belum sukses untuk merespon dan menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi itu. Kita masih cukup berat di masa-masa yang akan datang," kata Imdadun Rahmat, di Komnas HAM, Selasa (25/4/2017).
Komnas HAM mencatat pada tiga bulan terakhir terdapat belasan laporan pengaduan tentang pelanggaran KBB.
"Cukup banyak memang di Jawa Barat, untuk kabupaten Bogor saja itu ada tiga kasus baru dilaporkan, Kemudian di kota Depok, Banjar," tuturnya.
Selain itu, Komnas juga memaparkan setidaknya 9 pelanggaran KBB di seluruh Indonesia yang penyelesaiannya masih menggantung. Di antaranya, menimpa Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, HKBP Filadelfia di Bekasi, pengungsi Syiah di Sampang, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), serta Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). 

Imdadun menambahkan, dengan rapor merah, Indonesia akan dipermalukan di dunia internasional. Selain itu, Indonesia akan kehilangan peluang untuk memiliki peran penting di PBB.
"Jadi kita di-shame, dipermalukan oleh bangsa-bangsa yang lain. Dan konsekuensinya, maka Indonesia tidak akan mendapatkan peran yang strategis di dalam posisi penting di PBB," imbuhnya.
Editor: Rony Sitanggang
Sumber: KBR.ID 

Kamis, 27 April 2017

Kerja Paksa dan Kuburan Massal Peristiwa ’65 di Jawa Barat


2017, April 02

Dr. Asvi Warman Adam dalam pengadilan Rakyat di Den Hag, Belanda (IPT65)

Bandung, 1 April 2017—Lebih dari seratus orang memenuhi ruang 2210 Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, Jumat (31/03) siang kemarin.  Mereka tengah berpartisipasi dalam diskusi “Temuan Terkini di Jawa Barat; Kamp Kerja Paksa dan Dugaan Kuburan Massal” yang dimoderatori oleh Adi Marsiela, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Bandung. Dalam diskusi tersebut hadir dua pembicara utama. Di antaranya ialah penulis buku Rosidi Tosca Santoso dan Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma Harry Wibowo. Hadir juga Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung dan Wakil Ketua YPKP 65 Asep.

Buku Rosidi menceritakan kisah seorang petani bernama Rosidi yang memiliki 10 anak dan 28 cucu, yang ditangkap oleh tentara karena pamannya merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Rosidi sendiri bukanlah anggota PKI melainkan anggota Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) Cianjur bagian selatan. Buku ini ditulis dengan menggunakan pendekatan jurnalistik.
“Rosidi memang bukan tokoh politik atau tokoh besar, tapi saya menganggap kisah hidupnya layak untuk dituliskan,” kata Tosca.
Rosidi, ungkap Tosca, adalah seorang petani kecil di desa Sarongge, kaki gunung gede. Rosidi bersama sekira 1500 lainnya yang ditangkap oleh rezim yang sedang mencoba berkuasa pada waktu itu dibawa ke bekas pabrik kapas di daerah Cianjur. Pada tahun 1965 hingga 1974, karena jumlah tahanan yang banyak, mereka dipekerjakan secara paksa oleh tentara di satu tempat bernama Kamp Panembong.
”Model kerja paksa itu caranya juga berkembang. Waktu cari kodok, itu mereka bisa jual sendiri. Nanti kalau sudah pulang baru dibagi hasilnya. Sebagian untuk tahanan, sebagian untuk pengelola kamp,” kata Tosca.
Sebelum sesi pembicara kedua, Bedjo Untung dan Asep yang merupakan penyintas peristiwa Genosida 1965 menceritakan pengalamannya.
“Belum lama ini kami menemukan di daerah Sukabumi tepatnya di daerah Cipetir, Cikidang, di Parung kuda, saya melihat sendiri di sana ketika itu teman-teman disekap di sebuah kebun karet,” kata Bedjo. 
 “Mereka sebelum dieksekusi sebanyak 300 orang itu, dipaksa untuk mencabuti rumput, untuk menderes karet, sebelum mereka diceburkan di jurang dekat situ. Dan tempat itu sekarang akan dijadikan tempat wisata,” lanjutnya.
Selain itu, Bedjo mengungkapkan bahwa kuburan massal juga ditemukan di daerah Bandung. Tepatnya di Gunung Tilu Ciwidey. Kamp konsentrasi juga ada di Tangerang, daerah Cikokol yang waktu itu dinamai Subrehab Salemba.   “Karena ada usaha melarikan diri, orang-orang di situ tidak diberi makan dan setiap hari ada setidaknya 2-3 orang yang meninggal,” kata Bedjo
Asep yang menjadi korban di daerah Sukabumi dipekerjakan secara paksa sejak tahun 1965. Ia dipaksa bekerja oleh tentara tanpa upah dan hanya diberi makan. Ia mengaku, ketika sedang sakit, maka akan disebut sebagai orang malas dan harus menjalani hukuman jemur.

Harry Wibowo mengungkapkan bahwa ternyata setelah International People’s Tribunal ‘65 di Den Haag Belanda, bukti-bukti baru muncul, dan data-data kuburan massal terus mengalir.

Terkait hal itu Harry menganggap bahwa “Komnas HAM harus melakukan satu penyelidikan baru atau penyelidikan lanjutan.”

Pada 2 Mei, organisasi-organisasi dan individu membuat petisi untuk mendorong Komnas HAM agar melakukan proteksi atas kuburan massal.
“Kami telah sampaikan itu. Tetapi ujungnya Komnas HAM tidak bersedia melakukan dua hal. Satu, melakukan penyelidikan lanjutan. Kedua, melakukan proteksi atas kuburan massal,” kata Harry. Padahal, proteksi kuburan massal itu penting karena menyangkut kesaksian-kesaksian dan fakta-fakta baru yang belum pernah diselidiki.
“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia punya kewenangan di bawah Undang-undang 26 untuk melakukan penyelidikan lanjutan,” pungkas Harry. (Nadya Larasati)

Menulis Kisah Hidup Kakek, Menyingkap Tirai Propaganda

Dhianita Kusuma Pertiwi*
April 27, 2017

Foto Pak Suwardi (kakek saya) yang sedang mengolah sagu di Pulau Buru sekitar tahun 1977 (Sumber: Koleksi Pribadi)


Tahun ini, tepat sepuluh tahun kematian kakek saya. Ia termasuk 12,000 tahanan politik Orde Baru yang dikirim ke Pulau Buru tanpa pengadilan dengan tuduhan menjadi bagian dari paham dan organisasi berbasis komunisme.

Seperti beberapa tapol yang dibuang ke Pulau Buru, kakek saya tidak tergabung secara struktural di Partai Komunis Indonesia (PKI), Lekra, atau organisasi lain yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Ia seorang pegawai Kotapraja. Kakek saya tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas apa dakwaan yang diberikan padanya.

Berpuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2000 saat saya baru masuk sekolah dasar, ia mulai bercerita pada saya tentang keadaan barak, bagaimana ia berkawan dengan Pramoedya Ananta Toer, juga pesannya untuk terus membaca. Sampai sekarang saya selalu teringat kisahnya, yang ia ceritakan dengan raut sedih bercampur marah, dan sesekali terdengar kebanggaan di suaranya.

Sudah saatnya untuk berbagi apa yang telah terjadi padanya juga keluarga saya pada masyarakat luas, agar tidak hanya menjadi cerita sebelum tidur kakek pada cucunya. Saya ingin membagi cerita yang tersimpan dalam ingatan kakek dan keluarga saya.

Saya juga ingin membuka tabir kebohongan yang memberi label “jahanam” pada PKI, Gerwani, BTI dan kelompok lain yang dituduh berkhianat atas negara.

Menulis menjadi bagian dari perlawanan untuk menyingkap tabir propaganda Orde Baru. Tentu saja bukanlah kebohongan baru yang perlu disampaikan, namun kenyataan yang sebenarnya terjadi untuk membuka mata dan hati yang selama ini dininabobokkan.

Minggu-minggu itu kota Malang sedang panas-panasnya. Pukul sepuluh pagi matahari sudah di atas kepala dan sinarnya membakar kulit. Media sosial dipenuhi keluhan, doa, bahkan umpatan tentang cuaca yang menyelimuti kota. Namun terik matahari kala itu kalah dari api semangat dalam diri saya untuk mencari sumber informasi untuk sebuah novel historical fiction tentang hidup kakek saya.

Di akhir 2015 yang panas itu, saya pergi ke beberapa museum di kota Malang seperti Museum Brawijaya dan Museum Tempo Doeloe untuk mengumpulkan bahan karya tulis saya.

Sebelum tragedi 1965 keluarga besar saya seperti keluarga besar lainnya. Namun sejak siaran radio dipenuhi oleh siaran kabar berita mengenai G30S, keadaan menjadi mencekam. Pada suatu siang di 1966, kelompok Banser menyatroni rumah kami, membawa pergi kakek saya tanpa izin, pamit, atau alasan yang jelas. Ia ditahan dari penjara satu ke penjara lain, hingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru untuk dididik menjadi lebih nasionalis, agamis, dan patriotis. Begitulah propaganda yang digadang-gadangkan Soeharto dan antek-anteknya.

Padahal, apa bukti kakek saya tidak nasionalis? Ia seorang pegawai Kotapraja, melayani masyarakat sebagai pegawai negeri.
Siapa yang bilang kakek saya tidak beragama? Ia memeluk satu agama resmi dan tercantum jelas di kartu identitasnya.

Dan apakah mereka bisa jelaskan seperti apa tindakan yang tidak patriotis itu? Dia bekerja untuk negara. Ia mengagumi sosok pelopor Marhaenisme dan menerapkan paham tersebut dalam berinteraksi dengan sejawat dan keluarganya yang banyak bekerja sebagai petani.

Ketika kakek ditahan, nenek saya, ibu dan kedua saudarinya tak ada yang tahu sampai kapan mereka harus bertahan menyambung hidup tanpa kehadiran kakek. Surat yang kakek kirim satu-satunya cara bertukar kabar, itupun setelah isinya diperika oleh petugas untuk menghindari adanya usaha untuk kabur atau menceritakan kehidupan tapol yang serba berkesusahan di sana. Di balik surat ala kadarnya itu tersimpan doa yang tidak pernah putus, walau para tapol sering disiksa oleh cambuk ikan pari oleh petugas.

Kartu pos yang dikirim dari keluarga di Malang kepada Pak Suwadi dengan nomor foto A-325 di Unit III Wanayasa, Pulau Buru (nama asli dan alamat pengirim saya buramkan) 
(Sumber: Koleksi pribadi penulis)

Sementara, pemerintah Orde Baru menjejalkan propaganda anti komunis-sosialis pada masyarakat Indonesia yang tak mengetahui dengan jelas siapa yang berperan dalam Gerakan 30 September yang menewaskan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965 itu.

Propaganda itu menuduh Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya mencoba menumbangkan pemerintahan yang berkuasa dengan membunuh para jenderal. PKI dan simpatisannya dicap sebagai sebagai pengkhianat negara dan Pancasila.

Setelah kira-kira dua belas tahun menjadi tahanan politik Orde Baru sejak pertama ditangkap lalu dijebloskan ke penjara kota dan kemudian dibuang ke Pulau Buru, kakek saya pulang dengan mulut yang masih dibungkam oleh ancaman. Tidak ada kemerdekaan untuknya, bahkan setelah dipulangkan dari tempat pemanfaatan. Ada tanda‘ET’, singkatan dari ‘Eks-Tapol’ di kartu identitasnya. Ini mencegah keluarga saya untuk bergerak secara leluasa di negara kami sendiri.

Sampai ajal menjemput kakek saya, tidak banyak pengalamannya sebagai tapol yang ia bagi secara luas dalam bentuk tulisan. Ia hanya bercerita secara lisan ditemani rokok tingwe dan kopi hitam. Hampir setiap malam ada cerita baru darinya, menguak kenyataan yang tersembunyi di balik tabir propaganda yang juga ditanam ke anak-anak bangsa melalui buku pelajaran sejarah.

Negara yang bermartabat tidak seharusnya menyiksa, memenjarakan, membuang, menganiaya, bahkan menghabisi nyawa warganya sendiri dengan tuduhan yang tidak pernah dibuktikan di majelis peradilan. Negara yang bermartabat tidak pula seharusnya menyebarkan kebohongan di atas kuburan korban penganiayaan yang mati di tangan saudaranya sendiri.

Entah berapa ribu masyarakat Indonesia yang menjadi algojo pemerintah Orde Baru. Setengah abad sejak pembantaian massal 1965–1966, mereka tetap merasa yang paling nasionalis.

Karena itu saya tidak peduli dengan teriknya matahari kota Malang. Saya berjalan mencari informasi dan narasumber untuk melengkapi materi novel yang berangkat dari pengalaman kakek dan keluarga saya.

Dukungan teman terbaik yang setia menumbuhkan harapan yang sering pupus. Ada saatnya saya takut berbagi tentang kehidupan keluarga saya yang dicap kiri, bahkan merasa sendirian. Di lingkungan terdekat, tidak banyak yang seumur saya yang mau menilik sejarah. Hanya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada generasi sebelum kita saja sudah enggan, apalagi meneruskan perjuangan. Dengan kurangnya pemahaman sejarah, banyak yang mudah dipengaruhi propaganda.

Keadaan itu di sisi lain menjadi penguat semangat saya untuk segera melahirkan buku yang saya tulis sebagai persembahan untuk keluarga juga negara. Pemuda seharusnya jangan mau dimanjakan oleh keadaan yang sekarang seakan serba aman.

Keluarga saya tidak lagi diancam secara langsung dari pihak manapun terkait dengan pengalaman kakek saya. Namun, tidak berarti saya sebagai keturunan saksi sejarah kejahatan Orde Baru bisa diam saja, larut dalam gaya hidup modern yang menjauhkan dari pelajaran di masa sebelumnya.

Dalam novel saya, saya sengaja tidak menyampaikan banyak teori untuk mencari siapa yang salah dan benar. Tujuan penulisan buku perdana saya itu jelas, yakni berbagi tentang apa yang terjadi di balik kelambu propaganda pada kakek saya. Melalui tulisan, saya bisa bercerita pada lingkungan terdekat, yakni rekan-rekan pembaca terutama mahasiswa dan pelajar yang sebelumnya hanya memiliki sumber pengetahuan buatan ahli propaganda Orde Baru.

Sedikit demi sedikit informasi tambahan pun saya peroleh, melalui kunjungan ke museum-museum, memeriksa benda-benda bersejarah yang dipajang, membaca sumber terkait tambahan yakni buku-buku memoar yang ditulis oleh eks-tapol, dan mewawancarai beberapa orang yang memiliki pengalaman yang berhubungan dengan hal-hal yang terjadi pasca tragedi 1965 seperti anggota keluarga saya sendiri dan juga beberapa orang yang memiliki pengetahuan tentang sejarah di Malang.

Walaupun tidak bisa dibilang lengkap dan memuaskan, namun informasi yang berhasil saya dapatkan selama minggu-minggu bercuaca panas itu seperti oase bagi saya.

Kesulitan yang saya hadapi adalah kurangnya memorialisasi penyelewengan kekuasaan rezim Orde baru paska-G30S di kota Malang. Dua museum sejarah yang ada tidak menjadikan tragedi 1965 paska-G30S sebagai satu kejadian penting yang perlu dijadikan bahan pameran dan diskusi pembelajaran tersendiri.

Ini menyakitkan, ternyata sampai sekarang penderitaan keluarga saya dan keluarga puluhan ribu tapol lainnya yang harus berjuang memikul beban cap keluarga kiri selama bertahun-tahun masih belum menjadi suatu hal yang perlu diangkat dan dibahas.

Dalam proses mencari informasi tambahan dari pelaku atau saksi sejarah yang berkaitan dengan propaganda Orde Baru saya mendapati para narasumber yang saya temui, seperti seorang mantan sipir penjara Lowokwaru yang bekerja di masa-masa tersebut, kurang terbuka untuk memberikan informasi yang saya butuhkan. Namun untuk hal ini saya bisa memahami, karena tidak semua orang bisa dengan mudah membagi pengalaman yang cukup pahit di masa lalu dengan orang lain.

Selama tiga bulan saya berjalan dari rumah ke rumah, museum satu ke museum lainnya, sampai akhirnya saya anggap karya ini selesai. Namun perjalanan saya untuk membagi kisah ini pada pembaca di luar sana belum usai karena berhubungan dengan kepenerbitan juga bukanlah hal yang mudah. Setelah menemui beberapa tantangan untuk menerbitkan buku saya seperti penolakan dari redaksi penerbit dengan alasan isu yang diangkat terlalu beresiko dan juga tidak terlalu menguntungkan secara komersial, saya memutuskan untuk menerbitkan buku ini secara independen.

Tidak penting bagaimana buku saya terbit, apakah melalui penerbit independen atau yang sudah punya nama, tujuan utama penulisan adalah menyampaikan rahasia kepahitan yang selama ini disembunyikan oleh keluarga saya karena tertekan oleh propaganda pemerintah.
Saya ingin kisah keluarga yang saya tuangkan dalam novel berjudul Buku Harian Keluarga Kiri tidak hanya menjadi cerita penutup malam atau renungan di sudut kamar saya, namun bisa menjadi kekuatan untuk merobek tirai kebohongan yang masih digantung hingga saat ini.



Dhianita Kusuma Pertiwi, 
Penulis Buku Harian Keluarga Kiri dan Pasar Malam untuk Brojo.

https://medium.com/ingat-65/menulis-kisah-hidup-kakek-menyingkap-tirai-propaganda-f6564891f88b

Amir Sjarifoeddin: Perdana Menteri, Kiri, dan Dihukum Mati

27 April 1907, hari lahir Amir

Reporter: Iswara N Raditya | 27 April, 2017
Amir Sjarifoeddin, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi mati karena dituding terlibat aksi pemberontakan yang dilakukan oleh sayap kiri.

Amir Sjarifoeddin, lahir 27 April 1907. Foto/istimewa
tirto.id - Amir Sjarifoeddin menghadapi regu tembak yang berdiri di hadapannya tanpa wajah takut. Ia tak sendiri, ada 10 orang rekannya yang juga tengah menyongsong maut. 11 lelaki itu berbaris sejajar, masing-masing berdiri di sisi lubang yang telah dipersiapkan untuk tempat peristirahatan terakhir mereka nantinya.

Malam itu tanggal 19 Desember 1948 menjelang pergantian hari. Di area pemakaman di pedalaman Desa Ngaliyan, Karanganyar, belasan kilometer arah timur Surakarta, Jawa Tengah, Amir dan 10 orang lainnya bersiap menjalani eksekusi mati. Mereka dituding terlibat pemberontakan PKI Madiun yang terjadi beberapa bulan sebelumnya.

Ke-11 terhukum itu dengan serempak menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dilanjutkan dengan mengumandangkan “Internationale,” tembang kebesaran solidaritas kaum komunis sejagat raya. Setelah itu, Amir meminta izin untuk membaca Alkitab dan memanjatkan doa. Ia juga memohon agar kitab suci itu ikut dikuburkan bersama jasadnya nanti.

Para algojo menuruti permintaan terakhir itu, dan setelah selesai dengan ritualnya, Amir kembali ke barisan. Ia menghela nafas, memantapkan nyali, dan berseru lantang: “Kaum buruh sedunia, aku mati untukmu!” 

Dor! Peluru ditembakkan ke arah sebelas orang itu, termasuk Amir yang langsung terkulai tak bernyawa lagi. 

Ya, ia adalah Amir Sjarifoeddin, salah seorang bapak bangsa pertama penegak kedaulatan Republik Indonesia. Ia dua kali menjabat sebagai menteri, bahkan pernah menjadi perdana menteri. Hidupnya berakhir pada usia 41 tahun dengan cap pengkhianat, kendati ia tidak pernah diadili.

Pejuang-Komunis-Religius

Amir Sjarifoeddin lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907, atau 110 tahun lalu, dari keluarga Batak-Muslim. Ayahnya, Djamin bergelar Baginda Soripada, adalah bangsawan adat Tapanuli. Sedangkan sang ibunda berasal dari keluarga Batak yang telah berbaur dengan orang-orang Islam-Melayu di Deli. Maka, sesuai dengan aturan adat, ibu Amir pun memeluk Islam (Sejarah Peristiwa Madiun 1948, 2001:121).

Pada akhirnya nanti, Amir Sjarifoeddin justru memilih berpindah keyakinan yang berkebalikan dari pilihan sang ibu. Ia memeluk Kristen pada usia 24 tahun (Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 1987:172). Sebelum dibaptis di sebuah gereja di Batavia (Jakarta) pada 1931, Amir adalah seorang muslim taat.

Ketertarikan Amir pada ajaran Kristen sebenarnya bermula ketika ia masih sekolah di Belanda sejak 1921. Menariknya, proses ini terjadi seiring perkenalannya dengan paham kiri. Pada 1923, Amir bertemu dengan Semaoen yang kala itu diasingkan ke Belanda. Semaoen adalah salah satu pendiri PKI yang muncul dari perpecahan Sarekat Islam (SI).

Meskipun memilih beraliran kiri, bukan berarti Amir tidak mengenal Tuhan. Justru sebaliknya, ia menjadi penganut Kristen yang sangat religius. Ini persis seperti yang menjadi pilihan Mohammad Misbach, seorang muslim, haji, sekaligus aktivis komunis yang sempat berbareng bergerak bersama Semaoen.

Sama seperti Haji Misbach yang memadukan Islam dengan sosialisme untuk melawan penindasan, Amir pun begitu. Baginya, Kristen dan komunisme tak perlu dipertentangkan karena sama-sama membicarakan kemanusiaan (Martin Hutagalung, Islam Bergerak, 2016, mengutip Pdt. Dr. SAE Nababan dalam acara bedah buku Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, di Jakarta, 26 November 2009).

Melawan Belanda dan Jepang

Perjuangan Amir Sjarifoeddin melawan penjajahan Belanda semasa era pergerakan nasional maupun selama pendudukan Jepang sejatinya tidak perlu diragukan lagi. Amir adalah salah satu tokoh bangsa yang turut mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Benar, Amir Sjarifoeddin adalah pahlawan sebelum blunder pada 1948 itu terjadi.

Amir Sjarifoeddin ikut ambil bagian dalam peristiwa monumental Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Ia juga sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno. Setelah PNI dibubarkan, Amir turut menggagas berdirinya Partai Indonesia atau Partindo (Martin Hutagalung, 2016).

Melalui orasinya di berbagai forum, Amir kerap mengecam pemerintah kolonial Belanda, terutama kebijakan penguasa yang merampas paksa tanah rakyat dan pajak yang terlalu tinggi. Pernah suatu kali Amir diturunkan dari podium oleh aparat kolonial saat berpidato karena dianggap menghasut (John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1979:214).

Amir bahkan pernah masuk bui lantaran tulisannya yang tajam dan dimuat di banyak surat kabar. Salah satu artikelnya yang dituding menista pemerintah kolonial Belanda adalah ”de Viere Vlaamsche Leeuw.” Gara-gara ini, Amir dipenjara selama 1,5 tahun.

Tanggal 24 Mei 1937, Amir turut menggagas Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) bersama A.K. Gani, Mohammad Yamin, Mr. Sartono, Sanusi Pane, Wikana, dan lain-lain. Gerakan ini nantinya berkembang menjadi partai nasionalis sayap kiri (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008: 66).

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia setelah Belanda menyerah sejak 1942, Amir Sjarifoeddin bahkan pernah divonis mati. Amir yang kala itu memimpin Gerakan Anti Fasis (GERAF) tertangkap di Surabaya pada Januari 1943 dan dijatuhi hukuman mati dalam sidang yang beberapa kali digelar pada 1944. 

Berkat lobi-lobi politik, vonis mati itu akhirnya diringankan menjadi hukuman penjara seumur hidup. Namun, Amir beruntung. Tak lama kemudian, Jepang mengalami kekalahan dari Sekutu di Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia Kedua. Jepang hengkang, Amir bebas, Indonesia pun merdeka.

Akhir Tragis Mantan Perdana Menteri
Awal berdirinya negara Republik Indonesia menjadi era baru bagi perjuangan Amir Sjarifoeddin. Oleh Presiden Sukarno, ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Penerangan dari 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946, kemudian menjadi Menteri Pertahanan Indonesia periode 14 November 1945 sampai 29 Januari 1948.

Bahkan, Amir Sjarifoeddin pernah menjadi orang nomor dua di Republik Indonesia saat mengemban jabatan sebagai Perdana Menteri. Ia memimpin pemerintahan dalam dua "sesi", yakni Kabinet Amir I sejak 3 Juli 1947, yang pada akhir tahun dirombak dan dikenal dengan nama Kabinet Amir II. 

Masa-masa Kabinet Amir disibukkan dengan berbagai polemik dengan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, baik pecahnya konflik bersenjata maupun urusan-urusan diplomasi, termasuk Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. 

Kesepakatan Perjanjian Renville yang diteken Amir ternyata menuai banyak kecaman karena dinilai merugikan Indonesia. Desakan agar Amir mundur dari posisinya sebagai perdana menteri pun menyeruak. Untuk menenangkan situasi, pada 29 Januari 1948 Presiden Sukarno meminta Amir meletakkan jabatannya.

Amir Sjarifoeddin mengembalikan mandat tersebut dengan rasa marah. Setelah itu, terjadi tarik-ulur di kabinet terkait jatah menteri untuk golongan kiri yang diwakili Amir. Kesepakatan tidak tercapai yang membuat sayap kiri, termasuk Amir, memutuskan keluar dari kabinet.

Selanjutnya, terjadilah pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948. Amir yang ditengarai terlibat upaya melawan pemerintahan yang sah itu turut menjadi target pengejaran. 

Tanggal 1 Desember 1948, Amir bersama lebih dari 800 pengikutnya ditangkap. Dan yang terjadi kemudian, tanpa melalui pengadilan, sang mantan perdana menteri dinyatakan bersalah dan divonis mati.

Presiden Sukarno berusaha menggunakan hak veto-nya agar hukuman mati Amir dianulir. Tapi, upaya itu sia-sia. Tanggal 19 Desember 1948, Amir Sjarifoeddin tetap dieksekusi. 
(tirto.id - isw/msh)

https://tirto.id/amir-sjarifoeddin-perdana-menteri-kiri-dan-dihukum-mati-cnvP

Amir Sjarifoeddin: Perdana Menteri, Kiri, dan Dihukum Mati

Reporter: Iswara N Raditya | 27 April, 2017

27 April 1907, hari lahir Amir


Amir Sjarifoeddin, lahir 27 April 1907. Foto/istimewa
Amir Sjarifoeddin, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi mati karena dituding terlibat aksi pemberontakan yang dilakukan oleh sayap kiri.

Amir Sjarifoeddin menghadapi regu tembak yang berdiri di hadapannya tanpa wajah takut. Ia tak sendiri, ada 10 orang rekannya yang juga tengah menyongsong maut. 11 lelaki itu berbaris sejajar, masing-masing berdiri di sisi lubang yang telah dipersiapkan untuk tempat peristirahatan terakhir mereka nantinya.

Malam itu tanggal 19 Desember 1948 menjelang pergantian hari. Di area pemakaman di pedalaman Desa Ngaliyan, Karanganyar, belasan kilometer arah timur Surakarta, Jawa Tengah, Amir dan 10 orang lainnya bersiap menjalani eksekusi mati. Mereka dituding terlibat pemberontakan PKI Madiun yang terjadi beberapa bulan sebelumnya.

Ke-11 terhukum itu dengan serempak menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dilanjutkan dengan mengumandangkan “Internationale,” tembang kebesaran solidaritas kaum komunis sejagat raya. Setelah itu, Amir meminta izin untuk membaca Alkitab dan memanjatkan doa. Ia juga memohon agar kitab suci itu ikut dikuburkan bersama jasadnya nanti.

Para algojo menuruti permintaan terakhir itu, dan setelah selesai dengan ritualnya, Amir kembali ke barisan. Ia menghela nafas, memantapkan nyali, dan berseru lantang: “Kaum buruh sedunia, aku mati untukmu!” 

Dor! Peluru ditembakkan ke arah sebelas orang itu, termasuk Amir yang langsung terkulai tak bernyawa lagi. 

Ya, ia adalah Amir Sjarifoeddin, salah seorang bapak bangsa pertama penegak kedaulatan Republik Indonesia. Ia dua kali menjabat sebagai menteri, bahkan pernah menjadi perdana menteri. Hidupnya berakhir pada usia 41 tahun dengan cap pengkhianat, kendati ia tidak pernah diadili.


Pejuang-Komunis-Religius

Amir Sjarifoeddin lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907, atau 110 tahun lalu, dari keluarga Batak-Muslim. Ayahnya, Djamin bergelar Baginda Soripada, adalah bangsawan adat Tapanuli. Sedangkan sang ibunda berasal dari keluarga Batak yang telah berbaur dengan orang-orang Islam-Melayu di Deli. Maka, sesuai dengan aturan adat, ibu Amir pun memeluk Islam (Sejarah Peristiwa Madiun 1948, 2001:121).

Pada akhirnya nanti, Amir Sjarifoeddin justru memilih berpindah keyakinan yang berkebalikan dari pilihan sang ibu. Ia memeluk Kristen pada usia 24 tahun (Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 1987:172). Sebelum dibaptis di sebuah gereja di Batavia (Jakarta) pada 1931, Amir adalah seorang muslim taat.

Ketertarikan Amir pada ajaran Kristen sebenarnya bermula ketika ia masih sekolah di Belanda sejak 1921. Menariknya, proses ini terjadi seiring perkenalannya dengan paham kiri. Pada 1923, Amir bertemu dengan Semaoen yang kala itu diasingkan ke Belanda. Semaoen adalah salah satu pendiri PKI yang muncul dari perpecahan Sarekat Islam (SI).

Meskipun memilih beraliran kiri, bukan berarti Amir tidak mengenal Tuhan. Justru sebaliknya, ia menjadi penganut Kristen yang sangat religius. Ini persis seperti yang menjadi pilihan Mohammad Misbach, seorang muslim, haji, sekaligus aktivis komunis yang sempat berbareng bergerak bersama Semaoen.

Sama seperti Haji Misbach yang memadukan Islam dengan sosialisme untuk melawan penindasan, Amir pun begitu. Baginya, Kristen dan komunisme tak perlu dipertentangkan karena sama-sama membicarakan kemanusiaan (Martin Hutagalung, Islam Bergerak, 2016, mengutip Pdt. Dr. SAE Nababan dalam acara bedah buku Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, di Jakarta, 26 November 2009).

Melawan Belanda dan Jepang

Perjuangan Amir Sjarifoeddin melawan penjajahan Belanda semasa era pergerakan nasional maupun selama pendudukan Jepang sejatinya tidak perlu diragukan lagi. Amir adalah salah satu tokoh bangsa yang turut mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Benar, Amir Sjarifoeddin adalah pahlawan sebelum blunder pada 1948 itu terjadi.

Amir Sjarifoeddin ikut ambil bagian dalam peristiwa monumental Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Ia juga sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno. Setelah PNI dibubarkan, Amir turut menggagas berdirinya Partai Indonesia atau Partindo (Martin Hutagalung, 2016).

Melalui orasinya di berbagai forum, Amir kerap mengecam pemerintah kolonial Belanda, terutama kebijakan penguasa yang merampas paksa tanah rakyat dan pajak yang terlalu tinggi. Pernah suatu kali Amir diturunkan dari podium oleh aparat kolonial saat berpidato karena dianggap menghasut (John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1979:214).

Amir bahkan pernah masuk bui lantaran tulisannya yang tajam dan dimuat di banyak surat kabar. Salah satu artikelnya yang dituding menista pemerintah kolonial Belanda adalah ”de Viere Vlaamsche Leeuw.” Gara-gara ini, Amir dipenjara selama 1,5 tahun.

Tanggal 24 Mei 1937, Amir turut menggagas Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) bersama A.K. Gani, Mohammad Yamin, Mr. Sartono, Sanusi Pane, Wikana, dan lain-lain. Gerakan ini nantinya berkembang menjadi partai nasionalis sayap kiri (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008: 66).

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia setelah Belanda menyerah sejak 1942, Amir Sjarifoeddin bahkan pernah divonis mati. Amir yang kala itu memimpin Gerakan Anti Fasis (GERAF) tertangkap di Surabaya pada Januari 1943 dan dijatuhi hukuman mati dalam sidang yang beberapa kali digelar pada 1944. 

Berkat lobi-lobi politik, vonis mati itu akhirnya diringankan menjadi hukuman penjara seumur hidup. Namun, Amir beruntung. Tak lama kemudian, Jepang mengalami kekalahan dari Sekutu di Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia Kedua. Jepang hengkang, Amir bebas, Indonesia pun merdeka.

Amir Sjarifoeddin: Perdana Menteri, Kiri, dan Dihukum Mati

Akhir Tragis Mantan Perdana Menteri

Awal berdirinya negara Republik Indonesia menjadi era baru bagi perjuangan Amir Sjarifoeddin. Oleh Presiden Sukarno, ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Penerangan dari 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946, kemudian menjadi Menteri Pertahanan Indonesia periode 14 November 1945 sampai 29 Januari 1948.

Bahkan, Amir Sjarifoeddin pernah menjadi orang nomor dua di Republik Indonesia saat mengemban jabatan sebagai Perdana Menteri. Ia memimpin pemerintahan dalam dua "sesi", yakni Kabinet Amir I sejak 3 Juli 1947, yang pada akhir tahun dirombak dan dikenal dengan nama Kabinet Amir II. 

Masa-masa Kabinet Amir disibukkan dengan berbagai polemik dengan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, baik pecahnya konflik bersenjata maupun urusan-urusan diplomasi, termasuk Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. 

Kesepakatan Perjanjian Renville yang diteken Amir ternyata menuai banyak kecaman karena dinilai merugikan Indonesia. Desakan agar Amir mundur dari posisinya sebagai perdana menteri pun menyeruak. Untuk menenangkan situasi, pada 29 Januari 1948 Presiden Sukarno meminta Amir meletakkan jabatannya.

Amir Sjarifoeddin mengembalikan mandat tersebut dengan rasa marah. Setelah itu, terjadi tarik-ulur di kabinet terkait jatah menteri untuk golongan kiri yang diwakili Amir. Kesepakatan tidak tercapai yang membuat sayap kiri, termasuk Amir, memutuskan keluar dari kabinet.

Selanjutnya, terjadilah pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948. Amir yang ditengarai terlibat upaya melawan pemerintahan yang sah itu turut menjadi target pengejaran. 

Tanggal 1 Desember 1948, Amir bersama lebih dari 800 pengikutnya ditangkap. Dan yang terjadi kemudian, tanpa melalui pengadilan, sang mantan perdana menteri dinyatakan bersalah dan divonis mati.

Presiden Sukarno berusaha menggunakan hak veto-nya agar hukuman mati Amir dianulir. Tapi, upaya itu sia-sia. Tanggal 19 Desember 1948, Amir Sjarifoeddin tetap dieksekusi. 

Sumber: Tirto.Id 

Rabu, 26 April 2017

Soeharto, Sosok di Balik Skandal Mega BLBI

Anugerah Perkasa | Rabu, 26/04/2017 11:52 WIB

Bekas Presiden Soeharto merupakan sosok di balik kebijakan awal penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997 lalu. (REUTERS)
Jakarta -- Bekas Presiden Soeharto merupakan sosok di balik kebijakan awal penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997 lalu.

Dalam sejumlah analisis dan riset disebutkan, masalah itu berawal dari sejumlah krisis likuiditas pelbagai bank saat itu karena kredit macet. Ini juga memperparah krisis terhadap kepercayaan rupiah yang menurun sejak Juli 1997.

Ketika tekanan terhadap perbankan semakin kuat, Sidang Kabinet Terbatas 3 September 1997 yang dipimpin Soeharto, memutuskan sejumlah hal. Di antaranya adalah pemerintah akan membantu bank nasional yang sulit likuiditas tapi masih sehat; dan bank yang tak sehat segera dilikuidasi dan digabung.


Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 5 Nomor 1 Februari 2009 menulis bahwa kondisi itu macam ‘buah simalakama.’ Satu sisi, bank yang kesulitan likuiditas harus disetop aktivitas kliringnya, namun akan berisiko pada perekonomian, di sisi lainnya pemberian bantuan itu juga akan melibatkan dana yang demikian besar.

Namun, Soeharto akhirnya membuat keputusan dengan meminta Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia untuk menerapkan pelbagai langkah dalam krisis itu.

“Kebijakan ini,” demikian jurnal itu seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (25/4), “Merupakan asal-muasal dari BLBI.”

Namun, penyaluran dana itu akhirnya ditemukan justru diselewengkan oleh para pemilik bank. 



Pelanggaran Dana BLBI
Audit BPK menemukan pelbagai pelanggaran dari 48 bank penerima BLBI, di antaranya adalah pelanggaran Undang Undang Perbankan; pelanggaran prinsip kehati-hatian; pelanggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan program penjaminan; serta pelanggaran atas persyaratan pemberian Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus.

Pada Oktober 1997, Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) pertama dengan the International Monetary Fund (IMF). Hal itu menyangkut restrukturisasi perbankan, sehingga ada 16 bank yang akhirnya ditutup pada November 1997.

Gubernur BI periode 1993-1998 Soedradjad Djiwandono menulis bahwa BI pada akhir 1996-April 1997 sudah mengajukan usul untuk menutup bank. “Tetapi untuk izin pelaksanaannya tak diperoleh dari Presiden,” kata dia dalam analisisnya.


Namun, kata Soedradjad, penutupan 16 bank itu justru berdampak terbalik dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap bank dan pemerintah. 

Diketahui saat itu justru terjadi penarikan dana nasabah besar-besaran dan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp15.000 pada Desember 1997.


Soeharto akhirnya merilis Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keputusan itu diterbitkan pada Januari 1998.

“Pemerintah memberi jaminan bahwa kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi,” demikian keputusan Soeharto saat itu.

Keputusan itu menyatakan hal itu perlu dilakukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang dan perbankan nasional. 

Soeharto juga mengakui dalam keputusan itu bahwa krisis moneter yang terjadi karena tercermin pada merosotnya kepercayaan masyarakat di dalam negeri dan luar negeri terhadap perbankan nasional dan mata uang rupiah. 


Sumber: CNN Indonesia 

Selasa, 25 April 2017

Gubernur Lemhanas Agus Widjojo: Reformasi TNI Kini Merosot

SENIN, 25 APRIL 2016 | 17:50 WIB

TEMPO/Seto Wardhana
TEMPO.COJakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen (Purn) Agus Widjojo mengatakan proses reformasi TNI mengalami kemunduran. Agus menyoroti penggunaan kekuatan tentara dalam kasus-kasus penggusuran untuk kepentingan pemerintah lokal.

"Contohnya TNI kembali memasuki fungsi-fungsi di luar wilayah pertahanan nasional," kata Agus dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu.

Berikut ini adalah petikan wawancaranya yang selengkapnya bisa dibaca di Majalah Tempo edisi Senin, 25 April 2016.

Seperti apa jalannya reformasi TNI sekarang?
Kita kembali pada konsep tentara profesional, yang dalam sistem demokratis tidak bisa ditentukan TNI sendiri. Agar TNI bebas dari paradigma masa lalu yang penuh dengan kebesaran dan mengklaim sebagai satu-satunya penjaga stabilitas dan persatuan kesatuan bangsa, harus ada sistem nasional yang efektif. Maka kita bisa katakan kepada TNI, "Anda tidak perlu khawatir, negara akan aman, stabil, dan dijamin nilai-nilai Pancasila akan berjalan." 
Yang paling fatal adalah ketika ini belum tuntas dan baru sebentar, di beberapa bagian sistem internal TNI masih ada yang bergantung pada kebesaran masa lalu tadi. Dan, yang lebih celaka, sipil memberikan justifikasi. Ada kepentingan-kepentingan politik sempit, ada figur-figur otoritas sipil yang nyaman kalau mendapatkan dukungan politik TNI. Jadi reformasi TNI itu memang belum tuntas dan tidak bisa diselesaikan TNI sendiri.

Berapa Anda memberi nilai atas jalannya reformasi TNI sekarang?
Reformasi sempat sampai 80 persen. Tapi ada kemerosotan, mungkin sekarang kembali ke 70 persen. Contohnya TNI kembali memasuki fungsi-fungsi di luar wilayah pertahanan nasional.
Termasuk penggunaan kekuatan TNI dalam penggusuran di Provinsi DKI Jakarta?
Ada dua kelemahan di situ. Gubernur tidak bisa langsung menggunakan kekuatan TNI karena TNI itu milik negara. Kewenangan pertahanan itu milik nasional, bukan daerah. Kedua, otoritas sipil tidak bisa begitu saja mencomot satuan atau prajurit TNI untuk mendukung kebijakan daerah.

Kodam atau batalion adalah hierarki komando di bawah Panglima TNI dan Mabes TNI. Secara politis di bawah Menteri Pertahanan dan presiden, karena pertahanan bersifat nasional. Artinya, kalau ada kekuatan militer datang melakukan invasi mencaplok sebagian dari Aceh atau Kalimantan Utara, itu bukan merupakan persoalan daerah, tapi negara. Pertahanan selalu bersifat nasional. Kalau ada pertahanan di daerah, misalnya satuan TNI dikerahkan untuk mengembalikan keutuhan teritori nasional di Papua, itu adalah pelaksanaan fungsi pertahanan di daerah sebagai bagian dari pertahanan nasional.

TITO SIANIPAR
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/25/078765713/gubernur-lemhanas-agus-widjojo-reformasi-tni-kini-merosot