HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Materi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Oktober 2019

Kaum Muda dan Revolusi

Ismantoro Dwi Yuwono* - 4 Oktober 2019


Bagi sebagian orang dewasa, kaum muda dianggap tidak hanya sebagai manusia yang sulit diatur, tetapi juga manusia yang seringkali menentang dan menantang aturan-aturan sosial yang ada, tetapi mereka tidak pernah bertanya dan tidak mau mencari tahu mengapa perilaku-perilaku seperti itu dapat muncul di kalangan kaum muda. Tulisan ini, berupaya menyingkap penyebab munculnya perilaku-perilaku seperti itu, dan bagaimana seharusnya perilaku-perilaku seperti itu diarahkan.
Semenjak masyarakat telah terbagi-bagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, kira-kira semenjak 5.000 tahun yang lalu, berbagai aturan hidup atau aturan sosial diproduksi dan dikendalikan oleh kelas yang sedang berkuasa dengan tujuan agar kepentingan kelas yang berkuasa dapat diterima atau tidak mendapatkan perlawanan dari pihak yang mereka kuasai: kelas buruh, dan kaum-kaum yang tertindas lainnya. Dengan kata lain, melalui berbagai aturan, kelas yang sedang berkuasa berharap akan dapat menindas pihak yang dikuasainya tanpa hambatan, bahkan diterima dengan ikhlas dan tulus oleh pihak yang ditindasnya. Adapun, aturan-aturan yang dimaksud itu maujud dalam hegemoni (false consciousness), hukum positif (jus constitutum), kebijakan negara, aturan-aturan adat, etika, moral, dan berbagai ajaran teologi. Terkait dengan hal tersebut, Karl Marx dan Friedrich Engels, di dalam karya mereka “Ideologi Jerman” dengan jelas mengatakan bahwa kesadaran yang dominan di tengah-tengah kehidupan massa adalah kesadaran dari kelas yang sedang berkuasa.
Namun begitu, berbagai aturan tersebut tidak dapat mencegah dampak merusak dan menyakitkan dari beroperasinya cara berproduksi kebutuhan hidup berbasiskan penindasan antarmanusia yang dialami oleh massa. Aturan-aturan tersebut hanya memainkan peran sebagai candu atau ilusi, yang memiliki batasan. Ketika kaum tertindas merasakan betapa semakin sulit dan semakin menyakitkannya hidup di bawah penindasan, mereka, secara spontan, akan melakukan perlawanan terhadap aturan-aturan yang ada. Tidak peduli perilaku mereka melanggar hukum, aturan adat, etika, atau moral, mereka akan melakukan berbagai bentuk perlawanan menentang dan menantang dampak dari cara berproduksi itu. Sejarah mencatat, semenjak masyarakat telah terbagi-bagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, perlawanan atau pemberontakan selalu terjadi dari masa ke masa.
Penting untuk mendapatkan catatan, bahwa kelas yang sedang berkuasa, sebagaimana telah penulis sebutkan di muka, tidak hanya memproduksi dan mengendalikan berbagai aturan-aturan hegemonik, tetapi juga menegakkan aturan-aturan itu. Ketika aturan-aturan yang mereka produksi mendapatkan perlawanan, mereka akan mengerahkan barisan anjing penjaga modal bersenjata yang dipelihara oleh negara seperti aparat kepolisian, tentara, dan badan-badan intelijen. Tidak hanya itu, mereka juga akan mengerahkan lumpen proletariat seperti preman, bajingan, dan milisi reaksioner untuk menggebuk perlawanan, mengingat aparat-aparat yang dipelihara oleh negara itu dipagari oleh ilusi demokrasi dan HAM dalam menjalankan tugas “mulia”-nya, dalam menegakkan aturan-aturan itu, dalam melakukan tindakan represif. Tidak jarang juga, aparat melakukan penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan secara terselubung untuk menghindari cap pelanggaran demokrasi dan HAM yang akan diberikan massa ke jidat mereka.
Represi akan jarang dilakukan oleh kelas yang sedang berkuasa apabila sistem ekonomi-politik (cara memproduksi kebutuhan hidup) dalam keadaan stabil karena mereka dapat memberikan berbagai konsesi kepada kaum yang tertindas supaya tidak melakukan perlawanan. Namun, apabila kelas yang sedang berkuasa sedang mengalami krisis, tidak dapat memberikan konsesi, dan mencabut konsesi-konsesi yang telah mereka berikan kepada kaum yang tertindas—misalnya penghapusan subsidi, penurunan upah riil, penaikan sumbangan BPJS hingga 100%—represi dari kelas yang berkuasa pun secara masif meledak karena secara spontan massa bangkit melakukan perlawanan.
Kaum muda, hari ini, adalah kaum yang hadir di tengah-tengah masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, kaum yang tengah merasakan dampak gila dari kebijakan-kebijakan yang diproduksi dan dikendalikan oleh kelas yang sedang berkuasa. Mereka, entah disadari entah tidak, merasakan betul dampak negatif krisis ekonomi-politik global—imperialisme—yang sedang terjadi hari ini. Di depan hidung mereka, mereka menyaksikan berbagai ketimpangan dan penindasan, dan mereka sendiri pun merasakan hal itu. Oleh karena itu, mereka pun melakukan berbagai perlawanan spontan dalam berbagai manifestasi, salah satunya adalah bergabung dengan massa turun ke jalan.
Ketika kaum muda turun ke jalan bersama massa, mereka mendapat palajaran yang tidak mereka peroleh di ruang-ruang kelas atau tempat mereka mendapatkan materi-materi pelajaran dari guru-guru kaki tangan borjuis mereka. Mereka mendapati kalau mereka ditentang oleh negara melalui berbagai larangan dari guru-guru mereka, dan direpresi oleh negara melalui aparat kepolisian dan militer. Aparat-aparat itu, menangkapi dan memukuli mereka. Entah di sadari entah tidak, mereka mendapat pelajaran seperti ini: Ketika aturan dilanggar, negara akan bersikap dan bertindak reaksioner.
Berangkat dari situ, dapat dipahami bagaimana mesin yang bernama negara digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk menipu dan merepresi massa. Dari situ pula, dapat pula dipahami, bahwa alat-alat yang digunakan untuk kepentingan tersebut digunakan secara berurutan. Pertama, massa rakyat ditipu kesadarannya melalui ajaran-ajaran “tata tertib” yang telah dirancang oleh kelas yang berkuasa, yang ajaran-ajaran itu disebarluaskan melalui kanal-kanal pendidikan, ideologi negara, kebudayaan, etika, moral, dan bahkan teologi atau agama. Kedua, jika penipuan atau hegemoni itu tidak mampu menjinakkan massa rakyat—terlebih lagi massa rakyat yang kesadaran kelasnya telah bangkit—maka, tindakan alternatif yang akan digunakan oleh kelas yang berkuasa adalah merepresi kaum yang tertindas melalui alat-alat yang dimiliki oleh negara dan alat-alat (milisi reaksioner) yang secara tidak langsung dikendalikan atau dikontrol oleh negara.
Keberadaan kaum muda, entah disadari entah tidak, berada pada kondisi seperti itu. Mereka, berada pada kepungan hegemoni yang telah dirancang oleh kelas yang berkuasa, hegemoni yang digunakan tidak hanya untuk menjinakkan mereka, tetapi juga untuk menggiring mereka mengembangkan kesadaran palsu. Mereka diajari, kalau keberhasilan dalam hidup diukur dari seberapa banyak uang yang kau miliki dan investasikan demi keuntungan, seberapa mampu kau menjual dirimu sendiri dalam dunia bisnis, seberapa mampu kau bersaing dengan sesamamu dalam mengejar keuntungan, seberapa banyak kau telah menyisihkan hartamu untuk disumbangkan kepada orang miskin, seberapa jauh kau menindaklanjuti teori tentang kemiskinan terjadi karena ketiadaannya keterampilan atau karena mewabahnya kemalasan, seberapa keras dan sabar kau meniti karier di dunia bisnis, dan lain-lain, dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, mereka tidak diajari, kalau investasi berhubungan dengan perampasan hasil kerja orang lain, menjual diri artinya menyerahkan diri untuk diperas oleh pemilik modal atau jika menjalankan usaha sendiri menawarkan diri untuk dipukul oleh pengusaha bermodal lebih besar, menyisihkan harta dan kemudian disedekahkan kepada orang miskin adalah tindakan yang tidak akan mengubah kondisi orang yang menerima sedekah sama sekali karena kemiskinan disebabkan oleh sistem dan struktur ekonomi bukan disebabkan oleh ketiadaan keterampilan atau kemalasan, dan kesabaran untuk menjadi kaya hanyalah penyemangat palsu karena, nyatanya, orang-orang yang bekerja keras dan sabar, seperti kaum petani miskin, buruh, dan pekerja-pekerja informal bergaji rendah, berpuluh-puluh tahun bekerja tetap saja dalam kondisi awalnya, miskin.
Kesadaran palsu itu, memiliki fungsi yang efektif untuk menciptakan kepatuhan atau ketundukan, untuk menggiring mereka pada tindakan sukarela (ikhlas) ketika mereka direkrut untuk mengabdikan diri mereka pada kepentingan kelas yang sedang berkuasa (kapitalis). Otak mereka, dicuci sedemikian rupa, melalui kanal-kanal hegemoni yang sudah penulis tunjukkan di muka, agar mereka patuh pada “tata tertib”. Kepatuhan mereka, sangat dibutuhkan oleh kelas kapitalis untuk mengamankan modal yang maujud dalam proses atau mekanisme produksi barang-barang kebutuhan hidup dan perampasan nilai lebih.
Namun begitu, ketika kaum muda hadir dalam kondisi seperti itu, dalam dunia yang telah dikepung oleh hegemoni dari kelas kapitalis, mereka mengalami kontradiksi dalam kesadaran mereka. Di satu sisi, mereka menyaksikan tatanan dunia tempat mereka hidup, yang dianggap oleh kebanyak orang, adalah tatanan yang wajar dan justru harus diamini. Di sisi lain, ketika mereka diperkenalkan oleh teori-teori kritis dan kemudian menghubungkannya dengan kondisi konkret keseharian yang sarat dengan penindasan, mereka merasa terguncang karena tatanan yang selama ini dianggap wajar ternyata tatanan yang tidak wajar, tatanan yang menindas dan bengis.
Ketika kaum muda berhasil membongkar kesadaran palsu yang selama ini mengcengkram mereka, ketika itulah, sebenarnya, kaum muda telah berhasil menciptakan dirinya sendiri—sejarahnya sendiri sebagai kaum muda yang kritis dan revolusioner. Kondisi seperti itu, pernah dilukiskan oleh Karl Marx di dalam buku yang ditulisnya “Brumaire ke-18 Louis Bonaparte”. Di dalam buku itu, dia menulis kalau manusia (baca: pemuda—pen.) dapat menciptakan sejarahnya sendiri walau pun penciptaan itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah (baca: hegemoni—pen.) yang telah ditransmisikan dari masa lalu. Maksudnya, ketika kaum muda telah berhasil membangun nalar kritis atau menyingkirkan kesadaran palsu, pembangunan itu tidak dapat dilepaskan dari hubungan dialektis (interaksi) antara kesadaran kritisnya dan kondisi sosial/hegemoni yang sudah ada sebelumnya.
Inilah definisi dari pemuda revolusioner, pemuda yang berhasil membongkar kesadaran palsu, pemuda yang telah berhasil membangun nalar kritisnya, dan pemuda yang telah berhasil menciptakan sejarah untuk dirinya sendiri. Keberhasilan itu, dalam analisis Marxis, tidak dapat dilepaskan dari berlakunya hukum besi prinsip-prinsip materialisme dialektika ditingkatan pembentukan kaum muda. Ketika, hegemoni (tesis) dimunculkan akan disambut oleh counter hegemoni (anti-tesis) yang kemudian akan mendorong munculnya orang-orang, dalam hal ini kaum muda, yang memiliki nalar kritis (sintesis), nalar yang memiliki kemampuan membongkar atau mendekonstruksi kesadaran palsu (sintesis): tesis—antitesis—sintetis.
Carol Cariola, seorang perempuan muda, aktivis Marxis dari Chili, pernah berkata, “Pemuda yang tidak memiliki jiwa revolusioner, adalah pemuda yang tengah mengalami kontradiksi biologis”. Berangkat dari perkataan itu, seakan-akan kita ditunjukkan oleh Cariola kalau jiwa revolusioner muncul dengan sendirinya dari dalam tubuh biologis manusia, bukan berasal dari luar atau dipengaruhi dari luar. Kawan, kita harus berhati-hati dalam mencerna perkataan itu. Berikut ini, penulis akan memberikan ulasan terhadap apa yang pernah dikatakan oleh Carol Cariola itu melalui sudut pandang Marxisme: materialisme dialektika.
Terbentuknya kesadaran manusia, secara biologis, tidak bisa dilepaskan dari aktivitasnya dalam berpikir. Ketika manusia sedang berpikir, pada saat itulah dia sedang memasukkan berbagai informasi, menampung informasi, mengolah informasi, membandingkan informasi, dan mengkontradiksikan informasi yang masuk ke dalam “mesin ingatan” dengan informasi yang sudah masuk sebelumnya. Aktivitas itu, sudah terjadi semenjak manusia terlahir di dunia, atau dengan perkataan lain, semenjak dia terlempar dari rahim ibunya ke lingkungan masyarakat yang telah terbagi ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan.
Jadi, berbagai informasi atau bahan-bahan material yang datang dari luar diri manusia itulah yang membentuk kesadaran manusia. Dengan perkataan lain, bahan-bahan itu adalah syarat material dari pembentukan kesadaran manusia.
Berangkat dari situ, dengan mudah kita dapat memahami bahwa pembentukan jiwa revolusioner atau pembangunan nalar kritis tidak berasal, secara otomatis, dari warisan biologis-filogenetik atau dari dalam tubuh manusia begitu saja, dan tidak juga berasal dari dunia ghaib atau diturunkan dari langit tanpa basa-basi, tetapi dibentuk melalui proses berinteraksi dengan berbagai permasalahan sosial (penindasan) dan teori-teori kritis dan radikal—teori-teori yang bernafaskan Marxisme misalnya. Berangkat dari sini, meminjam istilah yang digunakan oleh Karl Marx, bahwa “Kesadaran manusia terbentuk di bumi kemudian menuju langit, bukan dari langit menghampas-jatuh ke dalam kepala setiap manusia”. Ringkasnya, kesadaran manusia berasal dari luar, dan kemudian mengalami pengolahan-gerak dialektis biologis di dalam tubuh manusia. itulah, yang dimaksud oleh Cariola sebagai istilah “biologis”.
Dengan begitu, menjadi pemuda revolusioner adalah menjadi pemuda yang aktif mempelajari berbagai teori kritis (Marxis), dan kemudian menghubungkannya dengan berbagai permasalah-permasalahan sosial atau penindasan yang terjadi di dalam masyarakat, masyarakat yang telah terbagi ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan. Dan, itu artinya, pemuda yang memiliki jiwa revolusioner adalah pemuda yang memiliki komitmen untuk melawan hegemoni, berbagai bentuk penindasan, dan, lebih jauh lagi, mengubah kondisi sosial menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan masyarakat tanpa kelas, kiranya menarik untuk dikaji oleh kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner.
Komitmen seperti itu, tentu saja, hanya dimiliki oleh kaum muda yang pemikirannya telah tercerahkan, pemikiran yang diperoleh dari usaha keras atau perjuangan membongkar hegemoni melalui pembangunan teori kritis di dalam kepala dan kemudian menghubungkannya dengan fenomena penindasan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Itu artinya, tidak semua kaum muda memiliki jiwa revolusioner. Banyak kaum muda, yang kesadarannya masih terkungkung dalam kesadaran palsu.
Pertanyaannya, mengapa tidak semua kaum muda memiliki jiwa revolusioner? Jawabannya, dapat diperiksa melalui kondisi sosial atau material mereka. Metode pemeriksaan itu, aku pinjam dari metode yang digunakan oleh Marx dalam memahami keberadaan manusia. Metode itu, dapat ditemui oleh kawan-kawan dalam tulisan Marx “Thesis on Feuerbach”. Di dalam tulisan itu, nabi kaum buruh itu pernah menulis, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan kondisi sosialnya, tetapi kondisi sosiallah yang menentukan kesadarannya”.
Sekali lagi, penulis telah menyampaikan di muka, bahwa hegemoni yang telah dirancang oleh kelas kapitalis disebarluaskan melalui berbagai bentuk kanal, dan kanal-kanal itulah yang dapat dengan mudah ditemui oleh kawan-kawan di berbagai tempat, baik tempat terbuka seperti sekolah-sekolah, dalam ceramah-ceramah konservatif dari tokoh-tokoh masyarakat, maupun di ruang-ruang sempit, berukuran mengenaskan, di dalam rumah-rumah kontrakan (kost-kostan).
Selain menyebarkan rancang hegemoni secara terstruktur, tersistematis, dan masif tersebut, kelas kapitalis juga memberikan dorongan bagi munculnya semangat individual melalui ajaran-ajaran yang bersifat rasis, diskriminatif, dan eksploitatif. Massa rakyat diajarkan, diantaranya, kalau kepentingan individu adalah yang utama sedangkan kepentingan kolektif adalah nomor dua (contoh: orang akan membangga-banggakan anaknya yang mendapatkan prestasi gemilang, dan mencemooh anak-anak lain yang tidak berprestasi), kaum buruh di dalam pabrik didorong untuk saling bersaing memproduksi komoditas untuk meningkatkan keuntungan kapitalis melalui berbagai bonus dan iming-iming kenaikan posisi, antara individu dan individu lainnya diajarkan kalau ras yang satu lebih cerdas, tekun, dan sabar ketimbang ras lainnya, anak-anak diajarkan untuk mengolok-olok temannya yang berkulit berbeda dengan dirinya atau organ tubuhnya tidak lengkap, massa rakyat diajarkan kalau mempekerjakan orang lain dan mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya itu tanpa dia sendiri terlibat dalam pekerjaan adalah hal yang wajar, dan banyak lagi ajaran-ajaran yang bersifat hegemonik lainnya.
Selain tindakan-tindakan hegemonik yang menyerbu kehidupan sehari-hari massa rakyat itu, di tingkatan akademis (ruang kuliah dan sekolah-sekolah) kaum intelektual dibombardir dengan teori-teori borjuis, yang mengajarkan bahwa tatanan masyarakat kapitalis adalah tatanan yang ideal, dapat membangun kehidupan berdemokrasi, manusiawi, rasional, dan dapat mensejahterakaan masyarakat melalui jargon “tetesan ke bawah” (trickle down effect). Hal itu, ditambah lagi dengan serbuan yang datang dari teori-teori postmodernisme yang menyesakkan nafas, yang mengajarkan kepada kaum intelektual kalau narasi yang harus diperhatikan adalah narasi-narasi kecil, seperti keunikan individu, keunikan antara budaya satu dan lainnya, keunikan antara bahasa satu dan bahasa lainnya, dekonstruksi bahasa, pengkonsumsian prestise, dan lain sebagainya, yang pada hakikatnya memandulkan adanya persatuan kaum tertindas dan perjuangan kelas dalam mengubah kondisi sosial yang menindas, kondisi yang terbangun secara tersistematis dan terstruktur dalam jalinan narasi besar. Intinya, teori-teori itu, berupaya untuk membangun kesadaran palsu kepada kaum intelektual: URUS DIRIMU SENDIRI, JANGAN MENGURUSI URUSAN KAUM TERTINDAS! Setiap kaum tertindas, disuruh untuk berjuang sendiri-sendiri melawan penindasan yang tersistematis dan terstruktur. Ringkasnya, individu diarahkan untuk melawan sistem tanpa harus berorganisasi atau berjuang secara kolektif.
Nah, ketika kita berbicara tentang perjuangan individu dan melepaskan perjuangan kolektif (kelas), ketika itulah kita berbicara tentang kepentingan kelas kapitalis. Kelas ini, berkepentingan untuk menjaga agar kelas-kelas yang ada di dalam massa rakyat tetap terbelah atau terpecah-pecah dalam pertentangan, sehingga akan mencegah terjadinya persatuan dan perlawanan kolektif dari kaum tertindas terhadap kaum yang menindas: kelas kapitalis. Dengan begitu, menyeruaknya teori-teori postmoderinsme ke dalam ruang-ruang akademis, sejalan dengan kepentingan kelas kapitalis, atau dapat juga dikatakan antara postmodernisme dan kepentingan kapitalis adalah satu dalam dua sisi mata uang logam.
Berangkat dari ulasanku di muka, dapat dapatlah dipahami, bahwa keberadaan pemuda terdeferensiasi ke dalam, setidaknya, tiga kelompok. Kelompok pertama, adalah kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner, kaum yang telah berhasil membongkar kesadaran palsu dan berkomitmen untuk mengubah kondisi sosial yang menindas. Kelompok kedua, kaum muda yang menerima begitu saja dan bahkan mendukung sistem kapitalis yang menindas. Kelompok ketiga, kaum muda yang isi kepalanya telah dicor oleh kepentingan kelas kapitalis melalui teori-teori yang memandulkan perjuangan kelas.
Pertanyaannya, lalu bagaimana sikap yang harus diambil kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner? Jawabannya, terus-menerus membangun nalar kritis, perbanyak membaca buku, terus-menerus mempertajam analisis Marxis, dan membangun lingkaran-lingkaran studi alternatif. Semua itu, penting untuk membangkitkan kesadaran kaum muda yang tidak menyadari kalau dirinya terhegemoni oleh agenda kelas kapitalis, dan untuk mempersiapkan senjata ideologi untuk bertarung di ranah akademis—perjuangan kelas di ranah idelogi dan akademis.
Tidak berhenti sampai di situ, sebagaimana yang diamanatkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, hendaklah kesadaran kritis atau terbangunnya teori-teori Marxis di dalam kepala setiap pemuda-aktivitis, tidak diperuntukkan untuk kepentingan kesenangan intelektual semata, tetapi harus dijadikan panduan dalam memperjuangkan nasib massa rakyat yang tertindas. Berangkat dari sini, maka dapatlah dengan tegas dikatakan: Antara pembangunan teori dan aksi massa harus seiring-sejalan. Identitas pemuda berjiwa revolusioner, pada intinya, terletak di sini. Dengan berbekal, telah terbangunnya nalar kritis, kaum muda hendaklah bergabung dalam partai-partai pelopor yang memperjuangkan pembebasan terhadap kaum yang tertindas.
Ismantoro Dwi Yuwono, anggota Studi Klub Landless (Labour and Class Struggle Studies) Yogyakarta

Senin, 22 April 2019

Menyoal Komitmen Penyelesaian Kasus Kejahatan HAM

  • Materi untuk Diskusi Mahasiswa UNJ 
Baru-baru ini kita usai menggelar hajat demokrasi pilpres dan pileg yang untuk pertama kali pemilihannya dilaksanakan secara bersamaan. Apa yang menarik dari gelaran event demokrasi elektoral ini, salah satunya,  adalah munculnya fenomena ‘golput’ yang selalu menyeruak setiap kali pemilu dihelat. Selain bahwa ‘golput’ yang notabenenya ‘memilih tak memilih’ merupakan representasi hak mendasar -asasi- pemilih, menarik karena alasan-alasan yang melatarinya.

Golput vs Demokrasi Oligarki

Diantara alasan ‘golput’ itu, dimana YPKP 65 menyelami dinamika prosesnya, adalah bahwa pemilu 17 April 2019 lalu, selain merupakan ‘pemilunya para oligark’ juga pemilu yang mengabaikan penegakan hak asasi manusia (HAM). Faktanya, penyelesaian kejahatan HAM berat masa lalu1, perampasan ruang hidup rakyat, problem kesejahteraan buruh; tak mendapat tempat bagi penyelesaian tuntas yang berkeadilan.

Bahkan tidak juga dalam ruang-ruang kampanye dan debat capres-cawapres maupun paparan program-program para –politisi- calon legislator pada musim kampanye lalu. Tak muncul itu. Sementara dari perspektif HAM, golputers meyakini –meski ada perdebatan sengit- tapi menyepakati ‘tak ada demokrasi tanpa penegakan HAM’. Perdebatan ini bahkan mendapat ‘kritik tajam’ dalam diskusi diantaranya dengan jurnalis investigasi Allan Nairn.

Gambaran mengenai suramnya demokrasi di Indonesia, telah ditunjukkan melalui politik elektoral pemilu yang baru lalu, dengan melihat siapa yang menyokong ‘pesta demokrasi’ lima tahunan itu. Kepentingan politik apa di sebalik sokongan modal? Secara gamblang, bahkan pertarungan para aktor –capres/cawapres, caleg- yang tak merepresentasikan pertarungan program dan kepentingan rakyat banyak; melainkan kepentingan para oligark terutama kepentingan ekonomi politik korporasi raksasa tambang.

Secara detil gambaran lanjut ini dieksplor dalam karya film dokumenter Ekpedisi Biru ‘Sexy Killers’, dimana para aktor politik elektoral yang tengah bertarung memperebutkan kekuasaan negeri ini adalah para elite oligark yang berada di belakang kedua kubu dalam medan pencapresan. 

Sehingga atas salah satu referensi dokumenter berbasis data peta modal ini, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini adalah demokrasi oligarki; bukan demokrasi kerakyatan yang sejati.
Oleh karenanya maka gagasan membangun gerakan advokasi, terutama di kalangan mahasiswa; seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip demokrasi rakyat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ilustrasi - Kekerasan massal terhadap para korban Tragedi 65 [Kredit Gambar; Mardadi Untung]

Impunitas dan Reproduksi Kejahatan HAM

Dalam konteks Indonesia dimana penegakan hukum dan HAM masih jauh dari harapan, gerakan advokasi menjadi keniscayaan yang dibutuhkan. Tengok bagaimana pada tahun 2012 Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan pro-jutisia atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu dan merekomendasikan kepada pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, untuk menindaklanjutinya ke tahap penyidikan. 

Namun selain terjadi ‘bolak-balik pengembalian berkas’ antara Komnas HAM dan Kejakgung, realitas yang terjadi sampai hari ini adalah bahwa upaya itu telah menapaki jalan buntu, seakan semua upaya telah blunder dalam labirin politik serta membentur tembok kekuasaan yang beku dan tak tergoyah. Impunitas para pelaku kejahatan HAM berat masa lalu tak tersentuh, bahkan setelah Reformasi 1998 yang menumbangkan rezim oligarki Orba Soeharto pun telah lewat dua dasawarsa.

Dan khusus untuk pelanggaran HAM berat dalam Tragedi 1965 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) dan bahkan kejahatan Genosida2 maka pertanyaannya adalah akan sampai kapan impunitas para pelaku kejahatan HAM masa lalu itu bisa dijebol dan disudahi?

Ini adalah panggilan bagi para aktivist kemanusiaan. Impunitas, yang dalam konstruksi dan implikasinya berkelindan dengan militerisme adalah nyata dalam Genosida 1965-66 di Indonesia; termasuk pada saat mana militerisme ala Orba menguat kembali dalam realitas politik negara hari ini.

Dan pemilu 17 April 2019 yang baru lalu, selain merepresentasikan pestanya demokrasi oligarki juga merupakan pemilu yang menihilkan agenda tuntas penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu.

Nihilnya agenda penuntasan kasus kejahatan Genosida 1965-66 dan kejahatan HAM lain setelahnya, yang berarti melanggengkan impunitas para pelakunya, berkorelasi dengan terulangnya kejahatan HAM serupa pada masa-masa berikutnya karena tiadanya jaminan hukum dan penegakan HAM.

Temuan Lokasi Kuburan Massal

Sebagai sebuah organisasi yang langsung mewadahi kepentingan para korban dan penyintas, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 [YPKP 65] melakukan penelitian berkelanjutan. Salah satu bidang obyek risetnya adalah temuan lokasi kuburan massal para korban genosida 65 yang tersebar di berbagai daerah; terutama Sumatera, Jawa dan Bali.

Temuan lokasi kuburan massal ini bahkan pernah dilaporkan ke Komnas HAM dan pemerintah melalui Menko Polhukam pada Maret 2016 sebanyak 162 titik. Jumlah temuan lokasi kuburan massal ini terus bertambah dari waktu ke waktu hingga mencapai 355 lokasi pada April 2019, pada saat mana pesta demokrasi bernama Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif dihelat secara nasional.

Fakta temuan lokasi kuburan massal korban genosida 65 ini, selain sebagai bukti faktual telah terjadinya kejahatan HAM di masa lalu, seharusnya dapat menjadi bukti hukum baru (novum) yang akan melengkapi hasil penyelidikan pro-jutisia Komnas HAM 2012 yang terhenti terjegal proses lanjutannya itu. Untuk kemudian dilakukan penyelidikan lanjutan atau pun langkah terobosan lainnya. 

Tabel Data
Temuan Kuburan Massal Korban Tragedi 1965-66 s/d April 2019
  1. Jawa Tengah: 117 lokasi
  2. DIY: 9 lokasi
  3. Jawa Timur: 111 lokasi
  4. Jawa Barat: 7 lokasi
  5. Banten: 1 lokasi
  6. Nangro Aceh Darussalam: 7 lokasi
  7. Sumatera Utara: 17 lokasi
  8. Sumatera Barat: 22 lokasi
  9. Sumatera Selatan: 2 lokasi
  10. Kepri: 6 lokasi
  11. Lampung: 8 lokasi
  12. Bali: 8 lokasi
  13. Kalimantan Timur: 1 lokasi
  14. Kalimantan Tengah: 1 lokasi
  15. Sulawesi: 8 lokasi
  16. Nusa Tenggara Timur: 10 lokasi

Komitmen 

Meski kejahatan kemanusiaan genosida 65 telah lewat 53 tahun, masih belum ada tanda-tanda negara akan menyelesaikan kasusnya. Berbagai upaya untuk pengungkapan kebenaran melalui kerja-kerja penelitian, pendokumentasian, memorialisasi dan rekonsiliasi di tingkat grass-root telah dilakukan meskipun terbatas. Upaya yang bukan saja lebih didorong oleh inisiatif lokal dan masih terpisah-pisah satu sama lain sehingga tak terjamin keberlanjutannya3; namun juga rawan dipersekusi.

Pada kenyataannya, pertemuan-pertemuan para korban dan penyintas di berbagai daerah, bahkan juga pertemuan yang menghadirkan pejabat negara seperti LPSK4; tak luput dari tindakan persekusi dan intimidasi.

Menyikapi realitas seperti ini tak ada lain kecuali mempertanyakan kembali komitmen pemerintah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya.  

Siapa pun –presiden dan politisi- yang terpilih, setelah usai event pemilu presiden dan pemilu legislatif yang hingar-bingar ini, maka seberapa kuat komitmen pemerintah untuk merealisasikan penuntasan kasusnya?
____
Lihat komitmen ‘Nawacita’ dalam dokumen RPJM Nasional 2014-2019
Putusan akhir International People’Tribunal 1965, DenHaag, 10-13 Nov.2015 dan putusan finalnya dibacakan Zak Yacoob, Capetown, 20 Juli 2016. 
Kasus Rekonsiliasi yang dilakukan Walikota Palu, Rusdi Mastura, 2016.
Insinden Kroya saat Komisioner LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) menemui para korban pelanggaran HAM guna sosialisasi program layanan medis dan psiko-sosial.  

Jumat, 10 Agustus 2018

Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965


Asvi Warman Adam

Resume :

Artikel ini merupakan sebuah pandangan perkembangan tulisan mengenai Gerakan 30 September 1965 dari tahun 1965 sampai 2018. Historiografi 1965 bisa dibagi dalam lima periode, diawali dengan perdebatan tentang para pelaku, langsung sesudah G30S. Pada masa selanjutnya sepanjang Orde Baru berlangsung monopoli sejarah dengan versi yang distandardisasi sejarawan ABRI. Awal reformasi merupakan masa di mana korban sudah bisa bersuara dan sudah terdapat beberapa versi sejarah alternatif. Periode keempat dibuka pada tahun 2009 dengan terjemahan buku John Roosa, yang untuk pertama kalinya merekonstruksi kejadian dengan sumber dari berbagai pihak. Namun, harus tunggu periode berikutnya dengan film Jagal (2012) dan Senyap (2014) yang membuat kasus 1965 ini menjadi pembicaraan kembali di berbagai negara untuk mendorong dinamika baru di Indonesia.

Pendahuluan
1
Berhentinya Soeharto sebagai Presiden tahun 1998 mengubah sejarah Indonesia (Adam 2006). Muncul desakan untuk mengungkapkan hal-hal yang ditutup-tutupi selama Orde Baru serta meluruskan penulisan sejarah (Adam 2000).

2
Kalau ada sumber yang baru, metode atau perspektif baru tentu sejarah dapat ditulis kembali. Namun ada sesuatu yang khas pada masa Orde Baru bahwa sejarah itu telah digunakan sebagai alat penindas. Salah satu yang berproses di Indonesia selama 20 tahun era reformasi ini pada hakikatnya perubahan “sejarah sebagai penindas” menjadi “sejarah sebagai pembebas”. Pidato pengukuhan guru besar Bambang Purwanto di Universitas Gadjah Mada tahun 2004 dan kemudian diterbitkan bersama-sama penulis dalam sebuah buku tipis oleh Ombak Yogyakarta sebetulnya menyinggung tentang sejarah sebagai pembebas (Purwanto & Adam 2005). Gagasan tentang sejarah sebagai pembebas ini kemudian dikembangkan sebagai pidato pengukuhan guru besar Singgih Tri Sulistiyono (2008) di Universitas Diponegoro Semarang dalam konteks yang lebih umum.

Historiografi Indonesia : beberapa pikiran
3
Tulisan ini merupakan sumbangan kepada historiografi Gerakan 30 September 1965. Tidak digunakan label G30S/PKI karena istilah yang digunakan gerakan itu sendiri adalah Gerakan 30 September, kata PKI baru ditempelkan sejak tahun 1966 dengan penafsiran tunggal bahwa PKI adalah dalang kudeta tersebut. Artikel ini membahas sejumlah tulisan yang telah terbit mengenai G30S dari tahun 1965 sampai 2018. Selain tulisan juga ditambahkan informasi tentang filem dan inisiatif yang bersifat sejarah yang berkaitan dengan tema ini.

4
Sejak proklamasi kemerdekaan, penulisan sejarah nasional dapat dibagi atas tiga tahap atau gelombang seperti yang dikemukakan Kuntowijoyo (2000). Gelombang pertama disebut sebagai dekolonisasi sejarah yang diawali dengan Seminar Sejarah Nasional pertama tahun 1957 di Yogyakarta. Pada tahap ini terdapat keinginan yang kuat dalam masyarakat sesudah merdeka untuk memiliki sejarah nasional sendiri yang tidak lagi ditulis oleh penjajah Belanda. Pendekatan sejarah yang Neerlandosentris diubah menjadi pendekatan yang Indonesiasentris. Gelombang kedua ditandai dengan pemanfaatan ilmu sosial dalam sejarah yang terlihat secara menonjol pada Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta tahun 1970. Pendekatan ini dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo. Pendekatan ilmu sosial ini memiliki dua keuntungan, pertama secara akademis ia meningkatkan mutu penulisan sejarah. Secara politis, sejarah bersikap netral terhadap penguasa bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial. Namun demikian, pada waktu itu bersamaan muncul pula sejarawan yang melakukan rekayasa sejarah untuk kepentingan rezim yang memerintah. Sejarah menjadi alat legitimasi bagi penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan. Sementara itu gelombang ketiga dalam historiografi Indonesia dimulai sesudah kejatuhan Soeharto dan ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.

5
Pelurusan sejarah yang merupakan gelombang ketiga perkembangan historiografi Indonesia yang dimulai sejak era reformasi bertujuan membongkar manipulasi sejarah yang terjadi masa sebelumnya. Fakta sejarah yang tidak tepat dikoreksi, misalnya pencungkilan mata para jenderal tanggal 1 Oktober 1965 ternyata tidak benar. Penjelasan sejarah yang tidak lengkap perlu ditambahi : tidak cukup menguraikan Budi Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional tetapi dilengkapi dengan Sarikat Islam. Sementara sumber sejarah yang belum jelas perlu dicari misalnya naskah Supersemar yang otentik. Jadi tugas dari pelurusan sejarah adalah menepatkan, melengkapi, dan memperjelas suatu peristiwa sejarah.

6
Pembaharuan sejarah kasus 1965 dilaksanakan dengan menggunakan sumber baru (misalnya arsip yang sudah bisa dibuka di Amerika Serikat dan China), metodologi sejarah lisan, yang menjadi menonjol ketika dokumen tertulis sulit didapat, dan perspektif baru (sejarah bukan hanya ditulis penguasa atau pemenang tetapi juga para korban). Cukup menonjol para era reformasi buku-buku yang merupakan sejarah korban yakni sejarah yang ditulis berdasarkan perspektif pihak yang merasa dirugikan atau yang menjadi korban dalam suatu peristiwa sejarah.

7
Sejarah lisan terutama berkembang di Indonesia dengan proyek penulisan sejarah penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1970-an. Namun dengan pergantian rezim tahun 1998, pengerjaan sejarah lisan menemukan momentum baru. Keterbatasan dokumen tertulis menyebabkan sejarah lisan para korban 1965 ini menjadi penting. Ribuan orang telah diwawancarai dan kesaksian mereka dapat ditemukan misalnya pada perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta, atau pada Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis (IISG), Amsterdam, (khusus untuk eksil 1965).

8
Pelurusan sejarah itu tentu tidak luput dari kritik. Apakah sejarah yang sudah dikoreksi itu pada suatu saat nanti juga akan dibengkokkan ? Dalam hal ini Antoon de Baets (2009) menawarkan solusinya berupa kode etik untuk sejarawan yang terdiri dari 20 fasal mencakup lingkup, implementasi, tugas utama (riset sejarah, penerbitan dan pengajaran), pemilihan topik, seleksi informasi, akses informasi, metode objektif dan kritis, evaluasi moral. Fasal 10 kode etik ini menyangkut aspek yang sangat penting yaitu integritas. Integritas, menurut De Baets, adalah landasan moral dari kerja sejarawan sehingga mereka menentang penyalahgunaan sejarah. Tentunya kode etik ini dapat diterapkan pada lingkungan profesi seperti MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia).

Menghilangkan stigma
9
Tragedi 1965 tentu dapat dilihat dalam tiga tahap : prolog, peristiwa G30S, dan epilog. Yang disebut prolog tentu masa yang kurang dari lima tahun menjelang meletusnya G30S (versi resmi Orde Baru menganggap prolog ini dimulai sejak tahun 1948). Diikuti pembunuhan enam orang jenderal yang hanya berlangsung satu malam bahkan beberapa jam pada tanggal 1 Oktober 1965. Sementara itu epilog atau dampak G30S itu berlangsung sangat lama, sepanjang Orde Baru yang memerintah selama tiga dekade bahkan trauma itu masih terasa pada era reformasi.

10
Setelah pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia, terjadi pula desukarnoisasi melalui “pengamanan” selama bertahun-tahun 15 Menteri yang loyal kepada Bung Karno, TAP MPRS yang konsiderannya mendiskreditkan Soekarno, pelarangan peringatan lahirnya Pancasila oleh Kopkamtib sejak 1 Juni 1970, rekayasa sejarah Pancasila dan penerbitan buku standar Sejarah Nasional Indonesia, terutama jilid 6.

11
Mereka yang (dituduh) terlibat G30S dan keluarganya ditangkap, dibunuh dan diberi stigma di tengah masyarakat. Mereka dan keluarganya didiskriminasi, tidak boleh menjadi pegawai negeri atau anggota ABRI. Pada gilirannya pelabelan ini juga dipakai oleh rezim Orde Baru untuk keperluan praktis yakni membungkam musuh politik yang kritis dengan menuduhnya sebagai anggota PKI atau menggusur petani atau membeli tanah mereka sangat murah dan bila mereka tidak mau akan dicap komunis.

12
Era reformasi membuka peluang untuk berekspresi dan bersuara. Kini sejarah menjadi pembebas. Istilah “pelurusan sejarah” sebetulnya dapat diperdebatkan secara ilmiah, tetapi kata itu menjadi obat atau penawar (healing) bagi para korban. Karena konsep itu menyiratkan telah terjadi kesalahan atau kekeliruan sejarah selama tiga dekade dan kini sedang berlangsung proses perubahan atau perbaikan. Jadi pelurusan sejarah ini merupakan bagian dari upaya menghilangkan stigma yang dialami para korban dan keluarganya.

13
Menarik untuk membandingkan proses pelurusan sejarah yang terjadi pada tiga kelompok masyarakat. Yang dua berjalan lancar namun yang satu lagi masih tersendat. Pelurusan sejarah AURI berjalan mulus. Bahkan purnawirawan AURI yang meminta agar pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI” dihentikan penayangannya. Demikian pula kemajuan yang signifikan terjadi dalam penghilangan diskriminasi dan stigma bagi orang Tionghoa. Konstitusi Indonesia sudah menghapus kata “asli” sehingga tidak dibedakan lagi antara warganegara Indonesia “keturunan” atau bukan. Sudah ada tokoh Tionghoa yang menjadi pahlawan nasional sebagaimana etnis lain di Indonesia yakni John Lie yang diangkat tahun 2009.

14
Namun hambatan masih ditemui pada korban kiri. Penulisan memoar, buku, film dokumenter bahkan program sejarah di televisi telah mengungkapkan banyak hal yang ditutupi semasa Orde Baru. Tetapi dalam pengajaran sejarah terjadi kemunduran terutama sejak kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006 yang hanya mengajarkan versi resmi pemerintah Orde Baru mengenai G30S. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 diberikan penjelasan tentang berbagai versi G30S 1965. Namun kurikulum yang sudah disosialisasikan kepada guru-guru di sekolah selama dua tahun itu tidak jadi disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena adanya protes elite Islam kepada DPR. Pemberian rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat masih terkendala.

15
Tulisan ini menjelaskan lima tonggak penting historiografi G30S dari tahun 1965 sampai 2018. Episode pertama (1965-1968) berisi perdebatan siapa dalang G30S : apakah PKI atau ini hanya masalah intern Angkatan Darat ? Pada tahap kedua (1968-1998) terjadi pembuatan sejarah resmi pemerintah yang hanya memperbolehkan satu pandangan. Desukarnoisasi juga terjadi pada masa ini (Adam 2007, 2010). Kejatuhan pemerintahan Soeharto tahun 1998 menandai tonggak ketiga yang merupakan pelurusan sejarah, para korban berbicara dan menulis. Terbitnya buku John RoosaPretext for Mass Murder (2006), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Dalih Pembunuhan Massal 2008) menjadi episode keempat, sebuah narasi baru yang utuh mengenai G30S telah dikemukakan. Pemutaran film Jagal (The Act of Killing) tahun 2012 dan Senyap (The Look of Silence) tahun 2014, karya Joshua Oppenheimer, menandai tonggak kelima dari historiografi G30S ketika para pelaku mengaku. Pembagian periode itu tidak bersifat ketat, dalam pengertian tidak keseluruhan masa tersebut memiliki ciri-ciri khas seperti yang diuraikan di sini namun yang lebih signifikan adalah tonggak-tonggak yang menandai perkembangan historiografi tersebut.

Episode pertama
16
Buku yang pertama dipublikasi tentang Gerakan 30 September 1965 adalah 40 Hari Kegagalan “G30S”, 1 Oktober-10 November 1965, yang diterbitkan oleh Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Keamanan, atas prakarsa Jenderal Nasution yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia. Cetakan pertama dikeluarkan 27 Desember 1965 dengan waktu penyiapan hanya sebulan. Buku ini walaupun belum menggunakan label G30S/PKI sudah menyinggung keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta tersebut.

17
Naskah berikutnya tentang G30S yang kemudian dikenal sebagai “Cornell Paper” keberadaannya terkuak kepada publik Amerika Serikat karena sebuah tulisan di surat kabar The Washington Post, 5 Maret 1966. Laporan penelitian tersebut yang ditulis Ben Anderson, Ruth McVey dan F.P. Bunnell, baru secara resmi diterbitkan tahun 1971. Dokumen ini menyebut percobaan kudeta tersebut sebagai persoalan intern Angkatan Darat.

18
Tahun 1967 Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad (Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat), diundang ke lembaga Rand Corporation, Amerika Serikat. Guy Jean Pauker dari Rand Corporation memberi tahu Soewarto tentang keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan. Oleh sebab itu Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol (Letnan Kolonel) Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili pelaku G30S, ke Amerika Serikat. Dengan bantuan Guy Jean Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh berhasil menulis buku dalam bahasa Inggris, The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia, yang ditujukan untuk menolak Cornell Paper (1968).

19
Tahun 1970-an Benny Murdani menyerahkan berbagai dokumen Mahmilub ke perpustakaan Cornell University untuk memperlihatkan telah dilakukan pengadilan (militer) setelah G30S. Termasuk berkas perkara Mahmilub Heru Atmodjo yang ternyata melampirkan visum et repertum jenazah enam orang jenderal yang menjadi korban G30S. Dokumen tersebut sempat terbaca oleh Ben Anderson yang selanjutnya menulis artikel yang menggemparkan pejabat Indonesia. Tidak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal (Anderson 1987).

Episode kedua
20
Setelah berhasil melakukan standardisasi sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto melakukan hal yang sama dalam sejarah nasional. Dalam jilid 6 Sejarah Nasional Indonesia, yang disunting Nugroho Notosusanto, diberikan legitimasi kepada Orde Baru sekaligus dilakukan desukarnoisasi. Nugroho berperan penting dalam mempersoalkan kelahiran Pancasila oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Setelah memimpin Pusat Sejarah ABRI, sebelum meninggal tahun 1985, Nugroho Notosusanto sempat diangkat Presiden Soeharto menjadi Menteri Pendidikan. Ismail Saleh kelak menjadi Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman.

21
Sebelumnya Nugroho Notosusanto memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer tahun 1984. Film itu wajib tayang di layar televisi setiap tanggal 30 September malam. Selanjutnya film ini dibuatkan novel oleh Arswendo Atmowiloto dengan judul serupa (1988).

22
Buku The Coup Attempt itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1989 (ketika salah seorang penulisnya sudah meninggal) dengan judul Tragedi Nasional, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia. Dirasa tidak cukup, pemerintah melalui Sekretariat Negara merasa perlu menerbitkan buku putih Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya tahun 1992. Di penghujung kekuasaan Orde Baru, tahun 1997 Alex Dinuth menyunting dua buku : Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis dan Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI (1997a, 1997b).

23
Karena hanya boleh versi tunggal pemerintah mengenai G30S, maka setiap buku yang menawarkan versi berbeda dilarang. Tahun 1995 Kejaksaan Agung membredel buku Bayang-Bayang PKI (Institut Studi Arus Informasi) yang mencoba menguraikan secara ringkas berbagai versi dalang G30S (Stanley 1995). Yang menarik, buku Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, yang edisi Indonesianya terbit tahun 1966, tidak dilarang. Buku itu menambahkan dua alinea yang tidak terdapat dalam buku asli berbahasa Inggris yang isinya Soekarno sangat merendahkan Hatta dan Sjahrir.

Episode ketiga
24
Setelah Soeharto berhenti menjadi Presiden tahun 1998 bermunculan gugatan sejarah. Para korban yang selama tiga puluh tahun dibungkam mulai bersuara, melakukan serangkaian pertemuan, diskusi, seminar serta pembuatan memoar. Istilah pelurusan sejarah yang saya lontarkan mendapat sambutan positif dari korban Orde Baru dan mendatangkan harapan bagi rehabilitasi.

25
Pihak yang pertama melakukan pelurusan sejarah adalah PP AURI (Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia). Mereka menerbitkan buku Menyingkap Kabut Halim (Katoppo dkk. 2000) untuk menjelaskan bahwa Lubang Buaya, tempat pembuangan jenasah para jenderal, bukanlah bagian dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma melainkan termasuk wilayah Pondok Gede.

26
Masih terkait dengan upaya pelurusan sejarah, tahun 2000-2003 Ford Foundation bekerjasama dengan IKAPI memberikan subsidi untuk penerbitan buku bermutu yang sulit diterbitkan karena pasarnya terbatas. Penulis bersama Karlina Supelli dan Bondan Winarno menjadi tim penilai naskah. Buku-buku yang dibantu program ini antara lain buku Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu (2000)Robert Cribb, Pembunuhan Massal di Jawa-Bali 1965/1966 (2003), dan Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata : Sejarah Kekerasan Politik. Tesis S2 I.G. Krisnadi (2000) di UI tentang Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979) serta Memoar Pulau Buru oleh Hersri Setiawan (2008) termasuk buku yang disubsidi. Demikian pula buku-buku tentang Aksi Sepihak seperti Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah, yang berasal dari tesis S2 (2001).

Versi-versi G30S
27
Setelah meletus G30S 1965 muncul versi tentang dalang peristiwa tersebut. Menganggap dalang itu tunggal (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto atau CIA), baik perorangan atau kelompok, tentu tidak lengkap karena prosesnya sangat kompleks. Soekarno menyebut peristiwa itu sebagai pertemuan tiga sebab. Ini lebih maju karena aktornya terdiri dari unsur dalam negeri dan luar negeri. Namun tidak secara eksplisit menyebut “oknum yang tidak benar”. John Roosa telah mencoba membuat sebuah narasi yang utuh mengenai peristiwa itu. Namun menurut penulis peristiwa itu bukanlah dalih untuk pembunuhan massal, melainkan dalih untuk pengambilalihan kekuasaan (karena itulah tujuan finalnya).

Pemberontakan PKI
28
Satu Oktober 1965, pembantu Soeharto seperti Yoga Sugama sudah menduga PKI di balik kudeta. Departemen Pertahanan mengeluarkan buku “40 Hari Kegagalan ‘G-30-S’” (1965). Masih ditulis di antara dua tanda petik, meski analisisnya mengacu kepada PKI. Tahun 1994 terbit Buku Putih, Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.

Klik Angkatan Darat
29
Ilmuwan Cornell University, AS, Benedict R. Anderson dan Ruth Mc. Vey menulis A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 : Coup in Indonesia(1971), yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Menurut mereka, gerakan 30 September adalah puncak konflik intern di tubuh Angkatan Darat.

Presiden Soekarno
30
Disampaikan John Hughes (1967) dan Antonie Dake (1973). Skenario yang dipersiapkan Soekarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. PKI ikut terseret akibat sangat tergantung kepada Soekarno.

CIA
31
Versi keempat melibatkan CIA dan dikemukakan oleh Peter Dale Scott (1985) dan Geoffrey Robinson (1984). Dalang utama Gerakan 30 September adalah Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat yang ingin menjatuhkan Soekarno dan kekuatan komunis (teori domino). CIA bekerja sama dengan sebuah klik Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI.

Tidak ada pelaku tunggal
32
Ini terungkap dalam pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara Soekarno (Mulyosudarmo 1997), yang menganggap Gerakan 30 September adalah sebuah konspirasi unsur-unsur Nekolim (Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme) untuk menggagalkan jalannya revolusi Indonesia. Hal ini terjadi karena ditunjang pimpinan PKI yang “keblinger dan oknum-oknum yang tidak benar”.

Kudeta Merangkak Soeharto dan kudeta merangkak MPRS
33
Teori “Kudeta Merangkak” disampaikan oleh Soebandrio (2001). Ini merupakan analisis post factum yang dikemukakan dengan melihat rangkaian kejadian setelah peristiwa itu terjadi (Adam 2007). Analisis Wertheim (1970) sudah lama mengarah kepada Soeharto. Namun kudeta merangkak itu bukan saja dilakukan oleh Soeharto dan kelompoknya tetapi dilaksanakan berbarengan dengan “kudeta merangkak” MPRS (Adam 2010). MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk mengalihkan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto seperti diuraikan Suwoto Mulyosudarmo.

Pembantaian 1965
34
Peristiwa G30S 1965 secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pembunuhan itu tak pernah diungkapkan dalam pendidikan sejarah, baik proses maupun jumlah korbannya. Menurut Robert Cribb (2001), ada beberapa cara untuk menghitung walaupun masing-masing mengandung kelemahan. Menurut Facts Finding Commission yang dibentuk setelah peristiwa berdarah tersebut, jumlah korban adalah 78.000 orang. Kopkamtib dalam salah satu laporannya menyebut angka satu juta jiwa sementara Robert Cribb menganggap 500.000 orang.

Mereka Yang Terbuang
35
Tahun 1965 ribuan orang Indonesia, diplomat, wartawan, anggota Parlemen, termasuk Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) yang dikirim Presiden Soekarno untuk belajar teknologi di luar negeri, terutama di negara sosialis, menjadi terhalang pulang. Bahkan kewarganegaraan mereka dicabut. Mereka meminta suaka dari suatu negara ke negara lain atau menurut istilah Gus Dur menjadi orang kelayapan.

·         1 Sintesis dan bibliografi terbaru terdapat dalam Chambert-Loir (2016a, 2016b).
36
Beberapa orang di kalangan eksil ini telah menulis memoar1 yang memberi perspektif baru tentang peristiwa 1965 dan dampaknya. Sebagai contoh, tahun 2006 terbit Memoar Perempuan Revolusioner berdasar wawancara Hersri Setiawan, mantan pimpinan Lekra Jawa Tengah, dengan Fransisca Fanggidaej. Perempuan itu dilahirkan di Timor tahun 1925. Dia aktif pada gerakan pemuda Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan ikut berjuang dalam pertempuran di Surabaya November 1945. Tahun 1947 ia dikirim ke beberapa negara Eropa dan India untuk mewakili Indonesia dalam pertemuan internasional pemuda. Di Kalkuta, India, ia mengikuti kongres pemuda internasional.
37
Tahun 1957 Fransisca diangkat sebagai anggota komisi luar negeri DPRGR/MPRS mewakili golongan wartawan. Tahun 1965 ia beberapa kali menyertai rombongan Presiden ke luar negeri termasuk menuju Aljazair tempat Kongres Asia-Afrika kedua direncanakan namun batal. Fransisca dari Aljazair melanjutkan perjalanan untuk mengikuti konferensi pemuda di Chile. Di sinilah ia mendengar meletus G30S dan Fransisca merasa kuatir untuk pulang karena ia termasuk pendukung Soekarno.

38
Tahun 1965-1985 Fransisca berada di Beijing, ia tidak berani mengontak keluarganya di Indonesia karena takut membahayakan keselamatan mereka. Anaknya tujuh orang, yang tertua baru berusia 13 tahun, sementara suaminya juga ikut ditangkap. Anak-anak terpaksa dititip kepada keluarga dan kenalan baik mereka. Tahun 1985 Fransisca meminta suaka di negeri Belanda, di sinilah ia baru berani menelpon anak-anaknya. Dapat dibayangkan betapa beratnya perasaan anak-anak menerima telpon tersebut, rasa kangen, haru, sedih, mungkin bercampur kesal juga karena sekian lama tidak ada berita sama sekali. Di Belanda Fransisca masih aktif dalam Komite Indonesia-Belanda dan yayasan memajukan studi Asia.

39
Salah satu putri Fransisca melahirkan anak lelaki yang kemudian menjadi aktor terkemuka Indonesia, Reza Rahadian. Fransisca meninggal di Belanda November 2013. Beberapa waktu sebelumnya Reza dan ibunya menengok. “Oma mengapa memilih berpisah dengan anak dan cucu ?” Dia bilang : “Seandainya Oma bisa pulang ke Indonesia, tentu Oma akan kembali. Tapi Oma khawatir kalian terancam.” Apakah ucapan terakhir Fransisca Fanggidaej kepada cucunya Reza Rahadian ? “Merdeka itu adalah pulang.”

Diburu di Pulau Buru
40
Judul di atas berasal dari sebuah karya Hersri Setiawan (2008) yang pernah ditahan di Pulau Buru tahun 1969-1979 (Adam 2008) dan yang aktif dalam membawa suara para eksil atau eks tapol kepada masyarakat Indonesia. Selama sepuluh tahun para tapol 65 golongan B sebanyak lebih dari 10.000 orang dibuang ke Pulau Buru dan diperbudak di sana. Di antaranya terdapat Pramoedya Ananta Toer yang melahirkan roman tetralogi yang kesohor. Pram mengungkapkan kekejaman di sana dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu(1995).

41
Tesis pascasarjana di UI tentang Pulau Buru ditulis I.G. Krisnadi (2000), dosen Universitas Jember dan diterbitkan LP3ES. Baru-baru ini terbit novel Amba karya Laksmi Pamuntjak (2012) yang berlatar Pulau Buru. Tahun 2003 penulis diangkat menjadi anggota Pengkajian dan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang beranggotakan 25 orang termasuk Munir. Tim ini menetapkan salah satu kasus yang dianggap sangat meyakinkan untuk menjerat Soeharto adalah kasus Pulau Buru 1969-1979.

Stigma sampai anak-cucu
42
Tahun 1981 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi bahwa mereka yang terlibat G30S dan keluarganya tidak boleh menjadi PNS/ABRI. Stigma sudah ditempelkan di kening sang anak sungguhpun ia tidak memilih untuk dilahirkan di tengah keluarga yang tersangkut G30S. Sejak era Reformasi bermunculan buku yang berasal dari sejarah lisan tentang korban 1965. Yang pertama terbit dan dikerjakan secara serius adalah Menembus Tirai Asap (Haryo 2003) dan disusul 1965 : Tahun Yang Tidak Pernah Berakhir (Roosa, Ratih dan Farid, peny., 2004). Memoar dari kalangan AURI seperti Omar Dani (Surodjo & Soeparno 2001) diluncurkan, demikian pula dari aktivis kiri. Yang ironis adalah biografi Kiai Haji Achmadi Moestahal (2002) yang ditarik oleh anaknya sendiri dengan memborong di toko buku. Soe Tjen Marching (2017), putri seorang korban, melakukan serangkaian wawancara dengan para korban dan keluarganya (generasi kedua dan ketiga). Maharani Mancanegara (cucu seorang tapol yang dibuang ke Pulau Buru) menampilkan karya seni rupa di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung berdasarkan catatan harian kakeknya (”Fabel untuk Pulau Buru”, Tempo, 5-11 Maret 2018). Ayah dari Maharani Mancanegara adalah seorang Profesor Riset di LIPI. Yang menarik adalah munculnya situs Ingat65 untuk berbagi cerita bagi generasi muda, keluarga korban 65 atau bukan.

43
Buku yang menggegerkan adalah memoar Ribka Tjiptaning yang berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI (2002)Mungkin pilihan judul itu merupakan luapan kekesalan terhadap pemerintah Orde Baru. Namun efeknya sungguh keras pada sebagian kalangan Islam yang anti-komunis. Padahal kalau dibaca isi bukunya yang terlihat adalah penderitaan seorang anak yang ayahnya pengusaha yang ditangkap karena dekat dengan PKI. Tjiptaning harus merantau ke ibukota dan berganti nama agar bisa diterima di sekolah. Bekerja sebagai penjual tiket bis malam untuk menyambung hidup. Dengan susah payah ia berhasil menamatkan kuliah di Fakultas Kedokteran UKI. Aktif di organisasi nasionalis, ia kemudian berhasil menjadi anggota DPR.

44
Bila buku Tjiptaning menghebohkan, maka judul buku Okky Asokawati cukup menyejukkan, Jangan Menoleh Ke Belakang (Bagdja 2005). Okky adalah putri AKBP Anwas Tanuamidjaja, Wakil Komandan G30S. Setelah ayahnya ditangkap dan ditahan selama belasan tahun, keluarga ini harus menghidupi diri mereka sendiri. Sang ibu memberi les piano dan mengajar bahasa Inggris. Setiap Minggu mereka mengunjungi sang ayah (dipanggil Bap oleh Okky) di penjara Cipinang, sambil membawa rantang makanan. Ribka Tjiptaning menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP dan Okky Asokawati anggota Parlemen mewakili PPP (Adam 2015). Telah muncul pula buku dari generasi ketiga korban G30S.

Tanggapan pemerintah
45
Walaupun Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang diterbitkan sejak tahun 1975 dianggap tidak layak dijadikan pegangan seperti dikemukakan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono, terdapat upaya untuk merevisi atau melakukan pemutakhiran buku tersebut yang pada prinsipnya tidak mengubah versi Orde Baru. Tahun 2008 terbit Sejarah Nasional Indonesia, edisi pemutakhiran, dengan editor R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa.

46
Pada buku SNI edisi pemutakhiran ini disampaikan bahwa tahun 1967 Presiden Soekarno menyampaikan pidato di depan paripurna MPRS yang komposisi keanggotaannya sudah diubah Soeharto. Pidato tersebut menurut buku ini “mendapat tanggapan dari seluruh rakyat, dengan pendapat Presiden Soekarno berusaha menambah gawatnya situasi politik”. Padahal Pelengkap Nawaksara itu mengungkapkan siapa dalang G30S. Buku ini tidak lupa mengutip harian Berita Yudha 26 Januari 1967 “Para alim ulama Jabar mengatakan tidak lagi mengakui Presiden Soekarno sebagai Presiden karena telah melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam dan UUD 1945 serta TAP MPRS”. Tidak dijelaskan syariat Islam yang mana yang dilanggar Bung Karno.

47
Buku berikutnya adalah Malam Bencana (Abdullah dkk., peny., 2012-13) yaitu malam tanggal 30 September 1965 ketika enam orang jenderal sekaligus terbunuh tidak di medan perang (Adam 2009). Pada jilid pertama, dalam tulisan Ambarwulan (Pusat Sejarah TNI) dan Aminuddin Kasdi (Universitas Negeri Surabaya) disimpulkan bahwa “Gerakan 30 September adalah sebuah pemberontakan yang melibatkan kesadaran penuh seluruh unsur Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan menggunakan sejumlah unsur di TNI AD melalui jalur rahasia Biro Khusus”. Ini mengulang versi Orde Baru tentang G30S. Lalu bagaimana keterlibatan Presiden Soekarno ? Menurut Nina Herlina Lubis “jelas ia ikut terlibat dalam perencanaan G30S, namun pada akhirnya skenario diambil alih oleh Soeharto…” (buku bagian 1, hlm. 297). Sementara itu Aminuddin Kasdi mencatat 20 alasan keterlibatan Soekarno dan 6 alasan ketidakterlibatan Bung Karno (buku bagian 1, hlm. 327-329). Jadi jauh lebih banyak alasan keterlibatan Presiden Soekarno.

Episode keempat
Narasi Baru
48
Tahun 2008 terbit terjemahan buku John Roosa yang ditulis dalam bahasa asli tahun 2006 (penerjemah Hersri Setiawan), Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Menurut buku ini kelemahan utama Gerakan 30 September adalah tidak punya satu komando. Terdapat dua kelompok pimpinan yakni kalangan militer (Untung, Latief dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, Bono). Sjam memegang peran sentral karena ia penghubung antara kedua pihak ini. Namun ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno bahkan diminta dihentikan, maka kebingungan terjadi. Kedua kelompok pecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkan. Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua/ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam.

49
Buku ini menyederhanakan misteri dengan metode detektif. Sjam Kamaruzzaman bukanlah agen ganda melainkan pembantu setia Aidit sejak bertahun-tahun. Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap tahun 1968 ini baru dieksekusi tahun 1986. Ia bagai putri Scheherazad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu bertahan 1001 malam.

50
Dokumen Supardjo mengungkap mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa diselamatkan. Kerancuan antara “penyelamatan Presiden Sukarno” dan “percobaan kudeta” dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Di sisi lain, jauh sebelum peristiwa berdarah itu, AS telah mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dahulu sehingga dapat dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. Karena sudah tahu sebelumnya, maka Soeharto adalah jenderal yang paling siap tanggal 1 Oktober 1965.

51
Karya ini mengungkapkan bahwa Gerakan 30 September lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk menculik tujuh jenderal dan menghadapkan kepada Presiden) bukan sebagai gerakan. Karena peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta yang dilakukan secara serampangan yang dapat diberantas dalam waktu satu-dua hari ditambah perlawanan tidak berarti di Jawa Tengah. Namun aksi ini (yang kemudian ternyata menyebabkan tewasnya enam jenderal) kemudian oleh Soeharto dkk. dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya yang di lapangan menyebabkan terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari setengah juta jiwa.

52
Kekuatan buku ini karena menggunakan sumber yang berasal dari orang-orang yang merupakan lingkaran terdalam peristiwa G30S, yaitu dokumen Supardjo dan pledoi Iskandar Subekti (yang mengetik pengumuman-pengumuman Gerakan 30 September) serta wawancara mendalam dengan anggota biro Chusus PKI “Hasan” (nama sebenarnya Asep Suryaman). Sumber-sumber di atas dilengkapi dengan arsip AS yang telah terbuka dari waktu ke waktu.

Arus Balik
53
Perlawanan muncul terhadap upaya pelurusan sejarah. Buku John Roosa, Dalih pembunuhan Massal, dilarang Kejaksaan Agung bulan Desember tahun 2009. Padahal buku ini terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Sebelumnya, tahun 2007, Kejaksaan Agung juga melarang buku-buku pelajaran sejarah yang dianggap tidak membahas Peristiwa Madiun dan G30S.

54
Taufiq Ismail menerbitkan buku Katastrofi Mendunia : Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba tahun 2005 dengan kata pengantar Taufik Abdullah. Buku ini mengungkapkan korban yang berjatuhan di seluruh dunia yang dibunuh oleh orang-orang komunis. Namun sesungguhnya yang terjadi di Indonesia tahun 1965 adalah sebaliknya. Buku senada oleh penulis yang sama diterbitkan tahun 2015 dengan judul Matine Gusti Allah, Riwayat Palu Arit Sedunia Menajiskan Tuhan dan Agama.

55
Tahun 2005 Aminuddin Kasdi (guru besar di Universitas Negeri Surabaya) dengan Dr. Ambar Wulan (Pusat Sejarah TNI) menerbitkan buku G30S PKI/1965 : Bedah Ceasar Dewan Revolusi Indonesia (pengantar Shalahuddin Wahid). Tahun 2007 buku senada diterbitkan pengarang yang sama dengan judul Tragedi Nasional 1965. Aktivis anti-PKI lainnya seperti Alfian Tanjung (pengajar Universitas Uhamka Jakarta) menerbitkan beberapa buku yang isinya lebih kurang sama) : Mengganyang Komunis : langkah & strategi menghadapi kebangkitan PKI (2006), Menangkal Kebangkitan PKI : strategi perlawanan nasional menjaga keutuhan NKRI (2007) dan Indikasi dan sistematika Kebangkitan PKI (2006). Kol. (pur.) Firos Fauzan menerbitkan beberapa buku, antara lain Misteri Tragedi Nasional 1 Oktober 1965 : Dalang Ganda Biro Khusus PKI (2009), Pengkhianatan PKI (2009), dan Civil War ala PKI, 1965 : Menyingkap Dewan Revolusi PKI (2011).

Episode kelima
Film “the Act of Killing” dibanding “Pengkhianatan G30S/PKI”
56
Selain dari buku John Roosa yang monumental, media lain yang banyak menarik perhatian adalah film the Act of Killing (dalam bahasa Indonesia Jagal ; Oppenheimer 2012). Film ini sangat penting karena para pelaku bersaksi, sebelumnya yang terdengar hanya suara korban.

57
Film ini sebetulnya bisa dibandingkan dengan film “Pengkhianatan G30S/PKI” dalam berbagai aspek termasuk penggambaran kekerasan. Kedua film tersebut sungguh luar biasa dalam hal jumlah dan kekhasan penonton. Film “Pengkhianatan G30S/PKI” (selanjutnya disingkat PG) ditonton oleh jutaan penonton selama 14 tahun (1984-1997). Film “The Act of Killing” (selanjutnya disingkat AK) diputar pada hampir semua pertemuan ilmiah yang diadakan pengamat Indonesia di benua Australia, Asia, Eropa dan Amerika tahun 2012-2013. Di Indonesia film ini diputar di beberapa perguruan tinggi dan lembaga advokasi.

58
Dari sisi keberhasilan menarik penonton dan penghargaan, dua film tersebut berhasil tetapi dalam konteks yang sangat berbeda. Arifin C. Noer mendapat penghargaan di negaranya sendiri sebagai penulis skenario terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 1984. Sementara itu AK telah menyabet penghargaan dalam festival film di Istanbul, Valenciennes, Warsawa, Barcelona dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar. Namun demikian, AK belum bisa dikatakan berdampak seperti PG di Indonesia. Meskipun bisa diakses dengan mudah dalam versi asli di internet (sesuai keinginan Joshua Oppenheimer) dan dibuat setelah melakukan riset selama delapan tahun, AK belum bisa melawan narasi Orde Baru secara keseluruhan karena propaganda rezim Soeharto begitu kuat.

Film Senyap
59
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember (sebagaimana diberitakan Tempo.co, 10 Desember 2014) dimeriahkan dengan pemutaran film Senyap atau The Look of Silence (Oppenheimer 2014)Film tersebut diputar serentak di seluruh Indonesia pada 457 titik, yang 160 di antaranya merupakan pemutaran terbuka dari Aceh sampai Papua, seperti Banda Aceh, Padang, Pekanbaru, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Bandung, Cianjur, Yogyakarta, Purwokerto, Solo, Semarang, Kediri, Malang, Jember, Makassar, Palu, Manado, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Jayapura, dan Wamena. Pemutaran tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga jaringan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

60
Senyap menceritakan salah seorang anggota keluarga korban di Indonesia yang menemui para pelaku pembunuhan. Adi Rukun, adik bungsu korban, bertekad memecah belenggu kesenyapan dengan mendatangi para pembunuh kakaknya untuk mengungkap kebenaran dan menapaki rekonsiliasi.

IPT-65 di Den Haag, November 2015
61
Pada bulan November 2015 berlangsung International People’s Tribunalmengenai kasus 1965 di Den Haag, Belanda. Di dalam keputusannya, tujuh majelis hakim internasional yang dipimpin Zak Jacoob dari Afrika Selatan memutuskan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia yang mencakup pembunuhan, penahanan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual (Final Report IPT-65, 2017).

62
Pengadilan rakyat ini tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa terhadap pemerintah Indonesia kecuali tekanan moral. Namun pengadilan ini memiliki cukup dampak terlihat dari penyelenggaraan simposium mengenai 1965 di Hotel Aryaduta Jakarta, April 2016, yang untuk pertama kalinya dibiayai oleh pemerintah.

63
Dari sisi lain, pengadilan ini diikuti terbitnya beberapa buku. Untuk menyiapkan tuntutan dalam IPT-65, beberapa peneliti telah mengumpulkan banyak dokumen dan tulisan yang terkait kejahatan kemanusiaan 1965. Selain dari Laporan Final IPT-65 (Van Klinken 2017), Dari Beranda Tribunal : Bunga Rampai Kisah Relawan (Santoso dkk. 2017), bulan Februari/Maret 2018 telah terbit tiga buku mengenai pembunuhan massal 1965, yaitu Geoffrey Robinson, The Killing Season, A History of the Indonesian Massacres, 1965-66, dan Jess Melvin, The Army and The Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder,serta Katherine McGregor, Jess Melvin, Annie Pohlman (eds), The Indonesian Genocide of 1965 : Causes, Dynamics and Legacies.

Masalah rekonsiliasi
64
Persoalan rekonsiliasi dibahas dalam karya akademis di luar negeri. Juni 2003 Budiawan mempertahankan disertasi di National University of Singapore dengan judul Breaking the Immortalized Past : Anti-Communist, Discourse and Reconciliatory Politics in Post-Soeharto Indonesia yang kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Elsam Mematahkan Pewarisan Ingatan : Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (2004).

65
Disertasi berikutnya berasal dari Ahmad Suhelmi (Ph.D. ilmu politik, Department of Political Science, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, 2005) berjudul Muslim Political Elite and the Revival of the Left in Indonesian Politics, 1996-2001. Disertasi itu kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Islam dan Kiri, Respons Elite Politik Islam Terhadap Isu Kebangkitan Komunis Pasca Soeharto (2007).

66
Secara hukum, rekonsiliasi diupayakan melalui Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disahkan Presiden Megawati September 2004. Namun kemudian Undang-Undang tersebut dibatalkan dengan ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Asshidiqie tahun 2006. Undang-Undang itu telah dirobohkan sebelum komisi tersebut terbentuk (Adam 2006).

67
Pada akhir Desember 2013 Pengurus Besar Nahdatul Ulama yang diprakarsai As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN, menerbitkan “buku putih” tentang sejarah hubungan mereka dengan PKI (2013). Sebelumnya sikap kenegarawanan telah ditunjukkan KH Abdurrachman Wahid yang pada 14 Maret 2000 mengatakan, ketika menjabat ketua umum PBNU ia sudah meminta maaf kepada para korban Gerakan 30 September. Tahun 2002 rekonsiliasi justru dipelopori oleh anak-anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat (santri untuk advokasi masyarakat), mula-mula di Yogyakarta dan meluas ke seluruh Pulau Jawa.

68
Masih di Jawa Timur, sebelum menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan juga mempelopori rekonsiliasi dengan mengundang aktivis PKI, Soemarsono, Gubernur Militer Madiun 1948 dan tokoh pemuda Surabaya November 1945, untuk silaturahmi di pesantren keluarganya di Magetan Jawa Timur.

69
Pada lapisan lain di kalangan putra-putri tokoh yang orang tuanya dulu pernah berkonflik, terjadi rekonsiliasi. Pada Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang memiliki visi “berhenti mewariskan konflik, tidak membuat konflik baru” terdapat Amelia Yani, Ilham Aidit, Sarjono Kartosuwiryo, Ferry Omar Dani, Chalid Prawiranegara. Penasihat organisasi ini Letjen (pur.) Agus Wijoyo yang merupakan putra pahlawan revolusi Sutojo. Mereka menerbitkan buku yang berjudul Children of War tahun 2013.

70
Di kalangan masyarakat, sebuah kelompok yang terdiri dari korban perempuan telah memilih bercerita sambil berlagu membagi pengalaman, tanpa penuntutan. Paduan suara Ibu-ibu Dialita memilih lagu-lagu bersejarah seperti lagu “Taman Bunga Plantungan” karya Ibu Nungtjik, atau lagu “Untuk Anakku” karya Ibu Heryani Busono yang direkam di CD Dunia milik kita(2016).

Kesimpulan
71
Lima puluh tahun studi mengenai G30S sejak tahun 1965 sampai 2018 dapat dibagi atas lima episode. Pada episode pertama terjadi perdebatan tentang siapa dalang G30S : apakah PKI atau ini hanya masalah internal Angkatan Darat. Dalam episode kedua, Orde Baru sudah berkuasa penuh dan melakukan monopoli sejarah, hanya satu versi yang diperbolehkan untuk diketahui masyarakat dan dipelajari siswa. Kejatuhan Soeharto tahun 1998 menandai episode ketiga ketika para korban berbicara dan menulis. Terbitnya buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, tahun 2008, menandai episode keempat dengan munculnya narasi baru yang utuh mengenai G30S. Episode kelima dimulai ketika para pelaku mengaku seperti terlihat pada film Jagal (2012) dan Senyap (2014) yang dibuat Joshua Oppenheimer.

72
Dari buku-buku yang terbit (kembali) pada episode ketiga sejak 1998 tampak bahwa studi G30S paling sedikit mencakup lima aspek yaitu 1) peristiwa G30S itu sendiri termasuk siapa dalangnya, 2) Pembunuhan massal tahun 1965/1966, 3) Eksil, pencabutan kewarganegaraan orang-orang Indonesia yang sedang berada di luar negeri, 4) Pembuangan paksa ke Pulau Buru, 5) Stigma terhadap korban dan keluarganya. Pemilahan ini dapat membantu pemerintah dalam penyelesaian kasus 1965.

73
Pembaharuan historiografi peristiwa 1965 di Indonesia terjadi karena beberapa alasan. Sumber baru ditemukan melalui arsip di dalam dan di luar negeri. Bahan sejarah lisan memperkuat keterbatasan arsip tertulis mengenai peristiwa 1965. Yang lebih penting lagi sejarah kini ditulis bukan saja dari perspektif pemenang tetapi juga oleh korban. Kalau dahulu sejarah itu digunakan pula antara lain sebagai alat penindas, sekarang sejarah bermanfaat sebagai medium pembebas bagi para penyintas atau survivor.

74
Dari pihak korban, secara nasional wilayah penelitian kian meluas. Dulu hanya dikenal Jawa, Bali dan Sumatera. Sudah ada penelitian tentang kamp penahanan di Moncongloe, Sulawesi Selatan, yang berasal dari tesis pascasarjana di UNHAS (Universitas Hasanuddin, Makassar) dan telah diterbitkan. Yang menarik pula Walikota Palu telah mengeluarkan keputusan menyangkut rehabilitasi korban 1965. Putu Oka Sukanta menyunting buku tentang pengalaman para korban di Sulawesi.

75
Terdapat perkembangan yang menggembirakan dari sudut sejarah dengan dibukanya arsip seputar tahun 1965 di Rusia, Tiongkok (arsip Departemen Luar Negeri) dan Jepang. Tahun 2013 diterbitkan buku 1965, Indonesia and The World, Indonesia dan Dunia berdasarkan seminar yang diadakan Goethe Institut dua tahun sebelumnya di Jakarta (Schaefer and Wardaya 2013).

76
Seminar internasional tentang G30S 1965 diadakan di Singapura tahun 2009, Canberra 2012, secara simultan di STF Driyarkara Jakarta, Toronto, Melbourne dan London melalui teleconference tahun 2014, Amsterdam Oktober 2015 dan Frankfurt November 2016. Pada Juni 2014 diadakan lokakarya di Osaka membicarakan tentang Politicide 1965. Kerjasama antara sejarawan Indonesia dan sejarawan asing bisa dilihat dalam hampir semua seminar dan terbitan kolektif. Usaha-usaha akademis itu mendorong pembaharuan historiografi tetapi berasal dari kalangan yang terbatas, tidak menyentuh para pengambil keputusan politik.

·         2 Lihat Wieringa dalam keluaran ini.
77
Penyelenggaraan IPT 65 di Den Haag, November 2015, mendorong pelaksanaan Simposium 1965 yang untuk pertama kalinya dibiayai pemerintah di hotel Aryaduta Jakarta, April 2016. Penolakan terhadap penyelenggarannya menyebabkan diadakan simposium tandingan di Balai Kartini sesudah itu. Pembatalan seminar 1965 yang akan diselenggarakan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), penyerangan ke kantor LBH Jakarta medio September 20172, dan perintah Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, kepada prajurit untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI tanggal 30 September 2017, telah menjadikan isu anti-komunis sebagai cara menggalang kekuatan kalangan Islam dalam Pemilihan serempak Kepala Daerah Juni 2018 dan meningkatkan populeritas calon menjelang Pemilihan Presiden April 2019.

Bibliographie
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman, 2000, “Pengendalian Sejarah Demi Kekuasaan”, dalamJ.B. Kristanto (peny.), Seribu Tahun Nusantara. Jakarta : Kompas, p. 203-219.
Adam, Asvi Warman, 2006, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Ombak (terbitan pertama 2004).
Adam, Asvi Warman, 2007, Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Adam, Asvi Warman, 2008, “Epilog” dalam Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru. Magelang : Indonesia Tera, p. 592-601.
Adam, Asvi Warman, 2009, Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Adam, Asvi Warman, 2010, Menguak Misteri Sejarah. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Adam, Asvi Warman, 2015, Melawan Lupa, Menepis Stigma, Setelah Prahara 1965. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Adams, Cindy, 1966, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (penerjemah : Mayor Abdul Bar Salim). Jakarta : Gunung Agung (edisi revisi tahun 2007 diterjemahkan Syamsul Hadi).
Anderson, Benedict, 1987, “How Did the Generals Die ?”, Indonesia 43, p. 109-134.
Anderson, Benedict, Mc Vey, Ruth, Bunnel, F.P., 1971. Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca : Cornell University, Publication No. 52.
As’ad Said Ali, 2013, Benturan NU-PKI, 1948-1965. Jakarta : PBNU.
Atmowiloto, Arswendo, 1988, Pengkhianatan G30S/PKI. Jakarta : Sinar Harapan.
de Baets, Antoon, 2009, Responsible History. New York, NY : Berghahn Books.
Bagdja, Muara, 2005, Okky Asokawati : Jangan Menoleh Ke Belakang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Budiawan, 2004, Mematahkan Pewarisan Ingatan : Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta : Elsam (terjemahan dari disertasi pada NUS Singapore berjudul Breaking the Immortalized Past : Anti-Communist, Discourse and Reconciliatory Politics in Post-Soeharto Indonesia, 2003).
Chambert-Loir, Henri, 2016a, “Locked Out : Literature of the Indonesian Exiles Post-1965”, Archipel 91, p. 119-145.
Chambert-Loir, Henri, 2016b, “Bibliography of Exile Literature (Sastra Eksil)”, Archipel 91, p. 177-183.
Cribb, Robert, 2003, Pembunuhan Massal di Jawa-Bali 1965/1966. Yogyakarta : Mata Bangsa bekerjasama dengan Syarikat Indonesia (terjemahan dari The Indonesian killings of 1965–1965 : studies from Java and Bali, Clayton, Vic. : Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1990).
Cribb, Robert, 2001, “How Many Deaths ? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980),” dalamIngrid Wesel and Georgia Wimhofer (eds), Violence in Indonesia. Hamburg : Abera-Verl., p. 82-99.
Dake, Antonie C.A., 1973, In The Spirit of The Red Banteng, Indonesian Communists Between Moscow and Peking. The Hague : Mouton.
Dialita (paduan suara), 2016, Dunia Milik Kita, CD.
Dinuth, Alex (penyunting), 1997a, Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta : Intermasa.
Dinuth, Alex (penyunting), 1997b, Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI. Jakarta : Intermasa.
Fauzan, Firos, 2009, Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia). Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.
Fauzan, Firos, 2009, Misteri Tragedi Nasional 1 Oktober 1965 : Dalang Ganda Biro Khusus. Jakarta : Fauzan Firos.
Fauzan, Firos, 2011, Civil War ala PKI, 1965 : Menyingkap Dewan Revolusi PKI. Jakarta : Accelerate Foundation.
Forum Silaturahmi Anak Bangsa, 2013, The Children of War. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Haryo, H.D., 2003, Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965. Jakarta : Lontar.
Hughes, John, 2014, The End of Sukarno, A Coup that Misfired : A Purge that Ran Wild. Singapore : EDM (edisi pertama, 1967).
Ismail, Taufiq, 2005, Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba. Jakarta : Yayasan Titik Infinitum.
Ismail, Taufiq, 2015, Matine Gusti Allah, Riwayat Palu Arit Sedunia Menajiskan Tuhan dan Agama. Jakarta : Mahaka Publishing.
Kasdi, Aminuddin, 2001, Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965. Yogyakarta : Jendela.
Kasdi, Aminuddin & G. Ambar Wulan, 2005, G30S PKI/1965, Bedah Ceasar Dewan Revolusi Indonesia. Surabaya : Java Pustaka Media Utama.
Kasdi, Aminuddin & G. Ambar Wulan, 2007, Tragedi nasional 1965. Surabaya : UNESA University Press.
Katoppo, Aristides dkk., 2000, Menyingkap Kabut Halim. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Van Klinken, Helene (ed), 2017, Final Report of The International People’s Tribunal on Crimes against Humanity in Indonesia 1965. The Hague-Jakarta : IPT 65 Foundation.
Krisnadi, I.G., 2000, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta : LP3ES.
Kuntowijoyo, 2000, “Indonesian historiography in search of identity,”Humaniora 12 (1), p. 79-85.
McGregor, Katharine, Jess Melvin & Annie Pohlman (eds), 2018, The Indonesian Genocide of 1965 : Causes, Dynamics,and Legacies. Cham, Switzerland : Palgrave Macmillan.
Melvin, Jess, 2018, The Army and The Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder. New York : Routledge.
Moestahal, Achmadi, 2002, Dari Gontor ke Pulau Buru. Yogyakarta : Syarikat.
Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan : Kajian Teoretis dan Yuridis atas Pidato Nawaksara. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Notosusanto, Nugroho & Ismail Saleh, 1968, The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Jakarta : Pembimbing Masa (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia : Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional : percobaan kup G30S/PKI di Indonesia, Jakarta, Intermasa, 1989).
Pamuntjak, Laksmi, 2012, Amba. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Purwanto, Bambang & Asvi Warman Adam, 2005, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta : Ombak.
Robinson, Geoffrey, 1984, “Some arguments Concerning US Influences and Complicity in the Indonesian ‘Coup’ of Octobre 1, 1965, unpublished manuscript (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia : Argumentasi Atas Pengaruh dan Keterlibatan Amerika Serikat Dalam Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, Jakarta : Teplok Press, 2000).
Robinson, Geoffrey, 2005, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta : LkiS (Diterjemahkan dari The Dark Side of Paradise : Political Violence in Bali. Ithaca, NY : Cornell University Press, 1995).
Robinson, Geoffrey, 2018, The Killing Season, a History of the Indonesian Massacres,1965-1966. Princeton : Princeton University Press.
Roosa, John, 2008, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta : Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra (Diterjemahkan dari Pretext for Mass Murder : The September 30th Movement and Soeharto Coup d’Etat in Indonesia, Madison, The University of Wisconsin Press, 2006).
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (eds), 2004, Tahun yang Tak Pernah BerakhirMemahami Pengalaman Korban 1965. Esai-Esai Sejarah Lisan.Jakarta : Elsam, TRUK dan ISSI.
Santoso, Aboeprijadi dkk. (peny.), 2017, Dari Beranda Tribunal. Bandung : Ultimus.
Schaefer, Bernd & Baskara Wardaya, 2013, 1965, Indonesia and The World, Indonesia dan Dunia. Jakarta : Goethe Institut and Gramedia Pustaka Utama (bilingual edition).
Scott, Peter Dale, 1985, “The United States and the Overthrow of Sukarno 1965-1967,” Pacific Affairs 58, p. 239-264.
Sekretariat Negara, 1992, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Jakarta : PT Ghalia atas ijin Sekretariat Negara RI.
Setiawan, Hersri & Fransisca Fanggidaej, 2006, Memoar Perempuan Revolusioner. Yogyakarta : Galang Press.
Setiawan, Hersri, 2008, Memoar Pulau Buru. Magelang : Indonesia Tera.
Soebandrio, 2001, Kesaksianku tentang G30S. Jakarta, Forum Pendukung Reformasi Total.
Soejono, R.P. dan R.Z. Leirissa, 2008, Sejarah Nasional Indonesia, edisi pemutakhiran. Jakarta : Balai Pustaka.
Soe Tjen Marching, 2017, The End of Silence, Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia. Amsterdam : Amsterdam University Press.
Stanley (penyunting), 1995, Bayang-Bayang PKI. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi.
Suhelmi, Ahmad, 2007, Islam dan Kiri, Respons Elite Politik Islam Terhadap Isu Kebangkitan Komunis Pasca Soeharto. Bandung : Serambi (terjemahan dari disertasi pada International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, berjudul Muslim Political Elite and the Revival of the Left in Indonesian Politics, 1996-2001tahun 2005).
Sulistiyono, Singgih Tri, 2008, Historiografi Pembebasan untuk Indonesia Baru, pidato pengukuhan guru besar sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Maret 2008.
Sulistyo, Hermawan, 2000, Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Surodjo, Benedicta A. & Soeparno, J.M.V., 2001, Pledoi Omar Dani, Tuhan Pergunakan Hati, Pikiran dan Tanganku. Jakarta : ISAI.
Tanjung, Alfian, 2006, Mengganyang Komunis, Langkah & Strategi Menghadapi Kebangkitan PKI. Jakarta : Taruna Muslim Press.
Tanjung, Alfian, 2006, Indikasi dan sistimatika kebangkitan PKI. Jakarta : Taruna Muslim Press.
Tanjung, Alfian, 2007, Menangkal Kebangkitan PKI, Strategi Perlawanan Nasional Menjaga Keutuhan NKRI. Jakarta : Taruna Muslim Press.
Tjiptaning, Ribka, 2002, Aku Bangga Jadi Anak PKI. Jakarta : Cipta Lestari.
Toer, Pramoedya Ananta, 1995, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta : Lentera.
Wertheim, W.F., 1970, “Suharto and the Untung Coup : The Missing Link,” Journal of Contemporary Asia 1(2), p. 20-57.
Notes
1 Sintesis dan bibliografi terbaru terdapat dalam Chambert-Loir (2016a, 2016b).
2 Lihat Wieringa dalam keluaran ini.

Pour citer cet article
Référence papier
Asvi Warman Adam, « Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965 », Archipel, 95 | 2018, 11-30.
Référence électronique
Asvi Warman Adam, « Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965 », Archipel [En ligne], 95 | 2018, mis en ligne le 01 juillet 2018, consulté le 26 juillet 2018. URL : http://journals.openedition.org/archipel/604 ; DOI : 10.4000/archipel.604

Sumber: Journals