Reporter: Iswara N Raditya | 18 April, 2017
Sudomo (Teguh Purnomo/Tirto)
Sudomo adalah salah satu orang kepercayaan Soeharto yang menjadi algojo Orde Baru dengan tugas menjaga “stabilitas” nasional. Di sisi lain, ia pernah murtad dan menyesali itu di masa tuanya.
18 Maret 1978, jelang Sidang Umum MPR, suasana ibukota memanas. Mahasiswa dari berbagai daerah bergerak menuju Istana Negara di Jakarta Pusat dengan tujuan mendesak Soeharto agar tidak lagi melanjutkan kekuasaannya sebagai presiden. Sayangnya, teriakan kaum mahasiswa seolah musnah ditelan angin. Sang penguasa ternyata sedang tidak berada di tempat.
Dua hari berselang, jawaban datang dari wakil istana. Bukan langsung dari Soeharto, tapi diamanatkan lewat Sudomo. Soeharto saat itu memang sekaligus menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), namun untuk tugas keseharian diserahkan kepada Laksamana Sudomo selaku Kepala Staf Kopkamtib.
Sudomo pun melancarkan gebrakannya. Pertama-tama, ia memberangus sejumlah media massa nasional yang dituding membesar-besarkan aksi mahasiswa lewat pemberitaan. Koran-koran yang dihentikan paksa itu baru bisa terbit kembali dengan syarat-syarat khusus (Salim Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, 2016:183).
Selanjutnya, Sudomo mengerahkan tentara untuk menduduki beberapa universitas dan menahan 143 orang mahasiswa yang dianggap sebagai biang kegaduhan. Beberapa orang di antaranya diseret ke meja hijau untuk “diadili”, kemudian dijebloskan ke penjara. Aman sudah. Soeharto tetap langgeng memimpin negara, bahkan hingga 20 tahun ke depan.
Sudomo adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Laut yang menduduki posisi penting hampir sepanjang sejarah Orde Baru, dari petinggi Kopkamtib, Wakil Panglima ABRI, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), hingga Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Karier politiknya berakhir seiring dengan tumbangnya Orde Baru pada 1998.
Lahir di Malang pada 20 September 1926, Sudomo memang sudah tertarik dengan sektor bahari sejak usia muda. Maka dari itu, ia melanjutkan studi ke sekolah pelayaran setelah lulus dari sekolah menengah di Malang pada 1943. Bahkan, setahun kemudian ia sudah turut mengajar di sebuah sekolah pelayaran di Pasuruan.
Ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut dibentuk pada 1945, Sudomo mendaftarkan diri dan diterima. Sedari itu, karier militernya di Angkatan Laut melesat cepat. Hanya dalam 5 tahun, Sudomo sudah menjadi komandan kapal patroli RI di Flores dan Riau dengan tugas memberantas penyelundupan (Julius Pour, Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan, 1997:165).
Sudomo juga dipercaya turut memimpin operasi Mandala dengan misi membebaskan Papua dari Belanda. Ini sesuai dengan seruan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang didengungkan Presiden RI pertama Sukarno tanggal 19 Desember 1961 (Aveling & Kingsbury, Autonomy and Disintegration in Indonesia, 2014:116).
Saat itu Sudomo yang berpangkat kolonel ikut ambil bagian dalam operasi senyap di Perairan Maluku pada 15 Januari 1962. Misi rahasia itu melibatkan tiga kapal, yakni KRI Harimau, KRI Macan Tutul, dan KRI Macan Kumbang. Namun, pergerakan mereka diketahui oleh Belanda. KRI Macan Tutul pun ditenggelamkan serta menewaskan Komodor Yos Sudarso. Beruntung, Sudomo selamat dalam bentrokan di Laut Aru itu.
Setelah tragedi tersebut, Sudomo dikirim ke Makassar untuk membantu Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Angkatan Laut Mandala. Kerjasama Soeharto-Sudomo di Makassar itulah menjadi awal hubungan yang berlangsung puluhan tahun kemudian (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013).
Saat itu, Sudomo menjabat sebagai Panglima Angkatan Laut Kawasan Maritim Tengah sekaligus Pembantu Menteri Perhubungan Laut. Sudomo bertugas membantu Kepala Staf Angkatan Laut saat itu, Jenderal Soemitro, untuk melakukan “pembersihan” AL dari orang-orang PKI.
Menurut penuturan Soemitro dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994), Sudomo sangat keras dalam menjalankan tugasnya tersebut. "Dom, kalau kau bersihkan semuanya, habis Angkatan Laut," kata Soemitro kala itu.
Namun, Sudomo tetap bersikukuh bahwa Angkatan Laut harus benar-benar bersih dari mereka yang berbau kiri, sebagaimana perintah Soeharto. Nantinya, sejak tahun 1969, Sudomo diangkat sebagai Kepala Staf TNI AL, jabatan yang sebelumnya dinikmati oleh Soemitro.
Saat Soeharto benar-benar berkuasa sebagai Presiden RI ke-2, Sudomo pun mulai mendapatkan karier politiknya. Sudomo bahkan berperan layaknya kepalan tangan bagi sang presiden. Ia pasang badan untuk memastikan bahwa Orde Baru aman dari segala bentuk ancaman, bahkan yang belum nyata sekalipun, termasuk dari aksi-aksi mahasiswa maupun orang-orang yang ditengarai sebagai lawan politik Soeharto, juga sinyal-sinyal yang berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada 1998, berakhir pula karier politik Sudomo. Di masa tuanya, Sudomo ternyata menyesal, tapi bukan lantaran sepak-terjangnya sebagai salah satu raja tega semasa rezim Orde Baru, melainkan karena hal lain yang lebih pribadi, yakni murtad.
Ia memang pernah berpindah agama pada 20 September 1990 demi mengawini perempuan bernama Fransisca Play meskipun pernikahan ini gagal bertahan selamanya. Sudomo pun beberapa kali menikah lagi sebelum akhirnya kembali menjadi muslim pada 22 Agustus 1997.
Sudomo mengakui, ia menyesal pernah meninggalkan Islam. "Saya murtad selama 36 tahun. Kalau orang lain berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun,'' ucapnya suatu kali.
Tanggal 18 April 2012, lima tahun silam, Sudomo menghadap Sang Khalik pada usia 85 tahun. Sang algojo akhirnya menutup mata dalam kedamaian, meskipun hal yang sama belum tentu dirasakan oleh mereka yang pernah menjadi korban eksekusinya.
Dua hari berselang, jawaban datang dari wakil istana. Bukan langsung dari Soeharto, tapi diamanatkan lewat Sudomo. Soeharto saat itu memang sekaligus menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), namun untuk tugas keseharian diserahkan kepada Laksamana Sudomo selaku Kepala Staf Kopkamtib.
Sudomo pun melancarkan gebrakannya. Pertama-tama, ia memberangus sejumlah media massa nasional yang dituding membesar-besarkan aksi mahasiswa lewat pemberitaan. Koran-koran yang dihentikan paksa itu baru bisa terbit kembali dengan syarat-syarat khusus (Salim Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, 2016:183).
Selanjutnya, Sudomo mengerahkan tentara untuk menduduki beberapa universitas dan menahan 143 orang mahasiswa yang dianggap sebagai biang kegaduhan. Beberapa orang di antaranya diseret ke meja hijau untuk “diadili”, kemudian dijebloskan ke penjara. Aman sudah. Soeharto tetap langgeng memimpin negara, bahkan hingga 20 tahun ke depan.
Dari Laut ke Politik
Tidak sampai sebulan setelah tindakan pengamanan atas gerakan mahasiswa itu, Sudomo benar-benar menjadi orang nomor satu di Kopkamtib. Bukan lagi hanya sebagai kepala staf, melainkan resmi melanjutkan jabatan Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib (Pangkobkamtib) sejak 17 April 1978.Sudomo adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Laut yang menduduki posisi penting hampir sepanjang sejarah Orde Baru, dari petinggi Kopkamtib, Wakil Panglima ABRI, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), hingga Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Karier politiknya berakhir seiring dengan tumbangnya Orde Baru pada 1998.
Lahir di Malang pada 20 September 1926, Sudomo memang sudah tertarik dengan sektor bahari sejak usia muda. Maka dari itu, ia melanjutkan studi ke sekolah pelayaran setelah lulus dari sekolah menengah di Malang pada 1943. Bahkan, setahun kemudian ia sudah turut mengajar di sebuah sekolah pelayaran di Pasuruan.
Ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut dibentuk pada 1945, Sudomo mendaftarkan diri dan diterima. Sedari itu, karier militernya di Angkatan Laut melesat cepat. Hanya dalam 5 tahun, Sudomo sudah menjadi komandan kapal patroli RI di Flores dan Riau dengan tugas memberantas penyelundupan (Julius Pour, Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan, 1997:165).
Sudomo juga dipercaya turut memimpin operasi Mandala dengan misi membebaskan Papua dari Belanda. Ini sesuai dengan seruan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang didengungkan Presiden RI pertama Sukarno tanggal 19 Desember 1961 (Aveling & Kingsbury, Autonomy and Disintegration in Indonesia, 2014:116).
Saat itu Sudomo yang berpangkat kolonel ikut ambil bagian dalam operasi senyap di Perairan Maluku pada 15 Januari 1962. Misi rahasia itu melibatkan tiga kapal, yakni KRI Harimau, KRI Macan Tutul, dan KRI Macan Kumbang. Namun, pergerakan mereka diketahui oleh Belanda. KRI Macan Tutul pun ditenggelamkan serta menewaskan Komodor Yos Sudarso. Beruntung, Sudomo selamat dalam bentrokan di Laut Aru itu.
Setelah tragedi tersebut, Sudomo dikirim ke Makassar untuk membantu Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Angkatan Laut Mandala. Kerjasama Soeharto-Sudomo di Makassar itulah menjadi awal hubungan yang berlangsung puluhan tahun kemudian (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013).
Kepalan Tinju Penguasa
Sejak Soeharto secara sistematis mengambil-alih kekuasaan dari Sukarno usai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Sudomo juga mengambil andil krusial meskipun tidak langsung di pusat. Jika Suharto dan personelnya membabat habis orang-orang yang dicurigai sebagai anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di darat, Sudomo memainkan peran yang sama di sektor kelautan.Saat itu, Sudomo menjabat sebagai Panglima Angkatan Laut Kawasan Maritim Tengah sekaligus Pembantu Menteri Perhubungan Laut. Sudomo bertugas membantu Kepala Staf Angkatan Laut saat itu, Jenderal Soemitro, untuk melakukan “pembersihan” AL dari orang-orang PKI.
Menurut penuturan Soemitro dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994), Sudomo sangat keras dalam menjalankan tugasnya tersebut. "Dom, kalau kau bersihkan semuanya, habis Angkatan Laut," kata Soemitro kala itu.
Namun, Sudomo tetap bersikukuh bahwa Angkatan Laut harus benar-benar bersih dari mereka yang berbau kiri, sebagaimana perintah Soeharto. Nantinya, sejak tahun 1969, Sudomo diangkat sebagai Kepala Staf TNI AL, jabatan yang sebelumnya dinikmati oleh Soemitro.
Saat Soeharto benar-benar berkuasa sebagai Presiden RI ke-2, Sudomo pun mulai mendapatkan karier politiknya. Sudomo bahkan berperan layaknya kepalan tangan bagi sang presiden. Ia pasang badan untuk memastikan bahwa Orde Baru aman dari segala bentuk ancaman, bahkan yang belum nyata sekalipun, termasuk dari aksi-aksi mahasiswa maupun orang-orang yang ditengarai sebagai lawan politik Soeharto, juga sinyal-sinyal yang berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Menyesal Pernah Murtad
Sudomo masih mendapatkan akses yang relatif mudah untuk berhubungan langsung dengan Soeharto meskipun sejak 1993 ia tidak lagi berada di kabinet. Soeharto menempatkannya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), jabatan yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh.Setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada 1998, berakhir pula karier politik Sudomo. Di masa tuanya, Sudomo ternyata menyesal, tapi bukan lantaran sepak-terjangnya sebagai salah satu raja tega semasa rezim Orde Baru, melainkan karena hal lain yang lebih pribadi, yakni murtad.
Ia memang pernah berpindah agama pada 20 September 1990 demi mengawini perempuan bernama Fransisca Play meskipun pernikahan ini gagal bertahan selamanya. Sudomo pun beberapa kali menikah lagi sebelum akhirnya kembali menjadi muslim pada 22 Agustus 1997.
Sudomo mengakui, ia menyesal pernah meninggalkan Islam. "Saya murtad selama 36 tahun. Kalau orang lain berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun,'' ucapnya suatu kali.
Tanggal 18 April 2012, lima tahun silam, Sudomo menghadap Sang Khalik pada usia 85 tahun. Sang algojo akhirnya menutup mata dalam kedamaian, meskipun hal yang sama belum tentu dirasakan oleh mereka yang pernah menjadi korban eksekusinya.
https:Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar