7 FEBRUARI 2019 | 11:19
Mencari jejak Haji Misbach di Manokwari tidak gampang. Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pejuang yang dijuluki “Haji Merah” itu dibuang, meninggal dan dimakamkan di Manokwari.
Beruntung, berkat bantuan seorang kawan aktivis di Manokwari, saya bisa berjumpa dengan Patrix Tandirerung. Pemuda asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan, ini merupakan satu dari hitungan jari orang di Manokwari yang mengetahui keberadaan makam Haji Misbach di Manokwari.
Patrix mengaku bermukim di Manokwari sejak 1999. Suatu hari, saat masih magang di sebuah media cetak, dia menemukan artikel tentang Haji Misbach yang ditulis oleh seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
“Konon kabarnya, Kiai Merah dibuang ke Manokwari. Petunjuknya adalah Fanindi,” kenang Patrix.
Sejak itu, dia mulai bergerilya mencari makam tokoh penting Sarekat Islam cabang Surakarta itu. Awalnya, dia berusaha mencari petunjuk tentang komplek pemukiman kuno Fanindi.
Bulan Desember 2010, usaha itu membuahkan hasil. Komplek pemakaman Fanindi ditemukan. Tepat di belakang kantor Telkom, di jalan Merdeka, Manokwari. Dan berkat petunjuk seorang warga, yang oleh orang-orang sekitar dipanggil “Mama”, makam Haji Misbach berhasil ditemukan.
“Kondisinya memprihatinkan. Nyaris seluruh nisan tertutup ilalang. Lambang bulan bintang pada nisan, serta tulisan Haji Misbach, tertutupi lumut dan debu,” kenang Patrix.
Hari itu, Senin (28/1/2019), dipandu oleh Patrix, saya dan beberapa teman dari Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) berkesempatan menziarahi makam Haji Misbach.
Kondisi pemakaman Fanindi makin memprihatikan. Tidak terurus. Banyak makam yang batu nisannya terbongkar. Bahkan pemakaman zaman Belanda ini mulai terdesak oleh pemukiman penduduk.
“Dulunya ini pemakaman orang Belanda dan Cina. Ada juga orang-orang Makassar di ujung sana,” kata Riska, cucu Mama, salah satu warga yang tinggal di sekitar pemakaman Fanindi sejak zaman Belanda.
Rumah Mama bergaya Belanda, diapit oleh halaman yang luas. Dari gaya rumahnya, jelas Mama termasuk pemukim terlama di daerah itu. Mama-lah yang menjadi sumber informasi Patrix saat mencari makam Haji Misbach.
Hari itu, saat kami berziarah, kondisi makam Haji Misbach agak berubah. Pusara Kiai Merah bersama keluarga sudah dinaungi atap. Lantainya juga sudah dilapisi keramik. Hanya saja, karena jarang dikunjungi, rumput mulai menjulur masuk ke dalam bangunann makam.
Menurut Patrix, dari cerita gurunya yang bernama Kamari, seorang Sukarnois asal Surabaya yang hijrah ke Manokwari pasca peristiwa 1965, pemugaran makam Haji Misbach mulai terjadi tahun 1980-an.
Adam Malik, yang saat itu menjabat Wakil Presiden, memerintahkan pemugaran makam Haji Misbach dan keluarganya. Bahkan pendiri partai Murba ini sempat berziarah ke makam Haji Misbach.
“Mama saat itu yang mengalungkan bunga ke Wakil Presiden,” cerita Riska.
Sejak itu, makam Haji Misbach mulai mendapat perhatian. Bahkan, berdasarkan cerita Pak Kamari, anggota TNI rutin membersihkan makam itu menjelang peringatan Hari Pahlawan.
Tidak banyak informasi tentang pemugaran seperti apa yang dilakukan oleh Adam Malik. Tapi, menurut dugaan saya, dia yang memasang nisan di atas pusara Haji Misbach. Sebab, di nisan itu tertulis: “Perintis Kemerdekaan RI”, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menurut cerita Riska, setelah Orde Baru tumbang, mulai ada orang lain yang mengunjungi Haji Misbach. Termasuk orang-orang Eropa, yang kemungkinan peneliti.
Pemugaran terbaru terjadi baru beberapa tahun lalu. Saat itu, kata Riska, ada rombongan keluarga Haji Misbach dari Jawa yang datang berziarah. Beberapa diantaranya berhijab panjang. Merekalah yang memasang atap dan pagar. Juga memasang lantai keramik.
****
Haji Misbach lahir di Kauman, Surakarta, tahun 1876. Dia dibesarkan di tengah keluarga pedagang batik yang kaya. Namun, karena dia tinggal di kawasan yang sangat religius, sebagian besar masa sekolahnya di Pesantren.
Begitu beranjak dewasa, Misbach mewarisi pekerjaan keluarganya: pedagang batik yang sukses. Tahun 1912, ketika Sarekat Islam (SI) berdiri di Surakarta, dia menjadi anggotanya.
Misbach mulai aktif di pergerakan di tahun 1914, melalui Indlandsche Journalisten Bond (IJB)—semacam perkumpulan para jurnalis, bersama Mas Marco Kartodikromo.
Tahun 1915, dia mulai menerbitkan koran sendiri. Namanya Medan Moeslimin. Koran inilah yang menjadi terompet Misbach memprotes ketidakadilan dan penindasan kolonial.
Meski begitu, Haji Misbach lebih dikenal sebagai Mubalig—penyiar agama dalam Islam. Di sisi lain, karena pengaruh orang kiri semacam Sneevliet dan Semaun, SI banyak terpapar oleh ajaran Marxisme. Haji Misbach menyebutnya “Ilmu Komunisme”.
Haji Misbach tertarik dengan marxisme, terutama karena ketajaman analisanya dalam membongkar kejahatan kapitalisme sekaligus kemuliaan cita-citanya untuk menegakkan masyarakat sama rata; sama rasa.
Di akhir 1910-an, di Surakarta dan sekitarnya, merebak keresahan kaum buruh dan petani akibat kebijakan kolonial soal kerja wajib, pajak dan upah yang tidak adil. Insulinde, organisasi yang diinspirasi oleh tiga serangkai—Tjipto Mangoenkoesoemo, E.F.E Dekker, dan Soewardi Soerjadiningrat—merespon keresahan itu.
Haji Misbach menjadi bagian Insulinde pada Maret 1918. Bersama Insulinde, dia menjelma sebagai “propagandis” yang menyuarakan persoalan-persoalan buruh dan petani.
Saat itu, di Surakarta dan sekitarnya, pemogokan petani dan buruh meluas. Dan untuk menutup sumber agitasi pemogokan, Belanda menciduk Haji Misbach. Ia dikurung tiga tahun.
Tahun 1922, Misbach keluar dari penjara. Kecewa dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang dianggap “mandul” terhadap kapitaisme dan imperialism, Haji Misbach merapat ke Partai Komunis Indonesia. Dia menjadi pendiri PKI afdeling Surakarta.
Di sini, keyakinan Haji Misbach akan kemiripan nilai dan kesetujuan cita-cita antara Islam dan komunisme makin menebal. Baginya, perjuangan melawan kapitalisme dan imperialism adalah jihad fi sabilillah.
Tahun 1923, terjadi serangan bom di sejumlah kantor pemerintah Surakarta, penggelintiran kereta api di Yogyakarta, dan pelemparan kotoran ke potret-potret Ratu Wilhelmina. Haji Misbach langsung dituding mendalangi aksi-aksi ini.
Pada 20 Oktober 1923, Misbach kembali diciduk. Tanpa melalui proses peradilan, dan tanpa bukti yang kuat, sang Kiai merah tetap dianggap bersalah. Dia dijatuhi hukuman buangan ke Manokwari, Papua barat.
Tanggal 18 Juli 1924, Misbach digiring menumpang kapal dari Surabaya ke Manokwari. Ia ditemani oleh istri dan tiga anaknya. Perjalanan Surabaya-Manokwari ditempuh 20 hari, dengan 17 kali singgah di pelabuhan sepanjang Jawa-Papua.
Tanggal 7 Agustus 1924, Misbach dan keluarga tiba di Manokwari. Sesuai janjinya, dia langsung menulis kronologis perjalanannya melalu surat yang dimuat di koran Medan Moeslimin.
Di Manokwari, api perjuangan Misbach tidak padam. Dari kota buah inilah Misbach melahirkan risalahnya yang terkenal, Islamisme dan Kommunisme, yang dimuat berseri di Medan Moeslimin. Di risalah inilah dia memproklamirkan: komunis yang memusuhi Islam bukanlah komunis sejati; sebaliknya, islam yang memusuhi komunisme, bukanlah Islam yang sejati.
Di kota ini, kendati diawasi ketat oleh Belanda, Haji Misbach tetap mengorganisir rakyat. Dia mendirikan Sarekat Rakyat (SR) cabang Manokwari, yang beranggotakan puluhan orang.
Memang, begitu tiba di Manokwari, istri Haji Misbach terserang penyakit TBC akut. Penyakit Malaria juga mulai menyerang Misbach dan anak-anaknya. Karena kondisi itu, pada Mei 1925, Misbach sempat meminta izin kepada Belanda, agar diperbolehkan ke luar negeri.
Saat itu, Misbach berniat ke Belanda. Apalagi, saat itu, dia mendengar namanya dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah di parlemen Belanda) oleh Partai Komunis Belanda. Karena niat itu, pengikut Haji Misbach di Surakarta menggalang dana untuk pemberangkatan Misbach ke Belanda.
Sayang, izin itu datang terlambat. Istri Misbach meninggal dunia pada Juli 1925. Setahun kemudian, tepatnya 24 Mei 1926, karena serangan Malaria, giliran Haji Misbach yang berpulang. Dia dikubur oleh sekelompok kecil anggota SR Manokwari di kuburan Fanindi.
Di “Zaman Bergerak”, Takashi menceritakan, setelah Misbach meninggal, tiga anaknya dipulangkan ke Surakarta, dengan diantara oleh seorang anggota SR Manokwari, pada akhir Juli 1926.
Namun, di pemakaman Haji Misbach, selain nisan Misbach dan istrinya, ada nisan anak kecil di samping mereka. Makam anak kecil itu masuk dalam bangunan atap makam keluarga Misbach. Anak kecil itu diyakini salah satu anak Haji Misbach.
RUDI HARTONO, pimred berdikarionline.com.
Keterangan foto: foto (1) makam Haji Misbach tahun 2010 (diambil oleh Patrix Tandirerung); foto (2) penulis di samping Nisan Haji Misbach tahun 2019 (diambil oleh AJ Susamana)
Sumber: BerdikariOnline
0 komentar:
Posting Komentar