4 April, 2017 - 23:04
“KAU pikir hidup bisa ditopang dengan hati rapuh?”
Alkisah, Indarningsih (Fifi Young) kemudian melanjutkan ucapannya kepada Violetta (Rima Melati) dengan nada tegas. Indarningsih tidak ingin anaknya hidup dalam kesedihan yang berlarut. Namun, hati Violetta tetaplah hati manusia, seperti kaca yang mudah tertembus perasaan duka, bahkan bisa pecah seketika.
Violetta tetap menanyakan di mana keberadaan ayahnya pada malam hari ulang tahunnya itu. Ningsih semakin bersikap otoriter, dan Violetta pun jatuh sakit.
Setelah diperiksa dokter, Ningsih memboyong anaknya ke daerah perbukitan, tinggal di sebuah bungalow. Seperti lagu dangdut “Salah Alamat”, justru di sanalah petaka Violetta terjadi. Di sana Violetta memang lebih bebas, kebebasan itu menghantarkannya pada bunga-bunga, kupu-kupu, dan seorang lelaki gagah perkasa dengan kumis menggoda bernama Herman (Bambang Hermanto). Lelaki militer berpangkat Kopral itu dikenalkan oleh penjaga bungalow.
Sepeda, kebun, truk militer, dan tentu kebebasan yang ditawarkan Herman semakin membuat Violetta mabuk cinta. Seekor burung dari Herman dinamai Kopral. Namun, Ningsih tetap keras kepala.
Di pikirannya selalu membayangi kesakitan yang dulu dilakukan ayah Violetta kepadanya tapi dipendam sendiri. Kesakitan itu menumbuhkan suatu konsepsi di kepala Ningsih bahwa lelaki itu pasti menyakiti dan perempuan tak patut memberinya cinta sepenuh hati.
Sadar akan larangan itu, Violetta hanya berani menciumi burung yang diberikan Herman, tak mampu menjangkau kumisnya yang tebal. Violetta jatuh cinta, sekaligus menderita. Kembang berbunga di hati remaja yang jatuh cinta hanya mekar dalam khayalan-khayalan Violetta yang digambarkan dengan apik oleh sutradara Bachtiar Siagian.
Bukanlah cinta jika mudah dipatahkan, jika mudah dihentikan. Meski Ningsih semakin melarang, Violetta dan Herman malah menjadi dua sejoli yang makin mesra. Naas, suatu malam, saat Violetta menunggu Herman datang untuk bermain catur di rumahnya, justru yang terjadi adalah ucapan kata-kata terkahir dari Herman menyetujui permintaan Ningsih agar Herman tak lagi mendekati Violetta.
Violetta mendengar, ia menangis dalam kamar. “Burung dari Herman sudah aku lepaskan, untuk kebahagiaan Ibu,” ucapanya pada Ningsih. Namun, bukannya terketuk, sikap Ningsih malah mengutuk, berkata bahwa Violetta sudah tak suci sehingga tak bisa melepaskan Herman. Tersinggung, Violetta lari ke luar mengejar Herman.
Saat memuntahkan kesedihannya dengan berlari ke dalam hutan, Violetta tertembak. Siapa sangka, Violetta tertembak oleh Herman yang sedang bertugas. Saat mengetahui, Herman langsung mendekapnya. “Aku mati suci, Bu.” Itulah ucapan terakhir Violetta pada Ibunya, pernyataan sekaligus perlawanan terakhir pada konsep pengekangan yang menekannya.
Cerita romantis yang apik dari film ”Violetta” itu tidak mungkin dapat diputar dan ditonton di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung pada Senin 3 April 2016 jika materi fisik film itu tak terselamatkan.
”Violetta” adalah film garapan sutradara Bachtiar Siagian yang dicap terafiliasi dengan Lekra, lembaga budaya yang sering dikaitkan sebagai bagian dari gerakan politik Partai Komunis Indonesia (PKI), karenanya film-film Lekra dimusnahkan. Alasannya jelas, pemerintah Orde Baru menganggap bahaya propaganda Komunisme di Indonesia dan film sebagai produk kebudayaan pun dikorbankan tanpa memikirkan pelajaran berharga bagi generasi mendatang.
Namun, dari selintas cerita tadi, kiranya barangkali itu hanya romantika kisah cinta biasa yang bisa ditulis oleh siapapun yang memiliki panangan politik apapun. Pertanyaan terhadap pengecapan bahwa ”Violetta” adalah film Lekra pun dilontarkan oleh Bunga Siagian, kurator film sekaligus anak dari Bachtiar Siagian dalam sesi diskusi seusai pemutaran film.
Kisah Romantis dan Mitos Realisme Sosialis
Cap terhadap ”Violetta” dan film Bachtiar Siagian lainnya disayangkan Bunga. ”Violetta” adalah satu-satunya film Bachtiar Siagian yang dapat terselamatkan.
Cap terhadap ”Violetta” dan film Bachtiar Siagian lainnya disayangkan Bunga. ”Violetta” adalah satu-satunya film Bachtiar Siagian yang dapat terselamatkan.
Kisahnya, seorang pengusaha Bioskop tahun 60-an sampai 70-an di Bogor, masih memiliki gulungan film dan diserahkan kepada Sinematek, Jakarta. Mendapat gulungan film ”Violetta”, digitalisasi pun dilakukan dan mulai dipertontonkan ke publik sejak tahun 2013.
Bunga sangat menyayangkan pemerintah yang menyita film ayahnya, juga film Lekra lainnya sehingga bagian dari sejarah itu kini sangat sulit didapatkan. “Saya pernah ke Vietnam, dibantu seorang kawan di sana mencari film Bachtiar yang pernah diputar di festival. Namun, hasilnya susah karena barang-barang termasuk film di festival Vietnam tahun 60-an dinyatakan sebagai barang sitaan perang. Jadi, kalau sendiri itu sangat susah, tidak mungkin, harus hubungan resmi antar-negara” katanya bercerita.
Tak hanya pemerintah yang mendapat kritik dari Bunga. Kelompok aktivis dan ilmuwan “kiri” yang asal-asalan pun dipertanyakan. “Kerja intelektual yang malas,” kritik Bunga merespons terlalu dijadikannya Bachtiar sebagai mitos kebudayaan kiri.
Ia menyebut seolah-olah bahwa karya-karya Bachtiar Siagian itu sangat berbau perlawanan yang progresif. Padahal, Bunga bertanya, film Bachtiar Siagian mana yang pernah mereka tonton sehingga menghasilkan mitos demikian.
“Ini berangkat dari penelitian disertasi Krishna Sen yang membagi antara realisme Usmar Ismail dan realisme sosialis Bahctiar Siagian. Sayangnya, dia melakukan kritik yang tidak sebanding. Usmar dari film dan Bachtiar dari sinopsis dan skenario. Padahal, tesis Khrisna Sen itu dapat terpatahkan jika kita menonton film ini. Di mana titik realisme sosialis Bachtiar?”
Ia pun menjelaskan, pada zamannya, film-film Lekra tidak terlalu ketat dalam pengawasan ideologi PKI. “Kita harus tahu dulu mediumnya. Puisi bisa lebih jelas atau seni rupa ada istilah turba (turun bawah), tapi film Lekra harus tetap bisa menyesuaikan pasar,” katanya.
Film tetap membutuhlan produser yang menggelontorkan modal yang tidak sedikit.
”Realisme sosialis yang hidup di Rusia dan realisme sosialis di sini beda, tidak bisa realisme sosialis di sana langsung dibawa, harus tetap sesuai konteks agar dapat diterima. Di Rusia, komunisme sudah menjadi tatanan negara, sementara di Negara kita hanya jadi ideologi pasar yang belum tentu menang, tentu berbeda pula pada konsep film realisme sosialis yang dibuat,” kata Bunga.
Meski demikian, Bachtiar Siagian, dalam filmnya tetap membubuhkan pemikirannya yang progresif. Misalnya, cerita tentang emansipasi perempuan, pencapaian kemerdekaan harus ada pengorbanan, tentara tidak terpisah dari rakyat justru menyatu dengan rakyat, hingga buku Nietzsche yang ditampilkan secara visual.
“Bachtiar pernah menulis, bahwa filmnya itu seperti obat kina. Obat kina itu luarnya manis seperti gula-gula, tapi ternyata dalamnya sangat pahit,” ujar Bunga. (Muhammad Fasha Rouf)***
Sumber: Pikiran Rakyat
0 komentar:
Posting Komentar