February 14, 2019 - Artikel Dony P. Herwanto*
Konser Album kedua Paduan
Suara Dialita bertajuk "Salam Harapan". Foto : Vestianty /
www.whiteboardJournal.com
Pada mulanya, panggung kosong. Gelap. Langkah kaki
penonton mulai terdengar memasuki gedung pertunjukan di Goethe - Institut
Jakarta. Gedung berkapasitas sekira 200 orang itu mulai penuh. Samar-samar
terdengar suara saling bersahutan di antara penonton. Suaranya tak jelas.
Seperti dengung lebah.
Perlahan, lampu mulai menerangi panggung. Dari sisi kiri,
musisi Sita Nursanti melangkah dengan pasti. berdiri tepat di tengah panggung.
Lampu fokus mengarah padanya. Dia menjadi pembuka konser "Salam
Harapan" bertajuk "Berbincang dan Bernyanyi Bersama Dialita dan Para
Sahabat".
Lagu berjudul Tetap Senyum Menjelang Fajar yang bernuansa
suka cita, garapan Zubaedah Nungtjik iya bawakan dengan berhasil. Lagu ini
menggambarkan kondisi di mana para tahanan politik saat merayakan ulang tahun.
Jauh dari orangtua dan sanak saudara. Awalan yang sempurna.
Sita, mampu menjadi pembuka konser yang sempurna. Endah
Widiastuti tak mau ketinggalan. Seolah dirinya bukanlah penyanyi kedua. Dia
bawakan lagu berjudul "Ibu" karya Utati Koesalah Toer. Lagu ini
tercipta dari dalam penjara. Ditulis Utati untuk sang ibu yang jauh darinya.
Dan malam itu, lagu ini hadir membawa kenangan-kenangan kelam itu. Berada di
dalam penjara di usia yang masih muda.
Kekaguman ini makin memuncak ketika 18 personel Paduan
Suara Dialita naik ke atas panggung. Tepuk tangan penonton menambah rasa kagum
dan haru. Energi yang luar biasa. Semangat yang pantas dijadikan rujukan sebuah
perjuangan. Dengan kebaya warna-warni, seolah Paduan Suara Dialita sedang
mengirimkan pesan tentang beragamnya kita. Dialita tak hanya mengajak kita
memasuki gambaran masa lalu yang kelam. Tapi mengajak kita untuk saling menjaga
persatuan. Salam Harapan yang sempurna.
***
Paduan Suara Dialita berdiri sejak akhir 2011 dan
beranggotakan ibu-ibu penyintas (survivor) yang berasal dari keluarga mantan
tapol dari peristiwa 1965. Dinamakan Dialita karena anggotanya telah berusia
lebih dari 50 tahun, yang bila disingkat menjadi: DI Atas Lima puluh TAhun
(Dialita).
Hingga kini, Dialita telah dan terus menyanyikan
lagu-lagu yang diciptakan oleh mereka yang di penjara pada masa itu dan
melakukan aksi sosial kemanusiaan bagi sesama keluarga penyintas maupun bagi
kelompok-kelompok lain yang membutuhkan.
DIALITA sudah melahirkan dua album, yang pertama “Dunia
Milik Kita” dirilis pada 2016 dalam format digital dan cakram padat. Sementara,
album kedua “Salam Harapan”, sudah dirilis pada 31 Januari lalu, digawangi oleh
Rumah Bonita dengan menggandeng delapan orang musisi dan enam penyanyi solo,
yakni Bonita, Endah Laras, Endah Widiastuti, Junior Soemantri, Kartika Jahja
dan Sita Nursanti di bawah Pimpinan Produksi Musik Petrus Briyanto Adi.
Album kedua memiliki keunikannya tersendiri. Bersama
dengan para musisi muda, ada kejutan dari komposisi musik yang berwarna dan
apik, pilihan 12 lagu dalam album, kualitas bernyanyi secara padu, dan,
terutama, keterlibatan dari para musisi dan penyanyi handal yang rekam jejaknya
sudah terbukti.
Laiknya semangat sinar yang bergelora, album ini
merupakan kumpulan karya penuh harapan. Tepatnya 12 lagu “Salam Harapan” adalah
kristalisasi dari segala pengharapan, dan doa bagi para penulisnya selama
menjalani kurungan sebagai tahanan politik di penjara Bukit Duri, Jakarta
hingga Plantungan, Semarang.
"Pembuatan album ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan lagu-lagu bersejarah agar tak hilang – sebagaimana banyak bangunan penjara atau kamp-kamp pembuangan yang sudah tak ada jejaknya lagi," kata Utji K. Fauzia, Ketua Paduan Suara Dialita.
Menyanyikan lagu-lagu ini, lanjutnya, juga menjadi narasi
bagi penulisan sejarah yang dibungkam. Melalui album ‘Salam Harapan’, Dialita
berharap cerita-cerita dari balik penjara bisa dituturkan bagi khalayak luas,
terutama generasi muda, agar tumbuh subur perbincangan membangun untuk
Indonesia yang lebih baik.
Karya-karya tersebut tak hanya dinyanyikan DIALITA, namun
juga mendapat penjiwaan baru dari para musisi dan solois.
"Sebuah kehormatan bagi saya untuk membawakan kembali lagu Ujian; lagu yang luar biasa kuat baik secara penulisan, secara emosi, dan juga tentu saja muatan sejarah. Saya merasa ini jadi tugas mulia buat saya sebagai generasi penerus untuk menyampaikan kisah, meneruskan sejarah, membuka hati dan merawat empati melalui lagu-lagu ini," ujar Kartika Jahja.
Dony P. Herwanto,
documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk
menjaga kewarasan dan ingatan.
0 komentar:
Posting Komentar