Oleh : Dandhy Dwi Laksono
Seperti halnya 'Genjer-Genjer" yang diciptakan M
Arief, lagu "Garuda Pancasila" juga diciptakan seniman Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat). Ia bernama Sudharnoto, pada 1956.
Karena militer dan Orde Baru menganggap Lekra sama dengan
PKI, Sudharnoto yang pernah bekerja di RRI Jakarta kemudian ikut dikejar-kejar
dan dibui. Setelah keluar penjara sekitar 1968-1969, ia bekerja sebagai penjual
es dan sopir taksi. Nasibnya memang sedikit lebih beruntung daripada M Arief
yang hilang setelah peristiwa 30 September.
Di mata Orde Baru, kesalahannya sangat fatal: Menciptakan
lagu "Genjer-Genjer" pada tahun 1942 dengan konteks penderitaan
rakyat menghadapi invasi Jepang, dan lalu lagu itu digemari Njoto (tokoh PKI)
yang sedang singgah ke Banyuwangi.
Lho, apa hubungannya dengan dia sebagai pencipta lagu?
Sejak kapan watak fasis perlu alasan yang masuk akal atas segala sesuatu?
LBH Jakarta dan YLBHI yang secara historis membela semua
kelompok dan ideologi (termasuk kubu Islam garis keras), dihasut sebagai
"sarang PKI" dan diserang.
Patung Tani yang merupakan simbol mobilisasi umum untuk
merebut Papua dari Belanda juga disebut simbol PKI. Buku "Das
Kapital" yang berisi dasar-dasar pemikiran komunisme, justru disebut
"mengajari generasi muda menjadi kapitalis".
Hanya karena sama-sama berjenggot, foto Mikhail Bakunin
yang dicetak di kaos merah salah satu peserta yang datang ke LBH, dikira foto
Karl Marx dan dianggap sebagai bukti keberadaan komunis di acara itu. Padahal
Bakunin penentang komunisme (negara) seperti yang terjadi di Soviet yang
dianggapnya sama menindasnya dengan kapitalisme.
Kelompok fasis yang membalut identitasnya dengan agama
ini bahkan ngotot menyebut Jokowi adalah komunis meski kebijakan dan
proyek-proyek pembangunannya justru sangat kapitalistik dan menimbulkan konflik
di mana-mana, seperti reklamasi Teluk Jakarta, sawah sejuta hektar di Papua
yang akan dikelola perusahaan (bukan rakyat), atau PLTU-PLTU dan bendungannya
yang tidak mencerminkan keadilan ekologis.
Kelompok ini tidak
mau tahu dan tidak peduli.
Jokowi dan Istana tetap disebut mendukung kebangkitan
PKI. Padahal ia tidak merebut dan membagi-bagikan tanah kepada petani seperti
BTI atau PKI. Ia hanya membagi-bagikan sertifikat yang secara jelas menguatkan
konsep kepemilikian pribadi terhadap tanah. Jauh dari ide tanah sebagai faktor
produksi yang harus dikuasai secara komunal.
Dengan disertifikasi, tanah yang milik pribadi, lebih
mudah dibeli dan dikuasai modal, seperti kasus komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan,
Jawa Barat. Beda dengan tanah di Baduy Dalam atau Tenganan Pegringsingan di
Karangasem yang tak dapat diperjualbelikan ke pemodal resort atau hotel karena
milik adat.
Jokowi harus disebut PKI. Begitu juga PDIP yang dalam
sejarahnya merupakan fusi partai nasional seperti PNI dan agama (non-Islam).
Meski dalam sejarahnya PNI dan PKI sengit berkonflik (sesengit saling serang
antara koran Suluh Indonesia-PNI dan Harian Rakyat -PKI), tapi gerombolan
ahistoris ini tak peduli.
PDIP dianggap sama dengan komunis. Padahal menjadi
Marhaenis saja, partai ini gagapnya setengah mati. Kader-kadernya seperti
Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lebih sibuk membela pabrik semen daripada para
petani seperti Pak Marhaen yang sedang mempertahankan sumber air untuk mengairi
sawahnya sendiri yang sepetak-dua petak.
Partai ini bahkan mendukung Basuki "Ahok"
Tjahaja Purnama yang kebijakan pembangunannya menggusur, bahkan dengan
melibatkan tentara. Ahok sendiri adalah pejabat yang dengan enteng menyebut
warga bantaran Waduk Pluit sebagai "komunis", karena dianggap
menduduki "tanah negara".
Tapi bagi kelompok sejenis "massa 299" ini,
semua itu tak penting dan tak relevan. Mereka kawin mawin dengan para jenderal
dan pensiunan yang rindu masa-masa kejayaan Dwifungsi ABRI di era Orde Baru.
Yang bisa memegang tongkat komando, tapi juga bisa duduk di pemerintahan
sebagai pejabat yang mengatur APBN atau APBD. Yang bisa mengerahkan pasukan,
tapi juga bisa duduk di DPR ikut membuat Undang Undang. Yang tetap
mempertahankan baret dan seragamnya, tapi juga bisa duduk di komisaris
perusahaan negara, daerah, dan swasta.
Siapa yang tak rindu masa-masa itu? Dan jalan paling
murah untuk mewujudkannya adalah menggalang sentimen anti-komunisme, dibalut
agama. Karena itu semua harus di-PKI-kan. Semua adalah PKI. Padahal merekalah
yang PKI: Penduduk Kurang Informasi.
***
(Matipa, Refleksi_Menolak Lupa,01-03-2020)
menangkan uang sebanyak-banyaknya hanya di AJOQQ :D
BalasHapusAJOQQ menyediakan 9 permainan seru :)
WA;+855969190856