Abdul Qowi Bastian | @@aqbastian | Published 1:59 PM, November 10, 2015
Topik diskusi seputar tragedi 1965 disensor di Ubud Writers and Readers Festival, tapi tak menyurutkan pemuda-pemuda ini membicarakannya
KESAKTIAN PANCASILA. Presiden Jokowi kunjungi Lubang Buaya di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur, 1 Oktober 2015. Foto dari setkab.go.id
JAKARTA, Indonesia — Doni Marmer mendapat ilham ketika sedang mengendarai motornya di Bali pada suatu sore. Ia baru saja mendengar kabar perihal penyensoran diskusi mengenai tragedi 1965 di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang baru saja usai akhir Oktober silam.
Pada sebuah sesi adu puisi (poetry slam) di UWRF, Doni membawakan karyanya yang berjudul Knock-Knock (Not) Jokes, di mana ia berinteraksi dengan penonton melalui puisi yang diadaptasi dari selera humor Barat. Sebuah trik yang berhasil mengundang reaksi penonton. Alhasil, ia menyabet gelar juara satu pada kompetisi adu lisan di malam syahdu itu.
"Itu adalah puisi spontan yang gue tulis pada saat pemberitaan sensor terhadap beberapa sesi yang membicarakan hal yang terkait isu pelanggaran HAM di tahun 1965 sebelum dan sesudahnya,” kata Doni kepada Rappler baru-baru ini.
"Puisi yang aku tulis akhirnya aku jadikan sebagai sebuah puisi interaktif. Orang-orang merespon knock-knock jokes yang aku buat dan perlahan memasukan unsur sarkasme tentang isu-isu yang dibungkam," ujarnya.
Puisinya dibuka dengan “Knock-knock” yang dijawab oleh penonton, “Who’s there? (Siapa di sana?)”. Doni kemudian melontarkan beragam isu yang menurutnya masih kerap dibungkam di Indonesia, mulai dari intoleransi beragama, kemiskinan, minuman beralkohol, perdagangan manusia, eksploitasi Bali sebagai magnet pariwisata, hingga tragedi 1965.
“Banyak sekali sebenarnya hal yang dibungkam oleh negara soal sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. Dan sedikit akses untuk dapat membuka tabirnya.”
Isu-isu ini mencoba mengetuk hati bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat Indonesia. Namun, “Slam!” Setiap kali mereka mengetuk, pintu selalu dibanting, tak menyisakan ruang bagi mereka untuk bersuara sedikitpun.
Termasuk perbincangan soal 1965. Sebuah isu sensitif meski 50 tahun telah berlalu sejak pembantaian massal yang menewaskan ratusan ribu warga Indonesia itu —bahkan ada yang menyebut jutaan.
“Banyak sekali sebenarnya hal yang dibungkam oleh negara soal sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. Dan sedikit akses untuk dapat membuka tabirnya, seperti masih tabu untuk membicarakan kengerian yang terjadi,” ungkap Doni, yang sehari-harinya bekerja sebagai Resource Development Officer di Yayasan IDEP Selaras Alam, Bali.
Namun jiwa mudanya memberontak. Tak kunjung mendapatkan kebenaran, ia memberanikan diri untuk menyentil isu 1965 di sebuah tempat yang dilarang untuk mengadakan diskusi tentang tragedi berdarah itu.
“Tetapi aku sebagai seorang anak muda yang peduli akan bangsa ini harus melangkah kebingungan untuk mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi. Dan tentu, hal mengerikan tersebut patut dibicarakan saat ini agar tidak terulang lagi,” kata Doni.
“Sayangnya, ketuk pintu manapun, selalu mendapatkan jawaban yang akhirnya berujung pada (ketidakpastian), dan aku yakin bukan cuma aku yang merasa seperti ini.”
Doni bukan satu-satunya anak muda yang berani menyuarakan keingintahuannya. Pangeran Siahaan adalah contoh lain. Pria 28 tahun ini juga membacakan puisinya yang berjudul The 1965 Indonesian Vintage Cabernet Sauvignon dalam acara yang sama. Ia mendapatkan posisi dua dalam kompetisi adu puisi itu.
Pangeran berujar bahwa penguasa negeri ini tak mau sedikitpun “menyentuh” koleksi anggur merah tahun 1965-nya. Tuannya itu lebih tertarik membicarakan koleksi kebanggan tahun 1928, atau yang lebih terbaru, tahun 1998. Mengapa?
Karena tahun 1965, “it’s a bloody red wine”. —Rappler.com
http://www.rappler.com/indonesia/112266-ubud-uwrf-poetry-slam-tragedi-1965
0 komentar:
Posting Komentar