Hasan Kurniawan | Senin, 2 November 2015 − 05:05 WIB
Siauw Giok Tjhan dan para tahanan politik Orde Baru Soeharto (foto:Istimewa/Hasan)
KESAKSIAN Siauw Giok Tjhan dalam mengungkap tabir Gerakan 30 September (G30S) 1965 sangat penting untuk disimak.
Pria kelahiran Surabaya, 23 Maret 1914 ini bukan hanya korban Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu)* 1965 yang oleh Orde Baru Soeharto digunakan untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menggulingkan Soekarno.
Melalui sejumlah wawancara yang dilakukan dengan para pelaku G30S dan sejumlah petinggi PKI di dalam penjara Orde Baru sejak November 1965 sampai Agustus 1978, Ketua Umum Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) ini berhasil mengungkap sejumlah fakta penting yang terjadi seputar Gestapu.
Seperti sejauh mana peran Ketua Comite Central (CC) PKI Dipo Nusantara (DN) Aidit dan Ketua Biro Chusus (BC) PKI Sjam Kamaruzzaman dalam operasi militer yang dilakukan Jumat 1 Oktober 1965 dini hari?
Pada dua pembahasan terdahulu, penulis telah membahas secara singkat peran Aidit dan Sjam dalam Gestapu. Hasil wawancara Siauw Giok Tjhan yang pertama kali dibukukan pada 1 Oktober 2015 dengan judul G30S dan Kejahatan Negara ini seakan menguatkan ulasan terdahulu.
Demikian Cerita Pagi kembali mengulas seputar peristiwa yang membawa malapetaka kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Seperti apa ulasannya?
Berbeda dengan sudut pandang Pemerintah Orde Baru Soeharto yang masih dipertahankan hingga pemerintahan yang berkuasa saat ini, Siauw Giok Tjhan menampik peran Aidit yang dominan dalam gerakan itu.
Menurutnya peran Aidit dalam gerakan itu tidak menonjol dan peran PKI sebagai partai politik dalam operasi militer itu tidak ada, selain dukungan politik yang diberikannya.
Sebaliknya, Sjam yang sosoknya tidak dikenal banyak orang dinilai memiliki peran yang sangat menonjol dalam gerakan itu. Dia yang memintahkan untuk membunuh para jenderal dan memerintahkan Aidit sebagai ketua ke Yogyakarta.
Dijelaskan Siauw pada 1 Oktober 1965, Aidit berada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. Di tempat ini, Aidit tidak bertemu dengan Presiden Soekarno, Leimena, KSAU Omar Dhani, Kapolri Sujipto, KSAL Martadinata dan pejabat pemerintah lainnya.
Bagaimana Aidit bisa sampai di Halim? Dalam bukunya Aidit sang Legenda adik kandung Aidit, Murad Aidit menceritakan bahwa malam hari sebelum peristiwa itu dia sedang berada di rumah Aidit, Pegangsaan Barat, No 4, Jakarta.
Pukul 21.00 WIB, Aidit dijemput orang tidak dikenal bersama ajudannya Kusno. Tidak ada yang mencurigakan dalam penjemputan itu.
Sebelum meninggalkan rumah, Aidit berpesan kepada Murat dan istrinya agar mematikan lampu depan rumah sebagai tanda tidak menerima tamu. Ke mana Aidit dibawa malam itu se isi rumah tidak ada yang tahu.
Baru pada keesokan harinya pihak keluarga tahu bahwa Aidit berada di Halim Perdana Kusuma. Demikian kesaksian keluarga Aidit.
Kembali kepada hasil wawancara Siauw Giok Sjhan. Sejumlah pelaku G30S menceritakan beberapa hari sebelum terjadi gerakan, Komandan G30S Letkol Untung sempat berusaha menemui Aidit dan meminta agar gerakan ditunda karena pasukan tidak siap.
Namun langkah Untung untuk menemui Aidit dihalangi oleh Sjam dengan alasan hanya Sjam yang boleh berhubungan dengan Aidit. Dia lalu memerintahkan Untung untuk terus maju sesuai dengan yang direncanakan.
Pria kelahiran Surabaya, 23 Maret 1914 ini bukan hanya korban Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu)* 1965 yang oleh Orde Baru Soeharto digunakan untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menggulingkan Soekarno.
Melalui sejumlah wawancara yang dilakukan dengan para pelaku G30S dan sejumlah petinggi PKI di dalam penjara Orde Baru sejak November 1965 sampai Agustus 1978, Ketua Umum Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) ini berhasil mengungkap sejumlah fakta penting yang terjadi seputar Gestapu.
Seperti sejauh mana peran Ketua Comite Central (CC) PKI Dipo Nusantara (DN) Aidit dan Ketua Biro Chusus (BC) PKI Sjam Kamaruzzaman dalam operasi militer yang dilakukan Jumat 1 Oktober 1965 dini hari?
Pada dua pembahasan terdahulu, penulis telah membahas secara singkat peran Aidit dan Sjam dalam Gestapu. Hasil wawancara Siauw Giok Tjhan yang pertama kali dibukukan pada 1 Oktober 2015 dengan judul G30S dan Kejahatan Negara ini seakan menguatkan ulasan terdahulu.
Demikian Cerita Pagi kembali mengulas seputar peristiwa yang membawa malapetaka kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Seperti apa ulasannya?
Berbeda dengan sudut pandang Pemerintah Orde Baru Soeharto yang masih dipertahankan hingga pemerintahan yang berkuasa saat ini, Siauw Giok Tjhan menampik peran Aidit yang dominan dalam gerakan itu.
Menurutnya peran Aidit dalam gerakan itu tidak menonjol dan peran PKI sebagai partai politik dalam operasi militer itu tidak ada, selain dukungan politik yang diberikannya.
Sebaliknya, Sjam yang sosoknya tidak dikenal banyak orang dinilai memiliki peran yang sangat menonjol dalam gerakan itu. Dia yang memintahkan untuk membunuh para jenderal dan memerintahkan Aidit sebagai ketua ke Yogyakarta.
Dijelaskan Siauw pada 1 Oktober 1965, Aidit berada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. Di tempat ini, Aidit tidak bertemu dengan Presiden Soekarno, Leimena, KSAU Omar Dhani, Kapolri Sujipto, KSAL Martadinata dan pejabat pemerintah lainnya.
Bagaimana Aidit bisa sampai di Halim? Dalam bukunya Aidit sang Legenda adik kandung Aidit, Murad Aidit menceritakan bahwa malam hari sebelum peristiwa itu dia sedang berada di rumah Aidit, Pegangsaan Barat, No 4, Jakarta.
Pukul 21.00 WIB, Aidit dijemput orang tidak dikenal bersama ajudannya Kusno. Tidak ada yang mencurigakan dalam penjemputan itu.
Sebelum meninggalkan rumah, Aidit berpesan kepada Murat dan istrinya agar mematikan lampu depan rumah sebagai tanda tidak menerima tamu. Ke mana Aidit dibawa malam itu se isi rumah tidak ada yang tahu.
Baru pada keesokan harinya pihak keluarga tahu bahwa Aidit berada di Halim Perdana Kusuma. Demikian kesaksian keluarga Aidit.
Kembali kepada hasil wawancara Siauw Giok Sjhan. Sejumlah pelaku G30S menceritakan beberapa hari sebelum terjadi gerakan, Komandan G30S Letkol Untung sempat berusaha menemui Aidit dan meminta agar gerakan ditunda karena pasukan tidak siap.
Namun langkah Untung untuk menemui Aidit dihalangi oleh Sjam dengan alasan hanya Sjam yang boleh berhubungan dengan Aidit. Dia lalu memerintahkan Untung untuk terus maju sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan demikian menurut Siauw Giok Tjhan, Sjam lah orang yang sangat
bertanggung jawab dalam gerakan itu. Perannya dalam gerakan itu bahkan
lebih menonjol dari Aidit.
Dari penjelasan ini timbul pertanyaan, kenapa Aidit memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Sjam? Apa yang membuatnya begitu percaya kepada Sjam? Apakah Aidit tahu bahwa Sjam agen ganda yang ditempatkan Angkatan Darat (AD) dalam PKI?
Dua jawaban atas pertanyaan itu sempat diulas pada bahasan Cerita Pagi sebelumnya. Untuk itu tidak akan diulang kembali.
Dalam buku AM Hanafi Menggugat Kudeta Jendral Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, penulis berhasil menemukan gambaran tentang sosok Sjam sebagai agen AD yang dekat dengan Soeharto.
Dalam bukunya, Hanafi mengaku pertama bertemu Sjam saat Konferensi Pesindo di Solo, akhir tahun 1946. Saat itu, Sjam tidak memiliki peran penting. Sedang Aidit dikabarkan baru mengenal Sjam tahun 1950.
Menurut Hanafi, Sjam mulai menjalin kontak dengan Soeharto saat penyerbuan markas Jepang di Yogyakarta, pada awal Revolusi 1945.
Sjam juga dikabarkan pernah menjadi mata-mata polisi di bawah Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Dia juga dikabarkan menjalin hubungan sangat rapat dengan kelompok dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Keterlibatan Sjam dalam PSI terungkap saat dia melaporkan tentang adanya Konferensi Rahasia Sarangan, pada 21 Juli 1948, antara pihak Amerika Serikat dengan Indonesia.
Saat terjadi Razia Agustus di tahun 1951, Sjam dikabarkan menghilang dan tiba-tiba berada di Seskoad dan menjadi mata-matanya di bawah komando Kolonel Suwarto yang baru pulang mengikuti pelatihan di Amerika.
Saat berada di Seskoad, Sjam juga dikabarkan menjadi mata-mata Kolonel Latief di bawah lindungan Kodam V Jaya sekaligus mata-mata Kostrad di bawah Soeharto langsung.
Dengan mengikuti paparan Hanafi menjadi jelas bahwa Sjam adalah agend ganda yang sengaja ditempatkan AD di dalam PKI.
Keterangan Sjam dalam persidangan semakin mengkuatkan pernyataan Hanafi. Sjam membocorkan hubungan sejumlah perwira AD dengan PKI hingga mengakibatkan semua jaringan PKI dalam tentara hancur.
Kembali kepada Siauw Giok Tjhan. Menurut sejumlah tahanan G30S, Sjam memerintahkan Aidit untuk terbang ke Yogyakarta dari Halim Perdana Kusuma.
Di pangkalan udara itu, Aidit seorang diri. Tidak ada anggota Politbiro CC PKI yang lainnya. Hal ini menimbulkan kecurigaan lagi karena jika benar PKI terlibat G30S bukan kah harusnya Aidit bersama pimpinan PKI lainnya di Halim?
Lantas apa yang dilakukan Aidit selama berada di Yogyakarta. Wawancara Siauw Giok Tjhan dengan pengawal Aidit di penjara sedikit memberikan penerangan.
Seperti diceritakan Kusno kepada Siauw. Saat berada di Yogyakarta, Aidit hidup sebagai buronan politik yang tindak tanduknya selalu dimata-matai. Dalam keadaan seperti itu, Aidit tidak bisa berfungsi sebagai Ketua CC PKI.
Dari penjelasan ini timbul pertanyaan, kenapa Aidit memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Sjam? Apa yang membuatnya begitu percaya kepada Sjam? Apakah Aidit tahu bahwa Sjam agen ganda yang ditempatkan Angkatan Darat (AD) dalam PKI?
Dua jawaban atas pertanyaan itu sempat diulas pada bahasan Cerita Pagi sebelumnya. Untuk itu tidak akan diulang kembali.
Dalam buku AM Hanafi Menggugat Kudeta Jendral Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, penulis berhasil menemukan gambaran tentang sosok Sjam sebagai agen AD yang dekat dengan Soeharto.
Dalam bukunya, Hanafi mengaku pertama bertemu Sjam saat Konferensi Pesindo di Solo, akhir tahun 1946. Saat itu, Sjam tidak memiliki peran penting. Sedang Aidit dikabarkan baru mengenal Sjam tahun 1950.
Menurut Hanafi, Sjam mulai menjalin kontak dengan Soeharto saat penyerbuan markas Jepang di Yogyakarta, pada awal Revolusi 1945.
Sjam juga dikabarkan pernah menjadi mata-mata polisi di bawah Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Dia juga dikabarkan menjalin hubungan sangat rapat dengan kelompok dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Keterlibatan Sjam dalam PSI terungkap saat dia melaporkan tentang adanya Konferensi Rahasia Sarangan, pada 21 Juli 1948, antara pihak Amerika Serikat dengan Indonesia.
Saat terjadi Razia Agustus di tahun 1951, Sjam dikabarkan menghilang dan tiba-tiba berada di Seskoad dan menjadi mata-matanya di bawah komando Kolonel Suwarto yang baru pulang mengikuti pelatihan di Amerika.
Saat berada di Seskoad, Sjam juga dikabarkan menjadi mata-mata Kolonel Latief di bawah lindungan Kodam V Jaya sekaligus mata-mata Kostrad di bawah Soeharto langsung.
Dengan mengikuti paparan Hanafi menjadi jelas bahwa Sjam adalah agend ganda yang sengaja ditempatkan AD di dalam PKI.
Keterangan Sjam dalam persidangan semakin mengkuatkan pernyataan Hanafi. Sjam membocorkan hubungan sejumlah perwira AD dengan PKI hingga mengakibatkan semua jaringan PKI dalam tentara hancur.
Kembali kepada Siauw Giok Tjhan. Menurut sejumlah tahanan G30S, Sjam memerintahkan Aidit untuk terbang ke Yogyakarta dari Halim Perdana Kusuma.
Di pangkalan udara itu, Aidit seorang diri. Tidak ada anggota Politbiro CC PKI yang lainnya. Hal ini menimbulkan kecurigaan lagi karena jika benar PKI terlibat G30S bukan kah harusnya Aidit bersama pimpinan PKI lainnya di Halim?
Lantas apa yang dilakukan Aidit selama berada di Yogyakarta. Wawancara Siauw Giok Tjhan dengan pengawal Aidit di penjara sedikit memberikan penerangan.
Seperti diceritakan Kusno kepada Siauw. Saat berada di Yogyakarta, Aidit hidup sebagai buronan politik yang tindak tanduknya selalu dimata-matai. Dalam keadaan seperti itu, Aidit tidak bisa berfungsi sebagai Ketua CC PKI.
Selama dalam pelariannya itu, Aidit sangat menderita. Dia tidak pernah
mendapatkan tempat persembunyian yang aman. Hidupnya selalu berpindah
dari satu tempat ke tempat lainnya guna menghindari penangkapan.
Karena mobilitasnya yang tinggi dan banyak ditempuh dengan berjalan kaki, Aidit mengalami luka pada kakinya hingga harus digendong oleh pengawalnya Kusno.
Perjalanan dengan cara digendong seperti itu dalam pelarian merupakan hal yang sangat berbahaya. Apalagi saat itu Aidit masih menggunakan seragam menteri yang membuatnya dengan mudah dikenali warga.
Kusno mengakui saat berada di Jawa Tengah, pihaknya sangat sulit menemui pimpinan PKI setempat untuk mendapatkan tempat persembunyian yang aman bagi Ketua CC PKI.
Sulitnya melakukan koordinasi membuat Aidit memerintahkan Kusno untuk kembali ke Jakarta dan melakukan kontak dengan para pemimpin PKI lainnya. Mereka berpisah pada pertengahan Oktober 1965.
Salah seorang tokoh PKI lainnya Munir mengatakan, seminggu sebelum Aidit berhasil ditangkap tentara dan ditembak mati, dirinya masih sempat bertemu dengan Aidit.
Kesannya ketika bertemu Aidit saat itu sangat mengecewakan. Sosok Aidit yang revolusioner sudah berubah menjadi orang yang putus asa. Aidit bahkan tidak bisa memberikan perintah di saat yang sangat genting itu.
Dari pertemuannya itu Munir berkesimpulan bahwa Aidit bukan orang yang ahli dalam revolusi. Kesimpulan Munir tepat. Aidit belum pernah memimpin aksi massa. Bahkan memimpin perlawanan buruh tidak pernah.
Kelemahan paling pokok dari Aidit ini lah yang mengakibatkan malapetaka bagi anggota dan simpatisan PKI yang jumlahnya jutaan orang.
Cerita salah seorang tahanan G30S di Jawa Tengah (Jateng) Kolonel Suherman akan membuat terang perihal ini. Setelah G30S meletus Suherman berhasil menghimpun kekuatan militer yang terdiri dari 34-38 Kodim se-Jateng.
Saat Suherman menemui Aidit di Solo untuk meminta petunjuk, sikap yang diberikan Aidit justru kontrarevolusioner dengan meminta Suherman membubarkan kekuatannya sendiri yang berarti mengambil sikap bunuh diri.
Sebaliknya, Aidit melempar tanggung jawab penyelesaian G30S kepada Presiden Soekarno yang posisinya saat itu sudah terancam.
Rupanya penyelesaian politik Presiden Soekarno gagal. Pihak sayap kanan AD terus bergerak menghancurkan G30S dan mulai menyerang PKI dengan kejam.
Menyadari kesalahannya, tiga hari setelah Suherman membubarkan kekuatan bersenjatanya, Aidit kembali memanggilnya dan meminta kekuatan bersenjata yang ada dikumpulkan kembali. Saat Aidit memberikan petunjuk ini semuanya sudah terlambat. PKI sudah dihancurkan.
Menurut Siauw Giok Tjhan, penghancuran PKI dan kekuatan kiri di Indonesia telah dimulai sejak 2 Oktober 1965, dipimpin oleh Soeharto.
Di bawah Soeharto dibentuklah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Badan yang dipimpin Soeharto inilah yang merancang penghancurkan dan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan organisasi sayap kiri di Indonesia.
Karena mobilitasnya yang tinggi dan banyak ditempuh dengan berjalan kaki, Aidit mengalami luka pada kakinya hingga harus digendong oleh pengawalnya Kusno.
Perjalanan dengan cara digendong seperti itu dalam pelarian merupakan hal yang sangat berbahaya. Apalagi saat itu Aidit masih menggunakan seragam menteri yang membuatnya dengan mudah dikenali warga.
Kusno mengakui saat berada di Jawa Tengah, pihaknya sangat sulit menemui pimpinan PKI setempat untuk mendapatkan tempat persembunyian yang aman bagi Ketua CC PKI.
Sulitnya melakukan koordinasi membuat Aidit memerintahkan Kusno untuk kembali ke Jakarta dan melakukan kontak dengan para pemimpin PKI lainnya. Mereka berpisah pada pertengahan Oktober 1965.
Salah seorang tokoh PKI lainnya Munir mengatakan, seminggu sebelum Aidit berhasil ditangkap tentara dan ditembak mati, dirinya masih sempat bertemu dengan Aidit.
Kesannya ketika bertemu Aidit saat itu sangat mengecewakan. Sosok Aidit yang revolusioner sudah berubah menjadi orang yang putus asa. Aidit bahkan tidak bisa memberikan perintah di saat yang sangat genting itu.
Dari pertemuannya itu Munir berkesimpulan bahwa Aidit bukan orang yang ahli dalam revolusi. Kesimpulan Munir tepat. Aidit belum pernah memimpin aksi massa. Bahkan memimpin perlawanan buruh tidak pernah.
Kelemahan paling pokok dari Aidit ini lah yang mengakibatkan malapetaka bagi anggota dan simpatisan PKI yang jumlahnya jutaan orang.
Cerita salah seorang tahanan G30S di Jawa Tengah (Jateng) Kolonel Suherman akan membuat terang perihal ini. Setelah G30S meletus Suherman berhasil menghimpun kekuatan militer yang terdiri dari 34-38 Kodim se-Jateng.
Saat Suherman menemui Aidit di Solo untuk meminta petunjuk, sikap yang diberikan Aidit justru kontrarevolusioner dengan meminta Suherman membubarkan kekuatannya sendiri yang berarti mengambil sikap bunuh diri.
Sebaliknya, Aidit melempar tanggung jawab penyelesaian G30S kepada Presiden Soekarno yang posisinya saat itu sudah terancam.
Rupanya penyelesaian politik Presiden Soekarno gagal. Pihak sayap kanan AD terus bergerak menghancurkan G30S dan mulai menyerang PKI dengan kejam.
Menyadari kesalahannya, tiga hari setelah Suherman membubarkan kekuatan bersenjatanya, Aidit kembali memanggilnya dan meminta kekuatan bersenjata yang ada dikumpulkan kembali. Saat Aidit memberikan petunjuk ini semuanya sudah terlambat. PKI sudah dihancurkan.
Menurut Siauw Giok Tjhan, penghancuran PKI dan kekuatan kiri di Indonesia telah dimulai sejak 2 Oktober 1965, dipimpin oleh Soeharto.
Di bawah Soeharto dibentuklah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Badan yang dipimpin Soeharto inilah yang merancang penghancurkan dan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan organisasi sayap kiri di Indonesia.
Sampai di sini ulasan Cerita Pagi diakhiri, semoga dapat memberikan manfaat dan menambah khazanah pengetahuan pembaca.
*Prof Benedict Anderson mempunyai kesan bahwa singkatan Gestapu itu sendiri merupakan satu alasan lain dengan menganggap bahwa Gestapu adalah buatan Amerika Serikat. Kata Gerakan September Tiga Puluh sendiri terdengar janggal dalam bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan mengatakan Teenth Four (Mei Sepuluh Empat) sebagai ganti May Four Teenth (Empat Belas Mei).
Sumber Tulisan
Siauw Giok Tjhan, G30S dan Kejahatan Negara, Ultimus, Cetakan Pertama, Oktober 2015
Murad Aidit, Aidit sang Legenda, Panta Rei, Cetakan Pertama, September 2005.
AM Hanafi, AM Hanafi Menggugat Kudeta Jend Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Edition Montblanc Lille-France, 2008.
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta 2008.
*Prof Benedict Anderson mempunyai kesan bahwa singkatan Gestapu itu sendiri merupakan satu alasan lain dengan menganggap bahwa Gestapu adalah buatan Amerika Serikat. Kata Gerakan September Tiga Puluh sendiri terdengar janggal dalam bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan mengatakan Teenth Four (Mei Sepuluh Empat) sebagai ganti May Four Teenth (Empat Belas Mei).
Sumber Tulisan
Siauw Giok Tjhan, G30S dan Kejahatan Negara, Ultimus, Cetakan Pertama, Oktober 2015
Murad Aidit, Aidit sang Legenda, Panta Rei, Cetakan Pertama, September 2005.
AM Hanafi, AM Hanafi Menggugat Kudeta Jend Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Edition Montblanc Lille-France, 2008.
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta 2008.
http://daerah.sindonews.com/read/1057848/29/kesaksian-siauw-giok-tjhan-dalam-gestapu-1965-1446312109
0 komentar:
Posting Komentar