Senin, 16 November 2015 14:30
Penulis:
Editor: Fahrizal Fahmi Daulay
Editor: Fahrizal Fahmi Daulay
TRIBUN MEDAN / ABUL MUAMAR
Anak-anak bermain dan
memandangi matahari terbenam dari atas tebing pinggiran Sungai Ular, di Desa
Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai. Sungai yang
pernah jadi tempat pembantaian PKI ini kondisinya masih cukup asri dibanding
sungai-sungai lain di Sumatera Utara.
Dua remaja berfoto-foto di
jembatan rel kereta api di atas Sungai Ular. Jembatan ini merupakan salah satu
titik maupun latar favorit pengunjung untuk berfoto-foto.
Laporan Wartawan Tribun
Medan / Abul Muamar
MEDAN - Sekumpulan burung layang-layang berseliweran
di udara. Riuh tapi tak bising. Mereka hendak kembali ke sarang selepas
seharian mencari makanan.
Di ufuk barat, lembayung mulai mengambilalih posisi biru,
memantul lurus diagonal di atas Sungai Ular yang airnya mengalir
berderai-derai.
Setiap sore, di sungai yang mengalir di sepanjang garis
demarkasi antara Kabupaten Serdangbedagai dan Deliserdang itu,
puluhan anak-anak, juga yang beranjak remaja dan dewasa, ramai-ramai menjadi
saksi tenggelamnya matahari.
Dari tebing (pinggir) sungai ini, tepatnya dari satu
titik di Desa Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai,
orang dapat menyaksikan matahari terbit (sunrise) dan juga matahari terbenam
(sunset).
Sama sekali tak ada gedung-gedung yang menghalangi mata
untuk memandang.
Yang ada adalah hamparan pohon ubi kayu yang terpapar
sinar dan membentang dengan merdeka, tumbuh subur bersama gelagah yang mirip
tebu, pisang liar, petai cina, dan jagung. Juga jembatan rel kereta api yang
melengkung di atasnya.
Tak ayal, sungai yang konon merupakan tempat pembantaian
orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) ini sering dimanfaatkan untuk
mengabadikan foto pra-pernikahan, berfoto-foto atau berselfie, hingga syuting
film.
Salah satu film terkenal yang berlatarkan sungai ini
tentu saja adalah The Act of Killing (Jagal), karya sutradara Joshua
Oppenheimer.
Bagi warga sekitar, sungai yang panjangnya sekitar 112
kilometer ini pun menjadi "obyek wisata"
alternatif, selain daripada pantai-pantai yang ada di Kecamatan Pantaicermin
dan Teluk Mengkudu.
Ute (58), warga setempat, mengatakan, Sungai Ular
menyimpan banyak sejarah peperangan. Selain cerita tentang pembantaian PKI,
kata dia, di sungai ini juga dulu para pejuang pernah berperang dengan pasukan
Belanda.
"Dulu kalau mati mayatnya dibuang ke sini," ujarnya.
Bahkan dulu, lanjut pria yang mencari nafkah dengan
mengeruk pasir ini, sekitar tahun 1980-an, sesekali masih ditemukan
peluru-peluru dan puing-puting senjata yang diduga bekas peperangan.
"Kalau kami dulu masih ada yang dapat kayak gitu. Kalau sekarang udah gak ada lagi," katanya.
Meski demikian, tak banyak orang yang menganggap Sungai
Ular sebagai tempat untuk berwisata.
Selain dianggap angker, akses jalan menuju dan di
sekitaran sungai ini juga belum memadai, terutama karena memang sungai ini tak
didaulat sebagai obyek wisata.
Sebaliknya, Sungai Ular kini mulai terancam keasriannya
oleh keberadaan pengeruk pasir yang semakin hari semakin banyak jumlahnya.
Bahkan belakangan, para pengeruk pasir itu tak lagi mengorek secara manual,
melainkan dengan mesin.
(amr/tribun-medan.com)
Sumber: TribunNews Medan
0 komentar:
Posting Komentar