Rabu, 11 November 2015 12.18 PM | Ngasiran
Dalam buku karya sastra Jawa berjudul Serat Dharma Gandul diceritakan ketika Raja
Majapahit Prabu Brawijaya dikalahkan oleh Raden Patah yang tak lain adalah
anaknya sendiri, Prabu Brawijaya berniat pergi ke Bali untuk menemui Prabu Dewa
Agung di Klungkung dengan niat untuk minta bantuan mengalahkan Raden Patah.
Namun sebelum menyeberang ke Bali, di Banyuwangi (Kerajaan Blambangan) Prabu
Brawijaya dihadang oleh Sunan Kalijaga. Setelah terjadi perdebatan, akhirnya
Prabu Brawijaya meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam.
Masuknya Prabu Brawijaya menjadi Islam sebagai penanda runtuhnya pula
kerajaan Majapahit sekaligus agama Buddha di Tanah Jawa. Terlepas benar atau
tidak cerita tersebut, inilah yang diyakini umat Buddha Banyuwangi hingga
sekarang. Banyuwangi sebagai pemberhentian terakhir agama Buddha di Nusantara
sebelum kebangkitan kembali.
Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur
yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa yang sekaligus memiliki wilayah
paling luas di Pulau Jawa, yaitu mencapai 5.782,50 km persegi. Banyuwangi
terbagi atas 24 kecamatan dan di beberapa kecamatan terdapat komunitas umat
Buddha.
Beberapa kecamatan tersebut adalah Gambiran, Pesanggaran,
Siliragung, Tegal Delimo, Purwoharjo, Srono, dan Rogojampi. Dari beberapa
kecamatan tersebut, Gambiran merupakan kecamatan dengan basis agama Buddha
terbanyak di Banyuwangi. Hingga saat ini populasi umat Buddha Banyuwangi lebih
dari 5.000 KK, dan hampir 3.500 KK berada di Kecamatan Gambiran, sisanya
menyebar di beberapa kecamatan lain.
Sejarah berkembangan umat Buddha di Banyuwangi hingga
kini ada dua pola. Pola pertama, di beberapa kecamatan seperti Pesanggaran,
Tegaldlimo, Purworejo dan Srono atau daerah selatan berawal dari penganut agama
Buddha Jawi Wisnu, sedangkan pola kedua khusus Kecamatan Gambiran berawal dari
tokoh-tokoh PNI.
Agama Buddha Jawi Wisnu masuk ke Banyuwangi pada tahun
1955 yang dibawa oleh Resi Kusuma Desa dari Bangir. “Pada saat masuknya pertama
Buddha Jawi Wisnu di sini (Desa Kandangan), pernikahan saya yang dijadikan
percobaan upacara pernikahan secara Jawi Wisnu,” ujar Mbah Kasman (87), tokoh
perkembangan agama Buddha di Pesanggaran.
Namun setelah peristiwa G-30S/PKI pada tahun 1965, agama
Buddha Jawi Wisnu dibekukan pemerintah karena yang diakui oleh pemerintah saat
itu hanya 5 agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Dengan dibekukannya agama Buddha Jawi Wisnu, masyarakat
pindah ke agama Hindu dan Resi Kusuma Dewa beserta anaknya datang ke Kanwil
Departemen Agama Banyuwangi minta pengesahan agama Buddha dan mengutus beberapa
tokoh agama Buddha Jawi Wisnu, diantaranya Kasman, Sindu Martani, Martono dan
Repto ke Banjar, Bali untuk bertemu dengan Bhante Girirakkhito.
Setelah disahkan, agama Buddha berkembang cukup pesat di
Kecamatan Pesanggaran seperti digambarkan oleh Pak Kasman sebagai “seperti
hujan dari langit yang jatuh ke laut” di mana-mana tumbuh muncul agama Buddha.
Di bawah bimbingan para tokoh pelopor dan Bhante
Girirakkhito, kemudian umat Buddha mendirikan Vihara Dhamma Manggala di Dusun
Silirbaru, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran pada tahun 1966. Vihara
inilah yang menjadi awal “kebangkitan” kembali agama Buddha di Banyuwangi yang
kemudian menyebar ke beberapa kecamatan.
Hingga tahun 1970, agama Buddha berkembang cukup pesat di
beberapa daerah Banyuwangi namun kurangnya pembinaan dan diakibatkan berbagai
faktor (akan dibahas pada artikel selanjutnya), agama Buddha mengalami
penurungan populasi yang cukup drastis. Jika pada tahun 1970-an satu dusun
jumlah umat Buddha bisa mencapai ratusan KK, sekarang tinggal 20-50 KK.
Sumber: BuddhaZine
0 komentar:
Posting Komentar