HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Persekusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Persekusi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2020

Hunting Spectre: Sejarah Politik Pembersihan Partai Komunis Filipina


kasama_libsoc | 11 Feb 2020 13:16
  • Sebuah studi sejarah tentang pembersihan kejam yang dilakukan oleh Partai Komunis Filipina dan komponen senjatanya, Tentara Rakyat Baru.


Daftar Isi

Pendahuluan
I. Mutilasi diri dari suatu gerakan
1.1 'Pembersihan'
1.2 Keistimewaan dari 'pembersihan' Filipina
II. Gerakan Komunis di Filipina 1930 - 1952
2.1 Kelahiran gerakan
2.2 'Bangkit Filipina!' - resistensi anti-Jepang
2.3 Dari perlawanan ke revolusi?

AKU AKU AKU. Pemberontakan petani dari Huks ke CPP / NPA

IV. Siklus kedua dari gerakan Komunis

V. Ideologi Cao
5.1 Maoisme datang ke Filipina
5.2 Kekerasan dan kesukarelaan dalam Maoisme Revolusi Budaya era
5.3 Partai selalu benar?

VI. Ketidakstabilan dalam partai
6.1 Persatuan rapuh
6.2 Partai di Mindanao

VII. Elemen-elemen penjelasan untuk 'pembersihan'
7.1 Penjelasan yang ada
7.2 Militerisme: 'Segala sesuatu tumbuh dari laras pistol'
7.3 Pengurangan-kelas-kelas
7.4 Asumsi pengkhianatan
7.5 Penyiksaan fungsional dan kekejaman 'tidak berguna'
7.6 Desensitisasi terhadap kekerasan
7,7 Organisasi kelemahan dan peran kepemimpinan
7,8 Paranoia - gejala krisis

Kesimpulan Bibliografi

Epilog


Pada tahun 1986 pemberontakan rakyat mengakhiri kekuasaan Ferdinand Marcos, yang telah menjadi diktator Filipina sejak mendeklarasikan Darurat Militer pada tahun 1972 (secara resmi dicabut pada tahun 1981). 

Tahun-tahun terakhir pemerintahan Marcos dan tahun-tahun pertama 'demokrasi' yang dipulihkan adalah periode disorientasi dan keretakan bagi pasukan anti-Marcos utama, Partai Komunis Filipina (CPP), yang pada awal tahun delapan puluhan mengklaim sebuah angkatan bersenjata sekitar lima belas ribu, jumlah kader politik yang sama dan sekitar satu juta pendukung, tersebar di pedesaan dan kota-kota negara itu.1 

Selama tahun-tahun ini, anggota CPP menyiksa dan membunuh ratusan rekan mereka sendiri.

Penyiksaan dan pembunuhan adalah bagian dari kampanye melawan mata-mata pemerintah yang dicurigai dalam partai bawah tanah dan sayap bersenjatanya, pasukan gerilyawan Tentara Rakyat Baru (NPA). 

Kekerasan intra-partai paling kuat di Mindanao, pulau selatan kepulauan Filipina. Mindanao telah menjadi kubu CPP selama tahun delapan puluhan tetapi pembersihan di sana, kira-kira berlangsung dari setengah 1985 hingga setengah 1986, merupakan pukulan berat bagi organisasi. 
Seperempat abad kemudian, banyak pertanyaan yang masih belum terselesaikan.

Esai ini akan memeriksa penjelasan untuk pembersihan yang ditawarkan oleh para penyintas dan komentator politik dan akademik. Lebih mendasar daripada pertanyaan siapa yang bersalah adalah pertanyaan mengapa proses ini terjadi. Banyak penjelasan untuk pembersihan yang ditawarkan sejauh ini - seperti 'paranoia' yang dipupuk oleh kondisi perjuangan bersenjata bawah tanah, penggunaan instrumental manusia oleh otoriter, organisasi 'Leninis' atau penggunaan tuduhan untuk menyelesaikan konflik politik - hanya menawarkan bagian dari penjelasan karena mereka tidak mempertimbangkan konteks historis khusus CPP di Mindanao dan seluruh Filipina. 

CPP bukanlah gelembung yang terisolasi atau hanya didefinisikan oleh ideologinya, bersih dari pengaruh luar.

Esai ini akan mencoba menemukan gelombang pembersihan sebagai bagian dan produk dari perkembangan historis CPP. Interaksi antara partai dan konteks sosial dan politiknya perlu dipertimbangkan. Struktur dan ideologi CPP adalah elemen-elemen penting dari penjelasan tentang pembersihan tetapi tidak cukup: pembersihan datang pada saat krisis sosial dan politik yang intens di Filipina, krisis yang juga menimpa partai dan para pendukungnya. 

Pada 21 Agustus 1983, orang-orang bersenjata Marcos membunuh pemimpin oposisi Benigno 'Ninoy' Aquino ketika dia kembali dari pengasingan di Amerika Serikat. Sebelum kediktatoran Marcos, Aquino telah menjadi gubernur dan senator dan dia adalah tokoh oposisi liberal. Pembunuhan itu menyebabkan keributan dan rezim Marcos, sudah dilemahkan oleh CPP yang dipimpin ' Gerakan Nasional-Demokrat ', mulai membusuk. 

Sebagian besar dari kelas menengah perkotaan yang secara politis pasif sampai sekarang pindah ke bidang politik. Rezim tidak seimbang dan hampir runtuh. Berusaha untuk mendapatkan kembali kendali, Marcos mengumumkan pada akhir 1985 bahwa ia akan meneruskan pemilihan presiden ke 1986. CPP, salah membaca situasi politik dan meremehkan sentimen anti-kediktatoran di negara itu, menyatakan boikot pemilihan tetapi mayoritas dari kubu anti-Marcos berunjuk rasa di belakang calon presiden Corazon 'Cory' Aquino, janda Benigno Aquino. 

Penipuan besar-besaran yang menyatakan Marcos sebagai pemenang resmi adalah transparan dan terlalu sedikit yang mau mendukungnya bahkan lebih lama lagi dengan bagian pemerintah Amerika, yang merupakan pendukung Marcos, yang sekarang mendukung Cory Aquino. Akhirnya,

Urutan peristiwa yang penuh gejolak ini, yang terjadi saat pembersihan berlangsung, membuat CPP kehilangan keseimbangan. Gelombang kegembiraan melewati CPP karena diharapkan hari otokrat akan jatuh dengan cepat tetapi hampir bersamaan, perdebatan pecah di partai tentang bagaimana untuk melanjutkan dalam keadaan yang berubah. 

Partai itu tetap pada strateginya untuk memboikot pemilihan yang curang dan mengumpulkan pasukan untuk gerilya yang berbasis di pedesaan, yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam menjatuhkan pemerintah. Tetapi perkembangan membuat partai itu terisolasi: seruannya untuk boikot hanya mendapat sedikit perhatian. Partai tidak memainkan peran yang menentukan dalam protes massa perkotaan terhadap Marcos di mana para pemimpin oposisi kelas menengah lebih menonjol. Dalam beberapa bulan singkat CPP telah berubah dari 'garda depan'2

Bagian utama kedua dari penjelasan adalah sifat dari partai itu sendiri. Orang-orang 'membuat sejarah mereka sendiri' tetapi di bawah 'keadaan yang diberikan dan diwariskan', sebagaimana ditulis Marx.3 CPP adalah produk masyarakat Filipina yang sedang mengalami krisis yang berkepanjangan, sebuah krisis yang membentuk bentuk gerakan revolusioner yang berusaha menyelesaikannya. 

Situasi CPP di Mindanao sangat aneh: dalam waktu sekitar lima tahun, partai berkembang dari sekelompok kecil aktivis yang diburu menjadi pasukan yang tangguh, memimpin serangkaian pemberontakan kecil dan memimpin pasukan bersenjata yang melibatkan tentara nasional di pertempuran sengit. Pesatnya pertumbuhan partai berarti pengenalan banyak rekrutmen mentah yang tidak terbiasa dengan pekerjaan bawah tanah dan yang tidak siap untuk menanggapi perubahan keadaan. CPP Mindanaon sangat sukses tetapi juga tidak stabil, tepatnya karena pertumbuhannya yang cepat.4

Sebuah pemeriksaan terhadap CPP di Mindanao menunjukkan bahwa partai itu jauh dari ide partai 'Marxis-Leninis' yang suka mereka proyeksikan.5 Tetapi pemutusan antara teori dan praktik tidak lengkap dan klaim otoritas dan peran unik dari partai benar-benar memengaruhi kebijakannya. Untuk membandingkan perbedaan antara teori Marxis-Leninis dan praktiknya di lapangan, keduanya perlu diperiksa.

Akhirnya, penjelasan apa pun yang berupaya menghadirkan satu alasan tunggal untuk pembersihan tidak akan adil bagi realitas kompleks masyarakat CPP dan Filipina pada pertengahan tahun delapan puluhan. Secara skematis, pembersihan memunculkan dua pertanyaan utama. Yang pertama adalah apa yang memulai pembersihan, yang kedua mengapa pembersihan itu sangat merusak. 

Saya berpendapat bahwa CPP tidak dapat mengatasi sejumlah kesulitan yang telah menghantui gerakan Komunis Filipina selama beberapa dekade dan yang berakar pada peningkatan sosial basis sosial dan ideologinya. Teori CPP gagal mempersiapkan para pendukungnya untuk menghadapi tantangan krisis akut dan keadaan perang saudara yang hampir mendekati pertengahan tahun delapan puluhan. Kelemahan-kelemahan ini membuat partai rentan terhadap proses penghancuran diri.

Untuk mengilustrasikan hal ini, diskusi tentang pembersihan diikuti oleh sketsa historis Komunisme Filipina sebagai gerakan dan ideologinya di mana pengembangan tiga tema utama disoroti: pengurangan perjuangan politik menjadi konfrontasi dengan kekerasan, gagasan partai memiliki pandangan yang 'benar' dan 'obyektif' tentang realitas dan kesenjangan antara jajaran dan pergerakan nasional dari gerakan tersebut. Bersama-sama, kondisi ini memungkinkan pembersihan. 

Akhirnya, saya berpendapat bahwa pembersihan dimulai sebagai upaya gagal partai untuk mahir dengan keadaan politik yang berubah

--
1. Patricio N. Abinales dan Donna J. Amoroso, Negara Bagian dan masyarakat di Filipina (Oxford 2005) 219.
2. Deskripsi berasal dari Kathleen Weekley, Partai Komunis Filipina 1968 - 1993. Sebuah kisah tentang teori dan praktiknya (Kota Quezon 2001) 224.
3. Karl Marx, 'Brumaire kedelapan belas dari Louis Bonaparte', dalam: Idem, Survei dari pengasingan. Tulisan-tulisan politik, volume 2 (Middlesex 1973) 143 - 250, di sana 146.
4. Patricio N. Abinales, 'Ketika revolusi melahap anak-anaknya sebelum kemenangan: Operasyong Kampanyang Ahos dan tragedi komunisme Mindanao' di: Idem, Rekan perjalanan. Esai tentang komunisme Filipina (Kota Quezon 2001) 153 - 193.
5. Patricio N. Abinales, 'Kahos ditinjau kembali: komisi Mindanao dan narasinya tentang sebuah tragedi' dalam: Rosanne Rutten, Memprakarsai sebuah revolusi. Kader dalam pemberontakan Filipina (Kota Quezon 2008) 144 - 188.

Rabu, 25 Desember 2019

Lebih Ekstrim dari Penumpasan Begal Sadis, Soeharto Berani Selundupkan 2000 Senjata ke Afganistan


Rabu, 25 Desember 2019 11:04
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta

Editor: Adrianus Adhi


Ilustrasi: Lebih Ekstrim dari Penumpasan Begal Sadis, Soeharto Berani Selundupkan 2000 Senjata ke Afganistan - Kolase Tribunnews.com/ Dennis Destryawan

SURYA.co.id - Langkah Soeharto dalam menindak begal sadis pada masa pemerintahannya memang cukup ekstrim

Namun, ada lagi kebijakan Soeharto yang tak kalah ekstrim dari itu
Soeharto pernah berani menyelundupkan 2000 pucuk senjata ke Afganistan yang dilaksanakan oleh Benny Moerdani

Melansir dari buku berjudul "Benny Moerdani Yang Belum Terungkap", berikut kisahnya

Hal ini berawal saat pasukan Uni Soviet akan menduduki Afganistan, sehingga membuat Amerika Serikat yang sedang perang dingin pun mulai gusar


Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto yang saat itu memang dekat dengan Amerika Serikat, lantas memutuskan untuk membantu
Soeharto mengutus Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, Benny Moerdani untuk bertemu dengan kepala intelijen Pakistan
"Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afganistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afganistan" kata Marsekal Madya (Purn) Teddy Rusdy yang saat itu menemani Benny
Lalu, disepakatilah operasi bersama yang diberi nama Babut Mabur atau permadani terbang

Operasi ini untuk mengirimkan senjata-senjata sumbangan dari Uni Soviet yang diterima Indonesia saat Trikora, diserahkan kepada pejuang Afganistan

Tentu saja atas persetujuan Presiden Soeharto

Teddy Rusdy dalam buku biografinya yang berjudul "Think Ahead" menyebut senjata itu diangkut ke Jakarta dan dismpan di bandara Halim Perdanakusuma
"Waktu itu terkumpul 2000 pucuk senjata, cukup untuk dua batalion" kata Teddy
Pekerjaan berikutnya, Teddy diperintah Benny untuk menghapus nomor seri senjata-senjata itu

Baru pada Juli 1981, persiapan pengiriman mulai dilakukan
Semua senjata dimasukkan ke peti dan diberi tanda palang merah
Sebagai kamuflase, peralatan tempur ini dicampur dengan obat-obatan dan selimut

Teddy juga ditugasi Benny mengantar peti-peti tersebut dengan kargo udara, memakai Boeing 707 milik Pelita Air.


Pesawat ini diawaki kapten Arifin, Andullah, dan Danur
Seluruh aktivitas Teddy dipantau Benny dari Jakarta

Benny juga meminta Teddy terus berkomunikasi menggunakan scrambler atau peralatan komunikasi milik intelijen

Saat pesawat mendarat, intel Pakistan sudah siaga dengan membawa 20 truk 

Misi penyelundupan senjata pun sukses dan berhasil diterima oleh pejuang Afganistan

Kerahkan Pasukan ABRI Tumpas Begal Sadis

Diberitakan sebelumnya, Presiden Soeharto menerapkan langkah ekstrim untuk menumpas para pelaku kejahatan begal yang marak terjadi.

Tak tanggung-tanggung, Soeharto mengerahkan pasukan ABRI yang kala itu terdiri dari unsur TNI dan Polri.

Melansir dari Intisari dalam artikel 'Bahkan Ribuan Penjahat Ditangkapnya, Begini Mengerikannya Penumpasan Kejahatan di Zaman Orba, Mayat Begal Dibiarkan di Pinggir Jalan', hal ini berawal saat aparat keamanan sedang dibuat geram oleh maraknya aksi begal di tahun 1980an.

Para begal yang menamakan diri mereka sebagai gabungan anak liar (gali), cukup menganggu roda perekonomian negara kala itu.

Contohnya, kawasan terminal yang sudah dikuasai para gali membuat para penguasaha bus mengalami kerugian, karena banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan.


Terinspirasi dari prestasi Polda Metro, Soeharto lalu memerintahkan untuk menerjunkan tim khusus dari ABRI yang terdiri dari TNI dan Polri

Mereka bertugas untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan sadis.

Hingga tahun 1982, Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan.

Misalnya saja Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 begal.

Meski sudah banyak begal yang diringkus, operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut seperti yang dilaksanakan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi.

Tahun 1983, Kolonel Hasbi menyatakan perang terhadap para begal.
Hal itu lantaran ulah mereka yang makin meresahkan masyarakat Yogyakarta .

Kolonel Hasbi pun menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) bekerja sama dengan intelijen TNI AD, TNI AU, TNI AL dan kepolisian.
Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para begal melalui operasi intelijen.

Kemudian para begal yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.

Setelah mendapat kartu, para begal tersebut dilarang bikin ulah lagi.
Tak hanya itu, mereka juga harus mau memberitahukan lokasi begal lainnya yang kerap melakukan kejahatan dan tidak mau melapor.

Para begal yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak.


Mayat para begal yang ditembak dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy) para gali lainnya.

Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, apalagi dengan luka tembak, kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus)

Yang kemudian istilah 'petrus' itu menjadi sangat populer sekaligus menakutkan di zaman itu.

Rabu, 23 Oktober 2019

Tokoh Gerwani, SOBSI, dan BTI yang Ditangkap Karena Membela Sukarno


Oleh: Indira Ardanareswari - 23 Oktober 2019

Seorang anggota Pergerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berbicara di sebuah upacara untuk memperingati pendirian organisasi. (wikimedia commons/Suara Indonesia. 25 January 1954)

Sejumlah aktivis perempuan yang ditangkap setelah PKI dinyatakan terlarang disebut “tapol perempuan masa epilog”.
 “Memang aku pengurus pusat organisasi yang sekarang dilarang, tapi aku tak tahu dan tak ada urusan dengan penculikan jenderal-jenderal itu. Itu perang politik tinggi. Orang awam takkan tahu atau mengerti.”
Itu adalah renungan Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), pada malam terakhir sebelum ia tertangkap polisi militer. Seperti ia tuturkan dalam Perempuan - Kebenaran dan Penjara (1999: hlm. 14) yang disunting oleh Koesalah Soebagyo Toer, Sulami sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak akhir tahun 1965.

Setelah melakukan gerakan bawah tanah selama kurang lebih dua tahun, Sulami akhirnya ditangkap Corps Polisi Militer (CPM) pada bulan Juli 1967. Informasi ini sedikit berbeda dengan yang dipaparkan Sudjinah, kawan seperjuangannya. Ia menyebut bahwa dirinya dan Sulami ditangkap berbarengan pada tanggal 17 Februari 1967, hanya lokasi penangkapannya yang berbeda.

Sulami digelandang menuju markas Kodam Jaya dan tiba sekitar pukul dua pagi. Di sana, kawan-kawan seperjuangannya sesama aktivis Gerwani dan organsiasi lain sudah lebih dahulu ditahan. Di antara pengurus kantor pusat Gerwani yang ditahan aparat setelah peristiwa G30S, ia termasuk yang paling akhir ditangkap.


Ditahan Dulu Baru Diadili

Seperti para aktivis Gerwani lainnya, Sulami dan Sudjinah dijebloskan ke penjara Bukit Duri tanpa pengadilan. Penjara perempuan Bukit Duri adalah bekas sekolah Tionghoa di Jalan Gunung Sahari Jakarta, yang khusus menampung tahanan politik perempuan. Para tahanan menjulukinya “rumah setan” karena penyiksaan luar biasa yang terjadi di dalamnya.

Sulami dan Sudjinah ditempatkan di sel sempit yang penuh bercak darah di setiap sudut tembok. Dari tempat itu, mereka dapat menyaksikan kekejaman dan kekerasan seksual yang dilakukan para interogator kepada tapol perempuan di seberangan sel tahanan. Menurut Sulami, kekerasan itu mirip dengan yang dilakukan oleh serdadu Jepang pada tahun 1942.
“Sekilas muncul dengan bayangan mata saya serdadu-serdadu Jepang yang sedang menghajar pemuda-pemuda pejuang Indonesia dengan kekejaman tanpa batas. Orang digebug, disetrum, ditanam sampai pingsan, ditekuk dengan tong berduri besi […] sampai mati kaku, orang perempuan diperkosa beramai-ramai,” kenangnya getir (hlm. 16).
Menurut pengakuan Sudjinah kepada Fansisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer (2006: hlm. 159), ia dan Sulami, serta dua tahanan perempuan lain: Sri Ambar (Ketua Seksi Perempuan SOBSI) dan Suharti Harsono (Sekretaris Seksi Perempuan BTI) tidak pernah dituduh terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 1965 yang menewaskan tujuh orang petinggi militer.

Sulami dan kawan-kawannya justru ditahan atas tuduhan melakukan tindakan makar dan subversi. Keempat perempuan itu dijuluki “tapol perempuan masa epilog” dan dikumpulkan dalam satu sel yang terpisah dari tahanan lain, berdekatan dengan sel narapidana kriminal.
“Mereka diisolasi di Blok C. Blok ini diperuntukan bagi aktivis masa epilog. Ini sebutan bagi para aktivis yang masih melakukan kegiatan pasca 1965, setelah PKI dinyatakan terlarang,” tulis Ria Susanti (hlm. 159).
Sulami ditahan di Bukit Duri tanpa kejelasan nasib selama lebih dari sembilan tahun. Menurutnya, pemerintah baru membawa kasus mereka ke muka pengadilan pada tanggal 1 Januari 1976, beberapa tahun setelah Bung Karno wafat.



Gara-gara Membela Sukarno

Sebelum diangkat menjadi Sekretaris DPP Gerwani, Sulami pernah menjabat sebagai Ketua Gerwani cabang Surabaya. Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan (2010: hlm. 221) menyebut Sulami sebagai sosok yang keras dan radikal.

Selama masa pendudukan Jepang, Sulami bergabung ke dalam Pemuda Putri Indonesia (PPI) dan sempat turun ke medan perang menjadi tentara. Di tahun-tahun berikutnya, ia mulai berkenalan dengan pemikiran aktivis perempuan sekaligus penganut Marxis, Clara Zetkin, melalui ceramah-ceramah Sukarno.

Ketimbang menjadi pendukung PKI, Gerwani dan para kadernya lebih tepat disebut sebagai pembela Sukarno. Ketua DPP Gerwani, Umi Sardjono bahkan menolak ketika ada yang menyebut Gerwani sebagai onderbouw PKI.

Kepada Fransisca Ria Susanti, Umi menjelaskan bahwa keputusan Gerwani untuk berafiliasi dengan PKI atau tidak, sebenarnya baru akan diputuskan pada bulan Desember 1965.

Ketika pecah peristiwa berdarah di pengujung bulan September 1965, Sulami mengaku segera meninggalkan semua pekerjaannya dan mulai hidup berpindah-pindah sembari melakukan kerja-kerja bawah tanah.

Menurut penelusuran Wieringa, kerja bawah tanah memulihkan kekuasaan Sukarno yang dilakukan Sulami dan kawan-kawannya sangat rapi sehingga sering luput dari pantauan tentara. Ia bertugas membawa dan menyelundupkan pamflet yang dicetak oleh Sri Ambar untuk diberikan kepada Sudjinah. Mereka kemudian mendistribusikan salinan pamflet itu dengan sangat terorganisasi.
“Kami selalu membela Presiden, maka ketika pihak militer terutama Jenderal Soeharto berusaha mendongkel Bung Karno, kami berusaha membelanya,” kata Sudjinah kepada Wieringa (hlm. 437).
Menurut Wieringa, Sukarno pun tidak berpangku tangan dan tetap berusaha melindungi aktivis perempuan melalui serangkaian pidato kenegaraan. Namun, cara ini sia-sia karena posisi Sukarno yang sudah sangat lemah dan mustahil menginspirasi rakyat. Sampai akhirnya pada Maret 1967, aksi pemakzulan Sukarno dari jabatan Presiden memulai perburuan sisa-sisa aktivis perempuan seperti Sulami yang dianggap memicu ekses negatif bagi Orde Baru.

Selama dalam penahanan, terkadang Sulami, Sudjinah, dan dua orang lainnya “dibon” atau dibawa keluar untuk diinterogasi di tempat terpisah. Meski tuduhan yang ditujukan kepada Sulami dan Sudjinah berbeda dari anggota Gerwani lain, tapi nasib mereka tak lebih mujur. Selama “dibon”, Sulami dipaksa mengakui kerja-kerja bawah tanahnya.
“Saya diberondong pertanyaan tentang sebuah siaran terkenal yang tersebar luas, yaitu Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Isinya mendukung komandonya untuk menyelesaikan peristiwa G30S sesuai hukum, mencegah timbulnya korban rakyat yang tak berdosa dan mencegah terjadinya perang saudara,” tulis Sulami dalam memoarnya (hlm. 23-24).
Akan tetapi, baik Sulami maupun Sudjinah tetap bungkam. Bahkan Sudjinah mengaku lebih baik mati disiksa ketimbang buka mulut. Keduanya berkeras hanya akan bicara di pengadilan.

Pengadilan Sandiwara?

Medio 1970-an, Orde Baru menetapkan Sulami dan Sudjinah sebagai terdakwa tindakan makar dan subversi yang bertanggung jawab di balik penerbitan dan penyebaran buletin PKPS. Bersama Sri Ambar dan Suharti, mereka dibawa ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Yan Ipul & Associates sebagai pembela.

Proses pengadilan itu memakan waktu lama. Vonis baru jatuh empat tahun kemudian, yakni di awal tahun 1980. Sulami dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup atau 20 tahun penjara. Sementara Sudjinah divonis hukuman kurungan selama 18 tahun, dan Sri Ambar serta Suharti masing-masing 15 tahun.

Tidak seperti aktivis Gerwani lainnya yang ditahan di kamp Plantungan di Kendal, keempatnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Ternyata Suharti menjadi yang paling akhir bebas dari tahanan pada tahun 1984, lantaran dituding aktif dalam rapat CC PKI pada 28 September 1965.

Dalam memoarnya yang terbit satu tahun setelah Orde Baru tumbang, Sulami mengutarakan keheranannya. Ia menganggap tuduhan aksi subversi itu hanya mengada-ada karena dilakukan saat Sukarno masih berkuasa. Selain itu, proses peradilan yang dijalaninya seolah hanya akal-akalan pemerintah Orde Baru.
“Apakah memang ada yang namanya pengadilan sandiwara? Kalau memang aku bersalah seperti ditudingkan oleh para interogator di awal penahananku, mengapa tidak dari dulu aku diadili? Bukankah menurut mereka, aku bersalah?” tulisnya.

Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh

Sulami dan tiga orang kawannya ditangkap tahun 1967, dan baru diadili pada 1976.

Jumat, 11 Oktober 2019

Penari asal Kupang yang dituding PKI: Diperkosa, katong diperlakukan seperti anjing, 'Biar Tuhan yang mengadili'

Callistasia Wijaya - Wartawan BBC News Indonesia | 11 Oktober 2019

PKI: 'Ditelanjangi untuk cari cap Gerwani' cerita kelam mereka yang dituding terlibat

Sejumlah penyintas yang dituding sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia mengangkat penyiksaan dan pengalaman pahit yang mereka alami sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Di Nusa Tenggara Timur, setidaknya 800 orang meninggal dalam pembunuhan dalam kejadian lebih dari 50 tahun lalu itu, seperti dilaporkan peneliti James Fox yang dikutip dari buku 'Keluar dari Ekstremisme'.

BBC INDONESIA/DWIKI MARTA

Penelitian yang dilakukan oleh organisasi Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) menyebutkan mereka yang mengalami pengalaman mengerikan -dari perkosaan sampai penyiksaan- berupaya mengatasi apa yang mereka lalui ini melalui doa juga menenun.

Salah satu cara yang sempat dicoba dilakukan adalah pintu rekonsiliasi seperti yang pernah diupayakan oleh Agus Widjojo, yang saat ini adalah Gubernur Lemhanas.

BBC Indonesia bertemu dengan sejumlah penyintas dan berikut kisah mereka.

Peringatan: Artikel ini berisi cerita kekejaman.

Senyum, yang memamerkan gigi-giginya yang merah karena sirih pinang, kerap menghiasi wajah Melki Bureni saat menceritakan tentang cucu-cucunya juga aktivitasnya sehari-hari.

Tuturnya halus, namun jelas, dan pendengarannya masih baik, meski rambut putih telah menghiasi kepala perempuan berusia 71 tahun itu.

Di usianya yang senja, Melki menghabiskan hari-harinya dengan menenun.
Dari memintal benang, mewarnai, hingga menenun, ia bisa menghabiskan waktu tiga bulan untuk membuat selembar kain tenun.

Melki dituding sebagai anggota Gerwani saat usianya 17 tahun. BBC INDONESIA/DWIKI MARTA

Melki mengalami peristiwa yang sangat gelap menyusul gerakan 30 september 1965.

Menenun adalah caranya menghadapi peristiwa suram lebih dari setengah abad lalu.

Dituding Gerwani

Sekitar 10 menit perjalanan mobil dari kediaman Melki Bureni di Merbaun, Kupang, terletak sebuah kuburan massal dengan enam orang di dalamnya.
Saat menunjukkan kuburan massal itu pada tim BBC News Indonesia, senyum Melki lenyap.

Duka, trauma, dan rasa malu yang dipikulnya selama 54 tahun yang lalu menyeruak dan air mata mulai membasahi pipinya.

Disekanya air mata itu dengan kain tenun yang mengelilingi lehernya, namun lagi dan lagi, air mata menetes.

Ia bercerita usianya baru 17 tahun saat dituding sebagai anggota Gerwani di tahun 1965, sebuah peristiwa yang mengawali serentetan peristiwa kelam di hidupnya.

Pemeriksaan terhadapnya kemudian dilakukan oleh sekelompok orang, yang kata Melki, merupakan gabungan aparat dan masyarakat. BBC INDONESIA/ DWIKI MARTA

Saat itu ia hanyalah seorang penari kampung yang sering diminta tampil di hajatan-hajatan.

Namun, saat operasi penumpasan terhadap orang-orang yang dituduh PKI berlangsung, ia dituding sebagai anggota Gerwani karena pernah mendapat pelatihan menyulam dari seorang perempuan, yang disebutnya berasal dari Jakarta.

Siapa perempuan itu? Melki menyebut dia juga tidak tahu.

Pemeriksaan terhadapnya kemudian dilakukan oleh sekelompok orang, yang kata Melki, merupakan gabungan aparat dan masyarakat.

Ia diperintahkan untuk melucuti pakaiannya karena dicurigai memiliki cap Gerwani.
"Katong buka ini beha, celana, berdiri telanjang dibilang supaya cari cap Gerwani di pantat ko di mana. Telanjang. Tapi saya pasrah saja.. mau bergerak dong (mereka) 'potong'," kata Melki.
Melki Bureni di lokasi kuburan massal, Merbaun. BBC INDONESIA / DWIKI MARTA
"Saya bilang demi Tuhan saya tidak tahu cap Gerwani itu yang bagaimana. Hanya jarum dan benang bola (untuk menyulam) masih ada di rumah."
Saat itu, Melki mengatakan, nyawanya selamat karena ada seorang warga laki-laki yang membelanya.

Meski begitu, mimpi buruk itu tak juga berakhir.

Sesaat setelah kejadian itu, paman Melki, seorang guru, dan empat petani yang tinggal di sekitar rumahnya, ditangkap karena dituduh sebagai anggota PKI.

Padahal, Melki yakin, orang-orang itu hanya asal-asalan dituding karena ada kecemburuan sosial di antara para warga.

Ia pun diminta oleh aparat desa menjadi saksi penguburan massal.

Hingga kini Melki tidak tahu di mana ayahnya dimakamkan. BBC INDONESI/ DWIKI MARTA

Saat itu sore hari, sekitar pukul 15.00, Melki menyaksikan tubuh-tubuh yang hancur siap ditanam ke dalam lubang tanah.
 "(Tubuh itu) luka-luka karena dipotong dengan parang… Perutnya semua lari keluar," kata Melki.
Mayat-mayat itu hanya dibungkus dengan tikar.

Saat itu hatinya remuk, namun kata Melki, dia dilarang menangis.
"Anjing saja (kalau) kita sayang waktu dia mati kita bisa usaha. Ini manusia...," ujar Melki.
Tak hanya sang perangkat desa, Melki mengatakan, sejumlah lelaki di desanya di Merbaun terus melakukan pelecehan terhadap dirinya. BBC INDONESIA/ DWIKI MARTA

Ia diminta membawa bendera merah putih untuk kemudian ditancapkan pada kuburan massal itu.

Bayang-bayang peristiwa itu masih menghantuinya, saat satu pekan kemudian ayahnya ditangkap.

Ia menyaksikan bagaimana ayahnya diangkut dengan mobil bersama beberapa orang lainnya ke sebuah daerah perbukitan di Merbaun.

Di balik sebuah batu, Melki mendengar suara tembakan.
"Tembakannya enam kali," ujar Melki.
Ia percaya timah panas itu telah menghabisi nyawa ayahnya, yang hingga kini tidak dia ketahui dikuburkan di mana.

Dalam periode terkelam di hidupnya itu, Melki bercerita ia diperkosa oleh seorang perangkat desa.

Ia tidak bisa berteriak minta tolong karena posisinya saat itu yang dituduh Gerwani.

Petikan puisi 'Hartaku' karya Tasya Doek yang terinspirasi kisah hidup Melki Bureni di buku 'Bintang Berekor di Langit Timur' terbitan Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan. BBC INDONESIA / CALLISTASIA WIJAYA

Tak hanya sang perangkat desa, ia mengatakan, sejumlah lelaki di desanya terus melakukan pelecehan terhadap dirinya.
"Yang (laki-laki) tua-tua bikin katong seperti anjing."
Demi melindungi diri dari pelecehan yang terus menerus diterimanya dari sejumlah pria di kampung, di usianya yang belum genap 18 tahun, ia terpaksa menerima pinangan seorang laki-laki berusia 42 tahun.

'Biar Tuhan yang adili semua'

Kini setengah abad lebih peristiwa 65 berlalu dan Melki telah melanjutkan hidup, meski sakit di hatinya abadi.
"Hanya rasa sakit hati di dalam ini yang kita simpan saja. Biar Tuhan yang adili semua. Oma punya penghiburan di situ saja," ujarnya.
"Tuhan yang bantu oma untuk tetap kuat."
"Hanya rasa sakit hati di dalam ini yang kita simpan saja. Biar Tuhan yang adili semua. Oma punya penghiburan di situ saja," ujarnya. BBC INDONESIA / DWIKI MARTA

Menurut buku Memori-Memori Terlarang, Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi 65 di Nusa Tenggara Timur, Gerwani mulai beraktivitas di kota Kupang sekitar tahun 1961.

Kegiatan-kegiatan yang sering diadakan adalah pelatihan keterampilan, seperti menjahit dan memasak.
Beberapa penyintas mengatakan tidak ada kegiatan yang berkaitan dengan politik.

Buku yang diterbitkan di tahun 2012 itu menjelaskan banyak orang yang namanya terdaftar sebagai penerima bantuan dari PKI, seperti beras, alat pertanian, hingga tanah, yang kemudian dianggap sebagai anggota PKI.
Banyak pula nama yang terdaftar sebagai anggota PKI dicantumkan karena sentimen-sentimen dan masalah pribadi, sebagaimana dijelaskan dalam buku yang diedit Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah itu.

Sementara proses rekonsiliasi politik dan hukum berjalan di tempat, para penyintas memulihkan diri mereka sendiri melalui agama.

Banyak pula nama yang terdaftar sebagai anggota PKI dicantumkan karena sentimen-sentimen dan masalah pribadi, sebagaimana dijelaskan dalam buku yang diedit Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah itu. GETTY IMAGES

Salah satunya melalui kegiatan-kegiatan doa yang diusung Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), sebuah organisasi yang terdiri dari pendeta-pendeta dan calon pendeta.

Sejumlah penyintas, seperti Melki, rutin mengikuti kegiatan 'Sahabat Doa' yang diinisiasi JPIT, di mana para lansia dapat berbagi dan saling menguatkan dengan sesama penyintas.

Ketua Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang juga peneliti kasus 65, Pendeta Paoina Bara Pa, mengatakan proses pemulihan dimulai saat para penyintas mengungkapkan pengalaman pahit mereka.

Untuk membuat para korban mau berbicara tentu tidak mudah, karena trauma yang telah mereka pendam bertahun-tahun.
"Korban ini orang yang hati-hati untuk bicara dengan siapapun. Anak-anaknya saja mereka tidak bicarakan," ujar Paoina.
Menurut Paoina, seringkali para penyintas malah mempersalahkan diri mereka sendiri.
"Saya bilang oma-oma tidak salah, tidak pernah melakukan kejahatan yang pantas menerima kondisi ini...Kekuatan kami adalah pendeta perempuan, itu pintu yang paling baik," kata Paoina.
Sebagian para penyintas tragedi 1965 adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia. (Foto atas: Seseorang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap oleh aparat militer Indonesia setelah 1 Oktober 1965). BETTMANN/GETTY IMAGES

Dalam proses merangkul para penyintas, Paoina menceritakan pengalamannya yang tak terlupakan.
"Ada seorang oma di (Kabupaten) Sabu-Raijua yang teriak hampir satu jam. Dia mengatakan 'kalau saya mati pun saya sudah lega karena saya sudah bisa tumpahkan, berbagi, karena saya tahu saya tidak bersalah'," ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan Melki Bureni setelah menceritakan kisahnya.
"Oma bersyukur karena katong bisa keluarkan apa yang didendamkan dalam hati. Ini kerja Tuhan," ujarnya.
Melki Bureni berbicara di acara peluncuran Buku Bintang Berekor di Langit Timur, di Goethe Haus, Jakarta, tahun 2018. JARINGAN PEREMPUAN INDONESIA TIMUR (JPIT)

Melki Bureni tak ragu membagikan kisahnya pada orang lain.
Tahun lalu, ia merupakan salah satu penyintas 65 yang berbicara di Peluncuran Buku Bintang Berekor di Langit Timur, di Goethe Haus, Jakarta, tahun 2018.

Sebuah puisi berjudul "Seorang Budak Merindukan Naungan" karya Melki diterbitkan dalam buku itu.

... Aku akan berbicara dalam kesesakan jiwaku
Mengeluh dalam kepedihan hatiku
Apabila aku berpikir

Tempat tidurku akan memberi aku penghiburan...

'Belum siap rekonsiliasi'

Ke mana orang-orang seperti Melki Bureni dapat pergi menuntut keadilan?
 "Mereka bisa pergi untuk mengadakan perenungan diri sendiri," ujar Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo dalam wawancaranya dengan Rebecca Henschke.
"Karena hal semacam itu, untuk mereka yang tidak bersalah, semua apa yang kita inginkan dari orang per orang, satu per satu sampai sejuta orang, bisa terwujud melalui pintu rekonsiliasi."
 Namun, kata Agus, para penyintas tidak bisa menuntut haknya secara individual.
"Kalau mulai dari penuntutan 'Saya ingin dikembalikan hak milik, dikembalikan harga diri saya', nggak bisa kalau satu per satu. Semua masuk rekonsiliasi dulu. Dari rekonsiliasi, setelah itu bisa diatur oleh kebijakan pemerintah," ujar Agus.
Agus adalah anak dari Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, yang menjadi korban 30 September 1965.

Ia terlibat aktif dalam rekonsiliasi dan penguakan sejarah 65 dan di tahun 2016 ia menjabat sebagai adalah Ketua Dewan Pengarah Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan".

Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965. BETTMANN/GETTY IMAGES

Meski begitu, Agus menekankan masyarakat belum siap dengan rekonsiliasi terkait kasus 65.

Baik pihak yang dulu terlibat PKI, maupun pihak militer, kata Agus, belum bisa merefleksikan apa yang terjadi secara utuh.
Di sisi lain, Melki tidak bicara muluk-muluk ketika ditanya apa yang dia harapkan dari negara terkait peristiwa itu.

Ia mengatakan hanya berharap kuburan massal dapat diberi penanda agar keluarga dari orang-orang yang dibantai dapat berziarah dengan layak. 
"Biar anak cucu (korban) bisa tahu bapak mereka ada di sini," katanya.
Upaya rekonsiliasi gereja dan para penyintas 1965 di Nusa Tenggara Timur dibahas di salah satu artikel dalam buku Keluar Dari Ekstremisme: Delapan Kisah "Hijrah" Dari Kekerasan Menuju Binadamai oleh PUSAD Paramadina.

Rabu, 09 Oktober 2019

Sepotong Ingatan dari Kamp Yang Berubah


Rosa Panggabean - 09 Oct 2019

Pendem Ambarawa Fortress - Rosa Panggabean

Pada September 1965, beredar rumor bahwa terdapat sejumlah oknum tentara yang merencanakan kudeta terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Merespon rumor tersebut, enam Jenderal dan satu Perwira diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965. Militer Indonesia kemudian menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang melakukan kudeta.

Sejak itu, pembersihan terhadap komunis dilakukan di seluruh negeri; diperkirakan antara 500 ribu hingga tiga juta orang menjadi korban pembunuhan, dan banyak diantaranya merupakan tahanan politik (tapol).
Stigma komunis terhadap para bekas tahanan politik terus berlangsung hingga saat ini. Isu komunis pun timbul-tenggelam: timbul di masa pemilu, tenggelam bersama kamp-kamp yang berevolusi menjadi tempat yang sama sekali baru.

Dari penjara menjadi tempat hiburan

Tak ada lagi sisa-sisa yang menunjukkan bahwa kawasan yang terletak di pinggir Kali Ciliwung Jakarta itu dulunya rumah tahanan negara untuk perempuan. Setelah terjadi peristiwa 1965, Penjara Bukit Duri menjadi tempat penampungan bagi para perempuan yang dituduh komunis atau terkait dengan komunisme.

Untuk mengurangi kelebihan penghuni penjara, pemerintahan Soeharto mendirikan penjara khusus tapol perempuan di Plantungan, Jawa Tengah, pada 1971. Hal ini membuat sebagian tapol penghuni Bukit Duri dipindahkan ke Plantungan.

Plantungan merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki sumber daya alam berupa air panas. Suara gemericik aliran sungai Kali Lampir menambah kesan syahdu lokasi tersebut. Siapa sangka, wilayah agraris yang damai tersebut menyimpan kenangan yang sangat ingin dilupakan para mantan penghuninya.

Pada tahun 1871, pemerintah kolonial Belanda pernah mendirikan rumah sakit lepra di kawasan tersebut. Pada 1965, Plantungan kemudian dijadikan kamp untuk para tapol perempuan. Mereka yang dibuang di sana didatangkan dari berbagai tempat di Indonesia, meskipun sebagian besar berasal dari Jawa. Kawasan kamp tahanan tersebut terdiri dari beberapa bangunan rumah dinas, serta sebuah lapangan olahraga.

Pada tahun 1979, semua tahanan dipulangkan dari Plantungan. Sebuah banjir bandang terjadi tak lama setelah itu, menyebabkan Kali Lampir yang berada persis di sebelah kawasan kamp meluap. Seluruh bangunan kamp tahanan luluh lantak dan hanya menyisakan tiga pilar batu saja.

Rosa Panggabean

Pada 1980-an, bangunan penjara Bukit Duri diubah menjadi kompleks pertokoan. Plantungan pun diubah menjadi tempat wisata pada 2010. dengan air panas sebagai daya tarik utama. Pemandian air panas tersebut bahkan menjadi salah satu sumber pendapatan warga setempat.

Rosa Panggabean

Secara fisik, baik bangunan penjara wanita Bukit Duri dan Plantungan memang telah berubah. Namun, kenangan para tahanan politik yang sempat mendiami tempat itu terus membekas hingga akhir hayat mereka.

Nani Nurani Affandi

Ia dipenjara selama enam tahun di LP Bukit Duri.

Rosa Panggabean

Kisahnya berawal pada 1962, saat Nani masih berusia 21 tahun. Ia bergabung sebagai seorang penari dan penyanyi di Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada Juni 1965, Nani ikut menari dalam perayaan ulang tahun PKI—yang sebenarnya jatuh pada tanggal 23 Mei—di gedung pertemuan Roxy Cianjur. Seusai mengisi acara tersebut, ia pindah ke Jakarta mengikuti kakaknya sembari mencari pekerjaan.

Semenjak kepindahannya ke Jakarta, Nani menjadi incaran Corps Polisi Militer (CPM) Cianjur tanpa alasan jelas. Meski demikian, ia tak kunjung ditangkap karena jarang pulang ke kampung halaman. CPM akhirnya baru menangkap Nani pada 23 September 1968, saat ia pulang ke Garut untuk hari raya.

Ia dituduh ikut bernyanyi di Lubang Buaya pada malam 1 Oktober 1965, saat terjadi pembunuhan terhadap keenam Jenderal dan satu Perwira. Setelah ditahan di Gedung Ampera Cianjur, Nani dipindahkan ke Penjara Bukit Duri pada 29 Januari 1969.

LP Bukit Duri terdiri dari kamar berukuran 5×4 meter dan 2×2 meter berisi ranjang beton untuk tempat tidur para tahanan. Pada saat Nani tiba, lapas tersebut sudah dihuni sekitar 150 orang. Nani mengingat terdapat dua lapis pintu yang menjadi penjagaan Lapas Bukit Duri: sebuah pintu kayu, yang terbuat dari jati, serta sebuah pintu besi. Lapas tersebut dikelilingi tembok beton yang sangat tinggi. Ada pula sebuah aula yang dibagi dua antara narapidana sipil dan tahanan politik. Sementara pemeriksaan para tahanan terjadi di aula penjara.

Saat berada di penjara Bukit Duri, ia sempat dipanggil petugas lapas untuk memata-matai tapol perempuan lain. Ia menolak tawaran tersebut setelah mengingat pesan orang tuanya: bahwa ia bukan siapa-siapa lagi apabila menjadi seorang pengkhianat.

Nani sejatinya berasal dari keluarga kaya dan terpandang di Cianjur. Keluarganya sempat berunding untuk memberi jaminan agar Nani keluar dari penjara. Namun, mantan penari istana tersebut bersikeras agar tidak ditebus karena yakin ia tidak bersalah. Ia sempat ditawari pula untuk “ditebus” dengan menikahi seorang tentara, meski ia tolak mentah-mentah. Nani akhirnya keluar dari LP Bukit Duri pada 19 November 1975, karena didiagnosis menderita sakit liver serta depresi.

Darminah

Darminah pindah ke Papua bersama suaminya pada tahun 1962 sebagai seorang sukarelawan Front Nasional. Setelah kejadian 1 Oktober 1965, mereka yang tergabung dalam Front Nasional dituduh melakukan pergerakan, pelatihan, serta diskusi di Papua. Ketika ditangkap, Darminah tengah hamil sembilan bulan.

Rosa Panggabean

Bersama suami dan anaknya yang baru berusia tiga bulan, Darminah pun diberangkatkan ke Jakarta dengan kapal. Ia kemudian berpisah dengan suaminya setelah tiba di Jakarta. Setelah itu ia berpindah-pindah dari LP Bukit Duri Jakarta hingga Plantungan, Jawa Tengah. Pada akhirnya, Darminah menjalani hukuman di kamp tahanan selama 13 tahun.

Pada tahun 1966, Darminah dan anaknya masuk LP Bukit Duri. Menurut Darminah, persediaan makanan di LP Bukit Duri cukup sulit. Ia beruntung karena ada seorang napi tua yang kerap memberi anaknya lauk untuk makanan. Para tapol di LP Bukit Duri memasak sendiri makanan mereka; ketika mereka tidak mencuci bayam dengan bersih, terkadang masih ada kotoran dan pupuk yang masih melekat di sayur makanan mereka.

Ketika anaknya berusia tiga tahun, Darminah pun menitipkannya kepada seorang teman. Selama di LP Bukit Duri, Darminah hanya bertemu sekali dengan suaminya yang ternyata ditahan di LP Salemba. Pada tahun 1971, Darminah dipindahkan ke Plantungan, sementara suaminya dipindahkan ke LP Nusakambangan.

Setelah setengah tahun di Plantungan, Darminah menerima surat yang mengabarkan suaminya telah meninggal di Nusakambangan.

Endang

Yosephina Endang Lestari ditangkap saat berusia 20 tahun dan dipulangkan di usia 34. Pada tahun 1964, Endang memulai perkuliahannya di IKIP. Karena berasal dari keluarga miskin, Endang masuk kampus dengan biaya terbatas. Karena alasan finansial pula, Endang memutuskan masuk organisasi Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) karena ingin mendapat pinjaman buku dari senior-senior yang ada di organisasi tersebut.

Rosa Panggabean

Pada malam 27 November 1965, cuaca di luar rumahnya gerimis. Malam itu, ia didatangi banyak laki-laki dari Puterpra (Perwira/Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat). Pada dini hari, Endang dibawa ke kantor CPM untuk diperiksa. Ketika pemeriksaan terjadi, para tentara mencari cap Gerwani di tubuhnya. Endang pun disuruh melepas semua pakaiannya, namun tidak ada yang menemukan cap tersebut.

“Saya tidak dijamah pada saat itu. Kalau dijamah, saya lebih baik mati daripada malu selamanya”, ujarnya saat diwawancara.

Setelah diperiksa, Endang kemudian berpindah-pindah tahanan, dimulai dari Benteng Vredeburg dari Desember 1965 hingga April 1966. Selama di Benteng Vredeburg ia hanya diperiksa sekali dan ditanya petugas, “Kamu mau menggulingkan pemerintah Soekarno yang sah ya?”. Endang menjawab tidak, karena ia hanya orang kecil.

Rosa Panggabean

Dari Yogyakarta, Endang kemudian dipindahkan lagi ke Ambarawa antara tahun 1966-1968. Di sana ia ditempatkan di Bastion wanita Benteng Pendem Ambarawa. Ia sempat membuat catatan-catatan kecil untuk mencatat dari mana dan kemana ia dipindahkan. Namun catatan tersebut disita ketika ia dipindahkan dari salah satu kamp ke kamp lainnya.

Endang ingat saat di Ambarawa, para tahanan tinggal di Bastion. Ketika keluarga datang membesuk, mereka dipisahkan sawah dan kawat berduri dengan jarak sekitar 30 meter; komunikasi antara para tahanan dan keluarga yang menjenguk pun harus berlangsung dengan berteriak-teriak. Para keluarga biasanya menanyakan kebutuhan para tapol, kemudian mengirimkan barang kebutuhan para tapol lewat petugas.

Karena Endang berasal dari keluarga miskin, ayah yang menjenguknya pun tidak dapat membawa apa-apa. Untuk memenuhi sejumlah kebutuhan pokok, Endang membuat kerajinan dan menjualnya lewat petugas. Hasil penjualan kerajinan yang ia buat kemudian ditukar dengan gula, sabun, atau kebutuhan pokok lainnya.

Endang berpindah-pindah tahanan hingga akhirnya ia dikembalikan ke Yogyakarta pada tahun 1979.

Sri Moehajati

Seharusnya, masa depan Sri Moehajati muda begitu cemerlang. Saat itu, ia masih berusia 24 tahun dan bersekolah sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 1965. Selama menjadi mahasiswa, ia juga menjadi anggota CGMI. Alih-alih menjadi dokter, Sri Moehajati malah menjadi tahanan politik (tapol) dan berpindah-pindah tahanan selama lima tahun.

Rosa Panggabean

Ayah dari Sri Moehajati adalah Moehadi, seorang pengusaha sabun yang juga pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Anggota Dewan Perancang Daerah Yogyakarta pada saat itu. Ayahnya ditangkap pada November 1965, dan tak berapa lama kemudian Sri Moehajati dan ibunya, Musriah, juga menyusul ditangkap polisi. Pada saat ditangkap, ibunya harus kontrol dua minggu sekali ke rumah sakit akibat sakit ginjal.

Semenjak diperiksa dan ditahan, Sri Moehajati selalu bersama ibunya. Ia dan ibunya berpindah-pindah dari Benteng Vredeburg, Lapas Wirogunan, hingga Benteng Pendem Ambarawa. Ia terakhir kali bertemu dengan sang ayah saat ia dan ibunya ditahan di Benteng Vredeburg; ayahnya kemudian hilang setelah itu. Saat itu, ayahnya berpesan kepada Sri Moehajati untuk menggantikan dirinya menjaga keluarga.

Rosa Panggabean

Pada tahun 1966, Sri Moehajati dan ibunya dipindahkan ke Benteng Ambarawa. Di benteng peninggalan Belanda inilah Sri Moehajati harus berpisah dengan sang ibu. Sri Moehajati dipindahkan ke Lapas Bulu Semarang, sementara ibunya dipulangkan. Pada akhirnya, Sri Moehajati menghabiskan 1,5 tahun di Lapas Bulu Semarang sebelum akhirnya dipulangkan ke Yogyakarta pada 1970.

Heryani Busono Wiwoho

Heryani Busono Wiwoho bisa dibilang sebagai seorang intelektual. Ia dan suaminya, Herman Busono, adalah dosen yang tergabung dalam organisasi Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Heryani adalah pengajar di IKIP Yogyakarta, sementara suaminya mengajar di fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ketika Heryani dan suaminya ditangkap, mereka harus meninggalkan empat orang anak.

Rosa Panggabean

Selama 13 tahun, Heryani berpindah-pindah kamp tahanan dari Yogyakarta hingga Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Pada mulanya ia ditahan di Wirogunan, lalu berpindah ke Ambarawa, Bulu Semarang, sebelum berakhir di Plantungan. Heryani Busono dipulangkan pada 1978.

Di Benteng Pendem Ambarawa, Heryani sempat diminta membuatkan lirik lagu dari seorang tentara yang juga menjadi tahanan politik, Juwito. Heryani membuatkan lirik berjudul Lagu Untuk Anakku yang bercerita tentang kerinduan terhadap anak-anaknya.

ROSA PANGGABEAN is a freelance photographer based in Jakarta, Indonesia. She previously worked for an Indonesian photo agency and a local newspaper as a staff photojournalist. During that time, she covered many issues, from daily life, politics, sports, to major disasters. Her works have been published in local and international publications through Reuters syndication.