Todung Mulya Lubis mengkhianati perjuangan HAM masyarakat miskin kota saat memberikan testimoni di sebuah video berjudul “TODUNG MULYA LUBIS TENTANG PENGGUSURAN” yang diunggah oleh sebuah akun Youtube bernama Jakarta Progresif.
Dalam video tersebut, Todung Mulya Lubis memberikan pernyataan yang meresahkan dengan melontarkan stigma bahwa penduduk yang “kebanyakan” hidup di bantaran sungai sebagai “penduduk gelap, tanpa izin” dan menyatakan bahwa penggusuran paksa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, telah “menganggap (warga terdampak penggusuran) sebagai manusia” dan upaya pemerintah untuk memindahkan warga “memberikan masa depan yang lebih baik kepada mereka (red. warga terdampak penggusuran)”. Lebih lanjut, Todung Mulya Lubis juga memadankan figur Basuki Tjahaja Purnama dengan sosok Ali Sadikin.
LBH Jakarta menentang pernyataan Todung Mulya Lubis karena telah mengabaikan fakta-fakta pelanggaran HAM terkait dengan situasi penggusuran paksa di Jakarta selama periode kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama.
1. Todung Mulya Lubis mengabaikan fakta bahwa penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM
Komisi HAM PBB melalui Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 1993/77 dan 2004/28 mengategorikan penggusuran paksa sebagai “gross violation of human rights” (red. pelanggaran HAM berat) karena perampasan hak atas perumahan yang layak dapat berujung pada pelanggaran terhadap serangkaian hak dasar lainnya, yaitu hak atas rasa aman, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan bagi anak-anak korban penggusuran paksa.
Setiap warga negara juga dilindungi dari penggusuran paksa berdasarkan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (“Kovenan EKOSOB”) sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Komentar Umum CESCR Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa.
Berdasarkan ketentuan HAM tersebut, penggusuran harus dijadikan pilihan terakhir oleh pemerintah setelah menempuh proses partisipasi dan musyawarah yang seimbang dengan warga terdampak. Pemerintah juga wajib untuk memberikan perlindungan prosedural bagi warga terdampak, yaitu dengan merelokasi warga terdampak terlebih dahulu ke lokasi baru yang layak sebelum penggusuran dilaksanakan, tidak menggunakan pendekatan intimidasi dan kekerasan, tidak menggunakan kekuatan aparat secara berlebihan, dan menghormati upaya hukum yang ditempuh oleh warga terdampak.
Seluruh kasus penggusuran paksa yang berlangsung selama periode kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah melanggar prinsip-prinsip dasar HAM yang tidak sepatutnya dibela oleh Todung Mulya Lubis selaku salah satu tokoh besar pejuang HAM di Indonesia.
2. Penggusuran paksa selama masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah memakan puluhan ribu korban hanya dalam waktu 2 tahun
Pada tahun 2015 dan 2016, LBH Jakarta mencatat telah terjadi 306 kasus penggusuran paksa terhadap 13.871 keluarga dan 11.662 unit usaha. Tingginya angka penggusuran tersebut seluruhnya terjadi di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jumlah ini masih akan terus bertambah mengingat bahwa Basuki Tjahaja Purnama, dalam berbagai pernyataan selama rangkaian kampanye Pilkada DKI Jakarta, menegaskan bahwa ia tidak akan mengubah pendekatannya terkait dengan kebijakan penggusuran paksa.
3. Basuki Tjahaja Purnama kerap menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk melaksanakan penggusuran paksa terhadap masyarakat miskin kota
Intimidasi dan kekerasan adalah identitas utama penggusuran paksa selama masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Dalam berbagai kasus penggusuran paksa, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melibatkan intimidasi dan kekerasan dengan mengerahkan kekuatan aparat TNI dan POLRI untuk mengusir warga dari hunian atau unit usaha miliknya.
Hal tersebut tampak secara nyata dalam kasus-kasus penggusuran paksa yang pernah didampingi oleh LBH Jakarta, misalnya penggusuran paksa Kampung Pulo (3.000 aparat gabungan untuk mengusir 500 keluarga), penggusuran paksa Duri Kepa (700 aparat gabungan untuk mengusir 22 keluarga), penggusuran paksa Pasar Ikan (4.288 aparat gabungan untuk mengusir 500 keluarga), dan penggusuran paksa Kalijodo (5.833 aparat gabungan untuk mengusir 282 keluarga).
Tingginya jumlah aparat gabungan yang dilibatkan dalam berbagai kasus penggusuran paksa memicu terjadinya kekerasan terhadap warga terdampak, mulai dari kekerasan verbal sampai kekerasan fisik. Bahkan, dalam kasus penggusuran paksa terhadap warga Bukit Duri tertanggal 12 Januari 2016, satu orang pengacara publik LBH Jakarta mengalami pengeroyokan oleh puluhan aparat Satpol PP dan POLRI hingga mengalami luka pada bagian wajahnya. Seluruh kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRi terhadap korban penggusuran paksa macet saat menempuh proses hukum.
Dengan Todung Mulya Lubis membela penggusuran paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama, ia tidak hanya membela intimidasi dan kekerasan, tetapi juga impunitas aparat penegak hukum pelaku tindak pidana.
4. Korban penggusuran paksa bukanlah warga ilegal atau penduduk gelap. Penggusuran paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah tindakan yang ilegal
Warga di berbagai lokasi penggusuran paksa telah menduduki lahan mereka selama puluhan tahun lamanya—bahkan dalam beberapa kasus sejak masa pemerintahan kolonial Belanda—namun tidak kunjung memperoleh hak atas tanah berupa sertifikat dari pemerintah. Padahal Pasal 1963 jo. 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjamin hak warga untuk memperoleh sertifikat setelah menduduki suatu lahan dengan itikad baik selama lebih dari 20 tahun.
Hal tersebut juga merupakan cermin kegagalan dari pemerintah untuk melaksanakan amanat reforma agraria yang telah diakui oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional sendiri yang menyatakan bahwa baru 45 persen tanah di Indonesia yang telah disertifikatkan, padahal telah berlalu 57 tahun sejak pertama kali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diterbitkan.
Lebih lanjut, terkait sengketa kepemilikan lahan, pemerintah juga berkewajiban untuk menunjukkan bukti kepemilikannya berupa sertifikat berdasarkan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun, diakui sendiri oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa terdapat 2.800 bidang tanah yang diduga aset pemerintah di Jakarta tidak memiliki sertifikat, padahal tindakan penelantaran tanah termasuk ke dalam tindak pidana berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam berbagai kasus penggusuran paksa, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak pernah dapat membuktikan kepemilikan lahannya sehingga pengambilalihan lahan dilakukan secara ilegal, dengan mengerahkan aparat yang juga ilegal, yaitu aparat TNI dan POLRI yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan penggusuran paksa.
Namun, alih-alih meneruskan semangat reforma agraria untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah atau setidak-tidaknya menempuh upaya hukum untuk membuktikan sengketa kepemilikan lahan secara absah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melakukan penggusuran paksa dengan mengabaikan hak warga untuk yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya melalui forum pengadilan.
Sepanjang masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, ia telah melakukan tindakan pembangkangan hukum terkait dengan kasus penggusuran paksa, yaitu penggusuran paksa Kampung Pulo, penggusuran paksa Duri Kepa, penggusuran paksa Bukit Duri, penggusuran paksa Bidara Cina, penggusuran paksa Kalijodo, penggusuran paksa Pasar Ikan, dan nelayan Teluk Jakarta yang warganya telah menyatakan akan menempuh upaya hukum di pengadilan, dengan tetap melaksanakan atau setidak-tidaknya menyatakan akan tetap melaksanakan penggusuran paksa terlepas apapun hasil dari putusan pengadilan.
Sikap ini justru sangat bertentangan dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ali Sadikin selama masa kepemimpinannya dahulu sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ali Sadikin dalam buku biografinya yang berjudul Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 pernah mengutarakan,”… dalam menjalankan perannya (red. LBH) justru sering Pemda DKI menjadi lawan perkara, baik di luar pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa LBH bersikap obyektif. Hal itu penting … Mengapa saya mendirikan LBH? Supaya saya dikontrol. Masyarakat yang kena gusur rumah atau tanahnya kebanyakan masih buta hukum … Saya tidak punya niat jelek terhadap warga masyarakat. Tapi bagaimanapun juga saya tetap harus dikontrol. Waktu itu ada lembaga yang menginginkan LBH dibubarkan. Saya bilang, jangan. Sebagai Gubernur saya memerlukan lembaga pengontrol seperti itu.”
Sementara, di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dalam suatu kesempatan malah pernah mengejek warga korban penggusuran yang mengadu ke LBH sebagai tindakan yang “lucu”.
Berdasarkan uraian di atas, dukungan Todung Mulya Lubis terhadap penggusuran paksa yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama justru mendukung tindakan ilegal yang dilakukan oleh pemerintah sendiri dan mendukung pelanggaran hak warga untuk mendapatkan kepastian hukum. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama juga sama sekali tidak layak untuk disandingkan dengan Ali Sadikin karena sama sekali tidak menghormati sistem hukum.
5. Mayoritas korban penggusuran tidak mendapatkan solusi yang layak dari pemerintah dan rumah susun mengabaikan hak dasar warga terdampak pembangunan atas perumahan yang layak
LBH Jakarta mencatat bahwa 63% dari 113 kasus penggusuran paksa yang terjadi sepanjang tahun 2015 tidak memberikan solusi apapun terhadap warga terdampak. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta di rumah susun yang dihuni oleh warga korban penggusuran menemukan fakta bahwa rumah susun yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru telah melanggar serangkaian hak dasar warga, yaitu membuat warga kehilangan pekerjaannya, rumah susun tidak ramah kelompok lanjut usia dan difabel, dan rumah susun tidak menjamin keamanan bermukim warga karena hanya diberikan batas waktu kontrak selama 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang atau diputus sepihak oleh pemerintah sendiri.
Tidak hanya LBH Jakarta yang membuktikan hal tersebut, Ciliwung Merdeka mengeluarkan riset yang membuktikan bahwa tidak seluruh korban penggusuran mendapatkan ganti rugi rusun. Di rusun Rawa Bebek hanya 35% korban penggusuran Bukit Duri yang mendapatkan rusun, sedangkan 65% tidak mendapatkan rusun. Bahkan terdapat dugaan penyalahgunaan penghunian rusun.
Solusi rumah susun dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal menangkap kebutuhan dasar warga karena mengabaikan aspek sosiologis dari warga terdampak, misalnya dalam kasus penggusuran Pasar Ikan, warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan atau buruh pelabuhan malah dipindahkan ke Rusunawa Rawa Bebek yang letaknya hampir 25 kilometer jauhnya dari laut.
Pelatihan pemberdayaan ketrampilan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga gagal untuk memperbaiki nasib warga karena, berdasarkan penelitian LBH Jakarta, jumlah warga pengangguran setelah digusur justru bertambah dan pendapatan warga semakin menurun akibat sulit mengakses pekerjaan, sementara kebutuhan untuk membayar biaya rumah susun sangat mencekik. Hal ini diakui oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri yang menyatakan bahwa utang tunggakan rumah susun yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai 1,37 milyar Rupiah. Tentu seluruh masalah yang terjadi di rumah susun adalah bukti nyata kegagalan pemerintah melaksanakan pembangunan yang partisipatif karena warga yang dipindahkan oleh pemerintah justru mengalami penurunan kesejahteraan.
Pendapat Todung Mulya Lubis yang menyatakan bahwa solusi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap warga korban penggusuran sebagai “manusiawi” adalah pendapat yang mengada-ada dan mengabaikan fakta yang ada. Pernyataan tersebut justru kontraproduktif terhadap perjuangan masyarakat miskin kota untuk menuntut pembangunan yang partisipatif.
6. Todung Mulya Lubis mengkhianati prinsip dasar gerakan bantuan hukum struktural
Kami menilai pernyataan Todung Mulya Lubis telah gagal melihat akar permasalahan struktural yang merupakan prinsip dasar gerakan bantuan hukum struktural.
Dalam Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Todung Mulya Lubis (hal. 170) menyatakan bahwa “mesin pembangunan cenderung ‘mempreteli’ hak-hak kultural masyarakat” sehingga “kekalahan kultural kota-kota kecil dan kampung-kampung di Dunia Ketiga (red. Indonesia) hanya soal waktu saja.”
Dengan mendukung kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Todung Mulya Lubis telah menjadi agen yang turut “mempreteli” hak-hak kultural masyarakat dan turut membantu “kekalahan kultural” kampung-kampung, terutama di wilayah DKI Jakarta.
Berbagai kampung-kampung kota yang ada dan tumbuh di Jakarta telah ada bahkan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dan telah menjadi bagian dari “budaya kultural”—meminjam terminologi yang digunakan oleh Todung Mulya Lubis sendiri—dari perkembangan sejarah kota Jakarta.
Penelitian menunjukkan bahwa perampasan tata ruang berupa ruang terbuka hijau (daerah resapan air, hutan kota, hutan lindung, dsb.) di Jakarta justru terutama dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha sendiri, yaitu lebih dari 3.600 hektar ruang terbuka hijau di Jakarta telah dikonversi menjadi wilayah komersial, seperti mal dan apartemen. Namun, ketika tantangan lingkungan, seperti banjir, timbul, pemerintah justru malah menyalahkan kampung-kampung masyarakat yang justru kini menderita banjir karena kelalaian kebijakan pemerintah sendiri dan melaksanakan penggusuran paksa terhadap mereka.
Todung Mulya Lubis menjustifikasi akar permasalahan struktural tersebut dan memilih untuk mendukung tindakan pengusiran masyarakat miskin kota dari kampung-kampungnya sendiri.
Sikap Todung Mulya Lubis yang mendukung kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama adalah sikap yang bertentangan dengan semangat gerakan bantuan hukum struktural.
Sikap LBH Se-Indonesia
Berdasarkan uraian kami di atas, kami mendesak Todung Mulya Lubis sebagai Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk segera meralat pernyataannya terkait dengan situasi penggusuran paksa di DKI Jakarta selama masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pernyataan tersebut sangat merugikan advokasi yang dilakukan oleh LBH terhadap korban penggurusan paksa, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di 14 kota lain di Indonesia.
Sikap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait dengan kebijakan penggusuran paksa adalah sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar HAM dan semangat penegakan hukum sehingga sama sekali tidak layak untuk didukung. Mendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atas perbuatan tersebut sama halnya dengan melanggengkan pendekatan kekuasaan yang menginjak-injak supremasi hukum di dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Sikap tersebut membuat Basuki Tjahaja Purnama sama sekali tidak layak disandingkan dengan sosok Ali Sadikin yang justru menghormati hak warga korban penggusuran untuk mengajukan upaya hukum melalui forum pengadilan.
Terlebih, menganggap bahwa solusi yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap warga korban penggusuran sebagai “manusiawi” sama halnya dengan memposisikan kedudukan masyarakat miskin kota sebagai komoditi politik untuk mendongkrak popularitas Basuki Tjahaja Purnama dalam kontestasi politik elektoral karena sangat bertentangan dengan fakta yang ada. LBH se-Indonesia secara tegas tidak akan menukar penderitaan masyarakat miskin kota hanya untuk kepentingan politik elektoral semata.
Sebagai penutup, kami ingin mengingatkan Todung Mulya Lubis atas ucapannya sendiri sebagaimana tertulis di dalam bukunya yang berjudul Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Dalam buku tersebut Todung Mulya Lubis (hal. 12-13) menguraikan,”… gerakan bantuan hukum kita (LBH) tidak saja harus menampilkan dirinya sebagai perwakilan orang-orang miskin, tetapi malah merupakan masyarakat miskin itu sendiri/ Dengan “manunggal” bersama rakyat, maka gerakan bantuan hukum kita akan bisa menghayati persoalan-persoalan yang ada pada rakyat dan mencari jalan keluar yang lebih tepat. Kesalahan kita selama ini adalah bahwa kita tidak mau terlibat langsung; kita cenderung menjadi juru bicara rakyat miskin, menjadikan masyarakat miskin sebagai komoditi. Kalau kita masih tetap bersikap seperti ini maka tidak ada gunanya kita bicara soal gerakan bantuan hukum.”
Todung Mulya Lubis telah mengkhianati manifestonya sendiri, manifesto gerakan bantuan hukum struktural.
Tertanda,
LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Pekan Baru, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Bandung, LBH Jakarta, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Manado, LBH Makassar, LBH Jayapura".
___
Kontak:
- Alghiffari Aqsa, S.H (Direktur LBH Jakarta, 081280666410) dan Alldo Fellix Januardy, S.H (Pengacara Publik Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban, 087878499399)
- Hamzal Wahyudin, SH (Direktur LBH Yogyakarta, 087738514141)
- Era Purnama Sari , SH (Direktur LBH Padang, 081210322745)
- Willy Hanafi, SH (Direktur LBH Bandung, 082116166814)
- Faiq Assiddiqie, SH (Direktur LBH Surabaya, 081336181940)
- Zainal Arifin, SHI (Direktur LBH Semarang, 085727149369)
- Surya Adinata, SH, MKn (Direktur LBH Medan, 081263285103)
- Dewa Putu Adnyana, SH (Direktur LBH Bali, 081338440652)
- Alian Setiadi, SH (Direktur LBH Lampung, 085279000567)
- April Firdaus, SH (Direktur LBH Palembang, 08127137958)
- Simon Pattiradjawane, S.H (Direktur LBH Jayapura, 081344671831)
- Haswandy Andy Mas, SH (Direktur LBH Makassar, 081355399855)
- Hendra Baramuli, SH, MH Direktur LBH Manado, 082189055966)
- Mustiqal Syahputra, SH (Direktur LBH Banda Aceh, 085260192443)
- Aditia Bagus Santoso, SH (Direktur LBH Pekan Baru, 081277741836)
Cara Bermain Slot Bushido Blade Ayo Daftar Sekarang Juga Dan Dapatkan Bonus Berlimpah !!!
BalasHapus