26/11/2015
Illustrasi
Pasca reformasi 1998, studi yang menarasikan peristiwa
genosida 1965 semakin sering bermunculan. Umumnya, narasi peristiwa penumpasan
massal simpatisan komunis ini dikupas dari sisi individu korban. Padahal
penumpasan ini juga ikut melibatkan universitas.
Pembahasan mengenai keterlibatan universitas dalam
peristiwa ‘65 ini menjadi benang merah dalam diskusi bertajuk “Universitas di
Persimpangan Zaman”, Selasa, (24/11/2015), di Gedung MAP UGM. Hadir sebagai
pembicara Abdul Hamid, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah UGM, yang memaparkan
hasil penelitiannya tentang keterlibatan universitas tersebut.
Menurut Hamid, menjelang terjadinya peristiwa 65, banyak
universitas yang dijadikan alat politik oleh pemerintah. Universitas dikenai
beban politik dengan cara-cara yang beragam.
“Perlu digaris bawahi bahwa pemerintah menjadikan universitas sebagai alat politik sejak masa Sukarno dengan jargonnya, universitas harus menjadi alat revolusi,” ujarnya.
Hamid menjelaskan, pada akhir masa pemerintahan Sukarno
terjadi persaingan ketat antar partai-partai dalam melakukan kaderisasi di
universitas. Salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia, sebagai salah satu
partai yang jumlah kadernya berkembang pesat.
“Strategi PKI sangat modern yaitu dengan membangun kader melalui institusi pendidikan, yaitu dengan mendirikan Universitas Rakyat,” ungkap Hamid.
Selanjutnya,pada masa awal pemerintahan Suharto berkuasa,
jumlah universitas di Indonesia meningkat pesat. Universitas yang dianggap
sebagai wadah bagi kalangan intelektual semakin menjadi sasaran partai-partai
untuk mencetak kader.
“Dari yang awalnya jumlah universitas hanya 8 pada 1959 menjadi 39 universitas sampai periode 1965,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hamid menjelaskan, masuknya politik di
universitas menyebabkan suasana akademik yang tidak kondusif. Secara garis
besar organisasi terbagi menjadi dua golongan, agamis dan sekuler.
“Organisasi agamis meliputi HMI, PMII, IMM. Sedangkan organisasi nasionalis atau sekuler seperti GMNI, Germindo, dan lain-lain,” ujarnya.
Menurut Hamid, perang dingin antara blok Soviet dan
Amerika juga berimbas sampai ke Indonesia. Namun di bawah kepemimpinan Suharto
arus perpolitikan Indonesia berubah haluan ke blok Amerika. Sementara
penumpasan terhadap simpatisan komunis (blok soviet) mulai didengungkan pemerintahan
dengan selogan anti komunisme.
“Ada 14 universitas yang dibekukan, salahsatunya universitas Respublika atau yang dikenal saat ini Tri Sakti,” ujarnya.
Hamid menjelaskan bentuk penumpasan di universitas yaitu
dengan terbitnya SK no 22 yang menyerukan setiap universitas melakukan
mengumpulkan data riwayat mahasiswa. Mahasiswa yang diindikasi terlibat unsur
komunis atau terbukti dari keluarga anggota PKI akan disingkirkan.
“Ada mahasiswa yang dibuang luar pulau, dikeluarkan, dan wajib lapor,” katanya.
Menurut data yang telah digali dalam penelitiannya, Hamid
menemukan jumlah mahasiswa yang disingkirkan oleh masing-masing universitas
paling besar adalah mahasiswa UGM. Ada 3059 mahasiswa dan 115 dosen atau staf
UGM yang diawasi pemerintah karena terindikasi simpatisan komunis.
“Data tersebut merupakan data resmi yang dikeluarkan Humas UGM dan pada saat itu diterbitkan di koran Kedaulatan Rakyat,” ungkap Hamid.
Menurut Hamid, dampak dari peristiwa 65 yang dilakukan
secara kelembagaan di universitas adalah hilangnya kebebasan kajian akademik.
“Kita tahu sendiri banyak buku-buku yang dilarang beredar dan ada teori-teori sosial yang dilarang dipelajari,” ujarnya.
Sementara menurut keluarga korban pembunuhan massal di
massa kelam Indonesia sebenarnya terjadi dua kali. Tahun 1948 dan 1965.
Tahun 1948 para
aktivis Partai Komunis melakukan serangkaian operasi, pembunuhan ke sejumlah
tokoh di desa-desam yang dinilai tidak sevisi dengan Partai Komunis. (*)
0 komentar:
Posting Komentar