HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label DKN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DKN. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Oktober 2018

Komnas HAM Tolak Penyelesaian Pelanggaran HAM Ala Wiranto

Kustin Ayuwuragil, CNN Indonesia | Rabu, 01/08/2018 07:02 WIB


Komnas HAM tidak sepakat dengan gagasan Wiranto yang berkeras supaya perkara pelanggaran hak asasi berat masa lampau diselesaikan tanpa proses hukum. (Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gagasan Menko Polhukam Wiranto membentuk tim terpadu pengusut pelanggaran berat hak asasi manusia berat di masa lalu ditentang oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka khawatir ada ketidakadilan lantaran Wiranto memilih penyelesaian kasus-kasus HAM dengan jalan damai atau tidak menempuh proses hukum hingga pengadilan.
"Ide Menkopolhukam untuk membuat tim terpadu bukan ide keadilan penyelelesaian pelanggaran berat HAM dan tentu saja bukan kewenangan Komnas HAM untuk terlibat karena jauh dari sistem dan upaya hukum yudisial dan bertentangan dengan kewenangan Komnas HAM," kata Koordinator Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M Choirul Anam, saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (31/7).
Anam menilai ide tim terpadu tersebut tidak sesuai dengan pembicaraan antara Komnas HAM dan Presiden Joko Widodo sebelumnya. Sebab dalam pertemuan itu, presiden menghormati dan mendukung kewenangan Komnas HAM yang memilih penyelesaian pelanggaran berat HAM lewat jalur hukum.
"Komnas HAM berpegang pada kewenangan UU Nomor 26/2000 tentang penyelesaian pelangaran berat masa lalu harus tetap dilakukan dengan jalan yudisial. Ide di luar hukum, dalam koridor negara hukum, bukan sikap yang baik dalam tata kelola negara hukum yang demokratis," ujar Anam.
Menurut Anam kapasitas Wiranto sebagai Menko Polhukam tidak memiliki kewenangan untuk menjadi koordinator penyelesaian kasus HAM di masa lalu. Dia meminta Presiden Jokowi memastikan proses hukum terus berjalan dengan baik supaya keadilan segera terwujud.
"Ini penantian panjang korban dan semua pihak yang mendambakan keadaban HAM di Indonesia. Dalam momentum tahun politik harusnya menjaga dinamika politik tetap dalam koridor hukum termasuk penyelesaian kasus masa lalu. Biar tercipta suasana politik yang tidak gaduh," ujarnya.
Menurut Anam, presiden sebagai kepala negara bisa membuat Perpres yang minimal berisi hak korban, kewenangan penyidikan, dan kesejahteraan korban. 
"Atau dengan jalan sederhana dan cepat lainnya, yaitu presiden memerintahkan Jaksa Agung agar tim penyidik Jaksa Agung untuk segera bekerja, atau memberi mandat penyidikan ke Komnas HAM," katanya. (ayp/ayp)
Sumber: CNN Indonesia 

Selasa, 07 Agustus 2018

Tolak Kompromi Wiranto, Komnas HAM Minta Kasus Diproses Hukum

Kustin Ayuwuragil, CNN Indonesia | Selasa, 07/08/2018 06:50 WIB

Komnas HAM menegaskan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak pilihan Menko Polhukam Wiranto untuk membentuk tim terpadu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum. 
Tak hanya menolak bergabung dengan tim itu, Komnas HAM mengatakan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung. 

"Saya tidak tahu tim itu akan seperti apa. Berkas Komnas HAM ini berkas hukum, satu-satunya cara ditindak secara hukum yakni penyidikan, tidak ada jalan lain," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Amiruddin di kantornya, Senin (6/8). 

Amir mengatakan hal itu berdasarkan amanat UU 26/2000 yang mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM hanya bisa diselesaikan secara hukum. 

Hanya penyidik Kejaksaan Agung yang mampu mengetok palu tanda kasus tersebut selesai atau perlu ditangani lebih lanjut. 

"Tidak ada jalan lain karena lembaga yang lain bukan lembaga hukum yang dimaksud dalam UU No. 26 tahun 2000. Di situ hanya menyebut penyidik, jaksa agung dalam arti," lanjutnya. 
Dia melanjutkan Komnas HAM juga diberi amanat sebagai penyidik dalam kasus kasus pelanggaran HAM tersebut. Pihaknya mengklaim telah menyelesaikan tugas penyelidikan sejak lama. Kini, kelanjutan kasus HAM masa lalu berada di tangan Jaksa Agung. 
"Kasus-kasus yang sudah kami kirimkan pada jaksa Agung ada sembilan. Itu juga bukan kasus-kasus kemarin sore, sudah puluhan bahkan belasan tahun. Kami sudah menyelesaikan itu," kata dia. 

Komnas HAM telah menyelidiki enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus. Kasus tersebut yakni tragedi 1965-1966, peristiwa Talangsari, penembakan misterius (petrus), Peristiwa Semanggi I dan II, serta penghilangan paksa para aktivis. 

Sementara sekitar tahun 2000 ada kasus Wamena, Wasior, dan Jambu Kepok di Aceh. Setiap kasus memiliki tipologi yang berbeda-beda. 

Kasus-kasus tersebut mandek karena Jaksa Agung merasa data yang disediakan Komnas HAM belum valid dan masih kurang bukti. 
Jaksa Agung M. Prasetyo pun mengaku kesulitan mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu lantaran peristiwanya sudah terlalu lama berlalu. Saksi dan bukti yang ada juga belum dianggap memenuhi kebutuhan penyelesaian kasus. 

Tak Ikut Wiranto, Berkas Komnas HAM Tetap Diproses Hukum
Menko Polhukam Wiranto. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Belakangan ini, Wiranto berinisiatif membentuk tim terpadu penyelesaian kasus HAM masa lalu. Langkah tersebut menjadi kontroversial tak hanya karena dia memilih jalur non-yudisial tetapi juga dipimpin oleh Wiranto sendiri yang diduga punya catatan hitam dalam kasus pelanggaran HAM. 

Sebagian pihak menganggap inisiatif tersebut sebagai langkah politis menyongsong pilpres dan pileg 2019. 

Penuntasan Berdasarkan Hukum 

Komisioner Pengkaji Komnas HAM M. Choirul Anam menegaskan berdasarkan UU 26/2000 satu-satunya cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah melalui jalur hukum. Bahkan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonisiliasi (KKR) juga diamanatkan dalam pasal 47 dalam UU 26/2000. 

Dia mengatakan tak boleh ada pembentukan tim berdasarkan ide politik di luar undang undang. 

"Kerangka waktu lahir ketika 2000 awalnya reformasi. Kalau dilihat dari kerangka itu bahwa penyelesaian pelanggaran HAM harus melalui kerangka hukum tidak boleh di luar itu, tidak boleh berdasarkan ide politik untuk membentuk tim ini itu tanpa berdasarkan hukum," katanya. 

Sementara itu, Beka Ulung Hapsara sebagai Koordinator Subkom Pemajuan HAM menyatakan bahwa jalur hukum dipilih setidaknya karena tiga alasan. 
"Alasan kami yang pertama memilih jalan yudisial itu agar publik tahu konstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi seperti apa. Baik peristiwa 65, Talangsari, dan sebagainya," kata Beka. 
Sementara, alasan kedua, agar jelas diketahui siapa pelaku di lapangan saat kejadian dan siapa yang memerintahkannya. 
Selain itu, jalan yudisial juga dipilih untuk memberikan kejelasan kompensasi kepada para korban yang sekian lama menderita akibat pelanggaran HAM itu. Hak-hak publik dan korban itu terancam terenggut apabila Wiranto memilih jalur di luar hukum. 
(pmg)


Sumber: CNN Indonesia 

Jumat, 03 Agustus 2018

Tolak DKN, KontraS Desak Presiden Copot Wiranto Demi Keadilan HAM


JAKARTA - Melalui keterangan tertulisnya Jumat (3/8/2018) Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan korban dan masyarakat sipil lainnya menolak konsep Dewan Kerukunan Nasiolal (DKN) juga Tim Terpadu dan Penyelesaian kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu yang d digagas  oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto.
KontraS memandang Konsep tersebut cacat dari sisi aturan hukum yang berlaku, menciderai supremasi hukum, keadilan dan kebenaran. Selain itu, figur Wiranto juga diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat menunjukkan kredibilitasnya yang rendah dalam merumuskan konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat.
“Dalam dokumen hasil penyelidikan projustisia Komnas HAM menyebutkan bahwa Wiranto terduga pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dalam kasus Timor Timur, Semanggi I & II, dimana pada saat itu Wiranto diduga telah memerintahkan beberapa tindakan represif yang mengakibatkan banyaknya korban dalam penembakan, penculikan dan tindakan brutal.” Jelas KontraS.
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk Kasus Penghilangan Paksa juga pernah berencana memanggil Wiranto sebagai pihak yang mengetahui kasus penghilangan paksa terhadap 13 orang aktivis pro demokrasi. Nama Wiranto juga tercatat di laporan PBB dalam UN Crimes Unit sebagai penjahat perang dan pelaku pelanggaran HAM berat.
KontraS menilai bahwa Wiranto sedang berusaha “cuci tangan” dan menutupi kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui pendekatan rekonsiliasi model Wiranto.
“Wiranto tidak berani jujur dan bertanggungjawab atas dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah dia lakukan. Pemerintahan hari ini semakin dituntun oleh Wiranto ke bentuk otoritarianisme model Orde Baru yang melanggengkan impunitas dan delegitimasi aturan hukum terutama terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.” ujar KontraS
Perlu diketahui bahwa aturan hukum yang berlaku di Negara ini sudah secara jelas dan tegas menyatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Oleh sebab itu, KontraS mendesak Presiden Joko Widodo yang telah menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM yang berat secara berkeadilan dan menghapus impunitas harus membuktikan keberanian dan komitmennya terhadap penegakan hukum dengan segera mencopot Wiranto dari jabatan Menkopolhukam dan memintai pertanggungjawaban hukum di Pengadilan.

Presiden juga harus segera menggantikan Jaksa Agung karena H.M. Prasetyo (Jaksa Agung) tidak menjalankan tugas dan fungsinya untuk melakukan penyidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. (Ran)
RequisitoireMagazine 

Kamis, 02 Agustus 2018

Tolak Pembentukan DKN, Aktivis HAM Gelar Aksi #JanganORBALagi

Dylan Aprialdo Rachman | Kompas.com - 02/08/2018, 17:45 WIB

Sekitar 30 orang relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan perwakilan korban kejahatan HAM berat masa lalu menggelar aksi #JanganORBALagi di depan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Jakarta, Kamis (2/8/2018) sore.

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekitar 30 orang relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan perwakilan korban kejahatan HAM berat masa lalu menggelar aksi #JanganORBALagi di depan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta, Kamis (2/8/2018). 

Relawan Kontras, Rozy, mempertanyakan upaya pemerintah yang berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional ( DKN) untuk menuntaskan kejahatan HAM masa lalu. Rozy menilai, pembentukan DKN tak akan menuntaskan masalah dan memenuhi harapan pihak korban. "Itu bukan jawaban kasus pelanggaran HAM masa lalu. Itu tidak cukup menyembuhkan hati orangtua dan anak-anak korban yang dibunuh, disiksa oleh aparat waktu itu. Kami memperjuangkan hak-hak korban," kata Rozy dalam orasinya. 

Rozy berharap pemerintah harusnya melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Salah satunya dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur hukum. 

Di sisi lain, perwakilan korban Tragedi 1965, Bedjo Untung, tak sepakat dengan rencana pembentukan DKN. Bagi dia, keberadaan DKN tak menuntaskan secara utuh kasus kejahatan HAM berat masa lalu "Itu buang-buang waktu. Kami menolak. 

DKN tidak menyelesaikan masalah," kata Bedjo Untung. Ia menilai seharusnya pemerintah bersikap proporsional antara pembentukan DKN dan penegakan hukum kejahatan HAM berat masa lalu. Hal itu guna menjamin perlindungan serta kepastian hukum para pihak korban. 

"Rekonsiliasi, yes. Tapi rekonsiliasi tidak bisa dilaksanakan tanpa keadilan. Keadilan harus diungkap dengan kebenaran. Mari kita duduk bersama," kata dia. 

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mempersilakan aksi itu dilakukan di depan kantornya. Namun, ia meminta peserta aksi tak sekadar mengkritik tanpa memberikan solusi. Wiranto mengaku sudah pernah bertemu dengan pihak-pihak korban kejahatan HAM berat masa lalu. Dari pertemuan itu, ia menilai penuntasan kejahatan HAM masa lalu cukup rumit. 

"Kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang HAM disahkan perlakuannya berbeda dengan yang terjadi setelah undang-undang tersebut disahkan. Setelah adanya laporan dari masyarakat melalui Komnas HAM, proses harus dilakukan melalui persidangan DPR," kata Wiranto. 
"Setelah ditetapkan adanya pelanggaran HAM berat, Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc, lalu serahkan ke Jaksa Agung pada tahap akhir. Kalau setelah UU, dari Komnas HAM bisa langsung ke Jaksa Agung," ujar mantan Panglima ABRI ini. 

Wiranto menegaskan, pemerintah pada dasarnya selalu berupaya menuntaskan hal seperti ini bersama Komnas HAM.

Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Bayu Galih

Sumber: Kompas.Com 

Senin, 30 Juli 2018

Pemerintah Akan Bentuk Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Senin 30/7/2018, 18.31 WIB
Penulis: Dimas Jarot Bayu | Editor: Yuliawati

Tim dibentuk untuk membedah berbagai kendala dan mencarikan solusi penyelesaian kasus HAM masa lalu.

Menko Polhukam Wiranto (kiri).

Pemerintah bakal membentuk tim gabungan terpadu untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Tim ini dibentuk untuk membedah berbagai kendala dan mencarikan solusi penyelesaian kasus tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengatakan, tim ini akan terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga terkait hingga Komnas HAM. Selain itu, organisasi nirlaba akan turut diundang berdiskusi dengan tim ini.
"Kami bedah satu persatu di mana hambatannya. Mungkin tidak dengan proyustisia, atau mungkin nonyudisial. Nonyudisial bagaimana caranya," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Senin (30/7).
Wiranto mengatakan, pemerintah hingga saat ini belum menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu karena terhambat banyak kendala.
Salah satu kendala tersebut adalah pembuktian di mata hukum. Selama ini memang sudah ada hasil investigasi dari Komnas HAM terkait kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Hanya saja, hasil investigasi tersebut belum memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan di Kejaksaan Agung.
Jika dilakukan penyelidikan lagi, Wiranto menilai hal tersebut sulit dilakukan karena peristiwa sudah berlangsung cukup lama. 
"Sulit sekali untuk mencari siapa yang salah dan tanggung jawab," kata Wiranto.
Lebih lanjut, dia menilai kendala juga disebabkan karena belum ada Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut Wiranto, Komnas HAM seharusnya tak langsung menyerahkan hasil investigasi ke Kejaksaan Agung.
Wiranto menilai hasil investigasi seharusnya diberikan ke DPR untuk dibahas lebih dahulu. Hal tersebut agar DPR nentinya memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Ada pun, Wiranto menilai saat ini upaya menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu secara nonyudisial sulit dilakukan karena terbentur Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal lain akibat belum ada lembaga yang dapat menyelesaikannya tanpa melalui pengadilan.
"Dulu ada KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), itu sudah dibubarkan karena tidak sejalan dengan UU. Maka harus ada yang menampung ini," kata dia.
Pemerintah pada 2015 sempat mewacanakan membentuk tim untuk mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu. Setidaknya, ada tujuh kasus yang diprioritaskan pemerintah untuk diprioritaskan, yakni Gerakan 30 September 1965, Talangsari, Wamena, Wasior, penghilangan paksa, penembakan misterius, serta kerusuhan Mei 1998.
Hingga saat ini belum ada langkah konkret dari penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu tersebut.
Sumber: KataData.Co.Id 

Senin, 23 Juli 2018

Polemik DKN dan Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Reza Jurnaliston | Kompas.com - 23/07/2018, 09:10 WIB


Ibu korban Tragedi Semanggi I, Maria Katarina Sumarsih mengikuti aksi Kamisan ke-500 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2017). Dalam aksi bersama itu mereka menuntut komitmen negara hadir menerapkan nilai kemanusiaan dengan komitmennya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. (ANTARA FOTO/FANNY OCTAVIANUS)

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menggagas pembentukan Dewan Kerukunan Nasional ( DKN).
 
Nantinya, DKN menjadi lembaga yang membahas permasalahan dan menemukan solusi terbaik mengenai kasus konflik, termasuk pelanggaran hak asasi manusia ( HAM) berat di masa lalu. 

Namun, wacana pembentukan DKN itu menuai polemik. Suara-suara yang menolak pembentukan DKN pun bermunculan. Suara penolakan paling nyaring datang dari kelompok masyarakat sipil, aktivis HAM, juga keluarga korban dan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pembentukan DKN ditolak, sebab mereka berharap pemerintah tetap menyelesaikan kasus itu melalui jalur yudisial alias pengadilan. 

Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, Maria Sumarsih mengatakan, para keluarga korban dan korban pelanggaran HAM menolak keberadaan DKN karena dikhawatirkan akan memberikan impunitas untuk pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Menurut Sumarsih, bagaimanapun juga proses hukum pengusutan pelanggaran HAM harus tetap dilakukan. "Apa pun, harus dibuktikan di pengadilan," tutur Sumarsih, dalam konferensi pers di Kantor Kontras pada Kamis (19/7/2018) lalu. 

Pelopor Aksi Kamisan ini pun berharap Presiden Joko Widodo untuk tidak meneken perpres yang mengesahkan pembentukan DKN. 
"Kami korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menyatakan keberatan terhadap ide pembentukan DKN, termasuk perpres yang akan dimintakan persetujuan Presiden," kata Sumarsih, yang merupakan ibu dari korban Tragedi Semanggi I, Bernardus Realino Norma Irawan. 
Jaksa Agung mempertanyakan Penolakan terhadap pembentukan Dewan Kerukunan Nasional disesali Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Tidak hanya itu, Prasetyo bahkan mempertanyakan sejumlah pihak yang menolak pembentukan DKN. 
"Itu kami perlu pertanyakan lagi, apakah betul mewakili seluruh keluarga dari yang dikatakan korban pelanggaran berat HAM masa lalu? Kami perlu klarifikasi dulu," ujar Prasetyo, Sabtu (21/7/2018).
Prasetyo menuturkan, pada prinsipnya pemerintah ingin menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu secara tuntas dan terang benderang. Baca: Jaksa Agung: Penolak DKN Apa Mewakili Seluruh Korban Pelanggaran HAM? 

Menurut dia, penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak harus diselesaikan lewat pengadilan. Dia menilai, bisa juga melalui pendekatan non yudisial, tergantung kepada kasus yang dihadapi. 
"Bisa yudisial (pengadilan), tapi juga dibenarkan undang-undang untuk pendekatan non-yudisial, melalui rekonsiliasi dan sebagainya. Semuanya tentu perlu kajian yang mendalam dan kita belum lihat realitas yang ada," ujar Prasetyo.
Penulis : Reza Jurnaliston
Editor : Bayu Galih

Sabtu, 21 Juli 2018

Wiranto Sebut DKN Akan Bekerja Sesuai Budaya Indonesia, Bukan Pengadilan

Reza Jurnaliston | Kompas.com - 21/07/2018, 06:06 WIB


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (20/7/2018). (Reza Jurnaliston)

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menuturkan, Dewan Kerukunan Nasional ( DKN) yang digagas pemerintah untuk menyelesaikan konlik sosial akan bekerja sesuai dengan pendekatan kebudayaan tradisional Indonesia. 

Adapun yang dimaksud kebudayaan tradisional Indonesia yaitu mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. 

"Masih banyak masalah konflik sosial yang bisa diselesaikan lewat musyarawah mufakat. Nah, lewat apa? Apanya itu harus dijawab, lewat satu lembaga yang dinamakan Dewan Kerukunan Nasional (DKN)," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (20/8/2018). 

"Dewan itu bagian dari kultur Indonesia sendiri, bukan baru, kita hidupkan lagi," kata dia. 

Menurut Wiranto, Indonesia memiliki budaya untuk menyelesaikan konflik di luar jalur pengadilan. 

Bahkan, dia menilai bahwa cara penyelesaian konflik seperti itu sudah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. 

"Kita punya budaya untuk selesaikan (konflik) lewat langkah-langkah dan pemikiran tindakan musyawarah mufakat, bukan lewat pengadilan. Dan itu (musyawarah mufakat) bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu, warisan nenek moyang kita," tutur mantan Panglima ABRI tersebut. 

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memang sedang menggagas pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Nantinya, DKN menjadi lembaga yang membahas permasalahan dan menemukan solusi terbaik mengenai kasus konflik, termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. 

DKN, kata Wiranto, berusaha menemukan jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur yudisial, yaitu melalui jalur adat. 

"Di semua daerah punya lembaga adat, tapi sekarang tak berfungsi karena kita lupakan itu, justru kita terjebak pada wilayah peradilan yang menyelesaikannya (kasus HAM berat masa lalu) itu," kata Wiranto. 

“Jadi kita punya satu kultur untuk menyelesaikan konflik-konflik itu tanpa peradilan, tapi dengan cara musyawarah mufakat oleh lembaga adat," kata dia. 

Pembentukan DKN sendiri menuai kecaman dari kelompok aktivis HAM, serta korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka tetap berharap penyelesaian melalui jalur pengadilan. Apalagi, saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Pengadilan HAM Adhoc untuk menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Penulis : Reza Jurnaliston
Editor : Bayu Galih

Kamis, 19 Juli 2018

Kontras Nilai Pemerintah Tak Konsisten soal Tujuan DKN

Sakina Rakhma Diah Setiawan | Kompas.com - 19/07/2018, 17:45 WIB


Aktivis Kontras, Yati Andriani dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (10/12/2016).(Ambaranie Nadia K.M)

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( Kontras) mengecam langkah pemerintah, dalam hal ini Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Wiranto, tentang pembentukan Dewan Kerukunan Nasional ( DKN). 

Koordinator Kontras Yati Andriyani menyatakan, ada sejumlah kejanggalan terkait DKN. Menurut Yati pun, pemerintah masih tidak konsisten terkait tujuan DKN. 

"Pemerintah masih terkesan inkonsisten perihal tujuan DKN," kata Yati dalam konferensi pers di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (19/7/2018).

Yati menjelaskan, pada saat DKN pertama kali digagas oleh Wiranto pada tahun 2016, ia menjelaskan tujuan DKN adalah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Penyelesaian dilakukan dengan mekanisme non-yudisial. Akan tetapi, kemudian Wiranto mengubah tujuan DKN untuk menyelesaikan konflik di masyarakat. Tujuan ini berarti DKN tak lagi fokus dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. 

"DKN ini menurutnya (Wiranto) juga dapat menggantikan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 11 Desember 2006," ujar Yati. 

Yati juga memandang pembentukan DKN banyak mengandung penyelewengan. Ia memberi contoh antara lain maladministrasi wewenang, tidak dilibatkannya pihak yang memiliki dampak yang besar atas kebijakan DKN, hingga wacana DKN bersifat inkonstitusional. 

Tidak hanya itu, Yati juga menyoroti tujuan pembentukan DKN untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah mufakat. Alasannya, proses penyelesaian di peradilan akan menyebabkan konflik dan tak sesuai budaya Indonesia. 

"Ini merupakan strategi Wiranto menghidupkan budaya Orde Baru yang imun alias kebal terhadap pertanggung jawaban hukum atas tindak kejahatan," sebut Yati.

Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Diamanty Meiliana

Alasan Para Aktivis HAM Tolak Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional

Oleh: Haris Prabowo - 19 Juli 2018


Para aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-509, untuk menuntuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2017). ANTARA FOTO/Bernadeta Victoria.

Sejumlah aktivis HAM menolak keras rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN).
Rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah, yang dipersiapkan oleh Menkopolhukam Wiranto, menuai kritik keras dari para aktivis. 

Salah satu lembaga pemerhati isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, Imparsial menilai pembentukan DKN tidak memiliki dasar dan cacat hukum. Hal itu disampaikan oleh peneliti Imparsial, Bhatara Ibnu Reza kepada Tirto di kantor KontraS, Jakarta, pada Kamis sore (19/7/2018).

Dia menilai wacana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan pembentukan DKN patut ditolak. Menurut dia, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar jalur hukum akan melanggengkan impunitas dan menambah daftar pelaku kejahatan HAM yang bebas tanpa diadili.
"DKN ini tidak pantas dan tidak layak menyelesaikan [kasus] pelanggaran HAM berat," kata Bhatara. 
Selain itu, Bhatara justru curiga wacana ini dilontarkan sebagai bagian dari “cara licik” untuk menghambat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Apalagi, kata dia, Wiranto diduga juga pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM. 
"Menkopulham [Wiranto] tidak berhak mengeluarkan dan menyelesaikan masalah ini [Pelanggaran HAM]. Fungsi lembaga itu hanya menjadi koordinator saja. Apalagi, hingga mengeluarkan program DKN," kata dia.
Bhatara menambahkan lembaganya akan terus memantau keseriusan Presiden Joko Widodo memenuhi tuntutan para aktivis, korban dan penyintas terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Dia menilai Jokowi tidak bisa mengabaikan salah satu poin janjinya dalam Nawacita tersebut. 
"Ini salah satu cara menguji apakah presiden memiliki itikad baik," ujar dia
 Ada Tiga Persoalan Hukum Jika DKN Dibentuk Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menyebut bahwa ada tiga persoalan hukum yang muncul jika DKN benar-benar dibentuk. 

Pertama, menurut Yati, mekanisme penyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui DKN hanya berupa musyawarah tanpa proses hukum. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 yang mewajibkan negara "melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum" dan "memberikan kepastian hukum yang adil."
"Jika tidak, untuk apa prinsip negara hukum? Lebih baik dihapus saja statusnya sebagai negara hukum," kata Yati.
Kedua, dia melanjutkan, keberadaan DKN akan bertabrakan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU tersebut mengatur kewenangan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimiliki oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, dan bukan Kementerian Koordinator Polhukam. 

Ketiga, Yati menilai ada potensi maladministrasi wewenang yang dilakukan oleh Menkopolhukam jika pembentukan DKN terealisasi. Berdasar Perpres 7/2015 dan Perpres 43/2015, tugas Menkopolhukam hanya bersifat koordinasi. 

Karena itu, kata Yati, inisiatif Menkopolhukam membentuk DKN untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melampaui wewenangnya dan cacat administrasi. Maladministrasi tersebut merujuk pada ketentuan dalam UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman.

Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom

Sumber: Tirto,Id 

Jumat, 08 Juni 2018

Bentuk DKN, Pemerintah Diminta Akui Kasus HAM Masa Lalu

Saiful Munir | Jum'at, 8 Juni 2018 - 14:43 WIB

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan merujuk pada Undang-Undang Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat bisa ditempuh melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Foto/SINDOphoto

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam pertemuan itu, Jokowi meminta masukan tentang pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk penuntasan kasus HAM.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan merujuk pada Undang-Undang Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat bisa ditempuh melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

"Tadi disinggung Bapak Presiden tentang Dewan Kerukunan Nasional, pada dasarnya Komnas HAM merujuk pada UU Nomor 26 Pasal 47," ujar Taufan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (8/6/2018).
Menurut Taufan, satu-satunya jalan untuk membentuk DKN adalah kemauan politik dari pemerintah. Bila nantinya DKN ini dibentuk, Komnas HAM meminta pemerintah mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum diselesaikan.

Selanjutnya, tambah Taufan, negara juga harus meminta maaf kepada korban dan seluruh masyarakat Indonesia atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut.
"Setelah itu kemudian ada upaya rekonsiliasi maupun rehabilitasi terhadap korban maupun keluarganya," kata Taufan.(kri)

Sumber: SindoNews 

Rabu, 06 Juni 2018

Dewan Kerukunan Nasional, akankah efektif atau mubazir?

6 Juni 2018 | Nuraki Aziz untuk BBC Indonesia




Dalam waktu dekat akan dibentuk Dewan Kerukunan Nasional untuk menyelesaikan dan mencegah berbagai konflik nasional, seperti masalah hak asasi manusia, SARA ataupun sengketa agraria.
Pada hari Senin (04/06), Presiden Joko Widodo sudah menyatakan persetujuan pembentukannya, kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.
Dewan ini akan beranggotakan 17 orang independen dari masyarakat, di antaranya berlatar belakang hukum dan birokrasi seperti mantan Menteri Kehakiman Muladi, kata salah satu orang yang diundang untuk bertemu presiden, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
"Misinya diperluas (dibandingkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) bukan hanya menangani, menyelesaikan kasus-kasus masa lalu tetapi juga kasus masa kini, dan termasuk juga melakukan fungsi pencegahan untuk konflik-konflik skala nasional di masa depan," kata Jimly yang disebut-sebut akan menjadi ketua Dewan baru ini.
Pemerintahan Jokowi akan menggunakan undang-undang yang sudah ada dan mengeluarkan Perpres dan Keppres untuk menyederhanakan pembentukan dewan ini.
Peraturan yang akan digunakan adalah Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang pernah ditolak MK pada tahun 2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD.
Berbagai pihak mengomentari rencana ini, salah satunya dengan nada mempertanyakan keefektifannya. Yang diperlukan sebenarnya adalah kemauan politik pemerintah, kata anggota Komisi 1 DPR, Effendi Simbolon.
"Sebenarnya persoalannya kembali berpulang kepada political will dari negara, dari pemerintah dan DPR. Jadi saya tidak terlalu mengerti kalau kemudian harus dibangun kembali sebuah kedewanan yang sepertinya ada lagi kelembagaan yang harus menyelesaikan itu. Padahal penyelesaiannya itu hanya merujuk ke UU HAM dan undang-undang lainnya," kata Effendi.
Berdasarkan pengalaman anggota dari Fraksi PDI Perjuangan ini di Panitia Khusus Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 2008, keputusan paripurna DPR yang diteruskan ke presiden pada akhirnya tetap tidak ditindaklanjuti sesuai dengan mandat yang diberikan lembaga legislatif tersebut.
G30S PKIHak atas fotoBETTMANN / GETTY IMAGES
Image captionPeristiwa G30S/PKI dan kekerasan yang menyusul masih menjadi perdebatan di kalangan warga Indonesia.

Di bawah Wiranto?

Hal lain dapat membuat dewan ini mandul adalah pihak yang mengkoordinirnya adalah Wiranto, pejabat yang diduga terlibat pelanggaran HAM di masa lalu.
"Kalau kedewan-dewanan yang kemudian diisi oleh orang-orang yang notabene podo wae, sepertinya aja tokoh tetapi sebenarnya sama-sama aja. Apalagi ini akan dibawah kementerian polhukkam, yah podo wae ajalah. Di zamannya pak Wiranto apa sih yang pernah diselesaikan secara tuntas. Beliau juga termasuk yang diduga ikut terlibat disitu," kata Effendi dari komisi DPR yang di antaranya membidangi masalah politik dan HAM.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam berbagai kesempatan telah menegaskan tidak bersalah.
Sementara pendukungnya memandang, janganlah keampuhan dewan ini dikaitkan dengan pribadi salah seorang pejabatnya, karena Polhukkam adalah sebuah lembaga yang tidak terkait dengan siapa yang menjadi pemimpinnya.
"Apa kaitan itu? Tidak ada kaitannya. Ini kan negara, masa' negara you anggap bersalah semua. Menko Polhukkam itu institusi, lain dengan Wiranto. Wiranto itu pribadi. Institusi kan bisa siapa saja duduk disitu. Ini kan negara Republik Indonesia, bukan pribadi," Jimly menegaskan.
Dewan ini diperkirakan akan berwenang memutuskan jalan keluar masalah.
Badan ini tidak akan memiliki kantor sendiri, meskipun pasti ada staf administrasi pendukung, jadi diperkirakan tidak akan mengeluarkan dana sebesar Badan Ideologi Pembinaan Pancasila misalnya.
Alberto Muhammad, Timor Lestet, Markita XimenesHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionAlberto Muhammad -salah seorang dari 4.000 anak Timor Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga- saat bertemu kakaknya, Markita Ximenes, setelah terpisah 32 tahun.

Mubazir

Dewan Kerukunan Nasional ini direncanakan akan mengkoordinasi pekerjaan untuk menyelesaikan berbagai masalah seperti peristiwa G30S PKI, Talangsari Lampung (1989), Semanggi dan sebagainya.
Tetapi sebenarnya sejumlah lembaga sudah memiliki bagian yang menangani berbagai hal ini, misalnya saja Komnasham, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri disamping Kementerian Polhukkam sendiri.
"Kalau ada lembaga baru yang lebih banyak, ada dana baru yang kemudian keluar untuk soal ini, padahal sudah ada. Kemudian ada personil baru yang ditugasi untuk ini. Memang ada benarnya kritikus itu," kata M. Mas'ud Said dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia.
"Semestinya Kementerian Dalam Negeri, disitu kan ada direktorat jenderal yang berkaitan dengan harmonisasi sosial. Kementerian Sosial, juga ada direktorat jenderal dan direktur yang mengenai konflik sosial," Mas'ud yang juga guru besar Universitas Muhamadiyah Malang menjelaskan lebih jauh.
Berbagai pihak memang mempertanyakan kinerja pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus HAM.
Misalnya saja pendemo yang menuntut penyelesaian kasus penembakan Universitas Trisakti 98, yang setelah bertemu presiden pada tanggal 31 Mei tetap melanjutkan acara Kamisannya.
Jimly memandang justru karena itulah Dewan Kerukunan Nasional diperlukan untuk menuntaskan masalah sejenis ini karena belum ditangani oleh berbagai badan yang ada.
"Fenomena setelah reformasi memang demikian, banyak lahir badan-badan, lembaga-lembaga baru. Produksi lembaga-lembaga seperti ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing, itu kalau dilihat bagus. Kalau dilihat secara keseluruhan memang saatnya konsolidasi.
"Tapi ada hal-hal yang di luar itu, menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu. Ini kan terkatung-katung, nggak ada yang menangani," Jimly Asshiddiqie.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44371401