Selasa, 10/11/2015 20:26 WIB
Ilustrasi. (Getty Images/Michael Porro)
Jakarta, CNN Indonesia --
Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang terjadi di Indonesia atau International People’s Tribunal
(IPT) 1965 mulai digelar Selasa (10/11) di Den Haag, Belanda. Sidang
maraton itu dijadwalkan berlangsung selama empat hari hingga Jumat pekan
ini.
Ketua Panitia Penyelenggara IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana, menyatakan sidang rakyat yang digelar di Negeri Kincir Angin itu bakal menghadirkan sekitar 5 orang saksi ahli dan 10 saksi fakta. Kesepuluh saksi fakta itu merupakan korban yang mengetahui dan mengalami langsung peristiwa 'pembantaian' 1965.
Mayoritas para saksi merupakan orang buangan atau exile yang tinggal di luar negeri karena tak lagi diakui pemerintah Indonesia sebagai warga. Namun ada pula saksi yang merupakan warga negara Indonesia.
IPT 1965 ini dipimpin oleh tujuh hakim, tujuh jaksa penuntut umum, dan
satu hakim panitera. Berikut profil para penegak hukum yang bakal
menentukan nasib upaya pengungkapan kebenaran di balik tragedi
kemanusiaan peristiwa 1965 di Indonesia.
Hakim Sir Georffrey Nice
Nice telah malang-melintang berperan sebagai advokat sejak 1971. Dia tercatat pernah menjadi jaksa dan memimpin penuntutan dalam persidangan terhadap mantan Presiden Serbia Slobodan Milošević.
Karier Nice di bidang penegakan hukum banyak bersinggungan dengan persoalan di Pengadilan Kriminal Internasional atas Sudan, Kenya, Libya. Dia juga menjadi pengacara pro bono untuk korban-korban di Iran, Burma, Korea Utara yang kasusnya tidak bisa diangkat di pengadilan internasional.
Hakim Helen Jarvis
Helen punya ikatan emosional dengan Indonesia dan setidaknya turut merasakan euforia peristiwa 1965. Dia datang datang ke Indonesia pada akhir tahun 1965 dan mulai bekerja di Jakarta pada kurun tahun 1969.
Pada pertengahan 1990-an, Helen mulai terjun mengurusi isu yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan dan genosida, khususnya di Kamboja. Dia menyandang kewarganegaraan Australia dan Kamboja, dan kini menetap di Phnom Penh.
Hakim Mireille Fanon Mendes France
Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan pimpinan kelompok kerja untuk masyarakat keturunan Afrika. Mendes pernah menjadi penasihat hukum Majelis Nasional Perancis dan saat ini menjadi President of the Frantz Fanon Foundation.
Hakim yang pernah bekerja untuk UNESCO Press ini sebelumnya banyak terlibat dalam urusan pengadilan rakyat Permanent People's Tribunal di Roma, Italia.
Hakim John Gittings
Gitting merupakan seorang penulis sekaligus jurnalis yang paham dengan diskursus Tiongkok modern dan sejarah Asia. Pada tahun 1990, wartawan senior The Guardian ini pernah menyajikan reportase mendalam terkait 25 tahun peristiwa 1965-1966 di Indonesia.
Gitting juga pernah terjun ke Jakarta pada 1999 untuk memberikan reportase berkaitan dengan krisis di Timor Leste. Salah satu karya tulisannya yang menjadi rujukan berjudul 'The Indonesian Massacres, 1965-1966: Image and Reality'.
Hakim Shadi Sadr
Shadi Sadr adalah pengacara hak asasi manusia asal Iran yang pernah ditangkap, disiksa, dan ditahan pemerintah Iran. Pada Juli 2009, Sadr ditangkap namun kemudian dibebaskan sehingga memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri ke Eropa.
Pada 17 Mei 2010, Sadr divonis bersalah secara in absentia oleh Pengadilan Tehran Revolutionary atas tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap keamanan nasional dan menggangu ketertiban publik. Dia mendapat hukuman enam tahun penjara dan 74 cambukan.
Hakim Cees Flinterman
Cees Flinterman merupakan profesor kehormatan bidang HAM di Utrecht University dan Maastricht University, Belanda, sejak November 2007. Pria yang mendedikasikan diri terjun di dunia akademis ini juga tercatat sebagai anggota di sejumlah organisasi internasional nonpemerintah.
Karya ilmiah dan penelitian Flinterman banyak berkaitan dengan persoalan hak asasi masnusia, kebijakan luar negeri, hukum konstitusi dan internasional, serta persoalan gender dan HAM.
Hakim Zak Yacoob
Zak Yacoob adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang buta sejak masih bayi. Dengan keterbatasan fisiknya, Yacoob berhasil meraih gelar sarjana hukum di University of Kwa-Zulu Natal.
Pada 1991-1998, Yacoob tercatat sebagai anggota kongres bawah tanah African National dan tergabung dalam komunitas yang terlibat dalam kampanye antiapartheid. Selama menjadi hakim konstitusi (1998-2013), nama Yacoob mulai dikenal dunia internasional atas kontribusinya terkait yurisprudensi hak sosial-ekonomi Afrika Selatan.
Hakim Panitera Szilvia Csevár
Profesional yang berkecimpung di Hukum Internasional Publik ini mengantongi segudang pengalaman di bidang hukum kriminal internasional, hukum kemanusiaan, dan standar hak asasi manusia.
Csevár saat ini tergabung dalam Pengacara Internasional untuk Papua Barat sebagai legal officer. Dia bertanggung jawab mengurusi manajemen dan pengawasan program hukum ILWP yang berkenaan dengan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia.
Jaksa Penuntut Silke Studzinsky
Sejak 1990, Silke gencar memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan diskriminasi rasial, baik di dalam dan di luar persidangan.
Silker juga terlibat dan berpartisipasi dalam beberapa misi perjuangan HAM, pengawasan persidangan, serta urusan delegasi di Turki, Spanyol, Yunani, Israel, Korea Selatan, dan Kashmir.
Pada 2013-2015, Silke dipercaya menjadi penasihat hukum Trust Fund for Victim di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda.
Selain Silke, ada enam jaksa penuntut yang dihadirkan dari Indonesia. Atas pertimbangan keamanan dan kepentingan politik, nama-nama mereka belum dapat dipublikasikan.
(agk)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151110202656-20-90821/sosok-sosok-hakim-garang-di-pengadilan-rakyat-1965/
Ketua Panitia Penyelenggara IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana, menyatakan sidang rakyat yang digelar di Negeri Kincir Angin itu bakal menghadirkan sekitar 5 orang saksi ahli dan 10 saksi fakta. Kesepuluh saksi fakta itu merupakan korban yang mengetahui dan mengalami langsung peristiwa 'pembantaian' 1965.
Mayoritas para saksi merupakan orang buangan atau exile yang tinggal di luar negeri karena tak lagi diakui pemerintah Indonesia sebagai warga. Namun ada pula saksi yang merupakan warga negara Indonesia.
|
Hakim Sir Georffrey Nice
Nice telah malang-melintang berperan sebagai advokat sejak 1971. Dia tercatat pernah menjadi jaksa dan memimpin penuntutan dalam persidangan terhadap mantan Presiden Serbia Slobodan Milošević.
Karier Nice di bidang penegakan hukum banyak bersinggungan dengan persoalan di Pengadilan Kriminal Internasional atas Sudan, Kenya, Libya. Dia juga menjadi pengacara pro bono untuk korban-korban di Iran, Burma, Korea Utara yang kasusnya tidak bisa diangkat di pengadilan internasional.
Hakim Helen Jarvis
Helen punya ikatan emosional dengan Indonesia dan setidaknya turut merasakan euforia peristiwa 1965. Dia datang datang ke Indonesia pada akhir tahun 1965 dan mulai bekerja di Jakarta pada kurun tahun 1969.
Pada pertengahan 1990-an, Helen mulai terjun mengurusi isu yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan dan genosida, khususnya di Kamboja. Dia menyandang kewarganegaraan Australia dan Kamboja, dan kini menetap di Phnom Penh.
Hakim Mireille Fanon Mendes France
Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan pimpinan kelompok kerja untuk masyarakat keturunan Afrika. Mendes pernah menjadi penasihat hukum Majelis Nasional Perancis dan saat ini menjadi President of the Frantz Fanon Foundation.
Hakim yang pernah bekerja untuk UNESCO Press ini sebelumnya banyak terlibat dalam urusan pengadilan rakyat Permanent People's Tribunal di Roma, Italia.
Hakim John Gittings
Gitting merupakan seorang penulis sekaligus jurnalis yang paham dengan diskursus Tiongkok modern dan sejarah Asia. Pada tahun 1990, wartawan senior The Guardian ini pernah menyajikan reportase mendalam terkait 25 tahun peristiwa 1965-1966 di Indonesia.
Gitting juga pernah terjun ke Jakarta pada 1999 untuk memberikan reportase berkaitan dengan krisis di Timor Leste. Salah satu karya tulisannya yang menjadi rujukan berjudul 'The Indonesian Massacres, 1965-1966: Image and Reality'.
Hakim Shadi Sadr
Shadi Sadr adalah pengacara hak asasi manusia asal Iran yang pernah ditangkap, disiksa, dan ditahan pemerintah Iran. Pada Juli 2009, Sadr ditangkap namun kemudian dibebaskan sehingga memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri ke Eropa.
Pada 17 Mei 2010, Sadr divonis bersalah secara in absentia oleh Pengadilan Tehran Revolutionary atas tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap keamanan nasional dan menggangu ketertiban publik. Dia mendapat hukuman enam tahun penjara dan 74 cambukan.
Hakim Cees Flinterman
Cees Flinterman merupakan profesor kehormatan bidang HAM di Utrecht University dan Maastricht University, Belanda, sejak November 2007. Pria yang mendedikasikan diri terjun di dunia akademis ini juga tercatat sebagai anggota di sejumlah organisasi internasional nonpemerintah.
Karya ilmiah dan penelitian Flinterman banyak berkaitan dengan persoalan hak asasi masnusia, kebijakan luar negeri, hukum konstitusi dan internasional, serta persoalan gender dan HAM.
Hakim Zak Yacoob
Zak Yacoob adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang buta sejak masih bayi. Dengan keterbatasan fisiknya, Yacoob berhasil meraih gelar sarjana hukum di University of Kwa-Zulu Natal.
Pada 1991-1998, Yacoob tercatat sebagai anggota kongres bawah tanah African National dan tergabung dalam komunitas yang terlibat dalam kampanye antiapartheid. Selama menjadi hakim konstitusi (1998-2013), nama Yacoob mulai dikenal dunia internasional atas kontribusinya terkait yurisprudensi hak sosial-ekonomi Afrika Selatan.
Hakim Panitera Szilvia Csevár
Profesional yang berkecimpung di Hukum Internasional Publik ini mengantongi segudang pengalaman di bidang hukum kriminal internasional, hukum kemanusiaan, dan standar hak asasi manusia.
Csevár saat ini tergabung dalam Pengacara Internasional untuk Papua Barat sebagai legal officer. Dia bertanggung jawab mengurusi manajemen dan pengawasan program hukum ILWP yang berkenaan dengan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia.
Jaksa Penuntut Silke Studzinsky
Sejak 1990, Silke gencar memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan diskriminasi rasial, baik di dalam dan di luar persidangan.
Silker juga terlibat dan berpartisipasi dalam beberapa misi perjuangan HAM, pengawasan persidangan, serta urusan delegasi di Turki, Spanyol, Yunani, Israel, Korea Selatan, dan Kashmir.
Pada 2013-2015, Silke dipercaya menjadi penasihat hukum Trust Fund for Victim di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda.
Selain Silke, ada enam jaksa penuntut yang dihadirkan dari Indonesia. Atas pertimbangan keamanan dan kepentingan politik, nama-nama mereka belum dapat dipublikasikan.
(agk)
|
0 komentar:
Posting Komentar