HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label arsip rahasia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arsip rahasia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 November 2019

KKR dan Keadilan Hukum bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 27/11/2019, 07:38 WIB
Penulis Kristian Erdianto
Editor Icha Rastika
SHUTTERSTOCK/210229957Ilustrasi HAM

JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) dinilai menjadi langkah awal yang baik dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Mekanisme penuntasan melalui KKR diharapkan mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban serta keluarganya.
Sebab, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena tidak memberikan kepastian hukum.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari berpendapat, pemerintah harus tetap membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum atau pengadilan.
"Penuntasan kasus harus berjalan paralel. Tetap harus disediakan kemungkinan untuk mekanisme peradilan itu berjalan," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Taufik, penuntasan kasus HAM masa lalu melalui pengadilan perlu dilakukan untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses pemidanaan.

Sementara itu, opsi penuntasan melalui KKR diambil ketika terdapat kesulitan dalam hal pembuktian di pengadilan, misalnya, kurangnya alat bukti atau keterangan saksi atas sebuah kasus. 
"Ketika ada pelanggaran masa lalu tidak dituntaskan maka akan terjadi impunitas, sebuah kejahatan tanpa ada penyelesaian," kata Taufik.
"Tapi di sisi lain kita juga harus membuka peluang ketika ada kesulitan dalam hal membawa ke pengadilan ada ruang lain yaitu pengungkapan kebenaran melalui KKR," ucap dia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Merujuk pada catatan Kejaksaan Agung, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut yakni peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Pengungkapan kebenaran

Selain memberikan jaminan kepastian hukum, opsi penuntasan melalui KKR juga harus menjadi mekanisme bagi pemerintah dalam mengungkap kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dengan begitu, Taufik berharap KKR dapat menjadi pemecah kebuntuan yang selama ini menghambat penuntasan kasus.
Harus diakui bahwa selama ini penuntasan kasus HAM selalu terhambat oleh dua aspek, yakni hukum dan politik.
"Pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu itu adalah bagian dari pembelajaran bangsa ini. Bukan sekadar kita ingin menuding seseorang, mau memidanakan seseorang. Tapi titik beratnya lebih pada pengungkapan kebenaran dan belajar dari kejadian kelam masa lalu," ujar Taufik.
Menurut Taufik, jika nanti terbentuk, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM.

Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Ketika ada dua versi, ya jadikan itu tetap dua versi, tidak apa-apa, tetapi tercatat oleh negara, kalau menurut versi korban seperti ini, menurut pelaku seperti ini," kata Taufik.
Ia menekankan, bagian terpenting dalam KKR adalah peran negara dalam mendokumentasikan keterangan dari korban dan terduga pelaku. Artinya, pemerintah melegitimasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian dari sejarah Bangsa Indonesia.

Di sisi lain, KKR juga mensyaratkan keaktifan pemerintah dalam mencari data-data yang selama ini sulit diakses oleh publik, misalnya terkait dokumen yang dimiliki oleh intelijen dan institusi militer.
"Data-data yang ada di intelijen atau di militer yang selama ini tidak mungkin diakses oleh publik, yang bisa mengakses siapa? Ya negara dengan kekuasaannya untuk minta. Kalau negara bisa mengakses data itu, bentangkan sebagai sebuah informasi. jadi gambaran mengenai kejadian itu bisa diketahui," ucap Taufik.
Tak miliki tendensi politik Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma berharap komisioner KKR nantinya diisi oleh orang yang tidak memiliki tendensi politik terhadap pelaku kejahatan HAM masa lalu.

Ia mengatakan, jabatan komisioner KKR harus diisi orang yang memiliki integritas, tidak berafiliasi terhadap partai politik, dan mempunyai kompetensi terhadap kasus HAM.
"Bisa diisi oleh orang yang selama ini tidak terlibat kejahatan HAM, tidak diduga bertanggungjawab atas suatu peristiwa, tidak punya tendensi politik terhadap pelaku," ujar Feri di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Feri, posisi komisioner dapat diisi oleh kalangan penggiat HAM, purnawirawan Polri yang fokus terhadap isu HAM, jurnalis, bahkan kelompok agamawan.

Baginya, yang terpenting dari wacana dibentuknya kembali KKR adalah pengungkapan kebenaran dari peristiwa masa lalu, termasuk perbaikan kondisi bagi keluarga korban, baik dalam bentuk restitusi, rehabilitasi, kompensasi, maupun jaminan pelanggaran HAM tidak terjadi kembali di masa depan.
"Yang paling penting itu keadilan agar proses hukum tetap jalan," kata Feri.
Kompas.Com 

Selasa, 01 Oktober 2019

G30S Bukan Buatan PKI

  • Analisis Iskandar Subekti mengenai G-30-S

John Roosa, penulis "Dalih Pembunuhan Massal", menemukan dua dokumen penting di sebuah penyimpanan arsip di Amsterdam. Dokumen itu di antaranya tulisan analisis Iskandar Subekti mengenai G-30-S. Menurut Rossa, analisis ini belum pernah dimanfaatkan oleh para sejarawan sebelumnya.

Mungkin, selain Rossa, ada kawan2 yang pernah membaca tulisan analisis Iskandar Subekti alias Ripto. Tapi saya yakin banyak yang belum tahu dan membacanya. Berikut saya sajikan cuplikan satu subjudul dari 14 subjudul. Semoga bermanfaat.

Oleh : Ripto

1. G30S Bukan Buatan PKI

Perlu ditegaskan di sini – sebagaimana telah ditandaskan dalam pleidoi penulis, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Desember 1972 – bahwa bukan PKI yang mengadakan Gerakan 30 September (G30S), dan juga G30S bukan buatan atau ciptaan PKI. Mengapa?

 G30S bukan gerakan yang sembarangan. Ia pun bukan gerakan kecil yang non-prinsipial. G30S dimaksudkan untuk mencegah usaha jenderal-jenderal kanan Angkatan Darat (AD) – yang menguasai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), untuk memukul dan kemudian menghancurkan PKI, selanjutnya merebut kekuasaan negara dari tangan Presiden Soekarno. Jenderal-jenderal kanan AD yang menguasai pimpinan ABRI, merupakan satu kekuatan politik sendiri di dalam masyarakat Indonesia. Mereka sangat antikomunis dan anti-Soekarno. Sebagai satu kekuatan politik, mereka pasti berusaha menguasai negara RI, menguasai pemerintahan RI; dan menghancurkan lawan politik yang dianggap paling berbahaya, PKI.

 Memukul dan menghancurkan PKI tidak bisa mereka lakukan tanpa memukul Soekarno, untuk kemudian merebut kekuasaan negara dari tangannya.

 Merebut kekuasaan negara dan mendirikan pemerintahan yang dikuasai adalah tujuan setiap partai politik. Dan kelompok jenderal-jenderal kanan AD, yang merupakan kekuatan militer yang aktif berpolitik, pada hakekatnya merupakan “partai politik”. Mereka pun memiliki senjata di tangan, dan memiliki barisan bersenjata yang tersusun rapi serta terorganisasi baik dalam wujud ABRI. Inilah potensi besar yang mereka miliki.

G30S mempunyai dampak politik yang besar dalam kehidupan di Indonesia, terhadap negara dan seluruh rakyat Indonesia. Jadi G30S bukan gerakan sembarang gerakan. Oleh karena itu, seandainya G30S merupakan gerakan dari dan atau didalangi oleh PKI, semestinya dibicarakan dan diputuskan oleh badan pimpinan Partai yang tertinggi, yaitu Comite Central (CC). Sebab gerakan tersebut begitu prinsipial. Begitu fundamental. Tetapi nyata, hal ini tidak pernah dibicarakan; apalagi diputuskan di dalam dan oleh Comite Central, yang anggotanya berjumlah 85 orang itu. Banyak kawan di antara yang 85 orang itu, yang tidak tahu-menahu mengenai gerakan ini. Bahkan ada anggota Politbiro (PB) atau calon anggota PB yang tidak mengetahui sama sekali. Manakala ada anggota-anggota CC atau PB yang tersangkut dalam gerakan ini; maka mayoritas dari mereka hanya merupakan pelaksana saja, bukan pemikir yang ikut memutuskan, membicarakan, atau merencanakan gerakan tersebut.

 Politbiro beranggotakan: D.N. Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman, Oloan Hutapea, Ir. Sakirman, Rewang, Nyono, Asmu, Ruslan Wijayasastra, dan Moh. Munir. Sedangkan calon anggota Politbiro adalah Aza, Peris Pardede, Syafei, dan F. Runturambe. Kemudian Dewan Harian Politbiro beranggotakan: D.N. Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman, dan Oloan Hutapea. Sedangkan calon anggota Dewan Harian Politbiro adalah Moh. Munir dan Rewang.

 Kawan Nyoto sama sekali tidak mengetahui. Ia sama sekali tidak diajak Aidit dalam diskusi-diskusi mengenai gerakan ini, serta perencanaan dan pelaksanaannya. Apalagi F. Runturambe.

 Sidang PB yang diadakan dalam bulan Agustus 1965 (?), sebelum sidang PB diperluas (briefing) membicarakan situasi politik yang gawat berhubungan dengan sakitnya Bung Karno, dan adanya gerakan-gerakan perwira muda yang menentang rencana Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Di dalam sidang PB ini diambil keputusan bahwa Partai memberi dukungan politiknya pada gerakan tersebut. Jadi, sama sekali tidak merencanakan gerakan.

 Ada dilakukan sidang PB diperluas. Seingat penulis pada 27 Agustus 1965. Disebut PB diperluas karena sidang dihadiri anggota-anggota PB dan anggota-anggota CC yang berdomisili di Jakarta, serta anggota-anggota CC dari daerah yang pada saat itu kebetulan berada di Jakarta. Penulis hadir pada sidang itu. Siapa-siapa lainnya dari CC yang menghadiri sidang ini, penulis tidak ingat lagi.

Sidang tersebut semata-mata merupakan satu briefing yang diberikan Ketua CC. Isi briefing sama dengan yang dibicarakan dalam sidang PB sebelumnya. Tidak lebih dari itu. Kawan-kawan dari daerah yang sedang berada di Jakarta, dan menghadiri sidang itu; diminta oleh Ketua CC, sekembalinya ke tempat masing-masing, mengikuti selalu siaran RRI pusat yang akan menyiarkan perkembangan keadaan lebih lanjut.

Andreas JW 

Kamis, 15 Agustus 2019

G30S/Militer: Bagaimana Soeharto Mendalangi Pembantaian 1965?


15 Agustus 2018

Jess Melvin
Menamatkan studi doktoral di University of Melbourne (2014). Disertasinya diterbitkan Routledge...


Meski sudah 20 tahun kediktatoran Soeharto runtuh, mitos yang menjustifikasi pendirian rezim Orde Baru (dan juga masa pemerintahan setelahnya) masih berdiri tegak.

Menurut narasi resmi negara, militer terpaksa turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta komunis yang gagal pada dini hari 1 Oktober 1965.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan narasumber Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa militer bertindak demi memadamkan pergolakan “spontan”—dan mengakibatkan pertumpahan darah di seantero Indonesia—yang digerakkan oleh rakyat biasa yang membenci orang-orang komunis di sekeliling mereka. Rentetan peristiwa yang digambarkan oleh internal CIA sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20, dikenal di Indonesia sebagai G30S/PKI—sebuah istilah yang yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas kudeta gagal yang dipimpin Gerakan 30 September (G30S).

Faktanya, militerlah yang mengerahkan kudeta pada 1 Oktober 1965 tersebut. Perencanaan kudeta ini dimulai di bawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin Sukarno. Waktu itu, tentara dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Upaya Soeharto menggunakan rantai komando yang ada untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan kini lebih bisa dijelaskan. Buku saya yang berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder menunjukkan bagaimana militer Indonesia memulai dan melakukan pembunuhan massal 1965-66.

Artikel ini berfokus pada proses kudeta militer. Persiapan Kudeta Pada 1965, di tengah ambisi kudeta, militer Indonesia menemukan sekutu utamanya: pemerintah Amerika Serikat. Setelah kegagalan Paman Sam memisahkan Sumatera dari Indonesia pada akhir 1950-an, TNI dan Washington menemukan titik temu dalam politik anti-komunisme. Pimpinan TNI yang baru diangkat menerima pelatihan dan pendanaan dari Amerika. Washington sendiri berharap TNI bisa menjadi “negara dalam negara” dan mampu menggulingkan Presiden Sukarno yang tak pernah merahasiakan simpatinya atas ideologi Marxisme.

Awalnya, para pimpinan militer bermaksud menunggu Sukarno untuk "meninggalkan gelanggang". Tapi rencana berubah dan dimajukan pada Agustus 1965 karena mereka takut Sukarno dan PKI akan menggunakan kampanye Ganyang Malaysia untuk melemahkan monopoli TNI atas angkatan bersenjata. Sebelum membahas bagaimana TNI naik ke tampuk kekuasaan, penting untuk mengetahui struktur TNI menjelang peristiwa 1 Oktober 1965. Sukarno sebagai panglima tertinggi TNI secara resmi memiliki kontrol atas angkatan bersenjata. Langsung di bawah Sukarno, Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal Ahmad Yani memegang kontrol teknis. Sejak masa revolusi nasional (1945-1949), angkatan bersenjata terorganisir menurut struktur komando teritorial. Komando internal ABRI, yang dikenal sebagai Kodam, memiliki posisi sejajar dengan pemerintah sipil sampai ke tingkat desa. Pada 1965, Ahmad Yani menguasai struktur Kodam ini. Yani juga mengendalikan sejumlah struktur komando khusus, termasuk Kostrad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, dan Pasukan Khusus RPKAD yang dikendalikan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Selain itu, Ahmad Yani menjabat kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI). KOTI mengoordinasikan keterlibatan militer dalam kampanye Ganyang Malaysia.

Pada Oktober 1964, Komando Mandala Siaga (Kolaga) didirikan di bawah rantai komando KOTI di Sumatera dan Kalimantan untuk memfasilitasi kampanye Ganyang Malaysia di tingkat lokal. Komandan Kolaga adalah marsekal Angkatan Udara Omar Dhani, dengan Soeharto sebagai wakil pertamanya. Omar Dhani nantinya terlibat dalam Gerakan 30 September.

Komando KOTI dan Kolaga kelak menjadi medan konflik internal dalam perebutan negara. Permainan Berbahaya Pada September 1964, sebuah undang-undang baru memberikan kuasa kepada KOTI untuk menyatakan darurat militer tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Sukarno. Ada kemungkinan Sukarno bermaksud menggunakan KOTI dan Kolaga untuk mengantarkan kaum komunis ke puncak kekuasaan. Selain menempatkan sekutunya (Dhani) sebagai komandan Kolaga, Sukarno juga menyetujui mobilisasi 21 juta sukarelawan pada Mei 1964. Mobilisasi ini seolah-olah dilakukan untuk mengantisipasi potensi konflik dengan Malaysia, tetapi militer khawatir jika sukarelawan digunakan untuk melawan TNI. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila militer pun mengambil keuntungan dari undang-undang baru ini. Komandan Mandala I Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta yang anti-komunis, menggunakan Kolaga untuk mulai menjalankan latihan uji coba militer (dikenal sebagai Operasi Singgalang) sejak Maret 1965. Uji coba tersebut dilakukan untuk menguji kesiapan komando militer dalam memobilisasi warga sipil. Warga sipil yang dilatih selama periode ini di kemudian hari berfungsi sebagai pasukan kejut (shock troops) dalam serangan TNI terhadap PKI.

Permainan berbahaya ini mencapai puncaknya pada Agustus 1965, ketika Sukarno mengumumkan pembentukan "Angkatan Kelima" atau tentara rakyat. Meskipun Sukarno mengklaim angkatan ini hanya akan digunakan untuk memajukan rencananya untuk memobilisasi warga sipil dalam mendukung kampanye Ganyang Malaysia, pihak militer sangat khawatir. Jika TNI tidak lagi memonopoli kekuatan bersenjata di Indonesia, maka kemungkinan PKI merebut tampuk kekuasaan di Indonesia akan tak terhindarkan.

Militer pun tak lagi ingin menunggu Sukarno turun panggung. Sebaliknya, di saat masih menjadi kekuatan bersenjata yang paling berkuasa di Indonesia, mereka berusaha memancing konfrontasi. Para pimpinan TNI tak ingin terlihat sebagai aktor yang memulai kudeta. Sukarno dan PKI terlalu populer pada masa itu. Sebaliknya, seperti dijelaskan John Roosa, TNI berharap mampu menciptakan sebuah keadaan yang dapat dimanfaatkan sebagai "dalih" agar militer bisa membungkus tindakakan-tindakannya sebagai pertahanan diri. Tindakan Gerakan 30 September—yang menculik dan membunuh enam perwira kunci TNI, termasuk Ahmad Yani, pada dini hari 1 Oktober—adalah dalihnya. Saya berargumen bahwa tindakan-tindakan militer yang dilakukan selanjutnya mengandung unsur-unsur pra-perencanaan dan improvisasi: ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan negara pada pagi hari 1 Oktober, dia mendasarkan tindakannya pada perencanaan jangka panjang yang telah dilakukan sebelumnya oleh kepemimpinan militer di bawah Yani, dan Soeharto juga menambahkan sentuhannya sendiri.

Kudeta Militer Indonesia 1 Oktober 1965 Ketika Gerakan 30 September membunuh pimpinan militer pada 1 Oktober, mereka gagal melumpuhkan komando militer di tingkat nasional. Soeharto justru mengisi kepemimpinan yang ditinggalkan Ahmad Yani, secara aktif mengabaikan wewenang Sukarno. Soeharto juga mempertahankan posisi strategisnya sebagai Komandan Kostrad, sementara Komandan RPKAD Sarwo Edhie membuktikan dirinya sebagai salah satu deputi paling setia Soeharto.

Sedikit yang tahu bahwa Soeharto juga merebut posisi Komandan KOTI. Menariknya, tidak ada indikasi bahwa Omar Dhani, sekutu Sukarno, berusaha memobilisasi KOTI, meskipun KOTI secara resmi berada di bawah komandonya pada pagi 1 Oktober 1965. Selama ini Soeharto dikisahkan sekadar membuat pengumuman publik pada tanggal 1 Oktober, ketika ia menyatakan bahwa TNI sudah berhasil mengendalikan situasi, termasuk di “pusat” dan “daerah”. Tidak diketahui apa yang dimaksud dengan pernyataan ini. Soeharto juga tidak bisa dibuktikan telah melakukan kudeta pada 1 Oktober.

Alih-alih, bukti-bukti yang ada selama ini hanya menunjukkan bahwa ia bersikap tidak patuh pada Sukarno ketika diperintahkan turun dari posisi komandan ABRI. Kini dapat diungkapkan Soeharto bertindak lebih aktif dalam mengonsolidasikan posisinya dan bergerak secara mandiri dari Sukarno. Bukti-bukti baru berupa dokumen menunjukkan bahwa Soeharto mengirim telegram ke panglima-panglima regional pada pagi 1 Oktober, dalam posisinya sebagai komandan ABRI. Ia menyatakan bahwa kudeta yang dipimpin Gerakan 30 September telah terjadi di ibu kota.

 Perintah ini kemudian diikuti dengan instruksi kiriman Komandan Mandala I Sumatera Letjen Ahmad Mokoginta, yang menyatakan bahwa para komandan militer harus “[m]enunggu perintah/instruksi selandjutnja dari Panglatu”.

Komando-komando lanjutan ini datang pada tengah malam ketika Mokoginta mengumumkan melalui radio bahwa seluruh perintah Soeharto harus “dipatuhi”, bertentangan dengan perintah Sukarno kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. Mokoginta pun memerintahkan “segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja.”

Dari instruksi-instruksi sejenis yang bisa diketahui, pesan inilah yang muncul paling awal. Tindakan Mokoginta mengeluarkan instruksi tersebut dalam posisinya sebagai komandan Mandala I punya nilai yang sangat penting. Kini bisa diketahui bahwa komando daerah Sumatera diaktifkan pada pagi hari 1 Oktober untuk tujuan eksplisit memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Darurat militer juga diberlakukan di seluruh Sumatera. Sementara itu di Jakarta, Kostrad dan RPKAD digunakan untuk meluluhlantakkan Gerakan 30 September dari 1 hingga 2 Oktober.

Pada 3 Oktober, Jakarta dinyatakan dalam keadaan perang. Selama beberapa hari berikutnya, Soeharto menuntut sumpah setia dari para komandan militer di seluruh negeri. Pada saat bersamaan, pers dibungkam dan para pemimpin sipil dilumpuhkan. Pengambilalihan angkatan bersenjata dan penundukkan atas ruang-ruang sipil oleh militer memuncak pada pidato Soeharto pada hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober di Jakarta. Tepat di saat Sukarno sulit mengambil keputusan, Soeharto secara terbuka memunculkan dirinya sebagai kingmaker tanpa pesaing. Soeharto tidak menyatakan kudeta pada 1 Oktober karena memang tak perlu melakukannya.

Rantai Komando Aksi-aksi pembunuhan mulai bergulir beberapa hari setelah militer berhasil merebut negara. Pada saat itu, fase-fase kekerasan terlihat jelas. Setelah menyatakan niatnya untuk “membasmi” Gerakan 30 September pada tengah malam 1 Oktober, TNI memerintahkan warga sipil untuk berpartisipasi dalam kampanye militer sejak 4 Oktober. TNI pun mendirikan "Ruang Yudha" (sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI) di Aceh pada 14 Oktober untuk memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Pada setiap saat, seluruh tindakan militer dikoordinasikan melalui sistem komunikasi dua arah yang kompleks dan membentang sampai ke tingkat desa. Militer menggunakan banyak rantai komando untuk menggelar kampanye ini secara nasional. Gerakan 30 September membagi Indonesia menjadi empat wilayah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Militer memfokuskan fase pertama serangannya di Sumatera dan Jawa, keduanya sebagai pusat ekonomi dan penduduk, sebelum memperluas jangkauannya. Seiring militer bersiap menggelar "operasi penumpasan" terhadap kelompok komunis, pembagian kerja pun mulai dilakukan di seantero negeri.

Di Sumatera, sangat masuk akal bagi pucuk pimpinan militer untuk menggunakan KOTI, Kolaga, dan komando regional di bawah kepemimpinan Mokoginta. Dokumen internal kedutaan besar AS menunjukkan bahwa Sumatera digunakan sebagai "test case" (daerah percobaan) oleh militer karena mereka bisa menerapkan darurat militer di daerah ini. Artinya, para komandan tak hanya mampu mengendalikan angkatan bersenjata tetapi juga penduduk sipil.

Di Sumatera, pembunuhan di muka umum dimulai pada 7 Oktober dan berlanjut ke tahap pembunuhan massal secara sistematis yang dimulai pada 14 Oktober.

Di Jawa dan Bali, angkatan bersenjata mengoordinasikan serangan melalui komando Kostrad dan RPKAD. Pada dasarnya, komando-komando ini sangat lincah (mobile). Mereka dapat beroperasi tanpa koordinasi dengan Kodam setempat yang, di Jawa, misalnya, dianggap telah cacat karena bersimpati pada Gerakan 30 September. Sebenarnya, Jawa Tengah adalah satu-satunya tempat di mana komando militer lokalnya mendukung Gerakan 30 September (sekalipun Bali dan Sumatera Utara memiliki gubernur yang berafiliasi dengan PKI).

Kostrad pertama kali digunakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September di ibukota sebelum akhirnya memelopori serangan-serangan di Jawa Tengah sejak tanggal 18 Oktober. Pada Desember, RPKAD pindah ke Bali.

Komandan RPKAD juga ditugaskan untuk mengoordinasi sebuah jaringan nasional regu-regu pembunuh yang terdiri dari orang-orang sipil. Seperti halnya di Sumatera, militer di Kalimantan memiliki komando Mandala-nya sendiri di bawah komando KOTI dan Kolaga. Namun, meskipun komando Mandala II (di bawah Mayor Jenderal Maraden Panggabean) memiliki potensi operasional yang sama dengan Mandala I, tidak tampak ada kampanye pemusnahan militer di wilayah tersebut hingga Oktober 1967.

 Demikian pula kampanye pemusnahan militer di Indonesia Timur yang tidak dimulai hingga Desember 1965. Alasan penundaan disebabkan oleh minimnya kepentingan strategis pemerintah di daerah-daerah ini. Sumatera dan Jawa adalah pusat ekonomi dan memiliki demografi terpadat. Sementara Bali, yang dikenal sebagai pusat aktivitas PKI, menjadi prioritas serangan militer gelombang kedua. Ketika kendali militer meluas, skala pembunuhan massal pun membesar.

Pada akhir 1965, sebuah upaya untuk memusatkan kampanye penumpasan oleh militer pun dimulai. Soeharto mendirikan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 6 Desember. Kendati komando ini banyak disorot karena berperan mengoordinasi serangan militer, tapi kenyataannya keberadaan Kopkamtib tidak diperlukan dalam kampanye awal pemusnahan yang digalakkan militer.

Pembantaian terburuk di Aceh (yang mengawali episode pembunuhan massal dalam kurun waktu 1965-1966), misalnya, sudah berakhir pada saat Kopkamtib didirikan di Sumatera. Walaupun kepemimpinan militer nasional memilih untuk mengoordinasikan kudeta dan kampanye pemusnahan melalui jaringan komando yang semi-otonom dan berbasis wilayah, hal tersebut tidak mengurangi taraf sentralisasi koordinasi militer di balik genosida.

Demikian pula, cara kerja semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Genosida terhadap orang Yahudi atau Holocaust yang dilakukan Nazi di Jerman juga dikoordinasi melalui banyak rantai komando yang berbasis wilayah.

Tingkat koordinasi di tingkat lokal inilah yang memungkinkan berkembangnya pola-pola berskala nasional yang terlihat jelas dalam pembunuhan-pembunuhan selanjutnya. Tujuan utama dari kekerasan ini adalah untuk mengonsolidasikan perebutan kekuasaan negara oleh militer. Sekarang jelas bahwa Soeharto memainkan peran penting dalam koordinasi di balik kudeta militer dan kampanye penumpasan setelahnya.

Militer tidak segan-segan mengambil langkah untuk "menyelamatkan" negara dari kudeta 1 Oktober 1965. Malah, mereka secara aktif berusaha merebut kekuasaan, dengan cara memanfaatkan aksi-aksi Gerakan 30 September sebagai katalis guna menjalankan rencana jangka panjang kudeta militer. Dalam pengambilalihan kepemimpinan pada hari itu, Soeharto tak hanya merespons aksi Gerakan 30 September, tetapi juga menjalankan skenario jangka panjang dalam kepemimpinan militer (rencana kudeta).

Pembunuhan massal setelahnya digunakan untuk meneror penduduk dan menghilangkan seluruh potensi perlawanan terhadap rezim militer baru. Trauma periode ini masih menghantui Indonesia hingga sekarang.

Dua puluh tahun sejak reformasi dan 53 tahun sejak Orde Baru berkuasa, ini saat yang tepat untuk membicarakan kudeta militer Indonesia 1965 secara terbuka. Untuk meruntuhkan propaganda Orde Baru, saya mengusulkan agar peristiwa ini dinamakan kembali sebagai "G30S/Militer".


Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma Garnesia dari "There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings" yang dimuat di Indonesia at Melbourne pada 24 Juni 2018. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis dan penerbit. Edisi Indonesia sudah diperiksa oleh Jess Melvin sebagai penulis.

 *) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Mitos G30S/PKI yang menjustifikasi pendirian rezim Orde Baru masih tegak. Padahal yang terjadi adalah G30S/Militer.

https://tirto.id/g30smiliter-bagaimana-soeharto-mendalangi-pembantaian-1965-cSAq

Rabu, 26 Desember 2018

Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM


Oleh: Irma Garnesia, Jess Melvin - 26 Desember 2018
  • Buku '65 yang Terbit pada 2018
Anggota Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI), ditahan oleh milter (30/10/65). FOTO/AP

The Army and the Indonesian Genocide merekonstruksi peristiwa pembantaian 1965-66 melalui dokumen-dokumen resmi militer.
Suatu hari pada 2010, saya kembali dari bekas gedung arsip setempat bersama sekardus fotokopian dokumen. Saya tak menyangka 3.000 halaman dokumen yang saya peroleh bisa mengubah sejarah. 

Dari setumpuk halaman dokumen itulah saya menyusun disertasi yang diujikan di Universitas Melbourne pada 2014 dan diterbitkan oleh Routledge dengan judul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, empat tahun kemudian. Saya merekonstruksi narasi bikinan TNI mengenai peristiwa 1965 berdasarkan catatan, rekaman, dan hasil wawancara dari 70 korban yang selamat, eksekutor, dan saksi mata dari aksi genosida yang terjadi di Aceh.

Lebih dari setengah abad, TNI mengisahkan pembantaian 1965 yang menewaskan sekitar satu juta warga sipil tak bersenjata sebagai perlawanan spontan masyarakat. Versi militer menyebut aksi-aksi pembantaian itu sebagai “Operasi Penumpasan” untuk menghabisi musuh bebuyutan TNI—Partai Komunis Indonesia—hingga ke akar-akarnya.

Tiga ribu halaman dokumen yang saya juluki “Berkas Genosida Indonesia” itu mampu meruntuhkan propaganda pemerintah Indonesia tentang pembunuhan massal 1965-66 dan membuktikan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalamnya. Berkas Genosida Indonesia juga menunjukkan sebuah koordinasi tingkat tinggi dan terpusat di balik rangkaian pembunuhan 1965-66 yang bisa ditelusuri rantai komandonya hingga ke Soeharto di Jakarta.

Saya menempatkan operasi militer 1965-66 sebagai tindakan genosida, seturut definisi yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Pada bab pertama Mechanics of Mass Murder, saya menjelaskan bagaimana rentetan peristiwa dan rekaman yang ditemukan dalam Berkas Genosida Indonesia menunjukkan keterlibatan TNI dalam operasi penumpasan yang bertujuan menghancurkan—sebagian atau keseluruhan—sebuah kelompok nasional, etnis, ras atau agama. 

Di Balik Narasi Hari Kesaktian Pancasila

Sesuai narasi resmi negara Indonesia, 1 Oktober 1965 diperingati sebagai hari ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) meluncurkan percobaan kudeta terhadap bangsa Indonesia lewat aksi “Gerakan 30 September” (G30S). Aksi G30S sendiri rumit untuk dijelaskan karena mengandung unsur kebenaran sekaligus fabrikasi yang dimanfaatkan TNI untuk menjustifikasi operasi penumpasan yang mereka gencarkan setelah 1 Oktober.

Sebelum fajar 1 Oktober 1965 menyingsing, sekelompok perwira menengah yang menamai diri Gerakan 30 September menculik enam perwira tinggi TNI: Jenderal Ahmad Yani, Letjen S. Parman, Letjen Haryono, Letjen Suprapto, Mayjen Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Satu perwira lagi, Pierre Tendean, diciduk lantaran disangka Jenderal AH Nasution oleh tim eksekutor.

Penculikan ini rupanya diketahui oleh pimpinan PKI, D.N. Aidit dan seorang pihak lain yang tak dikenal. Namun, Aidit sedikit pun tidak memberi tahu rekan-rekan separtai tentang rencana ini.

Para jenderal diculik karena diduga bakal mengkudeta Presiden Sukarno. Kudeta ini disebut-sebut akan didukung Badan Intelijen Amerika (CIA) yang tak senang menyaksikan kedekatan Sukarno dan PKI. Setelah aksi penculikan dan pembunuhan dini hari Oktober itu, TNI mengumumkan PKI telah melakukan percobaan kudeta serta menciptakan pemberontakan berskala nasional. Selang beberapa hari setelahnya, TNI kembali menyebarkan kabar bahwa PKI dan para simpatisannya akan membantai umat Islam

Karena propaganda TNI inilah, kemarahan masyarakat terhadap kelompok ‘ateis’ dan komunis memuncak, lalu meledak dalam aksi-aksi kekerasan yang berujung pada banjir darah di beberapa daerah.

Pembunuhan massal 1965-66 kerap dibingkai sebagai kekerasan horizontal akibat kemarahan masyarakat terhadap kekejaman PKI. Dalam bingkai tersebut, TNI dielu-elukan sebagai pihak yang telah berhasil menyelamatkan negara dari rongrongan komunis. 

Kenyataannya, narasi semacam itu telah mengaburkan fakta-fakta di lapangan. Meski benar kelompok G30S menculik dan membunuh enam perwira tinggi dan seorang letnan pada dini hari 1 Oktober, namun operasi tersebut tak punya hubungan langsung baik dengan PKI maupun kelompok-kelompok lainnya yang jadi korban keganasan operasi militer 1965-66. Fakta-fakta yang ditemukan memang kontras dengan klaim yang digembar-gemborkan TNI. Misalnya, kendati tujuh perwira militer dibunuh, tak satu pun yang dimutilasi. Tak ditemukan pula rencana PKI untuk membantai warga Muslim. 

Bukti-bukti kawat diplomatik antara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan para diplomat di Jakarta justru mengungkapkan bahwa para perwira tinggi TNI sengaja menanti sebuah peristiwa yang bisa dijadikan dalih untuk mengambinghitamkan PKI dan menggulingkan Sukarno melalui kudeta militer.

Meski sebelumnya tak ditemukan bukti perencanaan genosida oleh TNI, rupanya ada perintah pembunuhan massal secara sistematis antara 1 hingga 14 Oktober. TNI sengaja menciptakan kondisi yang memungkinkan mereka mengumumkan darurat militer dan merebut kekuasaan. 

Operasi Berdikari dan Justifikasi TNI

Menurut Berkas Genosida Indonesia, TNI secara resmi mengkoordinasikan persiapan operasi militer di Sumatera yang dimulai pada April 1965 melalui sebuah kampanye yang dikenal di internal TNI sebagai “Operasi Berdikari”. Operasi ini diaktifkan pada pagi hari 1 Oktober, ketika TNI seolah masih menimbang-nimbang respons yang tepat terhadap G30S. Agar operasi bisa dimulai, darurat militer di seluruh Sumatera harus diumumkan dan struktur komando militer baru di Aceh (dikenal sebagai Komando Pertahanan Daerah/Kohanda) juga wajib diaktifkan.

G30S tidak menyatakan niat untuk menggulingkan pemerintah hingga sore hari 1 Oktober. Namun, dalam korespondensi internal militer, sejak pagi hari 1 Oktober para petinggi TNI telah menyatakan G30S sebagai gerakan kudeta. G30S sendiri mengklaim tindakannya menculik para jenderal sebagai upaya untuk memperingatkan Sukarno akan rencana kudeta TNI.

Di sisi lain, bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa D.N. Aidit mengetahui rencana G30S, bahkan hadir di Pangkalan Udara Halim pada 1 Oktober. Namun, tak ada bukti bahwa Aidit mengkomunikasikan skenario penculikan G30S ke PKI atau elemen-elemen partai lainnya sebelum 1 Oktober. Dengan kata lain, tuduhan PKI terlibat dalam G30S—baik sebelum maupun sesudah 1 Oktober—tidak terbukti.

Pertanyaan yang semestinya diajukan bukanlah “apakah PKI terlibat dalam G30S?”, melainkan “sudah tepatkah cara TNI merespons G30s?”

Dimulai dari Aceh

Selama bertahun-tahun, kesulitan utama dalam membuktikan keterlibatan TNI di balik genosida 1965-66 adalah kekurangan bukti dokumen yang mampu menggugurkan sejarah 1965 versi militer.

Sebelum penemuan Berkas Genosida Indonesia pada 2010, para peneliti terus berdebat soal apakah TNI menyembunyikan bukti baru atau pernahkah TNI mengeluarkan perintah untuk melakukan pembantaian massal. 

Diskursus akademik pasca-1965 tentang peristiwa G30S beserta pembunuhan massal yang menyertainya ikut menguatkan klaim-klaim TNI. Sejak dulu, ada rasa enggan di lingkaran akademik untuk menempatkan pembantaian 1965 sebagai kampanye militer yang sistematis, terstruktur, dan terpusat. 

Laporan-laporan akademik awal seperti yang ditulis oleh Lucien Rey (1966), serta Ruth McVey dan Benedict Anderson (1971), terang-terangan menyoroti peran TNI dalam pembunuhan 1965-66. Posisi ini didukung para pengkaji genosida seperti Leo Kuper (1981) dan Frank Chalk dan Kurt Jonassohn (1990), yang sejak awal bermaksud memasukkan pembantaian massal 1965-66 ke dalam kategori kekerasan genosida.

Laporan-laporan perdana ini juga tak bebas dari masalah karena mengandalkan kesaksian tentara dan materi propaganda TNI yang bisa diakses khalayak. Laporan-laporan tersebut belum bisa membuktikan keterlibatan TNI dalam aksi kekerasan massal 1965-66, apalagi niat TNI untuk menghabisi komunisme. Kesulitan memperoleh bukti bahwa militer langsung mengomandoi pembunuhan memunculkan sebuah "problem pembuktian".

Lambat laun, terbangunlah asumsi bahwa bukti semacam itu memang tak pernah ada. Celah inilah yang akhirnya melahirkan narasi-narasi seputar pembunuhan massal yang cocok dengan versi TNI. Lambat laun terbangunlah asumsi bahwa bukti semacam itu memang tak pernah ada. Celah inilah yang akhirnya melahirkan narasi-narasi seputar pembunuhan massal yang cocok dengan versi TNI. 

Namun, ada pula beberapa peneliti yang menolak tunduk pada narasi dominan bikinan serdadu. Peneliti seperti Robert Cribb (1991), Saskia Wieringa (1995), Geoffrey Robinson (1995), Bonnie Triyana (2002), John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004) mengandalkan metode sejarah lisan untuk mengungkap sejumlah kasus peran militer dalam pembantaian.

Meski begitu, ada beberapa kerumitan terkait bukti yang perlu diurai. Dalam The Road to Power (1982), Ulf Sundhaussen meletakkan tanggung jawab atas monopoli kekuasaan dan kekerasan selama penumpasan komunis di pundak TNI. Namun, Sundhaussen juga menyadari betapa sulit membuktikan pembantaian direncanakan oleh Soeharto dan kroco-kroconya. Singkatnya, hampir mustahil menyatakan mereka mendalangi semua kejadian ini.Meski begitu, ada beberapa kerumitan terkait bukti yang perlu diurai. 

Sundhaussen mencatat kekerasan massal pertama kali meledak di Aceh. Tak lama setelah rumor tentang pembantaian terhadap umat Islam di Yogyakarta sampai ke telinga masyarakat Aceh, warga setempat sigap ‘berjihad’ memerangi siapa pun yang diduga komunis.

Dalam Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia (1991), Robert Cribb menyatakan pembantaian massal di Aceh disebabkan oleh kekerasan bermotif agama. Bagi Cribb, pembantaian 1965 adalah cermin dari sejarah Aceh yang berlumur darah. 

Saya menemukan analisis yang sedikit berbeda dalam disertasi Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (1978). Crouch mencatat pembantaian besar-besaran di Aceh meletus pada Oktober. Meskipun jumlah anggota PKI di Aceh sangat kecil, umat Islam di Aceh memandang PKI sebagai ancaman bagi agama mereka. Dalam pandangan Crouch, relasi antara tentara dan warga sipil anti-komunis selama pembantaian berpijak pada kesamaan tujuan, alih-alih rantai komando yang terpadu.

Crouch melihat peristiwa tersebut sebagai perlawanan rakyat untuk mempertahankan agama, sementara pihak militer ia gambarkan sebagai aktor yang mengakhiri perlawanan tersebut.

Yang tak kalah penting adalah benang merah penghubung studi Crouch dan Cribb. Crouch melandaskan analisisnya pada disertasi Sundhaussen (1971), sedangkan Cribb mengutip penelitian Crouch. Tiga studi ini mengacu pada narasumber yang sama: Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa, orang yang paling bertanggung jawab atas genosida di Aceh.

Kesimpulan yang saya ambil berbeda dari Cribb dan Crouch: pembantaian massal 1965-66 dilakukan secara terorganisir dan terstruktur oleh tentara yang memprovokasi penduduk dengan sentimen agama dan etnis. 

Menumpas Hingga ke Akar-akarnya

Sebelum penemuan Berkas Genosida Indonesia, sulit rasanya membuktikan TNI mendalangi pembantaian 1965. Selama pembantaian berlangsung, TNI memang sempat mengobarkan propaganda yang memperlihatkan dukungan terhadap aksi-aksi pemusnahan PKI. Sayangnya, materi propaganda saja tidak cukup bisa membuktikan bahwa TNI juga mengomandoi pembantaian. 

Salah satu produk propaganda TNI dapat dijumpai dalam sebuah karikatur yang diterbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata pada 8 Oktober 1965. Karikatur tersebut menggambarkan seorang pria berpeci dan mengenakan kemeja bertuliskan "Rakjat dan ABRI.” Sang pria digambarkan menghantamkan kapak pada batang pohon yang dilabeli "G.30.S" sementara pada akar pohon terdapat tulisan "PKI." Terdapat pula tulisan “Basmi [mereka] sampai ke akar-akarnya!'

Menurut Berkas Genosida Indonesia, pada tengah malam 1 Oktober 1965, Panglima Antar Daerah Sumatra Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta memerintahkan agar "segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja.” Para petinggi TNI juga menggambarkan operasi ini sebagai upaya untuk memusnahkan GESTOK, nama lain Gerakan 30 September. 

Bagi TNI, istilah “menumpas” bukan kiasan. Setelah memerintahkan warga sipil untuk membantu militer memusnahkan G30S dan para simpatisannya pada 4 Oktober, Panglima Kodam I/Aceh tur kelilling daerah pada 7 Oktober untuk memastikan agar aparat sipil dan warga setempat menghabisi siapapun yang dianggap punya hubungan dengan PKI. TNI juga membentuk kelompok-kelompok paramiliter (death squad) yang siap melaksanakan perintah di lapangan. Kelompok-kelompok inilah yang lantas melakukan pembantaian di seantero Aceh pada 7-13 Oktober. TNI memantau jalannya operasi ini dan mencatat perkembangannya dalam peta yang saya sebut sebagai “Peta Kematian”. 

Komando maut ini berlanjut dengan pembentukan “zona perang” pada 14 Oktober yang bertujuan memusnahkan PKI (sebagai sasaran utama) dan rakyat biasa yang diduga simpatisan. Sejak itulah proses pengganyangan secara sistematis dan terstruktur resmi dimulai dan dikendalikan langsung oleh militer.
Military death map for Aceh


“Peta kematian.” Angka yang dilingkari menunjukkan lokasi pemusnahan. (Dokumentasi pribadi Jess Melvin)

DOM Aceh: Sekuel Pembantaian 1965-66

Siapa sangka jika operasi militer 1965 bakal menyebar ke seantero Aceh dan berulang lagi dalam rangkaian operasi pembasmian GAM (1976-2005)?

Minat mendalami konflik separatis di Aceh mengantarkan saya pada topik yang sangat berlainan namun berhubungan erat: pembunuhan massal 1965-66. Sebagaimana yang saya tunjukkan dalam Mechanics of Murder, ada banyak kesamaan mencolok antara pembantaian 1965-66 dan Daerah Operasi Militer (DOM). 

Konflik bersenjata di provinsi paling barat Indonesia ini berawal ketika Hasan di Tiro, seorang cicit ulama terkemuka dari Pidie, memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Sejak itu, TNI memperlakukan seluruh penduduk sipil Aceh sebagai kombatan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Hingga 2005, konflik yang berlangsung nyaris selama 30 tahun ini tercatat telah menewaskan sekitar 15.000 warga sipil.
Infografik Aceh 1965


Intensitas konflik kembali meningkat pada 2003. Empat tahun sebelumnya, gerakan pro-demokrasi di Aceh yang turut melengserkan Orde Baru bermutasi menjadi gerakan pro-referendum. Sejak itu, TNI kembali melancarkan serangan brutal kepada para aktivis dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perang berhenti sejenak karena Tsunami melanda Aceh pada 24 Desember 2004. Namun, padamnya konflik tak membuat militer berhenti mencurigai siapapun yang mereka cap pengkhianat. 

Dari berkas-berkas yang ada, saya menyatakan mulai percaya diri untuk menyusun narasi kronologis yang akurat tentang aksi genosida di Aceh, yang rangkaian peristiwanya bisa dilacak dari aktivitas militer sebelum dan selama pembantaian. Saya berharap agar dokumen-dokumen yang saya peroleh dapat dikembangkan sebagai bukti pembantaian sistematis di Aceh sepanjang 1965-66, tak terkecuali operasi militer di tingkat kabupaten dan kecamatan di Banda Aceh, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah. Tak sedikit pula, kumpulan dokumen yang mencatat pembersihan aparat birokrasi di seluruh provinsi pasca-pembantaian.

Saya berusaha menyajikan bukti-bukti betapa TNI dengan kesadaran penuh melakukan pembantaian massal; bagaimana angkatan bersenjata merintis koordinasi dan memobilisasi pemerintah sipil serta masyarakat luas untuk ikut serta dalam kekejaman yang luar biasa, lantas mengambinghitamkan PKI sebagai musuh bersama. Keterlibatan yang bersifat kelembagaan ini awalnya tak disangkal TNI dan aksi genosida sendiri dijalankan sebagai kebijakan resmi aparat negara. Lewat dokumen-dokumen yang ada, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Murder berusaha memetakan koordinasi kebijakan tersebut di tingkat nasional, provinsi, kecamatan, hingga desa. 

Akhirnya, saya berharap Mechanics of Mass Murder akan memantik pertanyaan-pertanyaan baru yang mendorong kita agar lebih kritis memahami sebuah peristiwa, sehingga tak menelan mentah-mentah cerita resmi dari rezim yang berkuasa. 

__________

Pembantaian 1965-66 adalah salah satu episode terburuk dalam sejarah Indonesia yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Meskipun telah lewat 50 tahun lebih, proses rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran kasus ini masih mengalami hambatan besar. 
Tirto menayangkan serial khusus berupa nukilan atau ringkasan buku-buku akademik tentang pembantaian 1965-66 yang terbit sepanjang 2018. Serial ini terdiri dari empat artikel, ditayangkan setiap hari mulai Rabu (26/12/2018) hingga Sabtu (29/12/2018). Artikel ini adalah tulisan pertama. 
"Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM" adalah ringkasan dari bab pendahuluan The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder yang diterbitkan Routledge. Disarikan oleh Irma Garnesia dan dikoreksi oleh JessMelvin. Bukunya dapat dibeli melalui situs web resmi Routledge.

Penulis: Irma Garnesia & Jess Melvin
Editor: Windu Jusuf
Sumber: Tirto.Id

Sabtu, 29 September 2018

Kisah Jess Melvin Menelusuri Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965

Reporter: Tempo.co | Editor: Ninis Chairunnisa
Sabtu, 29 September 2018 14:21 WIB

Adegan film Penghianatan G30S/PKI. indonesianfilmcenter.com

Jakarta - Buku dengan judul The Army and The Indonesian Genocide - Mechanics of Mass Murder yang terbit pada Juli lalu mengungkap temuan baru berkaitan dengan peristiwa G30S 1965 dan pembantaian PKI pada kurun 1965-1966. Salah satu temuannya adalah dokumen internal militer di Aceh yang mengungkap adanya perintah pemusnahan anggota PKI hingga ke akarnya.

Penulisnya adalah Jess Melvin, peneliti dari Sydney Southeast Asia Centre. Ia menemukan banyak dokumen internal militer saat berada di Aceh. Kala itu, Melvin berada di Aceh untuk bekerja pascaterjadinya Tsunami tahun 2004. Ia pun mendapat banyak cerita soal kekejaman militer karena saat itu kelompok separatis Aceh masih ada. “Ketika saya mulai mendengar cerita tentang 1965-66 saya dikejutkan oleh betapa miripnya pola kekerasan di antara kedua peristiwa itu,” ujarnya kepada Tempo pada Selasa, 25 September 2018.

Dari situ Melvin tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai peristiwa Gerakan 30 September yang disebut menelan ribuan korban. Namun ia tak menemukan dokumen yang menuliskan soal pembunuhan di Aceh. “Sangat sedikit yang diketahui tentang pembunuhan itu sebagai peristiwa nasional,” kata dia.

Tahun 2008, Melvin memulai penelitiannya dengan mewawancarai para penyintas dan pelaku kekerasan peristiwa 1965-66 tentang pengalaman mereka. Ia juga mencoba datang ke bagian Arsip Negara di Banda Aceh.

Melvin sempat pesimistis bisa mendapatkan dokumen yang ia butuhkan, namun ternyata ia justru mendapat banyak sekali dokumen berkaitan dengan peristiwa 1965 di Aceh. 
“Saya hampir tidak dapat mempercayai nasib baik ketika saya diberi kotak penuh dokumen-dokumen militer internal yang mencatat secara detail bagaimana militer telah memerintahkan dan mengatur pembunuhan,” ujarnya.

Jess Melvin. indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au

Dua dokumen yang Melvin temukan ia sertakan dalam bukunya. Salah satunya adalah "peta kematian" yang dibuat militer. Dalam dokumen itu tercatat ada 1.941 pembunuhan terjadi di Aceh. Namun jumlah tersebut bisa jadi lebih karena pembantaian masih terjadi setelah fase tersebut.

Dokumen lainnya mengungkap adanya perintah dari Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer Wilayah Aceh Ishak Djuarsa pada pagi hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan telah terjadi kudeta di Jakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Instruksi selanjutnya datang pada tengah malam. 

Melalui radio, Komandan Mandala I (Panglatu) Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta mengumumkan bahwa PKI telah melakukan upaya kudeta. Presiden Soekarno selamat dan situasi di Ibu Kota telah dikendalikan oleh Soeharto. Dia memerintahkan agar semua perintah pengganti Jenderal Ahmad Yani itu dipatuhi.

Salah satu dokumen yang ada di buku Jess Melvin tentang dugaan keterlibatan militer dalam pembunuhan massal pasca G30S 1965.
Mokoginta pun memerintahkan "segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja."
Bukti itu yang membuat Melvin berkesimpulan bahwa militer menggunakan kampanye militer ofensif untuk menumpas rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September sejak hari pertama. Militer tetap memerintahkannya meski mengetahui situasi ibu kota Jakarta dinyatakan sudah terkendali.

Meski bermaksud mengungkap peristiwa yang selama ini sensitif dibahas di Indonesia, Jess Melvin mengaku tak mengalami kesulitan dalam proses pencarian datanya. Ia diperlakukan baik di perpustakaan dan badan arsip.
“Saya juga disambut di rumah-rumah orang yang selamat dan pelaku,” kata dia.
Jess Melvin memberi argumentasi mengapa serangan terhadap PKI dimulai di Aceh. Alasan pertama, kata dia, karena militer memiliki kekuatan yang sangat kuat di Sumatera. Alasan kedua karena kepemimpinan militer di Aceh sangat terkonsolidasi dan tidak simpatik terhadap PKI. Komandan militer provinsi, Ishak Djuarsa pun sangat antikomunis. Dia diangkat setelah kampanye PKI dan PNI yang disengaja telah memaksakan pengunduran diri mantan Gubernur Aceh, Ali Hasjmy, dan mantan Panglima Militer, M. Jasin, pada tahun 1962. Kedua orang itu dituduh oleh PKI dan PNI karena terlalu akomodatif terhadap mantan anggota Darul Islam di provinsi ini.

Pemecatan jasin menciptakan permusuhan antara pimpinan militer dan PKI di Aceh, meskipun PKI sedang tumbuh dalam ukuran dan popularitas di provinsi itu pada saat ini. 
“Ketika Soeharto mulai bergerak melawan PKI sejak pagi 1 Oktober, baik Mokoginta dan Djuarsa sangat mendukung,” kata dia.
Mereka menggunakan kekuatan darurat militer mereka untuk memobilisasi struktur pemerintahan militer dan sipil untuk mendukung serangan Soeharto terhadap PKI. Dalam banyak hal, Aceh menjadi ujian bagi serangan militer secara nasional.

Atas temuan Melvin ini, peneliti International People Tribunal 65 (IPT’65) Sri Lestari Wahyuningroem menilai temuan tersebut sangat bisa dibuktikan. Sebab menurut dia, ada bukti-bukti fisik yang ditemukan dan menunjukkan rantai komando keterlibatan langsung TNI Angkatan Darat dalam desain dan eksekusi kejahatan HAM berat terhadap warga sipil.
“Menariknya lagi, dokumen-dokumen ini berisikan informasi yang banyak kesamaannya dengan kesaksian-kesasian baik korban maupun pelaku dari masyarakat sipil,” kata Sri. 
Namun ia khawatir adanya potensi penghilangan bukti-bukti yang membesar. Selama ini, pemerintah selalu menyebut bahwa peristiwa G30S 1965 muncul atas gerakan spontan masyarakat. 
“Tak menutup kemungkinan ada pemusnahan dokumen dan arsip seputar peristiwa 1965,” ujarnya. 
Karena itu, menurut Sri, pemerintah dan TNI seharusnya wajib membuka arsip-arsip lama kepada publik jika memang mereka merasa tidak bersalah dalam pemusnahan anggota PKI.

Sumber: Tempo.Co 

Soeharto, Militer, dan Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965

Reporter:  Editor: 

Ninis Chairunnisa 

Sabtu, 29 September 2018 09:11 WIB

Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO

Jakarta - Bak mendapat durian runtuh, Jess Melvin sungguh tak menduga apa yang ia dapat saat melakukan penelitian tentang pembunuhan massal pasca G30S 1965 pada 2010 silam. Segepok dokumen berisi catatan tentang aktivitas militer di Aceh itu seakan membuka kotak pandora tentang tragedi kelam pada 1965-1966 itu.

Peneliti Australia itu mencatat dan mengkonfirmasi temuan-temuannya itu. Hasilnya kemudian dijadikan buku berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder".Dalam bukunya Melvin berpendapat pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia bukanlah hasil aksi spontan rakyat yang marah terhadap PKI. 
Dari dokumen sebanyak hampir 3.000 halaman tersebut, Melvin sampai pada kesimpulan bahwa pembunuhan massal 1965-1966 itu tersentralisasi secara nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu Mayor Jenderal Soeharto.
Melvin menyatakan sudah banyak peneliti dan masyarakat Indonesia yang menduga peran militer dalam peristiwa ini. Namun tak ada bukti yang memperkuat keyakinan tersebut. Selain itu, selama 50 tahun terakhir, militer menyangkal terlibat.

Peneliti Australia itu mencatat dan mengkonfirmasi temuan-temuannya itu. Hasilnya kemudian dijadikan buku berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder".Dalam bukunya Melvin berpendapat pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia bukanlah hasil aksi spontan rakyat yang marah terhadap PKI. 
Dari dokumen sebanyak hampir 3.000 halaman tersebut, Melvin sampai pada kesimpulan bahwa pembunuhan massal 1965-1966 itu tersentralisasi secara nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu Mayor Jenderal Soeharto.

Melvin menyatakan sudah banyak peneliti dan masyarakat Indonesia yang menduga peran militer dalam peristiwa ini. Namun tak ada bukti yang memperkuat keyakinan tersebut. Selain itu, selama 50 tahun terakhir, militer menyangkal terlibat.
Salah satu dokumen yang ada di buku Jess Melvin tentang dugaan keterlibatan militer dalam pembunuhan massal pasca G30S 1965

Mereka mengklaim peristiwa 1965-1966 terjadi karena gerakan spontan masyarakat. 
"Dokumen ini memungkinkan pembuktian militer di balik pembunuhan 1965-1966 menggunakan data yang ditulis militer sendiri," katanya kepada Tempo, Selasa, 25 September 2018.
Pembunuhan massal pada 1965-1966 selama ini dicitrakan sebagai ulah Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dituding hendak melakukan kudeta dan membunuh tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965. 

Peristiwa itu dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S 1965. Media resmi negara menyiarkan, rakyat murka atas kejadian tersebut dan mulai membunuh orang-orang yang berafiliasi dengan PKI. Militer kemudian tampil sebagai penengah dari kekacauan yang timbul secara spontan masyarakat itu.

Keterlibatan Militer

Dalam bukunya yang terbit pada 2018 itu, Melvin memaparkan keterlibatan militer dengan merinci surat perintah militer dari file genosida Indonesia miliknya.

Surat pertama muncul dari Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer Wilayah Aceh Ishak Djuarsa pada pagi hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan telah terjadi kudeta di Jakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Melvin menyatakan, kabar tersebut juga diduga disampaikan kepada komandan wilayah lainnya meski hingga saat ini buktinya belum ditemukan.

Pada pagi itu juga, martial law atau darurat militer dideklarasikan di seluruh Sumatera. Operasi Berdikari diaktifkan di Aceh untuk memfasilitasi operasi penumpasan.

Pesan tersebut sempat direspons Komandan Mandala I (Panglatu) Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Dia menginstruksikan tentara tetap tenang dan bekerja seperti biasa dan “menunggu perintah/instruksi selanjutnya dari Panglatu”.

Instruksi selanjutnya datang pada tengah malam. Melalui radio, Mokoginta mengumumkan bahwa PKI telah melakukan upaya kudeta. Presiden Soekarno selamat dan situasi di ibukota telah dikendalikan oleh Soeharto. Dia memerintahkan agar semua perintah pengganti Jenderal Ahmad Yani itu dipatuhi.

Sugimin (tiga dari kanan) saat menarik jenazah enam jenderal dan satu perwira dari sumur Lubang Buaya, 4 Oktober 1965. (Istimewa)
Mokoginta pun memerintahkan, "Segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja.
Melvin mengatakan, perintah ini membuktikan militer menggunakan kampanye militer ofensif untuk menumpas rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September sejak hari pertama. Militer tetap memerintahkannya meski mengetahui situasi ibu kota dinyatakan sudah terkendali
Militer juga terbukti memobilisasi warga sipil untuk menumpas orang-orang tersebut mulai 4 Oktober. Melvin merujuk kepada pernyataan Soeharto yang menyatakan, "kami yakin dengan bantuan dari masyarakat ... kami dapat menghancurkan kontra revolusi gerakan 30 September sepenuhnya."
Pada 5 Oktober, protes masyarakat terhadap PKI berubah berbentuk kekerasan. Berdasarkan "peta kematian" yang dibuat militer, terdapat 1.941 pembunuhan terjadi di Aceh. TNI kemudian mendirikan Ruang Perang yang berupa sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI.

Menurut Melvin, pembunuhan massal yang sistematik bermula saat itu di Aceh. Setiap malam, truk bermuatan tahanan melaju memindahkan mereka ke situs pembunuhan terkontrol militer. Di sana mereka dibunuh secara sistematis.

Melvin mencatat kegiatan militer ini dilakukan melalui sistem komunikasi yang kompleks dan membentang hingga ke tingkat desa. Pola tersebut membentuk pola pemberantasan berskala nasional. Dengan cakupan yang luas, Melvin melihat upaya perebutan kekuasan negara atau kudeta di balik penumpasan PKI.

Dalam periode terjadinya G30S 1965, Melvin mengatakan, TNI dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Pada Agustus 1965, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan tentara rakyat yang disebut Angkatan Kelima. 
Mereka dipersiapkan untuk operasi Ganyang Malaysia, gerakan antisipasi potensi konflik dengan negara tetangga itu. Soekarno sebelumnya juga telah membentuk KOTI yang mengkoordinasikan militer dalam operasi Ganyang Militer serta Komandan Mandala Siaga (Kolaga) sebagai koordinator di tingkat wilayah.

Mobilisasi masyarakat itu dikhawatirkan TNI. Mereka khawatir Soekarno menggunakannya untuk melawan TNI. Di sisi lain, militer juga bersekutu dengan pemerintah Amerika Serikat yang anti komunisme. Di bawah kepemimpinan Jenderal Ahmad Yani, TNI menyusun strategi untuk kudeta setidaknya sejak Januari 1965.

Namun, kata Melvin, TNI tak ingin terlihat sebagai pengkhianat dan merencanakan kudeta terselubung. Dugaan ini dibuktikan melalui rekaman dari Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones, kepada atasannya di Washington. Dia menyatakan pemimpin militer Indonesia sedang menunggu peristiwa yang dapat digunakan sebagai dijadikan alasan untuk melancarkan kudeta terselubung itu.

G30S 1965 disinyalir Melvin sebagai kedoknya. Pasalnya Soeharto langsung menyalahkan PKI atas gerakan 30 September meski tak ada bukti saat itu, bahkan hingga saat ini, bahwa organisasi tersebut terlibat. Kudeta terselubung ini juga menjelaskan alasan Soeharto menyasar anggota PKI di seluruh negeri yang tidak ada hubungannya dengan G30S 1965 ketimbang menangkap dan mengadili pelaku sebenarnya.

Melvin menyatakan tak diketahui apakah Soeharto mengetahui rencana kudeta tersebut sejak awal. Namun dia terbukti memanfaatkan G30S 1965 untuk mewujudkan rencana jangka panjang militer menguasai negara dengan cara kudeta terselubung. 
"Karena rencana ini, Soeharto mampu bergerak cepat dan meyakinkan melawan PKI," kata Peneliti yang kini menjadi Postdoctoral Fellow di Sydney University itu.

Pengungkapan Kebenaran

Dengan narasi baru yang ia suguhkan, Melvin berharap dapat memberi landasan tambahan untuk menyelesaikan kasus pada 1965-1966 ini. Menurut dia, peristiwa itu akan terus membelah bangsa ini jika tak diselesaikan. Pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi diyakini akan mendorong Indonesia beranjak dari masa lalu.

Melvin berharap Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen mendukung upaya penegakan hak asasi manusia. Salah satunya dengan mendukung kinerja Komisi Nasional HAM. Lembaga tersebut telah menyerahkan hasil investigasi terhadap peristiwa 1965-1966 kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Laporan tersebut menyuguhkan bukti kuat yang mengindikasikan pelanggaran HAM berat.

Namun Jaksa Agung Prasetyo menyatakan laporan tersebut tak cukup untuk dibawa ke ranah hukum. Melihat detil bukti dalam laporan Komnas HAM, Melvin menyatakan penolakan tersebut bermuatan politik. Harapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966 dapat segera dibentuk pun belum terwujud hingga saat ini.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah justru mulai berupaya menempuh jalur non yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Wacana ini ditolak berbagai organisasi HAM di Indonesia yang menilai DKN akan mengabaikan mekanisme yudisial.

Melvin berharap Jokowi tetap berkomitmen terhadap penyelesaian kasus HAM di Indonesia. Dia juga berharap Jokowi mendukung pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966.

Pemerintah sendiri hingga saat ini masih teguh menggunakan mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan persoalan HAM tersebut. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto menyatakan kebijakannya tetap sama seperti telah disampaikan pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya pada Ahad, 1 Oktober 2017. 
"Dulu sudah diumumkan di Lubang Buaya. Pakai saja rekaman itu," katanya saat diminta keterangan tentang upaya penyelesaian kasus 1965-1966 pada Kamis, 27 September 2018 di kantornya.
Di Lubang Buaya, Wiranto mengatakan penyelesaian kasus 1965-1966 secara yuridis tidak mungkin dilakukan. Mekanisme tersebut akan memicu klaim salah-benar dari sejumlah pihak. Sementara Presiden Joko Widodo meminta agar sejarah tidak terulang dan dijadikan pembelajaran untuk masa depan. 
"Presiden mengatakan tadi, tidak mengulang sejarah kelam itu sebagai pembelajaran masa kini untuk menatap masa depan. Maka penyelesaian secara yuridis tidak mungkin," katanya.
Pernyataannya konsisten seperti disampaikan saat peringatan yang sama pada 2016. Wiranto mengatakan negara dalam keadaan bahaya selama peristiswa pada 1965-1966 terjadi, jika dilihat dari pendekatan yuridis. Artinya, segala tindakan yang dilakukan dianggap sebagai upaya penyelematan demi keamanan nasional. 
"Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adagium 'Abnormaal recht voor abnormaale tijden', tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," katanya.
Jalur non yudisial juga dipilih karena Kejaksaan Agung kesulitan memenuh alat bukti yang cukup. Laporan Komnas HAM dianggap tak memenuhi standar pembuktian.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung tetap berharap pemerintah menempuh jalur yudisial untuk menyelesaikan kasus ini. 
"Saya minta supaya pelaku kejahatan HAM diadili supaya ada pembelajaran dan tidak terjadi pengulangan di waktu yang akan datang. Karena mereka jelas bersalah," katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis, 20 September 2018.

Tentara menggiring orang-orang yang diduga PKI [Perpusatkaan Nasional RI via Tribunal1965]

Dia menyadari banyak tokoh yang terlibat dalam peristiwa 1965-1966 sudah meninggal. Namun kenyataan tersebut seharusnya tak menghentikan upaya penyelesaian melalui jalur hukum. Pemerintah dalam hal ini dapat mewakili dengan mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat saat itu dan memohon maaf kepada korban. 
"Sampai sekarang negara belum memberikan pernyataan politik dan itu mestinya harus, karena semakin tidak segera, katakanlah meminta maaf kepada korban, tuntutan kami akan terus berkembang, tidak hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri," katanya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengatakan bahwa pihaknya ingin meluruskan mengenai tudingan Soeharto adalah dalang pembantaian pasca peristiwa G30S 1965. Partai Berkarya adalah partai yang memiliki paradigma Soeharto dan diisi oleh anak-anak Soeharto.
Partai ini pun berencana menggelar nonton bareng film G30SPKI yang sempat diputar selama pemerintahan Orde Baru. "Paham-paham atau informasi-informasi yang memutar balikkan fakta dan sejarah itu yang kami mau luruskan,” kata dia.
Bagi partai ini, kata Badaruddin, Soeharto adalah tokoh penting di balik pemberantasan paham komunisme di Indonesia. 
“Tapi bagi kami di Berkarya, kami memahami bahwa pak Harto adalah tokoh di balik pemberantasan paham-paham itu, bukan sebaliknya seperti yang direkayasa oleh orang-orang yang punya maksud tertentu,” ujarnya.
Adapun pihak TNI hingga berita ini diturunkan belum memberikan komentar terkait dokumen yang ada dalam buku Jess Melvin tersebut. Surat wawancara untuk Panglima TNI telah dikirim Tempo, namun belum berbalas. Upaya mengontak Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda juga belum berhasil. 

Sumber: Tempo.Co