Rika Theo | November 14, 2015
"Kepada Presiden Jokowi, jika ingin memenuhi janji, ini adalah kesempatan yang baik. Jangan takut dengan jenderal-jenderal karena hasil IPT ini keputusan internasional"
MENULIS SURAT. Para peserta sidang IPT 1965 menulis harapannya di surat terbuka untuk menghormati korban tragedi 1965 di Den Haag, Belanda. Foto oleh Rika Theo/Rappler
DEN HAAG, Belanda—Sambil meraba huruf braille, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional Zak Yacoob lantang mengumumkan putusannya.
Sepakat dengan dakwaan jaksa, sembilan pelanggaran HAM serius menyusul peristiwa 1965 dinyatakan benar terjadi. Indonesia bertanggung jawab, begitu pula negara-negara lain yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan itu.
Pengadilan Rakyat Internasional menyimpulkan telah terjadi kejahatan kemanusiaan berat di Indonesia pada 1965 yang melanggar hukum internasional. Indonesia pada masa itu telah mendorong terjadinya pelanggaran HAM ini melalui militernya, dengan rantai komando militer terorganisir rapi dari atas ke bawah.
"Telah terjadi pembantaian massal, pemenjaraan orang tanpa pengadilan, perlakuan tak manusiawi terhadap para tahanan, penyiksaan dan kerja paksa yang mirip perbudakan. Banyak kekerasan seksual terhadap perempuan yang sistematis dan rutin ketika para tahanan ditangkap dan diasingkan," papar Yakoob, Jumat, 13 November di ruang sidang, Den Haag.
Para hakim pun meyakini, rezim Orde Baru (Orba) punya maksud politik untuk menyingkirkan Partai Komunis Indonesia (PKI), anggota dan simpatisannya, loyalis Sukarno, serikat buruh, dan para guru. Juga berupaya menghilangkan atau membatasi mereka yang menentang rezim Orba.
Lebih jauh lagi, hakim sepakat bahwa propaganda Orba sengaja dilakukan untuk mendorong masyarakat melakukan dehumanisasi dan pembunuhan terhadap anggota PKI.
Misalnya propaganda bahwa Gerwani telah memotong penis beberapa jenderal di Lubang Buaya. "Padahal hasil otopsi telah menyatakan itu tak benar dan sudah lama diketahui Pemerintah Indonesia," kata Yacoob.
Propaganda tersebut juga telah mengarahkan Indonesia mempercayai sejarah yang dikuasai oleh rezim diktator.
Keterlibatan negara lain
Keputusan itu pun menyatakan sejumlah negara lain telah membantu Orba dalam kejahatan kemanusiaan 1965. Dalam konteks Perang Dingin waktu itu, Indonesia dikhawatirkan akan menjadi kekuatan komunis baru. Setidaknya tiga negara, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia terlibat dalam operasi Orba menumpas PKI.
Ketiganya memberi bantuan rahasia kepada rezim Orba berupa dana, teknologi komunikasi, persenjataan, dan lainnya. Bantuan tersebut penting sebab saat itu kondisi ekonomi Indonesia sedang parah-parahnya. Sebagai ganti bantuan, Indonesia akan membayarnya kemudian.
Menurut sejarawan AS Bradley Simpson, AS baru terlibat setelah penembakan para jenderal terjadi.
"Presiden Lyndon Johnson menyadari kesempatan untuk menghancurkan PKI. Mulailah Kedutaan Besar AS di Jakarta mengadakan kontak dengan A H Nasution, sampai sepakat untuk memberi bantuan," katanya.
Di pihak lain, Inggris, berkepentingan ekonomi. Perusahaan minyaknya di Indonesia akan terancam jika PKI menguat.
Tak heran, pada suatu hari di tahun 1965, "Sebuah kapal berbendera Inggris muncul di laut menuju Sumatera dengan mengangkut Sarwo Edhi dan pasukannya," kara Bradley.
Ia berharap, keputusan IPT 1965 tentang keterlibatan negara lain ini membuka mata dunia internasional. Negara-negara yang terlibat, terutamanya, bisa membantu dengan membuka dokumen-dokumen rahasianya yang terkait 1965.
Kritik untuk Jokowi
Semua keputusan yang dibacakan Yacoob masih berupa keputusan awal. Majelis hakim masih butuh beberapa bulan lagi untuk menerbitkan keputusan final yang lengkap dengan argumen penjelasannya.
Namun, dalam keputusan awal tersebut, sudah terdapat berbagai catatan dan rekomendasi bagi pemerintah Indonesia. Catatan dimulai dari kelambanan proses hukum dan rekonsiliasi hingga penyangkalan pemerintah atas terjadinya pelanggaran HAM berat.
Hakim juga merekomendasikan pemerintah Jokowi segera menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM.
"Sidang berpikir bahwa Presiden Jokowi (Joko Widodo) akan melakukannya karena semangat memenuhi janji kampanyenya," kata Yacoob.
Untuk itu, arsip-arsip rahasia harus dibuka dan hasil penyelidikan kejahatan kemanusiaan harus dipublikasikan.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah mengakui tragedi yang terjadi, meminta maaf atas kerusakan yang ditimbulkan, dan menginvestigasi pelaku yang masih hidup.
Setelah hakim membacakan keputusannya, sidang ditutup. Ruangan pun langsung hiruk-pikuk.
Ketua IPT 1965 Nursyahbani Kartjasungkana menyampaikan ucapan terima kasihnya terutama kepada para korban. "Semoga mereka sekarang beristirahat dengan tenang," ucapnya.
Antropolog Saskia Wieringa dan saksi ahli kunci kasus IPT 1965 melihat hasil ini adalah upaya pertama memecah kebungkaman.
"Banyak sekali yang masih harus dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Kami belum selesai, tapi baru mulai," katanya.
Senada, jaksa IPT 1965 Todung Mulya Lubis menyatakan hasil IPT 1965 merupakan tonggak baru upaya mencari kebenaran.
"Walau tidak ada ikatan hukumnya, tapi ini menjadi basis mencari jalan keluar dan rekonsiliasi. Apalagi karena hasil ini sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM," tuturnya.
Dalam hal ini, ia menyayangkan pejabat pemerintah yang kurang memahami IPT. "Pemerintah Belanda tidak terlibat dalam IPT. Saya juga setuju mengadakan IPT di Indonesia, tapi kenyataannya pemutaran film Joshua Oppenhaimer saja diblokir," kata Todung.
Sementara itu, salah satu saksi, yang juga sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan, Bejo Untung, mengaku bahagia. "Saya bahagia atas nama korban 1965. Semua korban menginginkannya karena kita tak bisa mengandalkan pengadilan dalam negeri," tuturnya.
Ia berharap Jokowi paling tidak dapat mengucapkan penyesalan negara, baru kemudian rehabilitasi dan rekonsiliasi. Tak lupa ia menitipkan pesan langsung kepada Jokowi:
"Kepada Presiden Jokowi, jika ingin memenuhi janji, ini adalah kesempatan yang baik. Jangan takut dengan jenderal-jenderal karena hasil IPT ini keputusan internasional."
Sumber: Rappler.Com
0 komentar:
Posting Komentar