02 February 2019 12:31 | Reno Surya
Ada kalanya mengurai benang kusut akan lebih mudah
daripada memahami carut marut kota Jakarta. Asap knalpot yang berjejal di
sepanjang tubuh riuh ibukota, turut mengawali perjalan kami membelah Jakarta di
tengah sayup-sayup mendung selepas hujan yang baru saja reda.
Kemacetan nan bertubi-tubi, menganjal laju motor kami.
Tapi tak pernah sekalipun menyurutkan aral untuk menyerah. Ini karena ada
seutas harapan tersemat: konser peluncuran album kedua Dialita, tak pantas
dilewatkan begitu saja.
Dialita—akronim dari Diatas Lima Puluh Tahun—adalah
kolektif paduan suara perempuan penyintas sekaligus korban peristiwa 1965.
Mereka menamai anak rohani kedua mereka dengan tajuk Salam Harapan.
Sejumlah musisi lintas generasi pun juga turut memupuk
harapan lewat album ini. Bonita Adi, Junior Soemantri, Kartika Jahja, Endah
Widiastuti, hingga penyanyi campurasari legendaris, Endah Laras.
Semuanya turut menjaga nyala asa yang diawali ibu-ibu
Dialita agar tak padam.
Dan, ini terjadi di tengah terpaan badai seputar isu
komunisme, yang terus saja digoreng jelang pemilu. Meskipun kebangkitanya
belum pernah benar-benar ada. Semua ini sepertinya hanya demi kepentingan
belaka; menjaga fobia komunisme supaya supremasi negara buatan Orde Baru tetap
terjaga.
Salam Harapan berisi 12 nomor bernas. Seluruhnya
lagu laiknya Ujian, Salam Harapan, dan seterusnya semuanya ditulis
oleh perempuan. Tembang-tembang itu tercipta dari dalam bui. Pada hari-hari
kelam semasa di dalam kamp Plantungan dan Bukit Duri.
Ibu-ibu ini menyebutnya sebagai masa-masa “sekolah”.
***
Sumber: DNK.Id
0 komentar:
Posting Komentar