Anugerah Perkasa | Rabu, 26/04/2017 11:52 WIB
Bekas Presiden Soeharto merupakan sosok di balik kebijakan awal penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997 lalu. (REUTERS)
Jakarta -- Bekas Presiden Soeharto merupakan sosok di balik kebijakan awal penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997 lalu.
Dalam sejumlah analisis dan riset disebutkan, masalah itu berawal dari sejumlah krisis likuiditas pelbagai bank saat itu karena kredit macet. Ini juga memperparah krisis terhadap kepercayaan rupiah yang menurun sejak Juli 1997.
Ketika tekanan terhadap perbankan semakin kuat, Sidang Kabinet Terbatas 3 September 1997 yang dipimpin Soeharto, memutuskan sejumlah hal. Di antaranya adalah pemerintah akan membantu bank nasional yang sulit likuiditas tapi masih sehat; dan bank yang tak sehat segera dilikuidasi dan digabung.
Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 5 Nomor 1 Februari 2009 menulis bahwa kondisi itu macam ‘buah simalakama.’ Satu sisi, bank yang kesulitan likuiditas harus disetop aktivitas kliringnya, namun akan berisiko pada perekonomian, di sisi lainnya pemberian bantuan itu juga akan melibatkan dana yang demikian besar.
Namun, Soeharto akhirnya membuat keputusan dengan meminta Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia untuk menerapkan pelbagai langkah dalam krisis itu.
“Kebijakan ini,” demikian jurnal itu seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (25/4), “Merupakan asal-muasal dari BLBI.”
Namun, penyaluran dana itu akhirnya ditemukan justru diselewengkan oleh para pemilik bank.
Pelanggaran Dana BLBI
Audit BPK menemukan pelbagai pelanggaran dari 48 bank penerima BLBI, di antaranya adalah pelanggaran Undang Undang Perbankan; pelanggaran prinsip kehati-hatian; pelanggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan program penjaminan; serta pelanggaran atas persyaratan pemberian Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus.
Pada Oktober 1997, Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) pertama dengan the International Monetary Fund (IMF). Hal itu menyangkut restrukturisasi perbankan, sehingga ada 16 bank yang akhirnya ditutup pada November 1997.
Gubernur BI periode 1993-1998 Soedradjad Djiwandono menulis bahwa BI pada akhir 1996-April 1997 sudah mengajukan usul untuk menutup bank. “Tetapi untuk izin pelaksanaannya tak diperoleh dari Presiden,” kata dia dalam analisisnya.
Namun, kata Soedradjad, penutupan 16 bank itu justru berdampak terbalik dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap bank dan pemerintah.
Diketahui saat itu justru terjadi penarikan dana nasabah besar-besaran dan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp15.000 pada Desember 1997.
Soeharto akhirnya merilis Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keputusan itu diterbitkan pada Januari 1998.
“Pemerintah memberi jaminan bahwa kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi,” demikian keputusan Soeharto saat itu.
Keputusan itu menyatakan hal itu perlu dilakukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang dan perbankan nasional.
Soeharto juga mengakui dalam keputusan itu bahwa krisis moneter yang terjadi karena tercermin pada merosotnya kepercayaan masyarakat di dalam negeri dan luar negeri terhadap perbankan nasional dan mata uang rupiah.
Sumber: CNN Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar