HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Sei Ular. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sei Ular. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 November 2015

Menengok Sungai Ular, Lokasi Penjagalan Mereka yang Disebut PKI

Senin, 16 November 2015 14:30
Penulis:
Editor: Fahrizal Fahmi Daulay

TRIBUN MEDAN / ABUL MUAMAR
Anak-anak bermain dan memandangi matahari terbenam dari atas tebing pinggiran Sungai Ular, di Desa Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai. Sungai yang pernah jadi tempat pembantaian PKI ini kondisinya masih cukup asri dibanding sungai-sungai lain di Sumatera Utara.

Dua remaja berfoto-foto di jembatan rel kereta api di atas Sungai Ular. Jembatan ini merupakan salah satu titik maupun latar favorit pengunjung untuk berfoto-foto.

Laporan Wartawan Tribun Medan / Abul Muamar

MEDAN - Sekumpulan burung layang-layang berseliweran di udara. Riuh tapi tak bising. Mereka hendak kembali ke sarang selepas seharian mencari makanan.

Di ufuk barat, lembayung mulai mengambilalih posisi biru, memantul lurus diagonal di atas Sungai Ular yang airnya mengalir berderai-derai.
Setiap sore, di sungai yang mengalir di sepanjang garis demarkasi antara Kabupaten Serdangbedagai dan Deliserdang itu, puluhan anak-anak, juga yang beranjak remaja dan dewasa, ramai-ramai menjadi saksi tenggelamnya matahari.

Dari tebing (pinggir) sungai ini, tepatnya dari satu titik di Desa Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai, orang dapat menyaksikan matahari terbit (sunrise) dan juga matahari terbenam (sunset).

Sama sekali tak ada gedung-gedung yang menghalangi mata untuk memandang.

Yang ada adalah hamparan pohon ubi kayu yang terpapar sinar dan membentang dengan merdeka, tumbuh subur bersama gelagah yang mirip tebu, pisang liar, petai cina, dan jagung. Juga jembatan rel kereta api yang melengkung di atasnya.

Tak ayal, sungai yang konon merupakan tempat pembantaian orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) ini sering dimanfaatkan untuk mengabadikan foto pra-pernikahan, berfoto-foto atau berselfie, hingga syuting film.

Salah satu film terkenal yang berlatarkan sungai ini tentu saja adalah The Act of Killing (Jagal), karya sutradara Joshua Oppenheimer.

Bagi warga sekitar, sungai yang panjangnya sekitar 112 kilometer ini pun menjadi "obyek wisata" alternatif, selain daripada pantai-pantai yang ada di Kecamatan Pantaicermin dan Teluk Mengkudu.

Ute (58), warga setempat, mengatakan, Sungai Ular menyimpan banyak sejarah peperangan. Selain cerita tentang pembantaian PKI, kata dia, di sungai ini juga dulu para pejuang pernah berperang dengan pasukan Belanda.
"Dulu kalau mati mayatnya dibuang ke sini," ujarnya.
Bahkan dulu, lanjut pria yang mencari nafkah dengan mengeruk pasir ini, sekitar tahun 1980-an, sesekali masih ditemukan peluru-peluru dan puing-puting senjata yang diduga bekas peperangan.
"Kalau kami dulu masih ada yang dapat kayak gitu. Kalau sekarang udah gak ada lagi," katanya.
Meski demikian, tak banyak orang yang menganggap Sungai Ular sebagai tempat untuk berwisata.

Selain dianggap angker, akses jalan menuju dan di sekitaran sungai ini juga belum memadai, terutama karena memang sungai ini tak didaulat sebagai obyek wisata.

Sebaliknya, Sungai Ular kini mulai terancam keasriannya oleh keberadaan pengeruk pasir yang semakin hari semakin banyak jumlahnya. Bahkan belakangan, para pengeruk pasir itu tak lagi mengorek secara manual, melainkan dengan mesin.
(amr/tribun-medan.com)

Sumber: TribunNews Medan 

Senin, 03 September 2012

Saya tidak menyesal


Senin, 3 September 2012 09:00Reporter : Yan Muhardiansyah

Anwar Congo, pemeran utama The Act of Killing. (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)

Merdeka.com - Anwar Congo tidak ingat lagi berapa anggota dan pendukung Partai Komunis Indonesia telah dibasmi. Maklum saja, peristiwa itu sudah lewat hampir setengah abad.

Hanya saja, dia menegaskan tidak menyesal. Soal dosa, dia membela diri orang-orang dia basmi itu tidak percaya Tuhan.

Berikut penuturan Anwar Congo saat ditemui Yan Muhardiansyah di rumahnya, Medan, Rabu (29/8).

Kenapa Anda mau direkrut menjadi pembasmi PKI?

Pada umumnya dulu anak jalanan bergabung di satu kelompok bertentangan dengan kelompok anu (komunis). Seperti kawan-kawan saya dulu paling benci dengan komunis. Saya salah satunya.

Umumnya anak jalanan di setiap pelosok Sumatera Utara tidak senang dengan komunis karena mereka (PKI) menganggap anak jalanan adalah anak-anak perampok kota, tidak pernah diajar, tidak berpendidikan.

Anda pernah dipaksa membasmi?

Tidak pernah, hanya emosi kita.

Setelah membasmi, apakah Anda pernah mengalami mimpi buruk?

Saya sudah berusaha menghilangkan mimpi buruk saya dengan pergi ke Padang dulu, empat puluh hari, Suluk namanya tahun 1999. Setelah berhaji baru tidak ada lagi.

Apakah sampai saat ini Anda merasa menyesal dan berdosa?

Saya tidak pernah menyesal karena itu sudah berlalu. Buat saya, yang sudah berlalu tidak saya ingat-ingat lagi. Biarpun itu satu anu dalam perjalanan hidup saya, saya tidak pernah menyesal. Perkara dosa, saya membayangkan yang saya kerjai ini orang tidak pernah mempercayai Tuhan. [fas]

Sumber: https://www.merdeka.com/khas/saya-tidak-menyesal-polemik-the-act-of-killing-5.html