Asvi Warman Adam
Resume :
Artikel ini merupakan sebuah pandangan perkembangan tulisan mengenai
Gerakan 30 September 1965 dari tahun 1965 sampai 2018. Historiografi 1965
bisa dibagi dalam lima periode, diawali dengan perdebatan tentang para pelaku,
langsung sesudah G30S. Pada masa selanjutnya sepanjang Orde Baru berlangsung
monopoli sejarah dengan versi yang distandardisasi sejarawan ABRI. Awal
reformasi merupakan masa di mana korban sudah bisa bersuara dan sudah terdapat
beberapa versi sejarah alternatif. Periode keempat dibuka pada tahun 2009
dengan terjemahan buku John Roosa, yang untuk pertama kalinya merekonstruksi
kejadian dengan sumber dari berbagai pihak. Namun, harus tunggu periode
berikutnya dengan film Jagal (2012) dan Senyap (2014)
yang membuat kasus 1965 ini menjadi pembicaraan kembali di berbagai negara
untuk mendorong dinamika baru di Indonesia.
Pendahuluan
1
Berhentinya Soeharto sebagai Presiden tahun 1998 mengubah sejarah Indonesia
(Adam 2006). Muncul desakan untuk mengungkapkan hal-hal yang ditutup-tutupi
selama Orde Baru serta meluruskan penulisan sejarah (Adam 2000).
2
Kalau ada sumber yang baru, metode atau perspektif baru tentu sejarah dapat
ditulis kembali. Namun ada sesuatu yang khas pada masa Orde Baru bahwa sejarah
itu telah digunakan sebagai alat penindas. Salah satu yang berproses di
Indonesia selama 20 tahun era reformasi ini pada hakikatnya perubahan “sejarah
sebagai penindas” menjadi “sejarah sebagai pembebas”. Pidato pengukuhan guru
besar Bambang Purwanto di Universitas Gadjah Mada tahun 2004 dan kemudian
diterbitkan bersama-sama penulis dalam sebuah buku tipis oleh Ombak Yogyakarta
sebetulnya menyinggung tentang sejarah sebagai pembebas (Purwanto & Adam
2005). Gagasan tentang sejarah sebagai pembebas ini kemudian dikembangkan
sebagai pidato pengukuhan guru besar Singgih Tri Sulistiyono (2008) di
Universitas Diponegoro Semarang dalam konteks yang lebih umum.
Historiografi Indonesia : beberapa pikiran
3
Tulisan ini merupakan sumbangan kepada historiografi Gerakan 30 September
1965. Tidak digunakan label G30S/PKI karena istilah yang digunakan gerakan itu
sendiri adalah Gerakan 30 September, kata PKI baru ditempelkan sejak tahun 1966
dengan penafsiran tunggal bahwa PKI adalah dalang kudeta tersebut. Artikel ini
membahas sejumlah tulisan yang telah terbit mengenai G30S dari tahun 1965
sampai 2018. Selain tulisan juga ditambahkan informasi tentang filem dan
inisiatif yang bersifat sejarah yang berkaitan dengan tema ini.
4
Sejak proklamasi kemerdekaan, penulisan sejarah nasional dapat dibagi atas
tiga tahap atau gelombang seperti yang dikemukakan Kuntowijoyo (2000).
Gelombang pertama disebut sebagai dekolonisasi sejarah yang diawali dengan
Seminar Sejarah Nasional pertama tahun 1957 di Yogyakarta. Pada tahap ini
terdapat keinginan yang kuat dalam masyarakat sesudah merdeka untuk memiliki
sejarah nasional sendiri yang tidak lagi ditulis oleh penjajah Belanda.
Pendekatan sejarah yang Neerlandosentris diubah menjadi pendekatan yang
Indonesiasentris. Gelombang kedua ditandai dengan pemanfaatan ilmu sosial dalam
sejarah yang terlihat secara menonjol pada Seminar Sejarah Nasional II di
Yogyakarta tahun 1970. Pendekatan ini dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo.
Pendekatan ilmu sosial ini memiliki dua keuntungan, pertama secara akademis ia
meningkatkan mutu penulisan sejarah. Secara politis, sejarah bersikap netral
terhadap penguasa bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial. Namun
demikian, pada waktu itu bersamaan muncul pula sejarawan yang melakukan
rekayasa sejarah untuk kepentingan rezim yang memerintah. Sejarah menjadi
alat legitimasi bagi penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang
berseberangan. Sementara itu gelombang ketiga dalam historiografi Indonesia dimulai
sesudah kejatuhan Soeharto dan ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap
hal-hal yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.
5
Pelurusan sejarah yang merupakan gelombang ketiga perkembangan
historiografi Indonesia yang dimulai sejak era reformasi bertujuan membongkar
manipulasi sejarah yang terjadi masa sebelumnya. Fakta sejarah yang tidak tepat
dikoreksi, misalnya pencungkilan mata para jenderal tanggal 1 Oktober 1965
ternyata tidak benar. Penjelasan sejarah yang tidak lengkap perlu
ditambahi : tidak cukup menguraikan Budi Utomo sebagai tonggak kebangkitan
nasional tetapi dilengkapi dengan Sarikat Islam. Sementara sumber sejarah yang
belum jelas perlu dicari misalnya naskah Supersemar yang otentik. Jadi tugas
dari pelurusan sejarah adalah menepatkan, melengkapi, dan memperjelas suatu
peristiwa sejarah.
6
Pembaharuan sejarah kasus 1965 dilaksanakan dengan menggunakan sumber baru
(misalnya arsip yang sudah bisa dibuka di Amerika Serikat dan China),
metodologi sejarah lisan, yang menjadi menonjol ketika dokumen tertulis sulit
didapat, dan perspektif baru (sejarah bukan hanya ditulis penguasa atau
pemenang tetapi juga para korban). Cukup menonjol para era reformasi buku-buku
yang merupakan sejarah korban yakni sejarah yang ditulis berdasarkan perspektif
pihak yang merasa dirugikan atau yang menjadi korban dalam suatu peristiwa
sejarah.
7
Sejarah lisan terutama berkembang di Indonesia dengan proyek penulisan
sejarah penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1970-an. Namun dengan pergantian rezim
tahun 1998, pengerjaan sejarah lisan menemukan momentum baru. Keterbatasan
dokumen tertulis menyebabkan sejarah lisan para korban 1965 ini menjadi
penting. Ribuan orang telah diwawancarai dan kesaksian mereka dapat ditemukan
misalnya pada perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta, atau
pada Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis (IISG), Amsterdam,
(khusus untuk eksil 1965).
8
Pelurusan sejarah itu tentu tidak luput dari kritik. Apakah sejarah yang
sudah dikoreksi itu pada suatu saat nanti juga akan dibengkokkan ? Dalam
hal ini Antoon de Baets (2009) menawarkan solusinya berupa kode etik untuk
sejarawan yang terdiri dari 20 fasal mencakup lingkup, implementasi, tugas
utama (riset sejarah, penerbitan dan pengajaran), pemilihan topik, seleksi
informasi, akses informasi, metode objektif dan kritis, evaluasi moral. Fasal
10 kode etik ini menyangkut aspek yang sangat penting yaitu integritas.
Integritas, menurut De Baets, adalah landasan moral dari kerja sejarawan
sehingga mereka menentang penyalahgunaan sejarah. Tentunya kode etik ini dapat
diterapkan pada lingkungan profesi seperti MSI (Masyarakat Sejarawan
Indonesia).
Menghilangkan stigma
9
Tragedi 1965 tentu dapat dilihat dalam tiga tahap : prolog, peristiwa
G30S, dan epilog. Yang disebut prolog tentu masa yang kurang dari lima tahun
menjelang meletusnya G30S (versi resmi Orde Baru menganggap prolog ini dimulai
sejak tahun 1948). Diikuti pembunuhan enam orang jenderal yang hanya
berlangsung satu malam bahkan beberapa jam pada tanggal 1 Oktober 1965.
Sementara itu epilog atau dampak G30S itu berlangsung sangat lama, sepanjang
Orde Baru yang memerintah selama tiga dekade bahkan trauma itu masih terasa
pada era reformasi.
10
Setelah pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia, terjadi pula
desukarnoisasi melalui “pengamanan” selama bertahun-tahun 15 Menteri yang loyal
kepada Bung Karno, TAP MPRS yang konsiderannya mendiskreditkan Soekarno,
pelarangan peringatan lahirnya Pancasila oleh Kopkamtib sejak 1 Juni 1970,
rekayasa sejarah Pancasila dan penerbitan buku standar Sejarah Nasional
Indonesia, terutama jilid 6.
11
Mereka yang (dituduh) terlibat G30S dan keluarganya ditangkap, dibunuh dan
diberi stigma di tengah masyarakat. Mereka dan keluarganya didiskriminasi,
tidak boleh menjadi pegawai negeri atau anggota ABRI. Pada gilirannya pelabelan
ini juga dipakai oleh rezim Orde Baru untuk keperluan praktis yakni membungkam
musuh politik yang kritis dengan menuduhnya sebagai anggota PKI atau menggusur
petani atau membeli tanah mereka sangat murah dan bila mereka tidak mau akan
dicap komunis.
12
Era reformasi membuka peluang untuk berekspresi dan bersuara. Kini sejarah
menjadi pembebas. Istilah “pelurusan sejarah” sebetulnya dapat diperdebatkan
secara ilmiah, tetapi kata itu menjadi obat atau penawar (healing) bagi
para korban. Karena konsep itu menyiratkan telah terjadi kesalahan atau
kekeliruan sejarah selama tiga dekade dan kini sedang berlangsung proses
perubahan atau perbaikan. Jadi pelurusan sejarah ini merupakan bagian dari
upaya menghilangkan stigma yang dialami para korban dan keluarganya.
13
Menarik untuk membandingkan proses pelurusan sejarah yang terjadi pada tiga
kelompok masyarakat. Yang dua berjalan lancar namun yang satu lagi masih
tersendat. Pelurusan sejarah AURI berjalan mulus. Bahkan purnawirawan AURI yang
meminta agar pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI” dihentikan penayangannya.
Demikian pula kemajuan yang signifikan terjadi dalam penghilangan diskriminasi
dan stigma bagi orang Tionghoa. Konstitusi Indonesia sudah menghapus kata
“asli” sehingga tidak dibedakan lagi antara warganegara Indonesia “keturunan”
atau bukan. Sudah ada tokoh Tionghoa yang menjadi pahlawan nasional sebagaimana
etnis lain di Indonesia yakni John Lie yang diangkat tahun 2009.
14
Namun hambatan masih ditemui pada korban kiri. Penulisan memoar, buku, film
dokumenter bahkan program sejarah di televisi telah mengungkapkan banyak hal
yang ditutupi semasa Orde Baru. Tetapi dalam pengajaran sejarah terjadi
kemunduran terutama sejak kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
tahun 2006 yang hanya mengajarkan versi resmi pemerintah Orde Baru mengenai
G30S. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 diberikan penjelasan
tentang berbagai versi G30S 1965. Namun kurikulum yang sudah disosialisasikan
kepada guru-guru di sekolah selama dua tahun itu tidak jadi disahkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena adanya protes elite Islam kepada DPR.
Pemberian rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat masih
terkendala.
15
Tulisan ini menjelaskan lima tonggak penting historiografi G30S dari tahun
1965 sampai 2018. Episode pertama (1965-1968) berisi perdebatan siapa dalang
G30S : apakah PKI atau ini hanya masalah intern Angkatan Darat ? Pada
tahap kedua (1968-1998) terjadi pembuatan sejarah resmi pemerintah yang hanya
memperbolehkan satu pandangan. Desukarnoisasi juga terjadi pada masa ini (Adam
2007, 2010). Kejatuhan pemerintahan Soeharto tahun 1998 menandai tonggak ketiga
yang merupakan pelurusan sejarah, para korban berbicara dan menulis. Terbitnya
buku John Roosa, Pretext for Mass Murder (2006), yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Dalih
Pembunuhan Massal 2008) menjadi episode keempat, sebuah narasi baru
yang utuh mengenai G30S telah dikemukakan. Pemutaran film Jagal (The
Act of Killing) tahun 2012 dan Senyap (The Look of
Silence) tahun 2014, karya Joshua Oppenheimer, menandai tonggak kelima
dari historiografi G30S ketika para pelaku mengaku. Pembagian periode itu tidak
bersifat ketat, dalam pengertian tidak keseluruhan masa tersebut memiliki
ciri-ciri khas seperti yang diuraikan di sini namun yang lebih signifikan
adalah tonggak-tonggak yang menandai perkembangan historiografi tersebut.
Episode pertama
16
Buku yang pertama dipublikasi tentang Gerakan 30 September 1965
adalah 40 Hari Kegagalan “G30S”, 1 Oktober-10 November 1965, yang
diterbitkan oleh Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Keamanan, atas prakarsa
Jenderal Nasution yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia.
Cetakan pertama dikeluarkan 27 Desember 1965 dengan waktu penyiapan hanya
sebulan. Buku ini walaupun belum menggunakan label G30S/PKI sudah menyinggung
keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta tersebut.
17
Naskah berikutnya tentang G30S yang kemudian dikenal sebagai “Cornell
Paper” keberadaannya terkuak kepada publik Amerika Serikat karena sebuah
tulisan di surat kabar The Washington Post, 5 Maret 1966. Laporan
penelitian tersebut yang ditulis Ben Anderson, Ruth McVey dan F.P. Bunnell,
baru secara resmi diterbitkan tahun 1971. Dokumen ini menyebut percobaan kudeta
tersebut sebagai persoalan intern Angkatan Darat.
18
Tahun 1967 Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad (Sekolah Staf dan Komandan
Angkatan Darat), diundang ke lembaga Rand Corporation, Amerika Serikat. Guy
Jean Pauker dari Rand Corporation memberi tahu Soewarto tentang
keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis
buku tandingan. Oleh sebab itu Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto
dan Letkol (Letnan Kolonel) Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili pelaku G30S, ke Amerika
Serikat. Dengan bantuan Guy Jean Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh
berhasil menulis buku dalam bahasa Inggris, The Coup Attempt of
September 30 Movement in Indonesia, yang ditujukan untuk
menolak Cornell Paper (1968).
19
Tahun 1970-an Benny Murdani menyerahkan berbagai dokumen Mahmilub ke
perpustakaan Cornell University untuk memperlihatkan telah dilakukan pengadilan
(militer) setelah G30S. Termasuk berkas perkara Mahmilub Heru Atmodjo yang
ternyata melampirkan visum et repertum jenazah enam orang
jenderal yang menjadi korban G30S. Dokumen tersebut sempat terbaca oleh Ben
Anderson yang selanjutnya menulis artikel yang menggemparkan pejabat Indonesia.
Tidak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal
(Anderson 1987).
Episode kedua
20
Setelah berhasil melakukan standardisasi sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto
melakukan hal yang sama dalam sejarah nasional. Dalam jilid 6 Sejarah
Nasional Indonesia, yang disunting Nugroho Notosusanto, diberikan
legitimasi kepada Orde Baru sekaligus dilakukan desukarnoisasi. Nugroho
berperan penting dalam mempersoalkan kelahiran Pancasila oleh Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945. Setelah memimpin Pusat Sejarah ABRI, sebelum meninggal
tahun 1985, Nugroho Notosusanto sempat diangkat Presiden Soeharto menjadi Menteri
Pendidikan. Ismail Saleh kelak menjadi Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman.
21
Sebelumnya Nugroho Notosusanto memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan
G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer tahun 1984. Film itu wajib
tayang di layar televisi setiap tanggal 30 September malam. Selanjutnya film
ini dibuatkan novel oleh Arswendo Atmowiloto dengan judul serupa (1988).
22
Buku The Coup Attempt itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia tahun 1989 (ketika salah seorang penulisnya sudah meninggal) dengan
judul Tragedi Nasional, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia. Dirasa
tidak cukup, pemerintah melalui Sekretariat Negara merasa perlu menerbitkan
buku putih Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya tahun 1992. Di penghujung
kekuasaan Orde Baru, tahun 1997 Alex Dinuth menyunting dua buku : Kewaspadaan
Nasional dan Bahaya Laten Komunis dan Dokumen Terpilih Sekitar
G30S/PKI (1997a, 1997b).
23
Karena hanya boleh versi tunggal pemerintah mengenai G30S, maka setiap buku
yang menawarkan versi berbeda dilarang. Tahun 1995 Kejaksaan Agung membredel
buku Bayang-Bayang PKI (Institut Studi Arus Informasi) yang
mencoba menguraikan secara ringkas berbagai versi dalang G30S (Stanley 1995).
Yang menarik, buku Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, yang
edisi Indonesianya terbit tahun 1966, tidak dilarang. Buku itu menambahkan dua
alinea yang tidak terdapat dalam buku asli berbahasa Inggris yang isinya
Soekarno sangat merendahkan Hatta dan Sjahrir.
Episode ketiga
24
Setelah Soeharto berhenti menjadi Presiden tahun 1998 bermunculan gugatan
sejarah. Para korban yang selama tiga puluh tahun dibungkam mulai bersuara,
melakukan serangkaian pertemuan, diskusi, seminar serta pembuatan memoar.
Istilah pelurusan sejarah yang saya lontarkan mendapat sambutan positif dari
korban Orde Baru dan mendatangkan harapan bagi rehabilitasi.
25
Pihak yang pertama melakukan pelurusan sejarah adalah PP AURI (Persatuan
Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia). Mereka menerbitkan buku Menyingkap
Kabut Halim (Katoppo dkk. 2000) untuk menjelaskan bahwa Lubang Buaya,
tempat pembuangan jenasah para jenderal, bukanlah bagian dari Pangkalan
Angkatan Udara Halim Perdanakusuma melainkan termasuk wilayah Pondok Gede.
26
Masih terkait dengan upaya pelurusan sejarah, tahun 2000-2003 Ford
Foundation bekerjasama dengan IKAPI memberikan subsidi untuk penerbitan buku
bermutu yang sulit diterbitkan karena pasarnya terbatas. Penulis bersama
Karlina Supelli dan Bondan Winarno menjadi tim penilai naskah. Buku-buku yang
dibantu program ini antara lain buku Hermawan Sulistyo, Palu Arit di
Ladang Tebu (2000), Robert Cribb, Pembunuhan
Massal di Jawa-Bali 1965/1966 (2003), dan Geoffrey Robinson, Sisi
Gelap Pulau Dewata : Sejarah Kekerasan Politik. Tesis S2 I.G.
Krisnadi (2000) di UI tentang Tahanan Politik Pulau Buru
(1969-1979) serta Memoar Pulau Buru oleh Hersri Setiawan
(2008) termasuk buku yang disubsidi. Demikian pula buku-buku tentang Aksi
Sepihak seperti Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah, yang
berasal dari tesis S2 (2001).
Versi-versi G30S
27
Setelah meletus G30S 1965 muncul versi tentang dalang peristiwa tersebut.
Menganggap dalang itu tunggal (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto atau
CIA), baik perorangan atau kelompok, tentu tidak lengkap karena prosesnya
sangat kompleks. Soekarno menyebut peristiwa itu sebagai pertemuan tiga sebab.
Ini lebih maju karena aktornya terdiri dari unsur dalam negeri dan luar negeri.
Namun tidak secara eksplisit menyebut “oknum yang tidak benar”. John Roosa
telah mencoba membuat sebuah narasi yang utuh mengenai peristiwa itu. Namun
menurut penulis peristiwa itu bukanlah dalih untuk pembunuhan massal, melainkan
dalih untuk pengambilalihan kekuasaan (karena itulah tujuan finalnya).
Pemberontakan PKI
28
Satu Oktober 1965, pembantu Soeharto seperti Yoga Sugama sudah menduga PKI
di balik kudeta. Departemen Pertahanan mengeluarkan buku “40 Hari Kegagalan
‘G-30-S’” (1965). Masih ditulis di antara dua tanda petik, meski analisisnya
mengacu kepada PKI. Tahun 1994 terbit Buku Putih, Gerakan 30 September,
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.
Klik Angkatan Darat
29
Ilmuwan Cornell University, AS, Benedict R. Anderson dan Ruth Mc. Vey
menulis A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 : Coup in
Indonesia(1971), yang kemudian dikenal sebagai Cornell
Paper. Menurut mereka, gerakan 30 September adalah puncak konflik intern di
tubuh Angkatan Darat.
Presiden Soekarno
30
Disampaikan John Hughes (1967) dan Antonie Dake (1973). Skenario yang
dipersiapkan Soekarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. PKI
ikut terseret akibat sangat tergantung kepada Soekarno.
CIA
31
Versi keempat melibatkan CIA dan dikemukakan oleh Peter Dale Scott (1985)
dan Geoffrey Robinson (1984). Dalang utama Gerakan 30 September adalah Badan
Pusat Intelijen Amerika Serikat yang ingin menjatuhkan Soekarno dan kekuatan
komunis (teori domino). CIA bekerja sama dengan sebuah klik Angkatan Darat
untuk memprovokasi PKI.
Tidak ada pelaku tunggal
32
Ini terungkap dalam pidato Nawaksara dan Pelengkap
Nawaksara Soekarno (Mulyosudarmo 1997), yang menganggap Gerakan 30
September adalah sebuah konspirasi unsur-unsur Nekolim
(Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme) untuk menggagalkan jalannya
revolusi Indonesia. Hal ini terjadi karena ditunjang pimpinan PKI yang
“keblinger dan oknum-oknum yang tidak benar”.
Kudeta Merangkak Soeharto dan kudeta merangkak MPRS
33
Teori “Kudeta Merangkak” disampaikan oleh Soebandrio (2001). Ini merupakan
analisis post factum yang dikemukakan dengan melihat rangkaian
kejadian setelah peristiwa itu terjadi (Adam 2007). Analisis Wertheim (1970)
sudah lama mengarah kepada Soeharto. Namun kudeta merangkak itu bukan saja
dilakukan oleh Soeharto dan kelompoknya tetapi dilaksanakan berbarengan dengan
“kudeta merangkak” MPRS (Adam 2010). MPRS berperan sangat besar secara yuridis
untuk mengalihkan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto seperti diuraikan
Suwoto Mulyosudarmo.
Pembantaian 1965
34
Peristiwa G30S 1965 secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di
berbagai daerah di Indonesia. Pembunuhan itu tak pernah diungkapkan dalam
pendidikan sejarah, baik proses maupun jumlah korbannya. Menurut Robert Cribb
(2001), ada beberapa cara untuk menghitung walaupun masing-masing mengandung
kelemahan. Menurut Facts Finding Commission yang dibentuk
setelah peristiwa berdarah tersebut, jumlah korban adalah 78.000 orang.
Kopkamtib dalam salah satu laporannya menyebut angka satu juta jiwa sementara
Robert Cribb menganggap 500.000 orang.
Mereka Yang Terbuang
35
Tahun 1965 ribuan orang Indonesia, diplomat, wartawan, anggota Parlemen,
termasuk Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) yang dikirim Presiden Soekarno untuk
belajar teknologi di luar negeri, terutama di negara sosialis, menjadi
terhalang pulang. Bahkan kewarganegaraan mereka dicabut. Mereka meminta suaka
dari suatu negara ke negara lain atau menurut istilah Gus Dur menjadi
orang kelayapan.
·
1 Sintesis dan bibliografi terbaru
terdapat dalam Chambert-Loir (2016a, 2016b).
36
Beberapa orang di kalangan eksil ini telah menulis memoar1 yang memberi perspektif baru
tentang peristiwa 1965 dan dampaknya. Sebagai contoh, tahun 2006 terbit Memoar
Perempuan Revolusioner berdasar wawancara Hersri Setiawan, mantan
pimpinan Lekra Jawa Tengah, dengan Fransisca Fanggidaej. Perempuan itu
dilahirkan di Timor tahun 1925. Dia aktif pada gerakan pemuda Pesindo (Pemuda
Sosialis Indonesia) dan ikut berjuang dalam pertempuran di Surabaya November
1945. Tahun 1947 ia dikirim ke beberapa negara Eropa dan India untuk mewakili
Indonesia dalam pertemuan internasional pemuda. Di Kalkuta, India, ia mengikuti
kongres pemuda internasional.
37
Tahun 1957 Fransisca diangkat sebagai anggota komisi luar negeri DPRGR/MPRS
mewakili golongan wartawan. Tahun 1965 ia beberapa kali menyertai rombongan
Presiden ke luar negeri termasuk menuju Aljazair tempat Kongres Asia-Afrika
kedua direncanakan namun batal. Fransisca dari Aljazair melanjutkan perjalanan
untuk mengikuti konferensi pemuda di Chile. Di sinilah ia mendengar meletus
G30S dan Fransisca merasa kuatir untuk pulang karena ia termasuk pendukung
Soekarno.
38
Tahun 1965-1985 Fransisca berada di Beijing, ia tidak berani mengontak
keluarganya di Indonesia karena takut membahayakan keselamatan mereka. Anaknya
tujuh orang, yang tertua baru berusia 13 tahun, sementara suaminya juga ikut
ditangkap. Anak-anak terpaksa dititip kepada keluarga dan kenalan baik mereka.
Tahun 1985 Fransisca meminta suaka di negeri Belanda, di sinilah ia baru berani
menelpon anak-anaknya. Dapat dibayangkan betapa beratnya perasaan anak-anak
menerima telpon tersebut, rasa kangen, haru, sedih, mungkin bercampur kesal
juga karena sekian lama tidak ada berita sama sekali. Di Belanda Fransisca
masih aktif dalam Komite Indonesia-Belanda dan yayasan memajukan studi Asia.
39
Salah satu putri Fransisca melahirkan anak lelaki yang kemudian menjadi
aktor terkemuka Indonesia, Reza Rahadian. Fransisca meninggal di Belanda
November 2013. Beberapa waktu sebelumnya Reza dan ibunya menengok. “Oma mengapa
memilih berpisah dengan anak dan cucu ?” Dia bilang : “Seandainya Oma
bisa pulang ke Indonesia, tentu Oma akan kembali. Tapi Oma khawatir kalian
terancam.” Apakah ucapan terakhir Fransisca Fanggidaej kepada cucunya Reza
Rahadian ? “Merdeka itu adalah pulang.”
Diburu di Pulau Buru
40
Judul di atas berasal dari sebuah karya Hersri Setiawan (2008) yang pernah
ditahan di Pulau Buru tahun 1969-1979 (Adam 2008) dan yang aktif dalam membawa
suara para eksil atau eks tapol kepada masyarakat Indonesia. Selama sepuluh
tahun para tapol 65 golongan B sebanyak lebih dari 10.000 orang dibuang ke
Pulau Buru dan diperbudak di sana. Di antaranya terdapat Pramoedya Ananta Toer
yang melahirkan roman tetralogi yang kesohor. Pram mengungkapkan kekejaman di
sana dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu(1995).
41
Tesis pascasarjana di UI tentang Pulau Buru ditulis I.G. Krisnadi (2000),
dosen Universitas Jember dan diterbitkan LP3ES. Baru-baru ini terbit
novel Amba karya Laksmi Pamuntjak (2012) yang berlatar Pulau
Buru. Tahun 2003 penulis diangkat menjadi anggota Pengkajian dan Penyelidikan
Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang beranggotakan 25 orang termasuk Munir. Tim
ini menetapkan salah satu kasus yang dianggap sangat meyakinkan untuk menjerat
Soeharto adalah kasus Pulau Buru 1969-1979.
Stigma sampai anak-cucu
42
Tahun 1981 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi bahwa mereka yang
terlibat G30S dan keluarganya tidak boleh menjadi PNS/ABRI. Stigma sudah
ditempelkan di kening sang anak sungguhpun ia tidak memilih untuk dilahirkan di
tengah keluarga yang tersangkut G30S. Sejak era Reformasi bermunculan buku yang
berasal dari sejarah lisan tentang korban 1965. Yang pertama terbit dan
dikerjakan secara serius adalah Menembus Tirai Asap (Haryo
2003) dan disusul 1965 : Tahun Yang Tidak Pernah
Berakhir (Roosa, Ratih dan Farid, peny., 2004). Memoar dari kalangan
AURI seperti Omar Dani (Surodjo & Soeparno 2001) diluncurkan, demikian pula
dari aktivis kiri. Yang ironis adalah biografi Kiai Haji Achmadi Moestahal
(2002) yang ditarik oleh anaknya sendiri dengan memborong di toko buku. Soe
Tjen Marching (2017), putri seorang korban, melakukan serangkaian wawancara
dengan para korban dan keluarganya (generasi kedua dan ketiga). Maharani
Mancanegara (cucu seorang tapol yang dibuang ke Pulau Buru) menampilkan karya
seni rupa di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung berdasarkan catatan
harian kakeknya (”Fabel untuk Pulau Buru”, Tempo, 5-11 Maret 2018).
Ayah dari Maharani Mancanegara adalah seorang Profesor Riset di LIPI. Yang
menarik adalah munculnya situs Ingat65 untuk berbagi cerita
bagi generasi muda, keluarga korban 65 atau bukan.
43
Buku yang menggegerkan adalah memoar Ribka Tjiptaning yang berjudul Aku
Bangga Jadi Anak PKI (2002). Mungkin pilihan judul itu
merupakan luapan kekesalan terhadap pemerintah Orde Baru. Namun efeknya sungguh
keras pada sebagian kalangan Islam yang anti-komunis. Padahal kalau dibaca isi
bukunya yang terlihat adalah penderitaan seorang anak yang ayahnya pengusaha
yang ditangkap karena dekat dengan PKI. Tjiptaning harus merantau ke ibukota dan
berganti nama agar bisa diterima di sekolah. Bekerja sebagai penjual tiket bis
malam untuk menyambung hidup. Dengan susah payah ia berhasil menamatkan kuliah
di Fakultas Kedokteran UKI. Aktif di organisasi nasionalis, ia kemudian
berhasil menjadi anggota DPR.
44
Bila buku Tjiptaning menghebohkan, maka judul buku Okky Asokawati cukup
menyejukkan, Jangan Menoleh Ke Belakang (Bagdja 2005). Okky
adalah putri AKBP Anwas Tanuamidjaja, Wakil Komandan G30S. Setelah ayahnya
ditangkap dan ditahan selama belasan tahun, keluarga ini harus menghidupi diri
mereka sendiri. Sang ibu memberi les piano dan mengajar bahasa Inggris. Setiap
Minggu mereka mengunjungi sang ayah (dipanggil Bap oleh Okky)
di penjara Cipinang, sambil membawa rantang makanan. Ribka Tjiptaning menjadi
anggota DPR dari Fraksi PDIP dan Okky Asokawati anggota Parlemen mewakili PPP
(Adam 2015). Telah muncul pula buku dari generasi ketiga korban G30S.
Tanggapan pemerintah
45
Walaupun Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang diterbitkan
sejak tahun 1975 dianggap tidak layak dijadikan pegangan seperti dikemukakan
Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono, terdapat upaya untuk merevisi atau melakukan
pemutakhiran buku tersebut yang pada prinsipnya tidak mengubah versi Orde Baru.
Tahun 2008 terbit Sejarah Nasional Indonesia, edisi pemutakhiran,
dengan editor R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa.
46
Pada buku SNI edisi pemutakhiran ini disampaikan bahwa tahun 1967 Presiden
Soekarno menyampaikan pidato di depan paripurna MPRS yang komposisi
keanggotaannya sudah diubah Soeharto. Pidato tersebut menurut buku ini
“mendapat tanggapan dari seluruh rakyat, dengan pendapat Presiden Soekarno
berusaha menambah gawatnya situasi politik”. Padahal Pelengkap
Nawaksara itu mengungkapkan siapa dalang G30S. Buku ini tidak lupa
mengutip harian Berita Yudha 26 Januari 1967 “Para alim ulama
Jabar mengatakan tidak lagi mengakui Presiden Soekarno sebagai Presiden karena
telah melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam dan UUD 1945 serta TAP
MPRS”. Tidak dijelaskan syariat Islam yang mana yang dilanggar Bung Karno.
47
Buku berikutnya adalah Malam Bencana (Abdullah dkk.,
peny., 2012-13) yaitu malam tanggal 30 September 1965 ketika enam orang
jenderal sekaligus terbunuh tidak di medan perang (Adam 2009). Pada jilid
pertama, dalam tulisan Ambarwulan (Pusat Sejarah TNI) dan Aminuddin Kasdi
(Universitas Negeri Surabaya) disimpulkan bahwa “Gerakan 30 September adalah
sebuah pemberontakan yang melibatkan kesadaran penuh seluruh unsur Partai
Komunis Indonesia (PKI) dengan menggunakan sejumlah unsur di TNI AD melalui jalur
rahasia Biro Khusus”. Ini mengulang versi Orde Baru tentang G30S. Lalu
bagaimana keterlibatan Presiden Soekarno ? Menurut Nina Herlina Lubis
“jelas ia ikut terlibat dalam perencanaan G30S, namun pada akhirnya skenario
diambil alih oleh Soeharto…” (buku bagian 1, hlm. 297). Sementara itu Aminuddin
Kasdi mencatat 20 alasan keterlibatan Soekarno dan 6 alasan ketidakterlibatan
Bung Karno (buku bagian 1, hlm. 327-329). Jadi jauh lebih banyak alasan
keterlibatan Presiden Soekarno.
Episode keempat
Narasi Baru
48
Tahun 2008 terbit terjemahan buku John Roosa yang ditulis dalam bahasa asli
tahun 2006 (penerjemah Hersri Setiawan), Dalih Pembunuhan Massal :
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Menurut buku ini kelemahan utama
Gerakan 30 September adalah tidak punya satu komando. Terdapat dua kelompok
pimpinan yakni kalangan militer (Untung, Latief dan Sudjono) dan pihak Biro
Chusus PKI (Sjam, Pono, Bono). Sjam memegang peran sentral karena ia penghubung
antara kedua pihak ini. Namun ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari
Presiden Soekarno bahkan diminta dihentikan, maka kebingungan terjadi. Kedua
kelompok pecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus tetap
melanjutkan. Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan
kedua/ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam.
49
Buku ini menyederhanakan misteri dengan metode detektif. Sjam Kamaruzzaman
bukanlah agen ganda melainkan pembantu setia Aidit sejak bertahun-tahun.
Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap tahun 1968 ini baru dieksekusi tahun
1986. Ia bagai putri Scheherazad yang menunda pembunuhan dirinya dengan
menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu bertahan
1001 malam.
50
Dokumen Supardjo mengungkap mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa
diselamatkan. Kerancuan antara “penyelamatan Presiden Sukarno” dan “percobaan
kudeta” dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Di sisi lain,
jauh sebelum peristiwa berdarah itu, AS telah mendiskusikan segala tindakan
yang perlu untuk mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dahulu sehingga dapat
dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. Karena sudah
tahu sebelumnya, maka Soeharto adalah jenderal yang paling siap tanggal 1
Oktober 1965.
51
Karya ini mengungkapkan bahwa Gerakan 30 September lebih tepat dianggap
sebagai aksi (untuk menculik tujuh jenderal dan menghadapkan kepada Presiden)
bukan sebagai gerakan. Karena peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di
Jakarta yang dilakukan secara serampangan yang dapat diberantas dalam waktu
satu-dua hari ditambah perlawanan tidak berarti di Jawa Tengah. Namun aksi ini
(yang kemudian ternyata menyebabkan tewasnya enam jenderal) kemudian oleh
Soeharto dkk. dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya yang
di lapangan menyebabkan terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari
setengah juta jiwa.
52
Kekuatan buku ini karena menggunakan sumber yang berasal dari orang-orang
yang merupakan lingkaran terdalam peristiwa G30S, yaitu dokumen Supardjo dan
pledoi Iskandar Subekti (yang mengetik pengumuman-pengumuman Gerakan 30
September) serta wawancara mendalam dengan anggota biro Chusus PKI “Hasan”
(nama sebenarnya Asep Suryaman). Sumber-sumber di atas dilengkapi dengan arsip
AS yang telah terbuka dari waktu ke waktu.
Arus Balik
53
Perlawanan muncul terhadap upaya pelurusan sejarah. Buku John Roosa, Dalih
pembunuhan Massal, dilarang Kejaksaan Agung bulan Desember tahun 2009.
Padahal buku ini terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang
ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars,
Kuala Lumpur, 2007. Sebelumnya, tahun 2007, Kejaksaan Agung juga melarang
buku-buku pelajaran sejarah yang dianggap tidak membahas Peristiwa Madiun dan
G30S.
54
Taufiq Ismail menerbitkan buku Katastrofi Mendunia : Marxisma,
Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba tahun 2005 dengan kata
pengantar Taufik Abdullah. Buku ini mengungkapkan korban yang berjatuhan di
seluruh dunia yang dibunuh oleh orang-orang komunis. Namun sesungguhnya yang
terjadi di Indonesia tahun 1965 adalah sebaliknya. Buku senada oleh penulis
yang sama diterbitkan tahun 2015 dengan judul Matine Gusti Allah,
Riwayat Palu Arit Sedunia Menajiskan Tuhan dan Agama.
55
Tahun 2005 Aminuddin Kasdi (guru besar di Universitas Negeri Surabaya)
dengan Dr. Ambar Wulan (Pusat Sejarah TNI) menerbitkan buku G30S
PKI/1965 : Bedah Ceasar Dewan Revolusi Indonesia (pengantar
Shalahuddin Wahid). Tahun 2007 buku senada diterbitkan pengarang yang sama
dengan judul Tragedi Nasional 1965. Aktivis anti-PKI lainnya
seperti Alfian Tanjung (pengajar Universitas Uhamka Jakarta) menerbitkan
beberapa buku yang isinya lebih kurang sama) : Mengganyang
Komunis : langkah & strategi menghadapi kebangkitan PKI (2006),
Menangkal Kebangkitan PKI : strategi perlawanan nasional menjaga keutuhan
NKRI (2007) dan Indikasi dan sistematika Kebangkitan PKI (2006).
Kol. (pur.) Firos Fauzan menerbitkan beberapa buku, antara lain Misteri
Tragedi Nasional 1 Oktober 1965 : Dalang Ganda Biro Khusus PKI (2009), Pengkhianatan
PKI (2009), dan Civil War ala PKI, 1965 : Menyingkap
Dewan Revolusi PKI (2011).
Episode kelima
Film “the Act
of Killing” dibanding “Pengkhianatan G30S/PKI”
56
Selain dari buku John Roosa yang monumental, media lain yang banyak menarik
perhatian adalah film the Act of Killing (dalam bahasa
Indonesia Jagal ; Oppenheimer 2012). Film ini sangat penting
karena para pelaku bersaksi, sebelumnya yang terdengar hanya suara korban.
57
Film ini sebetulnya bisa dibandingkan dengan film “Pengkhianatan G30S/PKI”
dalam berbagai aspek termasuk penggambaran kekerasan. Kedua film tersebut
sungguh luar biasa dalam hal jumlah dan kekhasan penonton. Film “Pengkhianatan
G30S/PKI” (selanjutnya disingkat PG) ditonton oleh jutaan penonton selama 14
tahun (1984-1997). Film “The Act of Killing” (selanjutnya disingkat AK) diputar
pada hampir semua pertemuan ilmiah yang diadakan pengamat Indonesia di benua
Australia, Asia, Eropa dan Amerika tahun 2012-2013. Di Indonesia film ini
diputar di beberapa perguruan tinggi dan lembaga advokasi.
58
Dari sisi keberhasilan menarik penonton dan penghargaan, dua film tersebut
berhasil tetapi dalam konteks yang sangat berbeda. Arifin C. Noer mendapat penghargaan
di negaranya sendiri sebagai penulis skenario terbaik dalam Festival Film
Indonesia tahun 1984. Sementara itu AK telah menyabet penghargaan dalam
festival film di Istanbul, Valenciennes, Warsawa, Barcelona dan dinominasikan
sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar. Namun demikian, AK belum bisa
dikatakan berdampak seperti PG di Indonesia. Meskipun bisa diakses dengan mudah
dalam versi asli di internet (sesuai keinginan Joshua Oppenheimer) dan dibuat
setelah melakukan riset selama delapan tahun, AK belum bisa melawan narasi Orde
Baru secara keseluruhan karena propaganda rezim Soeharto begitu kuat.
Film Senyap
59
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember (sebagaimana diberitakan
Tempo.co, 10 Desember 2014) dimeriahkan dengan pemutaran film Senyap atau The
Look of Silence (Oppenheimer 2014). Film tersebut diputar
serentak di seluruh Indonesia pada 457 titik, yang 160 di antaranya merupakan
pemutaran terbuka dari Aceh sampai Papua, seperti Banda Aceh, Padang,
Pekanbaru, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Bandung, Cianjur,
Yogyakarta, Purwokerto, Solo, Semarang, Kediri, Malang, Jember, Makassar, Palu,
Manado, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Jayapura, dan Wamena. Pemutaran
tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga jaringan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.
60
Senyap menceritakan salah seorang anggota keluarga korban di Indonesia yang
menemui para pelaku pembunuhan. Adi Rukun, adik bungsu korban, bertekad memecah
belenggu kesenyapan dengan mendatangi para pembunuh kakaknya untuk mengungkap
kebenaran dan menapaki rekonsiliasi.
IPT-65 di Den Haag, November 2015
61
Pada bulan November 2015 berlangsung International People’s
Tribunalmengenai kasus 1965 di Den Haag, Belanda. Di dalam keputusannya,
tujuh majelis hakim internasional yang dipimpin Zak Jacoob dari Afrika Selatan
memutuskan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia yang mencakup
pembunuhan, penahanan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan
seksual (Final Report IPT-65, 2017).
62
Pengadilan rakyat ini tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa terhadap
pemerintah Indonesia kecuali tekanan moral. Namun pengadilan ini memiliki cukup
dampak terlihat dari penyelenggaraan simposium mengenai 1965 di Hotel Aryaduta
Jakarta, April 2016, yang untuk pertama kalinya dibiayai oleh pemerintah.
63
Dari sisi lain, pengadilan ini diikuti terbitnya beberapa buku. Untuk
menyiapkan tuntutan dalam IPT-65, beberapa peneliti telah mengumpulkan banyak
dokumen dan tulisan yang terkait kejahatan kemanusiaan 1965. Selain dari Laporan
Final IPT-65 (Van Klinken 2017), Dari Beranda Tribunal : Bunga
Rampai Kisah Relawan (Santoso dkk. 2017), bulan Februari/Maret 2018
telah terbit tiga buku mengenai pembunuhan massal 1965, yaitu Geoffrey
Robinson, The Killing Season, A History of the Indonesian Massacres,
1965-66, dan Jess Melvin, The Army and The Indonesian Genocide,
Mechanics of Mass Murder,serta Katherine McGregor, Jess Melvin, Annie
Pohlman (eds), The Indonesian Genocide of 1965 : Causes, Dynamics
and Legacies.
Masalah rekonsiliasi
64
Persoalan rekonsiliasi dibahas dalam karya akademis di luar negeri. Juni
2003 Budiawan mempertahankan disertasi di National University of Singapore
dengan judul Breaking the Immortalized Past : Anti-Communist,
Discourse and Reconciliatory Politics in Post-Soeharto Indonesia yang
kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Elsam Mematahkan Pewarisan
Ingatan : Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (2004).
65
Disertasi berikutnya berasal dari Ahmad Suhelmi (Ph.D. ilmu politik,
Department of Political Science, International Islamic University Malaysia,
Kuala Lumpur, 2005) berjudul Muslim Political Elite and the Revival of
the Left in Indonesian Politics, 1996-2001. Disertasi itu kemudian
diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Islam dan Kiri, Respons
Elite Politik Islam Terhadap Isu Kebangkitan Komunis Pasca Soeharto (2007).
66
Secara hukum, rekonsiliasi diupayakan melalui Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disahkan Presiden Megawati September 2004.
Namun kemudian Undang-Undang tersebut dibatalkan dengan ultra petita oleh
Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Asshidiqie tahun 2006. Undang-Undang
itu telah dirobohkan sebelum komisi tersebut terbentuk (Adam 2006).
67
Pada akhir Desember 2013 Pengurus Besar Nahdatul Ulama yang diprakarsai
As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN, menerbitkan “buku putih” tentang
sejarah hubungan mereka dengan PKI (2013). Sebelumnya sikap kenegarawanan telah
ditunjukkan KH Abdurrachman Wahid yang pada 14 Maret 2000 mengatakan, ketika
menjabat ketua umum PBNU ia sudah meminta maaf kepada para korban Gerakan 30
September. Tahun 2002 rekonsiliasi justru dipelopori oleh anak-anak muda NU
yang tergabung dalam Syarikat (santri untuk advokasi masyarakat), mula-mula di
Yogyakarta dan meluas ke seluruh Pulau Jawa.
68
Masih di Jawa Timur, sebelum menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan juga
mempelopori rekonsiliasi dengan mengundang aktivis PKI, Soemarsono, Gubernur
Militer Madiun 1948 dan tokoh pemuda Surabaya November 1945, untuk silaturahmi
di pesantren keluarganya di Magetan Jawa Timur.
69
Pada lapisan lain di kalangan putra-putri tokoh yang orang tuanya dulu
pernah berkonflik, terjadi rekonsiliasi. Pada Forum Silaturahmi Anak Bangsa
yang memiliki visi “berhenti mewariskan konflik, tidak membuat konflik baru”
terdapat Amelia Yani, Ilham Aidit, Sarjono Kartosuwiryo, Ferry Omar Dani,
Chalid Prawiranegara. Penasihat organisasi ini Letjen (pur.) Agus Wijoyo yang
merupakan putra pahlawan revolusi Sutojo. Mereka menerbitkan buku yang
berjudul Children of War tahun 2013.
70
Di kalangan masyarakat, sebuah kelompok yang terdiri dari korban perempuan
telah memilih bercerita sambil berlagu membagi pengalaman, tanpa penuntutan.
Paduan suara Ibu-ibu Dialita memilih lagu-lagu bersejarah seperti lagu “Taman
Bunga Plantungan” karya Ibu Nungtjik, atau lagu “Untuk Anakku” karya Ibu
Heryani Busono yang direkam di CD Dunia milik kita(2016).
Kesimpulan
71
Lima puluh tahun studi mengenai G30S sejak tahun 1965 sampai 2018 dapat
dibagi atas lima episode. Pada episode pertama terjadi perdebatan tentang siapa
dalang G30S : apakah PKI atau ini hanya masalah internal Angkatan Darat.
Dalam episode kedua, Orde Baru sudah berkuasa penuh dan melakukan monopoli
sejarah, hanya satu versi yang diperbolehkan untuk diketahui masyarakat dan
dipelajari siswa. Kejatuhan Soeharto tahun 1998 menandai episode ketiga ketika
para korban berbicara dan menulis. Terbitnya buku John Roosa, Dalih
Pembunuhan Massal, tahun 2008, menandai episode keempat dengan munculnya
narasi baru yang utuh mengenai G30S. Episode kelima dimulai ketika para pelaku
mengaku seperti terlihat pada film Jagal (2012) dan Senyap (2014)
yang dibuat Joshua Oppenheimer.
72
Dari buku-buku yang terbit (kembali) pada episode ketiga sejak 1998 tampak
bahwa studi G30S paling sedikit mencakup lima aspek yaitu 1) peristiwa G30S itu
sendiri termasuk siapa dalangnya, 2) Pembunuhan massal tahun 1965/1966, 3)
Eksil, pencabutan kewarganegaraan orang-orang Indonesia yang sedang berada di
luar negeri, 4) Pembuangan paksa ke Pulau Buru, 5) Stigma terhadap korban dan
keluarganya. Pemilahan ini dapat membantu pemerintah dalam penyelesaian kasus
1965.
73
Pembaharuan historiografi peristiwa 1965 di Indonesia terjadi karena
beberapa alasan. Sumber baru ditemukan melalui arsip di dalam dan di luar
negeri. Bahan sejarah lisan memperkuat keterbatasan arsip tertulis mengenai
peristiwa 1965. Yang lebih penting lagi sejarah kini ditulis bukan saja dari
perspektif pemenang tetapi juga oleh korban. Kalau dahulu sejarah itu digunakan
pula antara lain sebagai alat penindas, sekarang sejarah bermanfaat sebagai
medium pembebas bagi para penyintas atau survivor.
74
Dari pihak korban, secara nasional wilayah penelitian kian meluas. Dulu
hanya dikenal Jawa, Bali dan Sumatera. Sudah ada penelitian tentang kamp
penahanan di Moncongloe, Sulawesi Selatan, yang berasal dari tesis pascasarjana
di UNHAS (Universitas Hasanuddin, Makassar) dan telah diterbitkan. Yang menarik
pula Walikota Palu telah mengeluarkan keputusan menyangkut rehabilitasi korban
1965. Putu Oka Sukanta menyunting buku tentang pengalaman para korban di
Sulawesi.
75
Terdapat perkembangan yang menggembirakan dari sudut sejarah dengan dibukanya
arsip seputar tahun 1965 di Rusia, Tiongkok (arsip Departemen Luar Negeri) dan
Jepang. Tahun 2013 diterbitkan buku 1965, Indonesia and The World,
Indonesia dan Dunia berdasarkan seminar yang diadakan Goethe Institut
dua tahun sebelumnya di Jakarta (Schaefer and Wardaya 2013).
76
Seminar internasional tentang G30S 1965 diadakan di Singapura tahun 2009,
Canberra 2012, secara simultan di STF Driyarkara Jakarta, Toronto, Melbourne
dan London melalui teleconference tahun 2014, Amsterdam Oktober 2015 dan
Frankfurt November 2016. Pada Juni 2014 diadakan lokakarya di Osaka
membicarakan tentang Politicide 1965. Kerjasama antara
sejarawan Indonesia dan sejarawan asing bisa dilihat dalam hampir semua seminar
dan terbitan kolektif. Usaha-usaha akademis itu mendorong pembaharuan
historiografi tetapi berasal dari kalangan yang terbatas, tidak menyentuh para
pengambil keputusan politik.
·
2 Lihat Wieringa dalam keluaran ini.
77
Penyelenggaraan IPT 65 di Den Haag, November 2015, mendorong pelaksanaan
Simposium 1965 yang untuk pertama kalinya dibiayai pemerintah di hotel Aryaduta
Jakarta, April 2016. Penolakan terhadap penyelenggarannya menyebabkan diadakan
simposium tandingan di Balai Kartini sesudah itu. Pembatalan seminar 1965 yang
akan diselenggarakan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),
penyerangan ke kantor LBH Jakarta medio September 20172, dan perintah Panglima TNI, Jenderal
Gatot Nurmantyo, kepada prajurit untuk menonton film Pengkhianatan
G30S/PKI tanggal 30 September 2017, telah menjadikan isu anti-komunis
sebagai cara menggalang kekuatan kalangan Islam dalam Pemilihan serempak Kepala
Daerah Juni 2018 dan meningkatkan populeritas calon menjelang Pemilihan
Presiden April 2019.
Bibliographie
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman, 2000,
“Pengendalian Sejarah Demi Kekuasaan”, dalamJ.B. Kristanto
(peny.), Seribu Tahun Nusantara. Jakarta : Kompas,
p. 203-219.
Adam, Asvi Warman, 2006, Soeharto
Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Ombak (terbitan pertama
2004).
Adam, Asvi Warman, 2007, Seabad
Kontroversi Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Adam, Asvi Warman, 2008,
“Epilog” dalam Hersri Setiawan, Memoar Pulau
Buru. Magelang : Indonesia Tera, p. 592-601.
Adam, Asvi Warman, 2009, Membongkar
Manipulasi Sejarah. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Adam, Asvi Warman, 2010, Menguak
Misteri Sejarah. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Adam, Asvi Warman, 2015, Melawan
Lupa, Menepis Stigma, Setelah Prahara 1965. Jakarta : Penerbit
Buku Kompas.
Adams, Cindy, 1966, Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat (penerjemah : Mayor Abdul Bar Salim).
Jakarta : Gunung Agung (edisi revisi tahun 2007 diterjemahkan Syamsul
Hadi).
Anderson, Benedict, 1987, “How Did
the Generals Die ?”, Indonesia 43, p. 109-134.
Anderson, Benedict, Mc Vey, Ruth,
Bunnel, F.P., 1971. Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in
Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca : Cornell
University, Publication No. 52.
As’ad Said Ali, 2013, Benturan
NU-PKI, 1948-1965. Jakarta : PBNU.
Atmowiloto, Arswendo, 1988, Pengkhianatan
G30S/PKI. Jakarta : Sinar Harapan.
de Baets, Antoon, 2009, Responsible
History. New York, NY : Berghahn Books.
Bagdja, Muara, 2005, Okky Asokawati :
Jangan Menoleh Ke Belakang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Budiawan, 2004, Mematahkan
Pewarisan Ingatan : Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi
Pasca-Soeharto. Jakarta : Elsam (terjemahan dari disertasi pada
NUS Singapore berjudul Breaking the Immortalized Past :
Anti-Communist, Discourse and Reconciliatory Politics in Post-Soeharto
Indonesia, 2003).
Chambert-Loir, Henri, 2016a, “Locked
Out : Literature of the Indonesian Exiles Post-1965”, Archipel 91,
p. 119-145.
Chambert-Loir, Henri, 2016b,
“Bibliography of Exile Literature (Sastra Eksil)”, Archipel 91,
p. 177-183.
Cribb, Robert, 2003, Pembunuhan
Massal di Jawa-Bali 1965/1966. Yogyakarta : Mata Bangsa
bekerjasama dengan Syarikat Indonesia (terjemahan dari The Indonesian
killings of 1965–1965 : studies from Java and Bali, Clayton,
Vic. : Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1990).
Cribb, Robert, 2001, “How
Many Deaths ? Problems in the statistics of massacre in Indonesia
(1965-1966) and East Timor (1975-1980),” dalamIngrid Wesel and
Georgia Wimhofer (eds), Violence in Indonesia. Hamburg :
Abera-Verl., p. 82-99.
Dake, Antonie C.A., 1973, In
The Spirit of The Red Banteng, Indonesian Communists Between Moscow and
Peking. The Hague : Mouton.
Dialita (paduan suara), 2016, Dunia
Milik Kita, CD.
Dinuth, Alex (penyunting), 1997a, Kewaspadaan
Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta : Intermasa.
Dinuth, Alex (penyunting), 1997b, Dokumen
Terpilih Sekitar G30S/PKI. Jakarta : Intermasa.
Fauzan, Firos, 2009, Pengkhianatan
PKI (Partai Komunis Indonesia). Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.
Fauzan, Firos, 2009, Misteri
Tragedi Nasional 1 Oktober 1965 : Dalang Ganda Biro Khusus.
Jakarta : Fauzan Firos.
Fauzan, Firos, 2011, Civil
War ala PKI, 1965 : Menyingkap Dewan Revolusi PKI. Jakarta :
Accelerate Foundation.
Forum Silaturahmi Anak Bangsa,
2013, The Children of War. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Haryo, H.D., 2003, Menembus
Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965. Jakarta : Lontar.
Hughes, John, 2014, The End
of Sukarno, A Coup that Misfired : A Purge that Ran Wild. Singapore :
EDM (edisi pertama, 1967).
Ismail, Taufiq, 2005, Katastrofi
Mendunia, Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba.
Jakarta : Yayasan Titik Infinitum.
Ismail, Taufiq, 2015, Matine
Gusti Allah, Riwayat Palu Arit Sedunia Menajiskan Tuhan dan Agama.
Jakarta : Mahaka Publishing.
Kasdi, Aminuddin, 2001, Kaum
Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965.
Yogyakarta : Jendela.
Kasdi, Aminuddin & G. Ambar
Wulan, 2005, G30S PKI/1965, Bedah Ceasar Dewan Revolusi Indonesia.
Surabaya : Java Pustaka Media Utama.
Kasdi, Aminuddin & G. Ambar
Wulan, 2007, Tragedi nasional 1965. Surabaya : UNESA
University Press.
Katoppo, Aristides dkk., 2000, Menyingkap
Kabut Halim. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Van Klinken, Helene (ed),
2017, Final Report of The International People’s Tribunal on Crimes
against Humanity in Indonesia 1965. The Hague-Jakarta : IPT 65
Foundation.
Krisnadi, I.G., 2000, Tahanan
Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta : LP3ES.
Kuntowijoyo, 2000, “Indonesian
historiography in search of identity,”Humaniora 12 (1), p. 79-85.
McGregor, Katharine, Jess Melvin
& Annie Pohlman (eds), 2018, The Indonesian Genocide of 1965 :
Causes, Dynamics,and Legacies. Cham, Switzerland : Palgrave Macmillan.
Melvin, Jess, 2018, The Army
and The Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder. New York :
Routledge.
Moestahal, Achmadi, 2002, Dari
Gontor ke Pulau Buru. Yogyakarta : Syarikat.
Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan
Kekuasaan : Kajian Teoretis dan Yuridis atas Pidato Nawaksara.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Notosusanto, Nugroho & Ismail
Saleh, 1968, The Coup Attempt of September 30 Movement in
Indonesia. Jakarta : Pembimbing Masa (Diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia : Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh, Tragedi
Nasional : percobaan kup G30S/PKI di Indonesia, Jakarta, Intermasa,
1989).
Pamuntjak, Laksmi, 2012, Amba.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Purwanto, Bambang & Asvi Warman
Adam, 2005, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta :
Ombak.
Robinson, Geoffrey, 1984, “Some
arguments Concerning US Influences and Complicity in the Indonesian ‘Coup’ of
Octobre 1, 1965,” unpublished manuscript (Diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia : Argumentasi Atas Pengaruh dan Keterlibatan
Amerika Serikat Dalam Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, Jakarta :
Teplok Press, 2000).
Robinson, Geoffrey, 2005, Sisi
Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta : LkiS
(Diterjemahkan dari The Dark Side of Paradise : Political Violence
in Bali. Ithaca, NY : Cornell University Press, 1995).
Robinson, Geoffrey, 2018, The
Killing Season, a History of the Indonesian Massacres,1965-1966.
Princeton : Princeton University Press.
Roosa, John, 2008, Dalih
Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto. Jakarta : Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra (Diterjemahkan dari Pretext for Mass Murder : The September
30th Movement and Soeharto Coup d’Etat in Indonesia, Madison, The
University of Wisconsin Press, 2006).
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
(eds), 2004, Tahun yang Tak Pernah Berakhir. Memahami
Pengalaman Korban 1965. Esai-Esai Sejarah Lisan.Jakarta : Elsam, TRUK
dan ISSI.
Santoso, Aboeprijadi dkk. (peny.),
2017, Dari Beranda Tribunal. Bandung : Ultimus.
Schaefer, Bernd & Baskara
Wardaya, 2013, 1965, Indonesia and The World, Indonesia dan Dunia.
Jakarta : Goethe Institut and Gramedia Pustaka Utama (bilingual edition).
Scott, Peter Dale, 1985, “The United
States and the Overthrow of Sukarno 1965-1967,” Pacific Affairs 58,
p. 239-264.
Sekretariat Negara, 1992, Gerakan
30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan
Penumpasannya. Jakarta : PT Ghalia atas ijin Sekretariat Negara
RI.
Setiawan, Hersri & Fransisca
Fanggidaej, 2006, Memoar Perempuan Revolusioner. Yogyakarta :
Galang Press.
Setiawan, Hersri, 2008, Memoar
Pulau Buru. Magelang : Indonesia Tera.
Soebandrio, 2001, Kesaksianku
tentang G30S. Jakarta, Forum Pendukung Reformasi Total.
Soejono, R.P. dan R.Z. Leirissa,
2008, Sejarah Nasional Indonesia, edisi pemutakhiran.
Jakarta : Balai Pustaka.
Soe Tjen Marching, 2017, The
End of Silence, Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia.
Amsterdam : Amsterdam University Press.
Stanley (penyunting), 1995, Bayang-Bayang
PKI. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi.
Suhelmi, Ahmad, 2007, Islam
dan Kiri, Respons Elite Politik Islam Terhadap Isu Kebangkitan Komunis Pasca
Soeharto. Bandung : Serambi (terjemahan dari disertasi pada
International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, berjudul Muslim
Political Elite and the Revival of the Left in Indonesian Politics, 1996-2001, tahun
2005).
Sulistiyono, Singgih Tri,
2008, Historiografi Pembebasan untuk Indonesia Baru, pidato
pengukuhan guru besar sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro,
Semarang, 15 Maret 2008.
Sulistyo, Hermawan, 2000, Palu
Arit di Ladang Tebu. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Surodjo, Benedicta A. &
Soeparno, J.M.V., 2001, Pledoi Omar Dani, Tuhan Pergunakan
Hati, Pikiran dan Tanganku. Jakarta : ISAI.
Tanjung, Alfian, 2006, Mengganyang
Komunis, Langkah & Strategi Menghadapi Kebangkitan PKI. Jakarta :
Taruna Muslim Press.
Tanjung, Alfian, 2006, Indikasi
dan sistimatika kebangkitan PKI. Jakarta : Taruna Muslim Press.
Tanjung, Alfian, 2007, Menangkal
Kebangkitan PKI, Strategi Perlawanan Nasional Menjaga Keutuhan NKRI.
Jakarta : Taruna Muslim Press.
Tjiptaning, Ribka, 2002, Aku
Bangga Jadi Anak PKI. Jakarta : Cipta Lestari.
Toer, Pramoedya Ananta, 1995, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu. Jakarta : Lentera.
Wertheim, W.F., 1970, “Suharto and
the Untung Coup : The Missing Link,” Journal of Contemporary Asia 1(2),
p. 20-57.
Notes
1 Sintesis dan bibliografi terbaru
terdapat dalam Chambert-Loir (2016a, 2016b).
2 Lihat Wieringa dalam keluaran ini.
Pour citer cet article
Référence papier
Asvi Warman Adam, « Beberapa Catatan
Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965 », Archipel,
95 | 2018, 11-30.
Référence électronique
Asvi Warman Adam, « Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965 », Archipel [En
ligne], 95 | 2018, mis en ligne le 01 juillet 2018, consulté le 26
juillet 2018. URL : http://journals.openedition.org/archipel/604 ;
DOI : 10.4000/archipel.604
Sumber: Journals
0 komentar:
Posting Komentar