Rohmatin Bonasir, Wartawan BBC Indonesia, Den Haag | 12 November 2015
Sepuluh orang memberikan kesaksian dalam Pengadilan Rakyat Internasional tentang peristiwa 1965 sebagai salah satu upaya mengungkap kebenaran ketika upaya di Indonesia dianggap buntu.
Sidang digelar di Den Haag, Belanda, mulai Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11) dengan menghadirkan sembilan saksi dari Indonesia dan seorang eksil.
Sebagian saksi tidak bersedia tampil terbuka sehingga menyampaikan kesaksian dari balik tirai, sedangkan sebagian lainnya memilih tampil terbuka.
Inilah beberapa di antara 10 saksi tersebut dan landasan mereka memberikan kesaksian.
Martono
Martono, 82, bersaksi untuk dakwaan pembunuhan dan penyiksaan. Pria dari Solo ini mengaku tidak pernah mengetahui alasan penangkapannya oleh tentara RPKAD dan sekelompok orang yang berpakaian ala ninja pada 10 November 1965.
Ia mengaku senang bisa bersaksi di pengadilan internasional, walaupun hanya sidang rakyat yang tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukan pengadilan resmi.
"Kalau di Indonesia tidak mungkin akan terjadi seperti ini, sebab pemerintahannya mulai dari presiden pertama sampai Presiden Jokowi ini pun masih dibatasi oleh ketakutan," kata Martono tentang alasan ia hadir di sidang di Den Haag.
"Mereka takut masalah ini bangkit lagi padahal tujuannya bukan itu. Tujuannya hidup yang layak, hapuskan diskriminasi, tidak ada orang terpinggirkan."
Lebih jauh ia menuturkan tidak takut kehadirannya di sidang rakyat di luar Indonesia dapat menimbulkan reaksi negatif.
Yusuf Pakasi
Pria asal Manado yang berusia 79 tahun itu dihadirkan sebagai saksi untuk dakwaan penyiksaan. Ia bertutur dulu berkarier sebagai pegawai negeri sipil di kantor walikota Manado ketika pecah pergolakan pada tahun 1965.
Hingga kini ia belum tahu pasti landasannya pencidukannya, tetapi menurutnya, ia mendengar bahwa ia dituding menentang Permesta, Perjuangan Semesta, sebuah gerakan militer.
"Menurut Permesta, kalau orang anti-Permesta pasti PKI. Saya pegawai negeri sipil yang tidak boleh berpartai politik," tuturnya di sela-sela sidang kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.
"Saya ingin agar persoalan masa lalu diungkap sebab yang terjadi pada saya hanya diketahui oleh segelintir orang di Indonesia. Tidak pernah terekspos secara luas, tapi di sini kesempatan untuk membukanya.
"Mudah-mudahan para hakim bisa menyimak apa yang terjadi dan memutuskan tentang apa yang saya alami."
Bedjo Untung
Bedjo Untung, 67, kini menjadi ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65. Dalam sidang, ia menuturkan tidak paham duduk persoalan mengapa ia ditangkap.
Yang ia ketahui saat masih berusia 17 tahun itu, ayahnya, seorang guru ditangkap bersama guru-guru lain tanpa alasan pula.
Kesaksiannya di Pengadilan Rakyat Internasional dilandasi dua hal.
"Saya bertanggung jawab kepada teman-teman saya korban 65 yang sudah semacam mempercayakan kepada saya sebagai ketua YPKP 65.
"Yang kedua, saya kan sudah sembilan tahun di dalam tahanan, suatu saat yang begitu berat, penyiksaan dan sebagainya, dan dengan sisa umur yang tinggal sedikit ini mengapa harus takut?"
Seorang ibu, 70 tahun
Perempuan asal Yogyakarta ini didatangkan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan tentang kekerasan seksual pasca pecahnya peristiwa 30 September 1965.
Bersaksi dari balik tirai, ia menuturkan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dikaitkan dengan PKI. Ia dipaksa pula mengaku terlibat gerilya politik.
Kisahnya yang diceritakan secara jelas dan kadang diwarnai tangisan, termasuk ketika diperintahkan menciumi alat kelamin para pemeriksa, menyita perhatian panel hakim, jaksa dan pengunjung sidang.
Pengadilan Rakyat Internasional tentang peristiwa 1965 dibentuk oleh kalangan aktivis, akademisi dan kelompok-kelompok lain dengan tujuan mengungkap kebenaran serta menyelesaikan masalah yang masih menghantui para korban baik langsung maupun tidak. Karena bentuknya sidang rakyat, bukan seperti Mahkamah Kejahatan Internasional, maka keputusan sidang tidak mengikat.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar