Hasan Kurniawan | Minggu, 15 November 2015 − 05:05 WIB
Sarwo Edhie Wibowo (foto:Istimewa/Hasan)
PERISTIWA pembunuhan massal anggota dan simpatisan
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966 adalah tragedi kemanusiaan
terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Amnesty Internasional mencatat jumlah orang yang dibunuh dalam peristiwa itu 500.000. Laksamana Sudomo Panglima Kopkamtib juga menyebut jumlah korban 450.000-500.000.
Jumlah yang lebih banyak dikatakan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo kepada Permadi. Dia mengaku, korban tewas dalam pembunuhan massal tahun 1965-1966 mencapai tiga juta.
Seorang filsuf Inggris Betrand Russel menilai korban pembunuhan itu jauh lebih banyak dari jumlah perang Vietnam selama 12 tahun.
"Dalam empat bulan saja pembantaian di Indonesia, orang yang mati sudah berjumlah lima kali lebih banyak dibandingkan dengan 12 tahun peperangan di Vietnam," katanya.
Bahkan jika dibandingkan pemusnahan suku Tutsi, di Rwanda, Afrika, dan etnis Bosnia, pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI jauh lebih buruk. Begitupun dengan pembunuhan 11 tahun Khmer Merah, Polpot.
Tingginya angka korban jiwa pada peristiwa itu menimbulkan tanda tanya, di mana peran negara saat pembantaian massal terjadi? Demikian Cerita Pagi hari ini akan mengupas peristiwa paling kelam bangsa Indonesia.
Profesor Hermawan Sulistyo mengatakan, pembunuhan massal tahun 1965-1966 dimulai dengan penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal Angkatan Darat (AD).
Peristiwa itu disusul dengan konfrontasi dua kelompok perwira AD. Kemudian terjadi jeda sesaat. Akhirnya darah merah rakyat mengalir menggenangi tanah seluruh negeri.
"Jawa Tengah menjadi ladang pembantaian yang pertama. Di provinsi ini, tentara melancarkan operasi militernya," ungkapnya.
Dalam bukunya yang sempat dilarang beredar Pemerintah Militer Orde Baru Soeharto, Hermawan mengungkapkan pembunuhan di Jawa Tengah bukan hanya menyasar pengurus PKI. Tetapi juga anggota dan simpatisannya.
Peran negara dalam peristiwa itu hampir tidak ada. Bahkan boleh dikata negara lah yang mensponsori berbagai pembunuhan massal di daerah, dengan RPKAD sebagai mesinnya.
Dibanyak tempat lainnya, tentara mengambil posisi yang paling dominan. Mulai dengan mengorganisir sekelompok sipil, hingga turun tangan sendiri melakukan pembunuhan.
Hal ini selaras dengan kehendak Soeharto yang menginginkan tentara melakukan pembersihan terhadap pemimpin, anggota, dan simpatisan PKI sampai ke akar-akarnya.
"Kegiatan saya yang utama menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di Ibu Kota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka."
"Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu, kecuali saat-saat yang tepat dan terpaksa."
Amnesty Internasional mencatat jumlah orang yang dibunuh dalam peristiwa itu 500.000. Laksamana Sudomo Panglima Kopkamtib juga menyebut jumlah korban 450.000-500.000.
Jumlah yang lebih banyak dikatakan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo kepada Permadi. Dia mengaku, korban tewas dalam pembunuhan massal tahun 1965-1966 mencapai tiga juta.
Seorang filsuf Inggris Betrand Russel menilai korban pembunuhan itu jauh lebih banyak dari jumlah perang Vietnam selama 12 tahun.
"Dalam empat bulan saja pembantaian di Indonesia, orang yang mati sudah berjumlah lima kali lebih banyak dibandingkan dengan 12 tahun peperangan di Vietnam," katanya.
Bahkan jika dibandingkan pemusnahan suku Tutsi, di Rwanda, Afrika, dan etnis Bosnia, pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI jauh lebih buruk. Begitupun dengan pembunuhan 11 tahun Khmer Merah, Polpot.
Tingginya angka korban jiwa pada peristiwa itu menimbulkan tanda tanya, di mana peran negara saat pembantaian massal terjadi? Demikian Cerita Pagi hari ini akan mengupas peristiwa paling kelam bangsa Indonesia.
Profesor Hermawan Sulistyo mengatakan, pembunuhan massal tahun 1965-1966 dimulai dengan penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal Angkatan Darat (AD).
Peristiwa itu disusul dengan konfrontasi dua kelompok perwira AD. Kemudian terjadi jeda sesaat. Akhirnya darah merah rakyat mengalir menggenangi tanah seluruh negeri.
"Jawa Tengah menjadi ladang pembantaian yang pertama. Di provinsi ini, tentara melancarkan operasi militernya," ungkapnya.
Dalam bukunya yang sempat dilarang beredar Pemerintah Militer Orde Baru Soeharto, Hermawan mengungkapkan pembunuhan di Jawa Tengah bukan hanya menyasar pengurus PKI. Tetapi juga anggota dan simpatisannya.
Peran negara dalam peristiwa itu hampir tidak ada. Bahkan boleh dikata negara lah yang mensponsori berbagai pembunuhan massal di daerah, dengan RPKAD sebagai mesinnya.
Dibanyak tempat lainnya, tentara mengambil posisi yang paling dominan. Mulai dengan mengorganisir sekelompok sipil, hingga turun tangan sendiri melakukan pembunuhan.
Hal ini selaras dengan kehendak Soeharto yang menginginkan tentara melakukan pembersihan terhadap pemimpin, anggota, dan simpatisan PKI sampai ke akar-akarnya.
"Kegiatan saya yang utama menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di Ibu Kota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka."
"Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu, kecuali saat-saat yang tepat dan terpaksa."
"Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi
dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing dari
benih-benih (komunisme) yang jahat," tegas Soeharto dalam
otobiografinya, halaman 136.
Dengan memanfaatkan kekuatan rakyat untuk menghancurkan PKI, banjir darah rakyat tidak terbendung di semua daerah Indonesia. Mulai dari sebagian Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.
Berbagai daerah di Sumatera, dan di seluruh provinsi di Kalimantan dengan jumlah korban terbesar di Kalimantan Selatan, serta Sulawesi, darah rakyat juga mengalir dengan derasnya.
Dalam tiga bulan pertama pembunuhan, sejak Oktober-Desember 1965, korban tewas di Sumatera, Jawa, dan Bali, mencapai satu juta jiwa lebih. Padahal pembunuhan massal di daerah masih terjadi beberapa tahun kedepan.
Laporan korban pembunuhan di tiga daerah disampaikan Komisi Peneliti Korban Gestapu Mayor Jenderal Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat kepada Presiden Soekarno.
Untuk menyelamatkan wajah Soekarno dan Indonesia di mata dunia, saat itu jumlah korban dimanipulasi 78.000 orang. Jumlah inilah yang kemudian dicatat dalam sejarah.
Padahal angka korban tewas yang sebenarnya jauh lebih banyak. Setelah 30 tahun terkubur, rahasia jumlah korban itu akhirnya dibongkar.
Dalam bukunya, Duta Besar Indonesia untuk Kuba Anak Marhaen (AM) Hanafi mengaku, dirinya berada di tempat saat Komisi Korban Gestapu memberi laporan kepada Soekarno.
Bahkan dia mengakui bahwa dirinya terlibat dalam menentukan jumlah korban 78.000 jiwa yang disampaikan Soekarno ke beberapa media nasional dan luar negeri saat itu.
Salah seorang korban kekejaman tentara di Jawa Tengah Tintin Rahaju (70) menceritakan pengalaman pahitnya saat menjadi tahanan militer Orde Baru. Berbagai siksaan fisik dan pelecehan seksual sangat berat dialaminya.
Tintin sebenarnya aktivis PMKRI yang bekerja sebagai guru. Dia sama sekali tidak terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tetapi tiba-tiba dia diciduk oleh tentara.
Tanpa mengetahui apa kesalahannya, Tintin ditahan dan diinterogasi. Bahkan dia dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Hal ini membuatnya hancur.
"Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja. Mereka mencecar tubuh saya dengan puntung rokok. Bulu kemaluan, dan rambut saya dibakar," katanya di sidang IPT65.
"Saya disuruh menciumi kemaluan mereka (tentara). Saya dipaksa telungkup, diinjak-injak, rambut saya digunduli. Yang menangkap saya Corps Polisi Militer dan tentara," ungkapnya.
Selain Tintin, masih ada ribuan wanita lain yang senasib dengannya. Jumlah korban yang ditahan selama bertahun-tahun tanpa diadili sangat banyak, mencapai 250.000 orang.
Dari ribuan orang itu, hanya beberapa ratus saja yang diseret ke pengadilan. Sebagian dari tahanan salah sasaran ini dibebaskan kembali pada 1966-1967. Puluhan ribu lainnya tetap ditahan tanpa diadili selama bertahun-tahun.
Dengan memanfaatkan kekuatan rakyat untuk menghancurkan PKI, banjir darah rakyat tidak terbendung di semua daerah Indonesia. Mulai dari sebagian Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.
Berbagai daerah di Sumatera, dan di seluruh provinsi di Kalimantan dengan jumlah korban terbesar di Kalimantan Selatan, serta Sulawesi, darah rakyat juga mengalir dengan derasnya.
Dalam tiga bulan pertama pembunuhan, sejak Oktober-Desember 1965, korban tewas di Sumatera, Jawa, dan Bali, mencapai satu juta jiwa lebih. Padahal pembunuhan massal di daerah masih terjadi beberapa tahun kedepan.
Laporan korban pembunuhan di tiga daerah disampaikan Komisi Peneliti Korban Gestapu Mayor Jenderal Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat kepada Presiden Soekarno.
Untuk menyelamatkan wajah Soekarno dan Indonesia di mata dunia, saat itu jumlah korban dimanipulasi 78.000 orang. Jumlah inilah yang kemudian dicatat dalam sejarah.
Padahal angka korban tewas yang sebenarnya jauh lebih banyak. Setelah 30 tahun terkubur, rahasia jumlah korban itu akhirnya dibongkar.
Dalam bukunya, Duta Besar Indonesia untuk Kuba Anak Marhaen (AM) Hanafi mengaku, dirinya berada di tempat saat Komisi Korban Gestapu memberi laporan kepada Soekarno.
Bahkan dia mengakui bahwa dirinya terlibat dalam menentukan jumlah korban 78.000 jiwa yang disampaikan Soekarno ke beberapa media nasional dan luar negeri saat itu.
Salah seorang korban kekejaman tentara di Jawa Tengah Tintin Rahaju (70) menceritakan pengalaman pahitnya saat menjadi tahanan militer Orde Baru. Berbagai siksaan fisik dan pelecehan seksual sangat berat dialaminya.
Tintin sebenarnya aktivis PMKRI yang bekerja sebagai guru. Dia sama sekali tidak terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tetapi tiba-tiba dia diciduk oleh tentara.
Tanpa mengetahui apa kesalahannya, Tintin ditahan dan diinterogasi. Bahkan dia dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Hal ini membuatnya hancur.
"Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja. Mereka mencecar tubuh saya dengan puntung rokok. Bulu kemaluan, dan rambut saya dibakar," katanya di sidang IPT65.
"Saya disuruh menciumi kemaluan mereka (tentara). Saya dipaksa telungkup, diinjak-injak, rambut saya digunduli. Yang menangkap saya Corps Polisi Militer dan tentara," ungkapnya.
Selain Tintin, masih ada ribuan wanita lain yang senasib dengannya. Jumlah korban yang ditahan selama bertahun-tahun tanpa diadili sangat banyak, mencapai 250.000 orang.
Dari ribuan orang itu, hanya beberapa ratus saja yang diseret ke pengadilan. Sebagian dari tahanan salah sasaran ini dibebaskan kembali pada 1966-1967. Puluhan ribu lainnya tetap ditahan tanpa diadili selama bertahun-tahun.
Salah seorang di antara tahanan yang tidak pernah diadili itu sastrawan
Pramoedya Ananta Toer. Bersama ribuan orang lainnya, Pramoedya
diasingkan ke Pulau Buru, Maluku.
Dr Lambert J Giebels mengatakan, kekejaman massa antikomunis di Indonesia pada 1965-1966 telah mematahkan mitos orang Indonesia sebagai bangsa yang lemah lembut, seperti pernah diungkapkan Multatuli.
"Di Aceh orang Islam ortodoks memburu sesama penduduk yang komunis. Di Sumatera Utara Kemal Idris dan pasukannya membantai para pekerja perkebunan," terangnya.
"Di Sulawesi Utara orang Kristen lah yang memburu para komunis. Di pedalaman Jawa, menurut para saksi mata jenazah-jenazah menumpuk di pintu air pengairan sawah."
Sementara di Jawa Timur dan Bali, yang menjadi algojo pembunuhan massal adalah pemuda Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Pembunuhan massal juga terjadi di Flores. Di wilayah tempat Giebels melakukan penelitian ini, mesin pembunuhnya adalah tentara. Mereka datang dari Jawa dengan sasaran anggota organisasi mantel PKI, SOBSI dan BTI.
Para tentara itu membentuk milisi-milisi yang isinya golongan Islam ortodoks dan orang-orang Katolik untuk memburu orang komunis.
Dari semua kantong pembunuhan massal itu, Bali merupakan ladang pembantaian yang paling buruk. Ribuan anggota dan simpatisan PKI tewas dibunuh dalam upacara keagamaan.
Geoffrey Robinson dalam studinya The Dark Side or Paradise menyebutkan, pembunuhan massal di Pulau Dewata telah menelan korban jiwa hingga 5% dari penduduk Bali.
Pembantaian massal di Bali mulai gencar dilakukan setelah pembunuhan dua pemuda Ansor oleh anggota PKI di Desa Tegalbadeng, Jembrana, pada 30 November 1965.
Setelah insiden itu, pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI mulai menjalar keseluruh pulau. Dalam beberapa hari, ribuan orang tewas dibunuh dengan sangat sadis.
Pembunuhan semakin menggila saat pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhie datang ke Bali. Di bawah kontrol tentara, pembantaian massal berlangsung jadi sangat mengerikan.
Pasukan RPKAD tiba di Bali pada tanggal 7-8 Desember 1965. Sarwo Edhie mengatakan bahwa pembunuhan harus lebih dikendalikan.
"Di Jawa kita mesti mendorong orang untuk membunuh kaum komunis. Di Bali, kita mesti mengendalikan mereka," ungkapnya.
Ungkapan Sarwo Edhie dinilai tidak masuk diakal, karena kenyataannya sejak kedatangan pasukannya ke Bali, aksi pembunuhan massal kian bertambah buas dan terorganisir.
Sejarawan Bali I Wayan Reken dalam hasil penelitiannya mengatakan, dalam melakukan pembunuhan massal itu para kelompok sipil mendapat pasokan logistik yang lengkap.
Dr Lambert J Giebels mengatakan, kekejaman massa antikomunis di Indonesia pada 1965-1966 telah mematahkan mitos orang Indonesia sebagai bangsa yang lemah lembut, seperti pernah diungkapkan Multatuli.
"Di Aceh orang Islam ortodoks memburu sesama penduduk yang komunis. Di Sumatera Utara Kemal Idris dan pasukannya membantai para pekerja perkebunan," terangnya.
"Di Sulawesi Utara orang Kristen lah yang memburu para komunis. Di pedalaman Jawa, menurut para saksi mata jenazah-jenazah menumpuk di pintu air pengairan sawah."
Sementara di Jawa Timur dan Bali, yang menjadi algojo pembunuhan massal adalah pemuda Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Pembunuhan massal juga terjadi di Flores. Di wilayah tempat Giebels melakukan penelitian ini, mesin pembunuhnya adalah tentara. Mereka datang dari Jawa dengan sasaran anggota organisasi mantel PKI, SOBSI dan BTI.
Para tentara itu membentuk milisi-milisi yang isinya golongan Islam ortodoks dan orang-orang Katolik untuk memburu orang komunis.
Dari semua kantong pembunuhan massal itu, Bali merupakan ladang pembantaian yang paling buruk. Ribuan anggota dan simpatisan PKI tewas dibunuh dalam upacara keagamaan.
Geoffrey Robinson dalam studinya The Dark Side or Paradise menyebutkan, pembunuhan massal di Pulau Dewata telah menelan korban jiwa hingga 5% dari penduduk Bali.
Pembantaian massal di Bali mulai gencar dilakukan setelah pembunuhan dua pemuda Ansor oleh anggota PKI di Desa Tegalbadeng, Jembrana, pada 30 November 1965.
Setelah insiden itu, pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI mulai menjalar keseluruh pulau. Dalam beberapa hari, ribuan orang tewas dibunuh dengan sangat sadis.
Pembunuhan semakin menggila saat pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhie datang ke Bali. Di bawah kontrol tentara, pembantaian massal berlangsung jadi sangat mengerikan.
Pasukan RPKAD tiba di Bali pada tanggal 7-8 Desember 1965. Sarwo Edhie mengatakan bahwa pembunuhan harus lebih dikendalikan.
"Di Jawa kita mesti mendorong orang untuk membunuh kaum komunis. Di Bali, kita mesti mengendalikan mereka," ungkapnya.
Ungkapan Sarwo Edhie dinilai tidak masuk diakal, karena kenyataannya sejak kedatangan pasukannya ke Bali, aksi pembunuhan massal kian bertambah buas dan terorganisir.
Sejarawan Bali I Wayan Reken dalam hasil penelitiannya mengatakan, dalam melakukan pembunuhan massal itu para kelompok sipil mendapat pasokan logistik yang lengkap.
Pasokan logistik yang dimaksud terdiri dari persenjataan, amunisi, truk,
alat komunikasi, dan alat pertahanan. Dia mengambarkan pembunuhan itu
berlangsung secara massif.
"Selama bulan Desember itu, AD dengan orang-orang yang marah dari Front Pancasila menghancurkan kaum komunis dalam satu pembantaian yang paling mengerikan."
"Adalah sebuah sungai darah, di mana ribuan orang dibunuh di Jembrana saja. Selama dalam bulan Desember, suatu perkiraan 6.000 orang telah terbunuh," ungkapnya.
"Bagian terbesar mayat dibuang ke laut atau kuburan-kuburan massal yang besar. Dukungan logistik tentara sangat penting dalam menghancurkan PKI di Bali," tegasnya.
Demikian, Bali yang terkenal sebagai pintu terdepan pariwisata dan surganya Indonesia menyimpan sejarah kelamnya tahun 1965.
Peristiwa pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI pada 1965-1966 merupakan satu fakta sejarah yang masih ditutup-tutupi entah sampai kapan. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi, semoga membuka mata hati kita.
Sumber Tulisan
Lambert J Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, Grasindo, 2005.
Goeffrey Robinson, Pembantaian pasca-Kup di Bali, dalam Daniel S Lev-Ruth McVey, Menjadikan Indonesia, dari Membangun Bangsa Menjadi Membangun Kekuasaan, Hasta Mitra, 2008.
Suar Suroso, Bung Karno Korban Perang Dingin, Hasta Mitra, Jakarta, Maret 2008.
AM Hanafi, AM Hanafi Menggugat Kudeta Jend Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Edition Montblanc Lille-France, 2008.
G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, cetakan kedua 1989.
Fakta-Fakta Soeharto Terlibat G30S PKI, Aksi-Aksi Pembantaian Gaya Soeharto, Yayasan Bina Kepribadian Bangsa, terbitan ke empat, tanpa tahun.
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan, kasus Jombang-Kediri 1965-1966, Pensil-324, cetakan kedua, Jakarta 2011.
Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI, MediaKita, cetakan ketigabelas, 2008.
(san)
"Selama bulan Desember itu, AD dengan orang-orang yang marah dari Front Pancasila menghancurkan kaum komunis dalam satu pembantaian yang paling mengerikan."
"Adalah sebuah sungai darah, di mana ribuan orang dibunuh di Jembrana saja. Selama dalam bulan Desember, suatu perkiraan 6.000 orang telah terbunuh," ungkapnya.
"Bagian terbesar mayat dibuang ke laut atau kuburan-kuburan massal yang besar. Dukungan logistik tentara sangat penting dalam menghancurkan PKI di Bali," tegasnya.
Demikian, Bali yang terkenal sebagai pintu terdepan pariwisata dan surganya Indonesia menyimpan sejarah kelamnya tahun 1965.
Peristiwa pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI pada 1965-1966 merupakan satu fakta sejarah yang masih ditutup-tutupi entah sampai kapan. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi, semoga membuka mata hati kita.
Sumber Tulisan
Lambert J Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, Grasindo, 2005.
Goeffrey Robinson, Pembantaian pasca-Kup di Bali, dalam Daniel S Lev-Ruth McVey, Menjadikan Indonesia, dari Membangun Bangsa Menjadi Membangun Kekuasaan, Hasta Mitra, 2008.
Suar Suroso, Bung Karno Korban Perang Dingin, Hasta Mitra, Jakarta, Maret 2008.
AM Hanafi, AM Hanafi Menggugat Kudeta Jend Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Edition Montblanc Lille-France, 2008.
G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, cetakan kedua 1989.
Fakta-Fakta Soeharto Terlibat G30S PKI, Aksi-Aksi Pembantaian Gaya Soeharto, Yayasan Bina Kepribadian Bangsa, terbitan ke empat, tanpa tahun.
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan, kasus Jombang-Kediri 1965-1966, Pensil-324, cetakan kedua, Jakarta 2011.
Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI, MediaKita, cetakan ketigabelas, 2008.
(san)
http://daerah.sindonews.com/read/1061615/29/pembantaian-massal-1965-kejahatan-kemanusiaan-yang-terlupakan-1447508722
0 komentar:
Posting Komentar