Nov 18, 2015 | Barra Pravda
Dasar pemikirannya ialah kebangkitan rakyat tidak cukup hanya dituntun oleh garis politik, dengan semangat dan keberanian saja. Tapi kebangkitan rakyat juga harus diimbangi dengan rasio.
Perkembangan
dan pengaruh PKI semakin meluas di parlemen maupun di kalangan massa rakyat.
keberhasilan ini bukan tanpa perencanaan. Pada kongres V tahun 1954, menjelang
dilaksanakannya Pemilu 1955, telah diputuskan langkah-langkah rencana
pembangunan partai — termasuk strategi pemenangan
pemilu — yang lebih difokuskan pada pembangunan bidang organisasi dan pendidikan.
Hal ini terus dilaksanakan secara lebih intensif sepanjang tahun 1956 hingga
1959. Selanjutnya pada kongres VI, bidang pendidikan kembali menjadi prioritas.
PKI melanjutkan program pengembangan pendidikan yang menyangkut pendidikan
fungsionaris maupun terhadap mayoritas massa.
Mengapa
masalah pendidikan begitu penting dan menjadi perhatian utama? Dasar
pemikirannya ialah kebangkitan rakyat tidak cukup hanya dituntun oleh garis
politik, dengan semangat dan keberanian saja. Tapi kebangkitan rakyat juga
harus diimbangi dengan rasio. Sebab, jika tidak, nanti yang terjadi atau yang
muncul adalah revolusioner-revolusioner anarkis. Yang begini tentu bukan
revolusi namanya. Maka di sini penting artinya mengembangkan pendidikan umum
untuk meningkatkan rasio di kalangan massa rakyat, agar massa rakyat dapat
berpikir lebih matang, jernih, dan objektif.
Untuk
meningkatkan rasio, tentu tidak hanya cukup dengan memahami Marxisme, melainkan
juga harus mengetahui pengetahuan umum. Seperti kita ketahui, Marxisme itu
sendiri merupakan inti dari semua ilmu. Oleh karena itu PKI pun berkepentingan
untuk memasuki dunia pendidikan.
Pemikiran
semacam itu sebenarnya sudah dirasakan kebutuhannya sejak tahun 1926. Hanya
ketika itu belum pernah terpikirkan secara structural atau secara khusus. Baru
pada pertengahan tahun 1958 bisa dilaksanakan ketika PKI mendirikan Departemen
Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan.
Saya oleh
pimpinan partai ditugasi membangun sekaligus memimpin departemen ini. Selain saya,
formasi pengurus lainnya adalah Bismo, Jubar Ayub, Jan Ave, Sunito, Suwarni,
dan Porkas.
Modal yang
kami miliki waktu itu hanya tenaga guru yang banyak tersebar di kalangan Taman
Siswa, PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan PGTI (Persatuan Guru Teknik
Indonesia). Modal ini bagi saya sudah lebih dari cukup. Karena menurut hemat
saya, guru adalah modal utama. Tanpa guru, jangan kita mengharapkan meraih
sukses dalam dunia pendidikan.
Hal ini
termasuk pendidikan di kalangan dalam partai. Jadi, guru menempati posisi
sangat penting serta menentukan sukses tidaknya dunia pendidikan.
Ki Hajar Dewantara menjalin persahabatan dengan Musso. Berawal dari sebuah diskusi panjang dengan Musso mengenai garis massa, akhirnya Ki Hajar Dewantara berhasil merumuskan serta meng-Indonesiakan garis massa tersebut menjadi: Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso.
Untuk
diketahui, ketika itu ada dua organisasi persatuan guru, yaitu PGTI dan PGRI.
Sejak awal, guru teknok sudah mempunyai organisasi sendiri. Di organisasi guru
ini hampir mayoritas adalah teman-teman kita. Akan halnya di PGRI, terdiri dari
campuran berbagai elemen, termasuk elemen nasionalis. Namun di berbagai daerah,
terutama di Jawa timur dan Jawa Tengah, cukup banyak teman-teman kita. Demikian
pula di kalangan guru-guru Taman Siswa, dari tingkat guru TK hingga tingkat
Sarjana Wiyata. Seperti Pak Hardjo yang terpilih pada kongres Taman Siswa tahun
1956.
Sedikit
menyinggung soal bagaimana latar belakang mengapa banyak orang-orang Taman
Siswa yang berpandangan kiri dan atau dekat dengan PKI? Ini tentu ada akar
sejarahnya. Pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, di masa mudanya dalam
berbagai kegiatan dan diskusi politik kerap bertemu dengan tokoh-tokoh PKI.
Menurut penuturan sejumlah tokoh Taman Siswa, pada masa mudanya, Ki Hajar
Dewantara menjalin persahabatan dengan Musso. Berawal dari sebuah diskusi
panjang dengan Musso mengenai garis massa, akhirnya Ki Hajar Dewantara berhasil
merumuskan serta meng-Indonesiakan garis massa tersebut menjadi: Tut Wuri
Handayani, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso.
Malah
kabarnya, ada kesepakatan pembagian tugas di antara dua sahabat ini.
“Biarlah saya
yang berjuang di dunia politik. Sedangkan Denmas (begitu Musso menyapa Ki Hajar
Dewantara) silahkan berjuang di dunia pendidikan”. Begitu kira-kira yang
diucapkan Musso.
Departemen
Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan didirikan partai antara lain untuk menangani
kebijakan dan operasional pendidikan umum secara nasional. Beda dengan
departemen pendidikan partai yang ditangani Departemen Agitprop. Dari itu,
karena menyangkut pendidikan umum, maka standar kurikulumnya juga sama dengan
sekolah-sekolah umum negeri maupun swasta lainnya. Yang membedakan dari
keduanya ialah corak ideologi atau corak motivasinya.
Selanjutnya
untuk menangani pengembangan pendidkan umum, secara nasional dibentuk Yayasan
Pendidikan Nasional yang kemudian menjadi Lembaga Pendidikan Nasional (LPN).
Sekolah-sekolah yang didirikan LPN, kurikulumnya mengikuti kurikulum sekolah
pemerintah atau sekolah negeri. Sampai sebelum peristiwa 1965, sekolah-sekolah
di bawah pengelolaan LPN — baik dari tingkat SD hingga SLTA — sudah terdapat di hampir seluruh provinsi. Kecuali untuk TK, karena sudah
ada TK Melati milik Gerwani pimpinan Ibu Suwati Trimo, maka LPN tidak perlu
mendirikan TK sendiri. LPN waktu itu dipimpin oleh Chairun Karepebuka, dibantu
oleh sejumlah kawan seperti Bismo, Badrun, dan Murtiningrum.
Sedangkan semboyan yang dipakai adalah “Merah dan Ahli”
Sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh LPN mempunyai corak ideologi atau corak motivasi
tersendiri. Di sinilah yang membedakan dengan sekolah umum negeri milik
pemerintah. Misalnya, jika sekolah negeri punya Panca Dharma — hasil kreasi dari Prof. Prijono, maka kami punya Panca Cinta yang lahir
jauh sebelumnya. Panca Cinta menjadi pedoman bagi seluruh guru-guru di
lingkungan sekolah-sekolah di bawah LPN.
Panca Cinta
merupakan rumusan dari: (1). Cinta tanah air, (2). Cinta rakyat dan cinta
kerja, (3). Cinta ilmu, (4). Cinta persahabatan antar bangsa, (5). Cinta orang
tua. Sedangkan semboyan yang dipakai adalah “Merah dan Ahli”, yang juga berlaku
bagi semua organisasi guru atau ilmuwan yang berafiliasi dengan partai.
Setelah itu
kami mulai melangkah memikirkan pendidikan umum bagi kalangan orang-orang
dewasa. Hal ini berangkat dari kondisi waktu itu banyak terdapat kader-kader
partai ataupun aktivis serta massa rakyat (buruh tani) umumnya sangat rendah
tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Bahkan cukup banyak yang buta huruf.
Sudah tentu hal ini harus dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya. Solusinya,
pada akhir 1958, kami mendirikan sekolah pengetahuan umum tingkatan menengah
untuk orang-orang dewasa bernama Universitas Rakyat (Unra). Sekolah sejenins
pernah ada pada zaman Hindia-Belanda dulu. Selain saya, pendiri lainnya ialah
Oey Hay Djoen, Mr. Prapto, Dr. Lie Chuan Sien dan Rivai Apin.
Sampai sebelum peristiwa 1965, tercatat pesertanya mencapai ribuan orang dan jumlah sekolah lebih dari 2000 yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan sampai ke Papua.
Unra sangat
spesifik, dan sasarannya juga berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya.
Meski mata pelajaran yang diberikan tetap berpedoman pada kurikulum sekolah
pemerintah, di Unra para siswa juga diberikan materi pelajaran Marxisme.
Sedangkan siswanya dikhususkan bagi kalangan orang dewasa. Jenjang pendidikan
yang diselenggarakan oleh Unra mulai dari pra-SD hingga sekolah menengah. Untuk
jenjang pendidikan pra-SD dinamakan pra-Panra (Panti Pengetahuan Rakyat). ini
semacam gerakan pemberantasan buta huruf. Lalu disebut Panpra untuk pendidikan
setingkat SD. Sedang untuk jenjang pendidikan setingkat SLTP disebut Bapra
(Balai Pengetahuan Rakyat). kemudian untuk jenjang setingkat SLTA disebut juga
Universitas Rakyat. semuanya resmi terdaftar di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikan juga diberikan
ijazah kelulusan. Namun untuk dapat diakui sama dengan lulusan sekolah negeri,
mereka harus menempuh ujian negara lebih dahulu.
Proses belajar-mengejar
di Unra tidak diselenggarakan setiap hari. Tapi hanya seminggu tiga kali.
Itupun waktunya hanya pada sore hari. Materi pelajaran diberikan secara lebih
singkat dan selektif, disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi para siswa
yang rata-rata terdiri dari orang dewasa dan orang tua. Peserta didik di Unra
umumnya berasal dari aktivis-aktivis serikat buruh, aktivis tani, dan
kader-kader partai. Sejak didirikan, perkembangan Unra sangat pesat. Sampai
sebelum peristiwa 1965, tercatat pesertanya mencapai ribuan orang dan jumlah
sekolah lebih dari 2000 yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan
sampai ke Papua. Perkembangan pesat ini dimungkinkan karena CDB-CDB ikut
bertanggung jawab untuk mengembangkan Unra di daerahnya masing-masing.
Metode belajar lebih banyak menggunakan cara berdiskusi…
Khususnya
mengenai pra-Panpra, dimaksudkan untuk mendidik kaum tani yang buta huruf atau
semi buta huruf. Di sini Unra bekerja dengan ormas tani BTI. Proses belajar
mengajar tidak berlangusng di gedung-gedung sekolah ataupun di rumah, tapi
kerap berlangusng di gubuk-gubuk atau dangau di persaawahan, atau tempat lain
yang memungkinkan. Inilah tipikal Unra, lembaga pendidikan lain belum pernah
menjalankan metode semacam ini. Karenanya di sini para guru dituntut lebih
aktif mendatangi murid. Adapun proses belajar mengajarnya dilakukan pada sore
hari.
Selepas para
buruh-tani menyelesaikan pekerjaannya di sawah. Mereka dikumpulkan dan
pelajaran pun bisa dimulai.
Metode belajar
lebih banyak menggunakan cara berdiskusi, karena siswanya kebanyakan dari
kalangan orang tua. Biasanya diawali dengan mata pelajaran pengetahuan umum.
Misalnya, temanya mengenai masalah pertanian, seperti bagaimana menanam padi
dengan baik.
Kemudian
dilanjutkan dengan pelajaran politik. Di sinilah kelebihannya, buruh-tani bisa
belajar politik di persawahan. Cara belajar seperti ini tentu tidak ada di
sekolah-sekolah negeri maupun swasta, begitupun di Taman Siswa.
Sejalan dengan
itu kami mulai berfikir mendirikan akademi-akademi dan universitas. Untuk
akademi kami lebih menekankan pada spesialisasi. Sekitar tahun 1964 lahirlah
Akademi Sosial Politik Bachtarudin, Akademi Sejarah Ronggowarsito, Akademi
Sastra, Akademi Ekonomi Ratulangi, Akademi Teknik Ir. Anwari. Pada akhir 1964
berdiri Universitas Dr. Cipto Mangunkusumo di Yogyakarta. Tapi pada awal
berdirinya baru punya satu fakultas Pedagogi. Rektornya adalah Dr. Busono
Wiwoho.
Lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan partai yang selama ini ditangani Departemen
Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan semakin hari kian berkembang pesat.
Konsekuensinya, beban tanggung jawab pekerjaannya semakin berat. Untuk menjawab
perkembangan ini, beberapa bulan menjelang peristiwa 1965, partai
merestrukturisasi organisasi Departemen Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan menjadi
dua departemen. Salah satunya adalah Departemen Pendidikan dan Gerakan
Anak-Anak yang saya pimpin.
Saya dibantu
Ketua I Bismo, Ketua II Chairun Karepebuka. Anggotanya terdiri dari Priyo,
Usman Puger, Karno, Suwati Trimo, Maemunah, Bawono (tokoh kepanduan), Bu Yono,
Pak Hardjo (tokoh Taman Siswa), dan Pardi.
_________
*Diambil dari buku Siswoyo Dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri;
halaman 157–162; terbitan Ultimus, Cetakan 1, Juli 2015.
Sumber: Medium.Com
0 komentar:
Posting Komentar