HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Dialita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dialita. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Juni 2019

Pementasan Kethoprak Srawung Bersama (KSB) "Prahara"


  • Sumilaking Pedhut Anggemeng

Senin, 24 Juni 2019

Pentas Ketoprak Srawung Bersama: Pembelaan Bagi Para Korban yang Tersisih

Solo- Sebuah pementasan ketoprak berjudul Prahara (Sumilaking Pedhut Anggemeng) dengan sutradara Ahmad Dipoyono diselenggarakan oleh Ketoprak Srawung Bersama (KSB) dan Sekber 65 di Teater Kecil Institut Seni Indonesia, Surakarta Senin 24 Juni 2019. Pementasan ini merupakan pementasan yang dilakukan kelima kalinya dan ini merupakan pementasan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Didik Dyah selaku pimpinan pertunjukan dari Sekber 65 menyatakan bahwa pementasan kali ini sengaja menggunakan bahasa Indonesia agar semakin memperluas penonton dan sejarah yang diketahui lebih banyak orang.

Pementasan ketoprak ini bercerita tentang kondisi warga di zaman Amangkurat dimana Adipati Condolo, Bupati Kabupaten Segoro Yoso dianggap banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), seperti melakukan penghilangan paksa, penggusuran dan kejahatan kemanusiaan. Masyarakat yang hidup disana melakukan protes tentang pelanggaran HAM ini. Ada seorang perempuan yang kehilangan suaminya, ada laki-laki yang kehilangan anaknya dan ada sejumlah penggusuran yang terjadi disana. Semuanya memakan korban. Ini merupakan inti cerita dari pementasan ketoprak. Pementasan ini memang sengaja mengambil cerita tentang kehidupan yang dianggap relevan dengan kondisi para korban 65 dan korban pelanggaran HAM


Ketoprak Srawung Bersama merupakan ketoprak yang menaungi para korban pelanggaran HAM termasuk korban 65. Ahmad Ramdon selaku ketua panitya pertunjukan mengatakan bahwa pementasan ini bukan hanya sebagai perayaan seniman dalam mengapresiasi seni pertunjukan, namun juga menjadi bagian penting dalam merawat sejarah.
“Pementasan ini membuktikan bahwa sejarah bukanlah milik penguasa tapi milik kita semua, ini terlihat dari banyaknya anak-anak muda yang selalu datang di setiap pertunjukan ketoprak yang diadakan Kethopral Srawung Bersama (KSB),” ujar Ahmad Ramdon.   
Wakil walikota Solo yang diwakili oleh Agus Sutrisno dari bagian pengembangan Walikota Solo juga mengapresiasi dengan pementasan ketoprak ini. Saat ini Solo sedang mengembangkan kota kreatif, bahkan Solo baru saja mendapatkan penghargaan sebagai 1 dari 10 kota kreatif dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).  
“Kota Surakarta membangun bersama jejaring dunia sebagai kota kreatif, dan malam ini ada pertunjukan ketoprak, semoga pementasan ini bisa mendongkrak kreativitas komunitas dan seniman di Solo,” ujar Agus Sutrisno.
Pimpinan proyek Ketoprak dari Sekber 65, Didik Dyah mengatakan bahwa ketoprak Srawung Bersama (KSB) merupakan ketoprak modern yang berisi para seniman tradisional dan modern agar variatif pementasannya dan disaksikan banyak orang.

Hal ini terbukti dengan banyaknya penonton yang menonton pertunjukan, lebih dari 500 penonton hadir dan menonton. Kebanyakan adalah anak-anak muda yang datang karena ingin mengetahui sejarah 65 dan sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Cerita, kisah dan lakon yang disajikan adalah yang selama ini menjadi bagian dari perjuangan korban terutama korban 65. Masyarakat yang datang diharapkan mendapatkan cerita sejarah yang utuh, maka pementasan ketoprak ini bisa menjadi referensi agar memahami sejarah tentang kebenaran dan keadilan. Pengalaman sejarah kehidupan yang dibagikan dalam ketoprak adalah proses bagaimana menyajikan dan proses belajar dari kehidupan korban.

Dimas Suko, seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo menyatakan bahwa ketoprak ini selain membawa anak-anak muda untuk memahami sejarah juga menjadi media pengingat atas banyaknya persoalan yang relevan hingga sekarang, seperti persoalan 65 dan pelanggaran HAM. Sedangkan sejumlah anak muda yang datang dari Yogyakarta menyatakan bahwa ketoprak ini membawa anak muda untuk belajar sejarah masa lalu.

Selain pementasan ketoprak, penonton yang datang juga disuguhi dengan keroncong HAMKRI Surakarta, nyanyian Paduan Suara Dialita dari Jakarta dan tembang-tembang dari Lansia asal Yogyakarta, Kiprah Perempuan (KIPPER). Pementasan ini merupakan bagian dari Program Peduli yang diadakan Sekber 65 dengan didukung Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan The Asia Foundation.

Abdi Suryaningati, perwakilan dari The Asia Foundation mengatakan bahwa program Peduli sudah dilakukan selama 5 tahun ini. Banyak yang belajar bagaimana perjuangan para Lansia, para korban 65 yang selama ini disingkirkan dan dimarjinalkan secara politik.
“Pementasan ini merupakan acara yang sangat penting karena kita merupakan warga bangsa dan berproses bersama dalam membentuknya. Dan pertunjukan ini selalu berhasil mengajak anak-anak muda. Anak muda adalah ujung terdepan yang selanjutnya akan memastikan bahwa tidak ada peminggiran bagi siapapun.” 
red-Sekber 65

Minggu, 12 Mei 2019

Sejarah, Perempuan, Pangan


Mei 12, 2019


MASA lalu awet di lagu. Petaka, suram, derita, dan penghinaan. Masa lalu itu telah sering ditulis dalam buku-buku. Kini, masa lalu itu lagu. Acara di Metro TV diturunkan menjadi ulasan sehalaman di Media Indonesia, 4 Mei 2019. Ulasan berjudul besar “Melodi Perjalanan Suram”. Para tokoh mengalami getir di masa Orde Baru gara-gara malapetaka 1965 memilih berlagu, bukan membalas dendam atau melawan segala makian politik masa lalu. Mereka bersenandung sejarah, biografi, dan keluarga. Lagu bukan “membatalkan” bedil, perintah, dan tendangan telah memberi siksaan dan kematian. Lagu itu bercerita, mengajak ke renungan perempuan dan Indonesia.

Lagu bukan “membatalkan” bedil, perintah, dan tendangan telah memberi siksaan dan kematian. Lagu itu bercerita, mengajak ke renungan perempuan dan Indonesia.

Mereka bergabung di paduan suara Dialita, mengeluarkan album berjudul Dunia Milik Kita. Kita mengutip di Media Indonesia: “Peran Dialita merangkul memulihkan para korban eks tapol terkait dengan peristiwa G-30-S/PKI, tahun ini mendapatkan penghargaan dari luar negeri.” Kaum perempuan sanggup mengusung sejarah sampai masa sekarang dengan suara-suara bercerita.

Perempuan bernama Utati Koesalah, 75 tahun. Pada masa 1960-an, ia bergabung di Pemuda Rakyat ingin berkesenian. Ia ditangkap dan ditahan berdalih terlibat dengan PKI. Hari-hari buruk dialami di penjara Wanita Bukit Duri. Ia tak mau mati sia-sia di penjara. Utati pun berbuat demi mengartikan hidup dan mendapatkan nafkah untuk membeli gula, sabun, dan pelbagai kebutuhan. Hidup tak selalu buruk. Keluar dari penjara, ia berkumpul bersama keluarga dan menikah dengan sesama eks tapol, Koesalah Soebagyo Toer. Sekian perempuan lain memiliki cerita-cerita bergelimang sedih dan suram. Mereka tak mau terpuruk dan tersiksa. Berkumpulah dan bersenandunglah!

Sekian perempuan lain memiliki cerita-cerita bergelimang sedih dan suram. Mereka tak mau terpuruk dan tersiksa. Berkumpulah dan bersenandunglah!

Di buku wadah CD album Dialita, kita simak penjelasan Ita Fatia Nadia: “Ibu-ibu Dialita ingin menyampaikan pengalaman tentang sejarah hidup yang mereka alami sesudah tragedi kekerasan secara struktural yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1965.” Lagu-lagu itu bersejarah, bukan lagu kasmaran atau hiburan.

Biografi mereka ada di lagu. Album lagu Dialita tak terlalu menampilkan simbol-simbol politis. Di buku album Dialita, kita malah disuguhi gambar tanaman-tanaman liar dan resep masakan. Sekian gambar bersanding dengan lirik-lirik lagu dan cerita kecil. Buku itu menjadi album tanaman, album “liar” bagi kita telanjur memiliki keterbatasan pengetahuan tentang jenis tanaman untuk pangan.

Lagu berjudul “Taman Bunga Plantungan” mengajak kita mengunjungi kamp Plantungan di perbatasan Kendal-Batang, Jawa Tengah. Lagu dan lirik digubah oleh Zubaedah Nungtjik AR, 1971. Lagu bercerita cinta kasih dan persahabatan para perempuan di Plantungan. Mereka bertugas membuat taman di tempat bekas rumah sakit bagi penderita lepra. Hari demi hari, mereka berbarengan membuat taman. Jadilah! Taman itu indah, ejawantah kemauan mereka menjadikan hidup indah meski dinodai ulah rezim Orde Baru.

Hari demi hari, mereka berbarengan membuat taman. Jadilah! Taman itu indah, ejawantah kemauan mereka menjadikan hidup indah meski dinodai ulah rezim Orde Baru.

Mia Bustam, Sudjojono dan Aku (2006)

Di situ latar pembuatan lagu, nama Mia Bustam (1920-2011) disebut sebagai penghuni dan pembuat taman di Plantungan. Kita membaca peran Mia Bustam dan tanggungan derita di buku berjudul keras: Dari Kamp ke Kamp (2008). Mia Bustam jadi musuh Orde Baru. Ia dijadikan penghuni penjara dan kamp. Masa lalu memberi muatan memicu marah rezim membenci PKI. Orang-orang masih mungkin mengenang Mia Bustam adalah perempuan tangguh. Masa lalu menempatkan nama Mia Bustam bersanding Sudjojono, sebelum mereka berpisah. Dua orang pernah suami-istri, berpisah menempuhi jalan berbeda. Mia Mustam memanggul derita berat, berbeda nasib dari Sudjojono.

Dua orang pernah suami-istri, berpisah menempuhi jalan berbeda. Mia Mustam memanggul derita berat, berbeda nasib dari Sudjojono.

Kita mengingat dua nama di buku memoar berjudul Sudjojono dan Aku (2006). Semula, Mia Bustam menulis memoar untuk anak-cucu. Pada suatu masa, memoar terbit jadi buku untuk “pelajaran” manusia, sejarah, seni, dan Indonesia. Mia Bustam mengisahkan Mas Djon (Sudjojono) di masa lalu: “Mas Djon meski bisa lembut selembut sutera, wataknya keras… Warna wataknya hitam atau putih. Tidak ada warna pastel pada dirinya. Kebenaran yang diyakininya, entah benar atau salah menurut orang lain, akan dibelanya mati-matian. Jika perlu ia sanggup mengorbankan pekerjaan dan keluarganya sekali pun. Ini telah berkali-kali dibuktikannya.” Mia Bustam mengerti Sudjojono sebagai seniman dan suami.

Pada saat bersama Sudjojono, ia dipanggil Nyi Sudjojono. Kisruh asmara dan keluarga menjadi penentu dalam pengukuhan nama. Perempuan memiliki nama tak wajib membawa atau mengikuti nama suami. Situasi ruwet antara Sudjonono-Mia Bustam-Rose tak ingin panjang memberi siksa. Pada 26 November 1958, ia menunggu jawaban tak pasti dari Sudjojono mengenai predikat suami-istri. Ia pun memilih melukis potret diri dan anak-anak, tak pernah selesai. Mas Djon datang memberi jawab: “Jeng, ternyata aku tidak bisa meninggalkan Rose. Kalau dia kutinggalkan, dia akan kehilangan pegangan, dan itu aku tidak mau. Jadi kita berpisah. Aku tahu, kau ini kuat. Mungkin akan menderita beberapa waktu, tapi kau akan mampu mengatasinya, aku yakin.”

Sudjojono salah. Mia Bustam malah mengaku derita telah selesai. Ia memilih berjalan ke terang nasib dengan melukis dan turut pameran diadakan Seniman Indonesia Muda di Surabaya. Ia mulai mencantumkan nama menampik derita: Mia Bustam, bukan lagi Nyi Sudjojono.

Nasib dua orang itu berbeda. Sudjojono tak menanggung kutukan rezim Orde Baru. Sudjojono terus bergerak di seni dan meraih pengakuan meski sempat “mampir” di politik gara-gara godaan kiri. Mia Bustam menanggungkan “hukuman”. Ia tak selamat dari politik sedang memusuhi segala hal berkaitan PKI. Hari demi hari, Mia Bustam dipaksa jadi manusia terhukum sampai tiba ke kamp Plantungan. Di situ, ia bertemu dengan para perempuan memiliki keragaman masa lalu tapi terikat oleh politik “kebencian” dan “pengutukan” khas rezim Orde Baru.

Masa lalu mencatat nama Mia Bustam dan para perempuan pantang kalah. Paduan suara Dialita mengabarkan kemauan mereka mentas dari “kutukan-kutukan” diawetkan di pidato pejabat dan buku-buku pelajaran di sekolah. Mereka pun pernah direndahkan melalui film-film dan buku sejarah selera Orde Baru. Di album Dunia Milik Kita, mereka memilih mengangkut sejarah digenapi tanaman. Dulu, mereka hidup dengan tanaman-tanaman untuk pangan.

Di buku album, sejarah dan keperempuanan semakin mengena dengan pemuatan resep pangan liar. Warisan dan pengetahuan ampuh bagi kita ingin mengerti derita dan pemaknaan pangan. Di halaman mengenai genjer, kita kembali belajar pangan, kemiskinan, dan sejarah petaka: “Genjer adalah sejenis tumbuhan rawa yang banyak dijumpai di sawah atau perairan dangkal. Biasanya ditemukan bersama-sama enceng gondok. Genjer adalah sumber sayuran ‘orang miskin’, yang dimakan orang desa apabila tidak ada sayuran lain yang dapat dipanen.”

Kita menghormati mereka, mendengar lagu mereka, dan menanti masa bisa bersantap pangan liar. Cara terpantas untuk mengingat sejarah dan membaca biografi para perempuan dalam album petaka Indonesia masa lalu. Begitu.

Bandung Mawardi,
FB: Kabut

Rabu, 20 Maret 2019

Dialita, Suara Hati Perempuan Penyintas G30S


March 12, 2018 | imajinasijoker



Dialita: “Dunia Milik Kita” (2016)

Boleh jadi ini sentimental: beberapa tahun setelah saya berpisah dengan pacar pertama sewaktu masih SMA, setiap angkutan kota di kampung halaman mendadak hadir sebagai pengingat. Saya mengenang detik-detik yang biasanya dianggap remeh dan bagaimana hal itu kemudian bisa sedemikian jelas dikonstruksi oleh ingatan. Lalu saya menyadari betapa lucu (atau tragis) cara ingatan manusia bekerja. Ketika saya merasa sudah genap melupakan, kenangan-kenangan masa lalu datang menyergap layaknya sekumpulan bajingan yang merampok kesadaran — bahwa ada yang belum selesai, kecuali saya berani menghadapinya sendiri.

Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.

Album Dunia Milik Kita adalah sebuah rekaman musik yang berupaya untuk menyajikan suara-suara yang dibungkam pada masa lalu, suara-suara yang dipaksa sunyi karena dosa kolektif dari sebuah asosiasi yang dianggap dan dituduh terlibat dalam peristiwa 1965, dari kelompok yang dicap sebagai komunis dan pengkhianat. Saat rezim pemerintahan Orde Baru yang otoriter itu tumbang, suara-suara yang dulunya dipaksa sunyi, dipaksa hilang, dan dipaksa bungkam, sekarang kembali hadir dengan cara yang tegas, segar, dan kuat. Paduan suara Dialita (Di atas lima puluh tahun) merupakan bebunyian kolektif dari masa lalu, bebunyian yang dipaksa sunyi oleh rezim Orde Baru setelah peristiwa 1965. Dialita beranggotakan para ibu tangguh dan perkasa yang pernah ditahan, dipenjara, diasingkan, dan dihukum melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya — cuma karena mereka dituding terlibat dalam peristiwa 1965.

Formasi album ini terdiri dari sepuluh lagu lawas yang diaransemen ulang beberapa musisi lintas-generasi, yang juga hadir untuk mengiringi paduan suara Dialita. Dengan segala kerendahan hati yang ada, saya memohon agar siapa saja yang mendengarkan album ini untuk menganggap nama-nama musisi lintas-generasi di sini (Sisir Tanah, Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, Lintang Radittya, Kroncongan Agawe Santosa, Frau, dan Cholil Mahmud) sebagai sesuatu yang tidak signifikan, menempatkan mereka sebagai sekadar figuran saja, agar mampu menangkap kenikmatan, keindahan, dan kesadaran album ini secara maksimal. Album ini juga berperan sebagai sebuah arsip sejarah karena menghadirkan kembali suara dari seniman-seniman besar Indonesia yang disingkirkan dari manuskrip sejarah cuma karena mereka tercatat sebagai anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), para maestro musik yang ditangkap pada masa pemerintahan Orde Baru dan beberapa di antaranya harus meringkuk dalam kamp kerja paksa di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, Indonesia.

Berkumpul untuk bernyanyi, bercerita, dan berbagi pengalaman bertahan hidup adalah upaya yang terus-menerus dilakukan oleh keluarga penyintas tragedi kelam 1965 untuk merawat harapan. Bernyanyi memberikan keluarga penyintas sebuah kapasitas suara untuk bicara dan didengar bahwa mereka masih hidup dan menolak lupa, apalagi dibungkam dan dipaksa menyerah-kalah. Ibu-ibu tangguh dan perkasa dalam paduan suara Dialita adalah monumen hidup yang berusaha menuliskan sejarah baru agar bisa diingat selamanya. Melalui album ini, Dialita tidak sedang mengasihani diri sendiri. Dialita tegak bersuara untuk menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu dengan tegas, sesuatu yang membikin mereka kuat menghadapi jahatnya stigma, kejamnya sel penjara, dan bengisnya perlakuan diskriminasi. Suara-suara yang dihadirkan oleh album ini merupakan titik tengah pertemuan antara semangat masa lalu dan estetika seni masa kini: sebuah kumpulan musik yang segar dengan susunan teks dan komposisi nada yang berasal dari momen-momen kelam di masa lampau.

Dua sosok yang sangat berjasa mengumpulkan arsip dokumentasi dan mencatat lagu-lagu dari dalam penjara adalah Ibu Utati dan Ibu Mudjiati (dua anggota Dialita yang pernah dipenjara di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan), di mana keduanya mencoba menuliskan kembali lirik-lirik yang tidak lagi utuh dalam ingatan, kemudian secara perlahan berhasil menggenapi bagian-bagian yang terpenggal, lalu diberi notasi nada dan selanjutnya disalin ke dalam lembar partitur secara sederhana, lantas partitur-partitur sederhana yang jauh dari sempurna itu diperkenalkan dan dipelajari bersama kawan-kawan mereka dalam paduan suara Dialita.

Dialita membuka Dunia Milik Kita dengan trek Ujian — jawara dan favorit saya di album ini — yang ditulis oleh Ibu Siti Jus Djubariah dan diaransemen ulang oleh Frau. Saya ingin menuliskan sesuatu yang indah untuk mendeskripsikan lagu ini, namun jujur saja — setiap kali mendengarkan lagu ini, jantung persegi saya terenyuh dan rasa-rasanya hampir mustahil menahan air mata untuk tidak merembes keluar. Lagu ini lahir di dalam Penjara Bukit Duri, sebuah tempat di mana ratusan perempuan dan lelaki, tua dan muda, yang berasal dari berbagai macam serikat pekerja dan organisasi mahasiswa, ditahan karena dituding telah melakukan kesalahan yang entah apa. Para perempuan dan lelaki yang ada di tempat tersebut dipenjara tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka dan tanpa proses pengadilan.

“Dari balik jeruji besi, hatiku diuji,” baris lirik awal Ujian mengabarkan semangat para tahanan politik yang dipecundangi oleh rezim pemerintahan pada masa itu, mereka yang dipenjara tetapi menolak untuk larut dalam kekalahan, “apa aku emas sejati atau imitasi?”.
Suara denting piano yang dimainkan Frau sebagai musik pengiring berhasil meruapkan atmosfer sendu dari manusia-manusia yang sedemikian tegar dan kuat menahan derita.

Saya selalu membayangkan bahwa Ujian ditulis dengan keteguhan dan sisa-sisa harapan sebagai upaya untuk tetap tegar menghadapi gelapnya kehidupan di balik jeruji besi penjara yang pengap. Hidup di penjara tanpa pernah tahu kapan bisa bebas adalah salah satu bentuk lain dari vonis kematian. Banyak sekali tahanan politik yang melewati masa remajanya dengan ketidak-pastian di dalam penjara. Ibu Siti adalah seorang guru yang ditangkap dan ditahan di Penjara Bukit Duri pada tahun 1965. Kemudian, pada pertengahan 1971, Ibu Siti — bersama dengan puluhan tahanan lainnya — dikirim ke Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah, dan sempat dipindahkan ke Penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah, sebelum akhirnya “dibebaskan” pada tahun 1978. Lagu ini menjadi salah satu penyemangat dan upaya untuk tetap waras bagi para tahanan politik yang direnggut-paksa kebebasan dan hak-haknya oleh Orde Baru.

Nomor Salam Harapan — karya Ibu Zubaedah Nungtjik AR dan Ibu Murtiningrum (keduanya adalah tokoh Gerwani [Gerakan Wanita Indonesia]) yang diaransemen ulang oleh Cholil — berfungsi sebagai doa yang tulus, semacam niat untuk membesarkan hati yang dipersembahkan kepada kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang-tahun di Penjara Bukit Duri. (“Salam harapan padamu kawan: semoga kau tetap sehat sentosa. Bagai gunung karang di tengah lautan, tetap tegar didera gelombang.”)
Musik hadir sebagai medium kebersamaan dan bentuk lain dari kebahagiaan di tengah-tengah keterbatasan dan penindasan. Menurut beberapa artikel yang saya baca, ada tradisi menarik yang selalu dilakukan di dalam penjara tersebut: setiap ada yang berulang tahun, semua tahanan politik bakal berdiri berjajar di depan sel penjara yang bersangkutan pada pagi-pagi buta untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu sebagai ucapan selamat dan memberikan sekuntum bunga apa pun yang bisa dipetik dari halaman penjara sebagai hadiah. Cholil membikin lagu ini tetap sederhana dan bersahaja, namun tidak menghilangkan ketulusan dan keteguhan yang menjadi karakter para ibu penyintas tragedi 1965.

Kemudian ada materi Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu ciptaan Putu Oka Sukanta dan Michiel Karatem yang dibuka dengan desir angin dan suara gitar, kemudian suara-suara lirih mulai terdengar untuk mengabarkan semangat para petani yang tidak akan pernah mati. Aransemen ulang lagu ini yang digarap oleh Sisir Tanah, Lintang, dan Frau berhasil menyulap saya untuk sepenuhnya luruh, tenggelam dalam rasa syukur dan rindu sekaligus sukacita menggairahkan yang mirip dengan perasaan senang-gembira saat berdiri memandang hamparan sawah dan mendengarkan suara angin bergesekan dengan padi. 
“Malam dijemput suara kecapi,” baris teks puitik lagu ini layak dibaca dan dipahami dengan serius, “siang dibernasi suara aksi; di sini juang dipadu membina dunia baru nan jaya”. 
Latar belakang yang diabadikan oleh Putu dan Michiel dalam lagu ini adalah situasi yang harus dihadapi oleh para petani di kaki Gunung Tangkuban Perahu saat melawan dan menolak Undang-Undang Pokok Agraria pada dekade ‘60an. Saat itu, para petani pejuang Tangkuban Perahu melakukan aksi protes sambil tetap bekerja merawat sawah mereka di bawah terik mentari sianghari, sementara pada malamhari, mereka berdiskusi sembari menikmati alunan kecapi dalam momen kebersamaan yang hangat.

Lintasan perjalanan Dunia Milik Kita kemudian dilanjutkan oleh trek Padi Untuk India: sebuah lagu yang bisa menjadi arsip sejarah karena mendeskripsikan kontribusi Indonesia untuk dunia global di masa lalu, tepatnya pada tahun 1946 saat India mengalami krisis pangan yang cukup parah di bawah penjajahan kolonial Inggris. Meskipun pada saat itu Indonesia merupakan bangsa bau kencur yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, sebagai bentuk solidaritas kepada negara yang masih terjajah, Indonesia berhasil mengirimkan bantuan berupa 700 ton beras ke India setelah sempat diadang oleh Belanda dengan aksi pembakaran dan pengeboman gudang penyimpanan beras di Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu yang ditulis oleh A. Alie (tidak ada catatan sejarah yang merekam sosoknya di dunia seni Indonesia) ini diaransemen ulang oleh Sisir Tanah dan berhasil memaksimalkan keriangan melodi lagu ini tanpa harus terdengar rumit. Saya bisa mendengar ritme perjuangan yang menyenangkan dan merasakan semangat solidaritas kemanusiaan di dalamnya.

Lagu berikutnya yang berjudul Taman Bunga Plantungan (karya Ibu Zubaedah) diaransemen ulang dengan begitu indah oleh Kroncongan Agawe Santosa. Lagu yang tercipta di Kamp Plantungan pada tahun 1971 ini merupakan tanda cinta dan persahabatan para tahanan politik, menceritakan sebuah taman kecil yang dibangun dengan swadaya oleh para tahanan politik di Kamp Plantungan pada masa itu. Kamp Plantungan merupakan bekas rumah sakit yang dibangun pada masa penjajahan kolonial Belanda untuk para penderita penyakit lepra / kusta. Kondisi kamp ini mirip lapangan jagal yang dipenuhi “benda-benda ajaib” di mana tidak jarang ditemukan potongan-potongan jari tangan atau jari kaki para penderita lepra / kusta yang sempat dirawat di sana.

Bebunyian kolektif yang disuarakan oleh Dialita melalui rekaman album ini adalah representasi dari ratusan ribu tahanan politik Indonesia yang dipenjara tanpa proses pengadilan apa pun. Hak sipil para tahanan politik tersebut sengaja dicabut, identitas dan jati diri mereka dilecehkan, serta hak asasi mereka diludahi. Para tahanan politik itu dicap sebagai komunis, seolah-olah hal itu merupakan dosa asal (original sin) yang tidak layak untuk diampuni. Di Indonesia, ada semacam upaya sistematis untuk menjadikan segala sesuatu yang terkait dengan komunisme sebagai pesakitan menjijikkan. Keseluruhan album ini pada dasarnya bukanlah sekadar usaha untuk menolak lupa saja, melainkan juga sebuah upaya kolektif untuk menempatkan kembali sebuah konteks dari satu waktu di masa lalu. Dialita tidak sedang menuntut dengan amarah dan dendam kesumat, namun mereka bernyanyi dengan tegas untuk merayakan ingatan dan kenangan, serta memberikan suara dan perspektif dari satu-dua peristiwa sejarah yang pernah dipaksa bungkam oleh penguasa agar generasi mendatang bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Nomor Kupandang Langit (ciptaan Koesalah Soebagyo Toer, diaransemen ulang oleh Lintang dan Frau) memberikan pengalaman musikal dan efek magis yang serupa dengan Ujian. Terinspirasi oleh pohon beringin pencekik di halaman Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, Jakarta, Koesalah berusaha menjaga kewarasan sekaligus juga untuk menyemangati kawan-kawan sesama tahanan politik di sana dengan menciptakan Kupandang Langit. Bagi saya, Kupandang Langit memiliki efek magis yang dramatis — semacam menyeruput secangkir kopihitam pahit hangat saat hujan menderas seharian di luar kandang dan menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa saya lawan, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa saya selamatkan. Meski begitu, ada semacam kesadaran bahwa saya toh masih punya kekuatan untuk mengakhiri tragedi dengan tangisan tidak berkesudahan perihal betapa buruknya hidup ini, atau dengan kebanggaan bahwa sampai pada titik akhir yang paling getir sekalipun, saya tidak memundurkan kaki setapak pun darinya. Dan kebanggaan semacam itu, tentunya, tidak muncul dari fatalisme yang pasrah menerima nasib apa adanya, melainkan lahir dari keberanian untuk mengafirmasi kehidupan seutuhnya: amor fati — yang tragis dan yang manis.

Formasi album Dunia Milik Kita selanjutnya dihuni oleh dua lagu yang punya konteks politik penting sebagai perwujudan dari sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di masa lalu: (1) materi Viva Ganefo yang ditulis oleh Asmono Martodipoero dalam bahasa Spanyol untuk merespons penyelenggaraan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang [GANEFO: Games of the New Emerging Forces] pada dekade ‘60an dan diaransemen ulang oleh Sisir Tanah; dan (2) trek Asia Afrika Bersatu yang diciptakan oleh Sudharnoto untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi Asia–Afrika pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, dan lagu ini diaransemen ulang oleh Prihatmoko, Nadya, dan Lintang.

Dua lagu yang menggenapi perjalanan album ini adalah Lagu Untuk Anakku (aransemen ulang oleh Cholil) dan Dunia Milik Kita (aransemen ulang oleh Lintang dan Cholil). Nomor Lagu Untuk Anakku disusun bersama oleh Ibu Heryani Busono Wiwoho (lirik) dan Mayor Djuwito (notasi musik) saat dipenjara oleh tentara di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kelas II Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah, untuk menyuarakan kegelisahan tentang nasib anak-anak Indonesia yang mendadak harus kehilangan orangtua karena dipenjara, diasingkan, atau dibunuh oleh rezim pemerintahan otoriter pada saat itu. Sementara materi Dunia Milik Kita karangan Sudharnoto, yang mulai ditulis pada saat reformasi politik Indonesia sedang terjadi dan selesai bertepatan dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember 1998, menyampaikan gagasan besar tentang satu bangsa yang terdiri dari berbagai macam identitas yang berbeda-beda.

Album ini berhasil membikin suasana hati saya campur-aduk: berkali-kali saya dibikin sedih, hancur, dan menangis, untuk kemudian dikuatkan dengan harapan dan semangat yang menggembirakan sewaktu memutarnya kencang-kencang di dalam kandang. Ibu-ibu tangguh dan perkasa yang tergabung dalam paduan suara Dialita adalah pohon rindang yang mampu memberikan ketenangan dan keteduhan magis layaknya kasih sayang dari nenek dan ibu saya sendiri. Suara vokal Dialita mungkin saja bergetar dan tidak merdu, namun ada sesuatu yang membikin jantung saya luruh dan terenyuh ketika mendengarkannya — serupa perasaan sentimental saat melihat hujan untuk pertama kalinya setelah musim kemarau berkepanjangan.

Pada akhirnya, Dialita dan Dunia Milik Kita-nya merupakan ketulusan estetis yang mahategar dan memesona, bebunyian kolektif dari orang-orang yang menolak menyerah-kalah ketika dipaksa tunduk oleh otoritas bangsat. Suara yang ada di dalamnya mewartakan luka dengan tegas, sekaligus juga memberikan harapan serta rasa nyaman dan aman. Ini adalah resep mujarab dengan takaran yang pas — seperti pelukan ibu yang menghangatkan, atau semacam aroma tubuh sang kekasih sehabis bercinta tetapi belum sempat mandi — yang memberikan hasrat dan harapan sebagai fondasi untuk melakukan aksi perjuangan melawan kondisi brengsek hari ini yang semakin tidak baik-baik saja.

— Daftar lagu Dunia Milik Kita —
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]

Salam harapan dan peluk hangat, atas-nama cinta dan anarki, untuk paduan suara Dialita dan seluruh ibu-ibu tangguh nan perkasa di luar sana. {ѧ}

Sumber: MemoriSenja 

Selasa, 19 Februari 2019

Dialita Tak Selalu Lagu


Selasa, 19 Februari 2019

Menghidupkan cerita dari balik penjara 65/66


[AUDIO] NADA SAMBUNG TELEPON
DAMAR: Halo, Bu Uchi masih ingat suara saya?
UCHIKOWATI: Ya, siapa ya?
DAMAR: Damar.
UCHIKOWATI: Oh Damar. Apa kabar? Aku (kemarin) bilang sama ibu-ibu: masih inget nggak, Damar KBR? Oh, yang wawancara kita pertama kali ... (tertawa). Kemarin juga kami ke KBR, tapi saya nggak ikut, ada ibu-ibu lain.
DAMAR: Kenapa enggak datang?
UCHIKOWATI: Iya. Saya kelelahan banget. Soalnya konsernya cuma 1,5 jam tapi persiapannya berbulan-bulan. Terus bagi-bagi tugas, ibu-ibu (yang datang) itu kan rumahnya yang dekat kota.

***

Tujuh tahun berlalu. Pada 2012 saya sempat menulis cerita tentang paduan suara para penyintas tragedi 65/66 bernama, Dialita. Utji Kowati Fauzia tadi, salah satu anggotanya.

Saya pikir mereka sudah lupa. Tapi salam yang diganti peluk oleh Utji Kowati pada akhir Januari 2019 lalu, menyadarkan saya bahwa, mereka kuat dalam ingatan.
"Kebahagiaan bagi kami, bapak dan ibu, juga teman-teman bisa hadir untuk menyaksikan rilis album kedua yang diproduksi Rumah Bonita dan Dialita," kata Utji Kowati sebagai ketua paduan suara memberikan sambutan.
 Persis, tak ada yang berubah kecuali waktu. Bu Uchi—begitu saya memanggilnya, masih sehat. Sementara Tuti Martoyo, Utati Koesalah, dan ibu-ibu lain terlihat segar, juga riang. Meski, kebanyakan mereka sudah berusia di atas kepala enam. Itu mengapa paduan suara ini dinamai Dialita, kependekan dari Di Atas Lima Puluh Tahun.

Sebagian besar anggota paduan suara yang dibentuk 2011 ini memang keluarga penyintas tragedi 65/66. Tapi sejumlah lainnya ada pula yang sama sekali tak punya sangkutan sejarah dengan tragedi berdarah tersebut.
Kamis malam 31 Januari di Goethe Haus Jakarta, mereka meluncurkan album kedua: Salam Harapan. Seperti yang pertama, 12 lagu kali ini mendapat sentuhan dari musisi-musisi muda. Di antaranya Petrus Briyanto Adi, Junior Soemantri, Endah Widiastuti, Bonita juga Andie Jonathan Palempung.
"Mendengar cerita bagaimana lagu-lagu ini dikumpulkan... Andai saya punya waktu lebih banyak [...] Ini juga ajakan buat adik-adik seputaran musik atau sejarah kita, saya pikir ini sumber pengetahuan, informasi dan kekayaan yang, perlu kita gali. Ini salah satu jalan terang buat Indonesia lebih baik,"
- tutur Petrus Briyanto Adi yang akrab disapa Adoy.

Tata cahaya berpusat ke panggung, satu per satu anggota Dialita mengisi deret kursi yang disusun dua lajur. Warna-warni kebaya keluaran Sri Kendes menyala: magenta, merah, ungu, tosca juga orange.

Saya mengamati seisi ruang dari bangku paling depan: kursi nyaris penuh, ada 300 lebih penonton. Beberapa wajah tampak tak asing, terlihat komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, penyintas 65/66 Tedjabayu di bangku sisi kiri saya, juga pegiat kemanusiaan yang pernah menggawangi Komnas HAM Hari Wibowo.

Tuti Martoyo duduk paling kanan, di bagian suara sopran. Dari bangku penonton, perempuan usia 75 itu terlihat sesekali meluruskan punggung ke senderan kursi, lalu melepas sandal wedges-nya. Ia tak kuat berdiri lama-lama. Saat bernyanyi saja, tangan kanannya harus bertumpu pada tongkat berkaki tiga yang, menopang beban tubuhnya.
Tapi begitu konduktor memberi aba-aba, meski dengan penuh upaya, Tuti lekas berdiri.

[AUDIO] MUSISI MENYANYIKAN SALAM HARAPAN
Bersama terbitnya matahari pagi
Mekar mewah mekarlah melati
Salam harapan padamu kawan
S’moga kau tetap sehat Sentosa
-
"Lagu Salam Harapan dibikin di dalam penjara Bukit Duri. Di situ ibu-ibu saling mendukung. Karena di dalam penjara itu sangat susah dan sangat menderita sekali. Jadi untuk saling menguatkan," ungkap Tuti sambil meluruskan punggung ke kursi.
Huru-hara politik 65/66 mengakibatkan setengah juta lebih rakyat jadi korban tewas, sementara ribuan orang dipenjara. Soeharto—yang saat itu Jenderal Angkatan Darat—memerintahkan perburuan orang-orang yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) juga para pengikut Soekarno.

Narasi yang santer, salah satu partai beken pada Pemilu 1955 itu dituding sebagai dalang pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965. Kendati, tuduhan ini tak pernah bisa dibuktikan.

Belakangan referensi lain mengungkap, tragedi kemanusiaan 65/66 terjadi akibat konflik di internal angkatan darat.

Bukit Duri, Jakarta jadi bagian kecil dari simpul bangunan yang memenjara tahanan politik perempuan. Titik lain, ada Kamp Plantungan di Kendal, Penjara Bulu di Semarang, juga di Malang, Jawa Timur. Di dua lokasi terakhir, jumlah yang ditahan mencapai 500 orang lebih.

Di penjara-penjara itulah, puluhan lagu tercipta. Jadi pelipur sepi, penyemangat, kadang pula penggembira. Puluhan tahun berselang, lagu-lagu itu terserak, beberapa coba kembali dikumpulkan.
"Kami punya stok sekitar 25-30an lagu. Dan ini kami kumpulkan sejak tahun 2000," kata Uchi saat menjawab pertanyaan penonton. Lagu berjudul 'Salam Harapan" adalah salah satunya.
Tak mudah membikin lagu dalam penjara. Terbatasnya alat tulis dan kertas, membuat tahanan perempuan mengingatnya dalam kepala. Pilihan lain, menulis lirik dan notasi pada tanah juga tembok sel.

Salam Harapan misalnya, ditulis di sela kerja paksa di penjara Bukit Duri. Lirik lagu ditulis Murtiningrum. Lantas di bawah pohon kersen Penjara Bukit Duri, Zubaidah menyusun notasinya. Ini jadi salah satu lagu wajib tiap kali ada tahanan berulang tahun.


Senandung tersebut didengar Utati Koesalah pada September pagi di tahun 1967. Saat itu ia berulang tahun ke-23. Utati masih ingat betul ketika serombongan perempuan sesama tahanan politik diam-diam menyelinap ke Blok B penjara Bukit Duri.
"Begitu pintu gembok kamar dibuka, itu masing-masing sudah siap menuju kamar. Biasanya yang ulang tahun pun belum siap. Belum bangun. Masih kucek-kucek (terkekeh) Tapi sudah berderet teman-teman di depan pintu, langsung menyanyikan lagu itu," Utati mengenang.
Sama sekali ia tak menyangka, kawan-kawannya—tak semua memang, bikin kejutan perayaan sederhana. Sekuntum bunga jengger ayam warna merah tua, turut diulurkan sebagai ucapan selamat.
"Haru, sedih, gembira. Tertawa karena seneng kan, kok ada yang ingat. Kadang-kadang yang berulangtahun tidak ingat," tutur Utati.
"Ada yang menyanyikan lagu, isinya kan memberikan semangat kepada kita untuk bertahan, sehat. Karena semuanya tidak punya apa-apa di situ, ya punyanya hanya Salam, salam penuh kasih.. agar tetap tabah di situ. Tetap punya harapan," lanjutnya lagi.
Lebih separuh abad, kado berupa pembatas buku berpola bunga pun masih ia simpan. Isteri mendiang Koesalah Soebagyo Toer ini masih ingat, bahan pembuatnya ....
"Sisa kain kecil-kecil. Apa strimin, apa.. Kami kan saling kerja tangan itu untuk membeli sabun, gula dan lain sebagainya. Dari situ kain kecil kan akan terbuang, nah itu kami jahit."
Saban ritual ulang tahun, lagu Salam Harapan tak pernah luput disandingkan dengan “Tetap Senyum Menjelang Fajar”. Pasangan lagu ini selalu dinyanyikan bersama sebagai ungkapan kasih sekaligus penyemangat, agar para tahanan tetap tegar merawat harapan.

[AUDIO] SITA NURSANTI MENYANYIKAN TETAP SENYUM MENJELANG FAJAR
Bukan bunga indah mewangi
Atau dupa harum setanggi
Tetapi salam penuh kasih
Kuhantar padamu kini
Harapanku padamu teman
S'moga kau tetap tegar
-
Puluhan tahun setelah itu, Sita Nursanti menyanyikan untuk penonton di Goethe Haus Jakarta. Saya bergidik. Sesekali coba melirik, yang lain sedang khidmat menyimak.

Nasib lagu bikinan Zubaidah ini tergolong mujur. Sekalipun tak seorang pun mengingat judulnya, karena masih banyak yang hafal lirik serta nadanya, lagu ini panjang usia. Untuk memudahkan, akhirnya bait terakhir ‘tetap senyum menjelang fajar’ dipilih jadi judul.
Ke
banyakan lagu di album kedua lahir dari rahim Penjara Bukit Duri. Di lokasi ini pula, kerinduan Utati Koesalah malih rupa menjadi lagu berjudul Ibu.

Lagu berumur puluhan tahun itu berhasil ia bawa keluar penjara berkat secarik kertas bekas bungkus roti tawar. Ia menulis itu pada tahun pertamanya di penjara, bermodal pensil pinjaman Kepala Blok.
Lirik lagu menggambarkan kegusaran saat Utati muda memikirkan ibunya. Tak pernah lintas dalam benak, anak sulung ibu bakal dijebloskan ke penjara.

Wajah sang ibu terbayang berkali. Pelan-pelan nada lagu pun bergema. Iramanya sendu. Malam pengujung Januari lalu, musisi muda Endah Widiastuti melantunkannya dengan syahdu.

[AUDIO] ENDAH WIDIASTUTI MENYANYIKAN LAGU IBU
Terkenang s'lalu kasihmu yang sejati
Cintamu yang abadi ikhlas dan murni
Teringat s'lalu belai sayangmu ibu
Kata dan nasihatmu terngiang s'lalu
Kuterbayang wajahmu ibu
Harapanku padamu sehatlah s'lalu
-
"Bagaimanapun sejarah itu kan selama ini tidak pernah kedengaran. Ditutup. Dengan kami menyanyi, menceritakan lagu-lagu yang dari dalam (penjara Bukit Duri), yang muda kan jadi mengerti bahwa ada kejadian seperti itu. Mudah-mudahan mereka mengerti,"
- harap Utati seraya menutup sambungan telepon saya pekan lalu.

Utati, ditahan 11 tahun lamanya, tanpa peradilan. Ia ditangkap, hanya karena aktif berkesenian di Pemuda Rakyat—organisasi yang terafiliasi dengan PKI. Tapi malam itu, ia, juga perempuan penyintas lain lega, lagu-lagu dari balik penjara bisa diterima.
Jerih berbulan pun terbayar.
"Kami haru, sekaligus bangga, ternyata lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita ini bisa diterima generasi muda. Saya sungguh …. terharu, karena suara Dialita ternyata didengar, lagu-lagu kami semoga bisa diterima oleh masyarakat luas bukan hanya generasi muda. Yang dulu kami belum berani menyanyikannya, termasuk lagu-lagu yang dibungkam, tapi ternyata sekarang lagu ini bisa diterima dan digemari anak-anak muda.. terima kasih semua," tutur salah satu anggota Dialita, Elly Runtu.
[AUDIO] TEPUK TANGAN PENONTON PERTUNJUKAN
-

 Reporter
Damar Fery Ardiyan 
 Editor
Nurika Manan 

Kamis, 14 Februari 2019

Dan Kami Akan Terus Bernyanyi


February 14, 2019 - Artikel Dony P. Herwanto*

Konser Album kedua Paduan Suara Dialita bertajuk "Salam Harapan". Foto : Vestianty / www.whiteboardJournal.com


Pada mulanya, panggung kosong. Gelap. Langkah kaki penonton mulai terdengar memasuki gedung pertunjukan di Goethe - Institut Jakarta. Gedung berkapasitas sekira 200 orang itu mulai penuh. Samar-samar terdengar suara saling bersahutan di antara penonton. Suaranya tak jelas. Seperti dengung lebah.

Perlahan, lampu mulai menerangi panggung. Dari sisi kiri, musisi Sita Nursanti melangkah dengan pasti. berdiri tepat di tengah panggung. Lampu fokus mengarah padanya. Dia menjadi pembuka konser "Salam Harapan" bertajuk "Berbincang dan Bernyanyi Bersama Dialita dan Para Sahabat".
Lagu berjudul Tetap Senyum Menjelang Fajar yang bernuansa suka cita, garapan Zubaedah Nungtjik iya bawakan dengan berhasil. Lagu ini menggambarkan kondisi di mana para tahanan politik saat merayakan ulang tahun. Jauh dari orangtua dan sanak saudara. Awalan yang sempurna.

Sita, mampu menjadi pembuka konser yang sempurna. Endah Widiastuti tak mau ketinggalan. Seolah dirinya bukanlah penyanyi kedua. Dia bawakan lagu berjudul "Ibu" karya Utati Koesalah Toer. Lagu ini tercipta dari dalam penjara. Ditulis Utati untuk sang ibu yang jauh darinya. Dan malam itu, lagu ini hadir membawa kenangan-kenangan kelam itu. Berada di dalam penjara di usia yang masih muda.

Kekaguman ini makin memuncak ketika 18 personel Paduan Suara Dialita naik ke atas panggung. Tepuk tangan penonton menambah rasa kagum dan haru. Energi yang luar biasa. Semangat yang pantas dijadikan rujukan sebuah perjuangan. Dengan kebaya warna-warni, seolah Paduan Suara Dialita sedang mengirimkan pesan tentang beragamnya kita. Dialita tak hanya mengajak kita memasuki gambaran masa lalu yang kelam. Tapi mengajak kita untuk saling menjaga persatuan. Salam Harapan yang sempurna.

***

Paduan Suara Dialita berdiri sejak akhir 2011 dan beranggotakan ibu-ibu penyintas (survivor) yang berasal dari keluarga mantan tapol dari peristiwa 1965. Dinamakan Dialita karena anggotanya telah berusia lebih dari 50 tahun, yang bila disingkat menjadi: DI Atas Lima puluh TAhun (Dialita).

Hingga kini, Dialita telah dan terus menyanyikan lagu-lagu yang diciptakan oleh mereka yang di penjara pada masa itu dan melakukan aksi sosial kemanusiaan bagi sesama keluarga penyintas maupun bagi kelompok-kelompok lain yang membutuhkan.

DIALITA sudah melahirkan dua album, yang pertama “Dunia Milik Kita” dirilis pada 2016 dalam format digital dan cakram padat. Sementara, album kedua “Salam Harapan”, sudah dirilis pada 31 Januari lalu, digawangi oleh Rumah Bonita dengan menggandeng delapan orang musisi dan enam penyanyi solo, yakni Bonita, Endah Laras, Endah Widiastuti, Junior Soemantri, Kartika Jahja dan Sita Nursanti di bawah Pimpinan Produksi Musik Petrus Briyanto Adi.

Album kedua memiliki keunikannya tersendiri. Bersama dengan para musisi muda, ada kejutan dari komposisi musik yang berwarna dan apik, pilihan 12 lagu dalam album, kualitas bernyanyi secara padu, dan, terutama, keterlibatan dari para musisi dan penyanyi handal yang rekam jejaknya sudah terbukti.

Laiknya semangat sinar yang bergelora, album ini merupakan kumpulan karya penuh harapan. Tepatnya 12 lagu “Salam Harapan” adalah kristalisasi dari segala pengharapan, dan doa bagi para penulisnya selama menjalani kurungan sebagai tahanan politik di penjara Bukit Duri, Jakarta hingga Plantungan, Semarang.
"Pembuatan album ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan lagu-lagu bersejarah agar tak hilang – sebagaimana banyak bangunan penjara atau kamp-kamp pembuangan yang sudah tak ada jejaknya lagi," kata Utji K. Fauzia, Ketua Paduan Suara Dialita.
Menyanyikan lagu-lagu ini, lanjutnya, juga menjadi narasi bagi penulisan sejarah yang dibungkam. Melalui album ‘Salam Harapan’, Dialita berharap cerita-cerita dari balik penjara bisa dituturkan bagi khalayak luas, terutama generasi muda, agar tumbuh subur perbincangan membangun untuk Indonesia yang lebih baik.

Karya-karya tersebut tak hanya dinyanyikan DIALITA, namun juga mendapat penjiwaan baru dari para musisi dan solois.
"Sebuah kehormatan bagi saya untuk membawakan kembali lagu Ujian; lagu yang luar biasa kuat baik secara penulisan, secara emosi, dan juga tentu saja muatan sejarah. Saya merasa ini jadi tugas mulia buat saya sebagai generasi penerus untuk menyampaikan kisah, meneruskan sejarah, membuka hati dan merawat empati melalui lagu-lagu ini," ujar Kartika Jahja.
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.

Sabtu, 02 Februari 2019

Konser Salam Harapan: Dialita dan Nyala Api Rekonsiliasi ‘65


02 February 2019 12:31 | Reno Surya


Ada kalanya mengurai benang kusut akan lebih mudah daripada memahami carut marut kota Jakarta. Asap knalpot yang berjejal di sepanjang tubuh riuh ibukota, turut mengawali perjalan kami membelah Jakarta di tengah sayup-sayup mendung selepas hujan yang baru saja reda.

Kemacetan nan bertubi-tubi, menganjal laju motor kami. Tapi tak pernah sekalipun menyurutkan aral untuk menyerah. Ini karena ada seutas harapan tersemat: konser peluncuran album kedua Dialita, tak pantas dilewatkan begitu saja.

Dialita—akronim dari Diatas Lima Puluh Tahun—adalah kolektif paduan suara perempuan penyintas sekaligus korban peristiwa 1965. Mereka menamai anak rohani kedua mereka dengan tajuk Salam Harapan.

Sejumlah musisi lintas generasi pun juga turut memupuk harapan lewat album ini. Bonita Adi, Junior Soemantri, Kartika Jahja, Endah Widiastuti, hingga penyanyi campurasari legendaris, Endah Laras.

Semuanya turut menjaga nyala asa yang diawali ibu-ibu Dialita agar tak padam.
Dan, ini terjadi di tengah terpaan badai seputar isu komunisme, yang terus saja digoreng jelang pemilu. Meskipun kebangkitanya belum pernah benar-benar ada. Semua ini sepertinya hanya demi kepentingan belaka; menjaga fobia komunisme supaya supremasi negara buatan Orde Baru tetap terjaga.

Salam Harapan berisi 12 nomor bernas. Seluruhnya lagu laiknya Ujian, Salam Harapan, dan seterusnya semuanya ditulis oleh perempuan. Tembang-tembang itu tercipta dari dalam bui. Pada hari-hari kelam semasa di dalam kamp Plantungan dan Bukit Duri.

Ibu-ibu ini menyebutnya sebagai masa-masa “sekolah”.



***
Sumber: DNK.Id 

Rabu, 30 Januari 2019

Babak Baru Perjalanan Dialita Membasuh Luka Tragedi '65


Oleh Reno Surya | 30 January 2019, 9:00am

Album kedua paduan suara para penyintas 1965 yang bertajuk 'Salam Harapan', dijanjikan bakal lebih terkonsep dibanding debut mereka, 'Dunia Milik Kita'.

Paduan Suara Dialita. Foto oleh Forumkotakhitam/Arsip dari Dialita

Dialita segera kembali menyapa telinga kita, lewat album kedua mereka yang berjudul Salam Harapan yang rencananya akan dirilis pada 31 Januari 2019 nanti. Kehadiran Dialita di kancah musik tanah air dibakukan pertama kali dengan lahirnya debut album bertajuk Dunia Milik Kita.

Melalui album yang kemudian akan membawa nama Dialita kerap terpacak di deretan album-album terbaik pada tahun itu, bahkan kami menyebutnya dua kali sebagai rilisan lokal terbaik 2016 versi VICE (serta layak dipertimbangkan sebagai album Indonesia terbaik sepanjang dekade kedua Abad 21.) Kali pertama dalam sejarah Indonesia penyintas pemenjaraan paksa 1965 bisa bebas merdeka menyanyikan lagu-lagu ciptaan mereka dan dibakukan pula dalam album.

"Meskipun isu tentang Komunisme selalu hadir, khususnya di tahun-tahun [politik] seperti ini, kami tidak pernah kehilangan harapan. Meskipun dalam keadaan negara sedang ‘gebuk sana, gebuk sini’,” tandas Uchikowati, salah satu anggota paduan suara Dialita, dalam sesi diskusi media bersama Dialita.

Hantu komunisme—kendati partainya sudah mampus lebih dari lima dekade lalu—memang kerap di bangkitkan pada masa-masa tahun politik. Wacana tersebut kemudian kembali di ’goreng’ sedemikian rupa, dengan tujuan tak ayal untuk kembali mempertebal fobia klasik, tentang kebangkitan komunisme di tanah air, yang faktanya tidak pernah terjadi.

Terlepas dari upaya goreng-menggoreng isu komunisme oleh buzzer politik, Dialita hadir semata-mata karena keinginan anggotanya untuk bernyanyi. Sebab nyanyian itulah yangbisa menumbuhkan semangat dan harapan, entah di penjara, entah pun kini ketika mereka sudah menghirup udara bebas.

Musik seolah hadir bak juru selamat bagi mereka. Musik menjadi perpanjangan tangan bagi Dialita untuk mendistribusikan narasi mereka tentang 1965. Mereka menyibak kabut gelap masa silam, dan mengantinya dengan sebuah Salam Harapan.

Sama seperti halnya album pertama, dalam prosesi penulisan album kedua ini, Dialita kembali berkolaborasi dengan musisi-musisi lain yang turut menyemarakkan kehadiran mereka. Bonita Adi, Junior Soemantri, Kartika Jahja, Endah Widiastuti, hingga penyanyi campurasari legendaris, Endah Laras, juga turut ambil bagian dalam Salam Harapan. Sebagian artis yang terlibat dalam pembuatan album adalah mereka yang dulu sempat urun tenaga dalam konser tunggal di Jakarta 2017 lalu.

Endah Widiastuti, satu dari dua personil kolektif Endah ‘N Rhesa mengaku pengalaman berkolaborasi dengan Dialita adalah sebuah pengalaman berharga. Hal senada juga diamini oleh Sita Nursanti, yang juga menjadi salah satu kolaborator dalam album kedua milik Dialita.

"Saya begitu tersentuh dengan lagu-lagu Dialita. Begitu bersahaja, indah dan begitu kuat mendalam maknanya. Semangat yang tulus para ibu untuk bernnyanyi dan berkarya menginspirasi saya untuk selalu berkarya dan bekerja dengan hati dan niat yg tulus," kata Sita.

Dibanding Dunia Milik Kita, album Salam Harapan dijanjikan akan lebih konseptual baik dari segi lirik maupun musik. Jika saja pada album pertama para penyintas bernyanyi secara otodidak dan terkesan ‘seadanya’, lewat polesan tangan Imada Hutagalung, Dialita kini berjanji menawarkan warna musik yang lebih rancak. Seluruh lagu yang akan dimuat dalam album kedua ini, ditulis oleh perempuan dan semuanya tercipta dari dalam bui.

"Kalau album sebelumnya kan ada yang ditulis sebelum tahun ’65, dan ada yang ditulis pada saat tahanan politik sudah dibebaskan setelah 1978. Lagu Salam Harapan yang sekaligus menjadi judul album ke-2 kami diciptakan oleh Ibu Murtiningrum, dari dalam penjara Bukit Duri," ujar Uchikowati, yang akrab dipanggil Ibu Uchi, kepada VICE.

Salam Harapan resmi dilahirkan pada 31 Januari 2019. Perayaan hadirnya album ke-2 Dialita rencananya disemarakkan denganpertunjukan musik dari Dialita, beserta seluruh kolaborator yang terlibat sepanjang proses pembuatan album ini, di Goethe-Haus, Jakarta.

"Kami tidak tahu peristiwa 1965 akan tuntas kapan. Mungkin saja besok, atau mungkin juga lusa. Bahkan mungkin tahun depan, atau sepuluh tahun lagi. Yang kami tahu," kata Uchi. "Kami telah berupaya dan ambil bagian untuk meluruskan sejarah panjang bangsa kita tentang peristiwa 1965."

Sumber: https://www.vice.com/id_id/article/d3mvxq/babak-baru-perjalanan-dialita?utm_campaign=sharebutton&fbclid=IwAR2P7dVvJ9OpUSkjSMHXDAj2eP67bvUYtGcpgY-dWkHdqUPg_hK3y_BZP8Q

Rabu, 02 Januari 2019

'Bangkit dari Keheningan' membawa suara korban 1965 selamat kepada generasi muda


NI NYOMAN WIRA
THE JAKARTA POST
Jakarta  / Rabu, 2 Januari 2019  / 06:36 sore

 Dialita, paduan suara yang terdiri dari para penyintas tragedi 1965, berlatih di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Desember tahun lalu. (JP / Ben Latuihamallo)

Lagu berjudul "Taman Bunga Plantungan" (Taman Plantungan) bercerita tentang sebuah taman yang indah di Plantungan di Jawa Tengah, yang merupakan sebuah kamp yang diperuntukkan bagi tahanan politik wanita.

Ditulis oleh Zubaidah Nungtjik AR, "Taman Bunga Plantungan" secara rutin dilakukan oleh paduan suara Dialita yang anggotanya merupakan korban dari tragedi 1965 dan kerabat mereka. Lagu ini juga ditetapkan sebagai nomor pembuka untuk  Rising from Silence , sebuah film dokumenter 28 menit tentang perjalanan grup vokal sebelum merilis album pertama mereka, Dunia Milik Kita (Our Own World, 2016).

Disutradarai oleh Shalahuddin Siregar, Rising from Silence menunjukkan potongan-potongan kehidupan anggota Dialita, termasuk sesi latihan mereka sebelum acara peluncuran. Yang paling penting, ini juga menunjukkan sekilas masa lalu kelam Indonesia yang masih belum terselesaikan. Diproduksi oleh In-Docs dan ditayangkan perdana di NHK World pada tahun 2016, film dokumenter ini akan memperkenalkan tragedi tersebut kepada generasi muda melalui suara para penyintas.

Didirikan pada 2011, anggota Dialita menggunakan bernyanyi sebagai cara untuk menyembuhkan trauma mereka. Lagu-lagu yang mereka tampilkan sebagian besar ditulis oleh para anggotanya selama di penjara, dengan tema-tema mulai dari tindakan sederhana mengagumi alam dan dorongan yang memilukan untuk diri sendiri dan teman-teman hingga program pemerintah pada saat itu. “Viva Ganefo”, misalnya, terkait dengan acara olahraga Games New Emerging Forces (Ganefo) yang diadakan selama era Sukarno pada 1960-an.

Foto dari 'Rising from Silence', yang ditayangkan perdana di NHK World pada 2016. (twitter.com/indocsnews/File)

Rising from Silence memenangkan penghargaan Best Short Documentary di 2018 Indonesian Film Festival (FFI) , yang diadakan di Jakarta pada bulan Desember. 
"Ini merupakan peningkatan [bagi kami] bahwa film-film tentang tragedi 1965 dapat dimasukkan dalam bagian yang kami menangkan," kata Irawati Atmosukarto, manajer Dialita, pada acara pemutaran Rising from Silence Kamis lalu di Empu Sendok Arts Station (ESAS) ) di Jakarta Selatan. "Untuk itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada FFI dan juri."
Paduan suara Dialita juga tampil dalam film Shalahuddin lainnya, Song for My Children . Dengan judul yang diambil dari salah satu lagunya, film dokumenter lengkap ditampilkan di Good Pitch 2 (Good Pitch Squared) Asia Tenggara 2017, sebuah platform yang menyatukan pembuat film dokumenter dan pembuat perubahan untuk menyoroti isu-isu sosial dan lingkungan yang mendesak.

Paduan suara juga berencana untuk merilis album kedua pada 31 Januari. Mengambil rute yang sama dengan album pertama, sekali lagi akan berkolaborasi dengan musisi muda Indonesia. (wng)

Sumber: The Jakarta Post 

'Bangkit dari Keheningan' membawa suara 1965 korban selamat kepada generasi muda


NI NYOMAN WIRA - THE JAKARTA POST
Jakarta  / Rabu, 2 Januari 2019  / 06:36 sore

Dialita, paduan suara yang terdiri dari para penyintas tragedi 1965, berlatih di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Desember tahun lalu. (JP / Ben Latuihamallo)

Lagu berjudul "Taman Bunga Plantungan" (Taman Plantungan) bercerita tentang sebuah taman yang indah di Plantungan di Jawa Tengah, yang merupakan kamp yang diperuntukkan bagi tahanan politik wanita.

Ditulis oleh Zubaidah Nungtjik AR, "Taman Bunga Plantungan" secara rutin dilakukan oleh paduan suara Dialita yang anggotanya merupakan korban dari tragedi 1965 dan kerabat mereka. Lagu ini juga ditetapkan sebagai nomor pembuka untuk  Rising from Silence , sebuah film dokumenter 28 menit tentang perjalanan grup vokal sebelum merilis album pertama mereka, Dunia Milik Kita (Our Own World, 2016).

Disutradarai oleh Shalahuddin Siregar, Rising from Silence menunjukkan potongan-potongan kehidupan anggota Dialita, termasuk sesi latihan mereka sebelum acara peluncuran. Yang paling penting, ini juga menunjukkan sekilas masa lalu kelam Indonesia yang masih belum terselesaikan. Diproduksi oleh In-Docs dan ditayangkan perdana di NHK World pada tahun 2016, film dokumenter ini akan memperkenalkan tragedi tersebut kepada generasi muda melalui suara para penyintas.

Didirikan pada tahun 2011, anggota Dialita menggunakan bernyanyi sebagai cara untuk menyembuhkan trauma mereka. Lagu-lagu yang mereka tampilkan sebagian besar ditulis oleh para anggotanya selama di penjara, dengan tema-tema mulai dari tindakan sederhana mengagumi alam dan dorongan yang memilukan untuk diri sendiri dan teman-teman hingga program pemerintah pada saat itu. “Viva Ganefo”, misalnya, terkait dengan acara olahraga Games New Emerging Forces (Ganefo) yang diadakan selama era Sukarno pada 1960-an.

Foto dari 'Rising from Silence', yang ditayangkan perdana di NHK World pada tahun 2016. (twitter.com/indocsnews/File)

Rising from Silence memenangkan penghargaan Best Short Documentary di 2018 Indonesian Film Festival (FFI) , yang diadakan di Jakarta pada bulan Desember. 
 "Ini merupakan peningkatan [bagi kami] bahwa film-film tentang tragedi 1965 dapat dimasukkan dalam bagian yang kami menangkan," kata Irawati Atmosukarto, manajer Dialita, selama acara pemutaran Rising from Silence Kamis lalu di Empu Sendok Arts Station (ESAS) ) di Jakarta Selatan. 
 "Untuk itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada FFI dan juri."
Paduan suara Dialita juga ditampilkan dalam film Shalahuddin lainnya, Song for my Children . Dengan judul yang diambil dari salah satu lagunya, film dokumenter lengkap ditampilkan di Good Pitch 2 (Good Pitch Squared) Asia Tenggara 2017, sebuah platform yang menyatukan pembuat film dokumenter dan pembuat perubahan untuk menyoroti masalah sosial dan lingkungan yang mendesak.

Paduan suara juga berencana untuk merilis album kedua pada 31 Januari. Mengambil rute yang sama dengan album pertama, ia akan kembali berkolaborasi dengan musisi muda Indonesia. (wng)