Oleh:
Dika Irawan & Diena Lestari 10 Agustus 2018 | 02:00 WIB
Indonesia beruntung memiliki maestro seni lukis seperti
Hendra Gunawan. Semasa hidupnya, dia berjuang menyuarakan suara rakyat lewat
lukisan-lukisannya. Kepeduliannya terhadap bidang kesenian, tak dapat
diragukan.
Namun, dunia seni rupa Indonesia juga mujur memiliki sosok kolektor
seperti Dr (HC) Ir. Ciputra. Pengusaha sukses di bidang properti ini tidak
sekadar pengumpul lukisan-lukisan Hendra, tetapi juga menjaga hasil karya
sahabatnya dengan sepenuh hati.
Janji seorang Ciputra untuk membuatkan museum yang menyimpan karya dan
mengenalkan sosok Hendra Gunawan kepada generasi muda pun terwujud. Pada
Agustus ini, Begawan Properti bahkan menggelar peringatan 100 Tahun Hendra
Gunawan.
Ajang yang berlangsung hingga 12 Agustus di Ciputra Artpreneur Jakarta
ini, memamerkan lukisan karya sang maestro yang belum pernah diperlihatkan
kepada para pencinta seni. Pameran ini mengangkat tajuk Prisoner of Hope dan
dikuratori oleh Agus Dermawan T. dan Aminudin TH Siregar.
Karya yang dipamerkan di Prisoner of Hope sangat kental dengan nilai
kemanusiaan melalui teladan Hendra Gunawan sebagai pelukis. Pascapemberontakan
G30S/PKI, Hendra harus mendekam di balik jeruji besi.
Stigma sebagai seniman komunis dan hidup menderita sebagai tahanan politik
tidak lantas membuatnya berkecil hati. Semangatnya untuk berkarya tetap hidup.
Hendra melampaui penderitaan dirinya itu sebagai risiko atas komitmennya
membela kemanusiaan.
Salah satu kurator sekaligus kritikus seni Agus Dermawan T. tidak sepakat
jika Hendra Gunawan dituduh sebagai komunis. Justru Hendra adalah filosof dan
pejuang yang kerap melukiskan kondisi rakyat kecil karena empati dan keinginan
untuk dekat dengan rakyat.
Kebetulan dia melihat visi tentang kerakyatan diusung oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI). Akhirnya Hendra pun bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), salah satu organisasi underbow PKI.
“Hampir semua seniman masuk [Lekra] pada saat itu. Jadi melihat kesamaan visi saja, sehingga mereka sepakat masuk [menjadi anggota], tetapi bukan berarti menjadi komunis,” jelasnya.
Penulis buku berjudul Surga Kemelut Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai
Terali Besi ini mengatakan bahwa Hendra bukan partisan politik.
Ketertarikannya
terhadap kerakyatan yang membuatnya menjadikan rakyat sebagai objek lukisan.
“Reputasi seni, ketajaman pikiran dan luasnya pergaulan Hendra pada suatu era
menjadi idaman para pengelola organisasi politik. Hendra pun serta merta
dilibatkan dan melibatkan diri dalam politik,” katanya.
Senada, Ciputra mengatakan bahwa tuduhan yang dilekatkan bahwa Hendra
Gunawan adalah komunis tidak tepat. Dia menilai, Hendra justru berjuang melawan
penindasan melalui karya lukisnya.
“Dia adalah pelukis rakyat. Hampir semua karya-karyanya menggambarkan manusia Indonesia kelas bawah. Tak ada gedung-gedung tinggi menjulang, dan manusia modern Indonesia dalam karyanya.”
Pada pameran yang diselenggarakan oleh Ciputra Artpreneur ini terlihat
lukisan karya Hendra dari era post-revolusi dan post-politik. Ciri-ciri dari
muatan lukisan periode ini adalah menonjolnya aspek human-interest, yang dalam
tema menghadirkan hubungan harmoni antarmanusia.
Para pencinta seni dapat menikmati karya a.l. berjudul Tukang Duren,
Penari Ular, Menangkap Kupu-kupu, Menyusui, dan Wanita Mencuci di Tepi Kali.
Sebagian besar lukisan post-revolusi dan post-politik yang diciptakan
dalam penjara diberi tanda KW, singkatan dari Kebon Waru.
Jatuh Cinta
Tercatat sebagai kolektor terbesar lukisan dari Hendra Gunawan, dapat
dikatakan bahwa sosok Ciputra jatuh cinta pada pandangan pertama dari karya
seniman kelahiran 11 Juni 1918 tersebut.
“Saya akui [kehebatan] seniman-seniman lain [Basoeki Abdullah, Affandi, dan S. Sudjojono], tetapi yang paling saya kagumi adalah Hendra Gunawan. Karyanya sungguh luar biasa. Mulai dari warna, kompsisi, dan figur yang dilukisnya,” tuturnya.
Dalam pandangan Ciputra, warna-warna yang menjadi pilihan Hendra saat
melukis sangat menari. Keterampilan Hendra menarikan jemari di atas kanvas
tidak luput dari perhatian Ciputra.
“Hendra itu langsung melukis tanpa foto atau objek di depan mata. Semua konsep ada dalam pikirannya, dan langsung dituangkan pada kanvas. Dia tidak pernah mengulang atau mengoreksi karya. Dia sangat pasti dalam melukis. Pilihan warnanya juga luar biasa,” ujarnya.
Saat ini, lebih dari 100 lukisan karya Hendra Gunawan yang dimiliki oleh
Ciputra. Di antara koleksinya tersebut, Ciputra sangat mengagumi karya Hendra
yang bertajuk Pangeran Diponegoro Terluka (cat minyak pada kanvas, 204 x 495
cm, 1982).
Lukisan ini menyimpan misteri karena Hendra tidak menyelesaikan gambar
wajah Pangeran Diponegoro. Hendra sendiri tidak menjelaskan kenapa tidak
melanjutkan gambar itu. Hingga pelukis itu meninggal belum diketahui alasan tak
merampungkan karyanya itu.
“Masih misterius,” tuturnya.
Melalui pameran Prisoner of Hope, Ciputra berharap para pencinta seni
dapat mengapresiasi karya salah satu maestro seni lukis Indonesia. Menurutnya,
Hendra adalah pelukis langka dan memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh
seniman lainnya. Di belahan dunia lain, tak ada seniman yang menyamai pencapaiannya.
Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra Sastrawinata
menambahkan, dalam peringatan 100 tahun Hendra Gunawan juga digelar workshop
tentang terapi lewat seni. Menurutnya, publik belum banyak mengetahui bahwa
terapi melalui seni sangat bermanfaat.
Rina menjelaskan, workshop ini dipilih karena sejalan dengan gagasan
Hendra.
“Sewaktu di penjara, Hendra tetap aktif memberikan pengajaran tentang tarian, senandung, dan nyanyian. Jadi kami melihat ada hal positif yang Hendra tularkan melalui hal tersebut.”
Editor: Diena Lestari
Sumber:
http://surabaya.bisnis.com/read/20180810/466/826296/100-tahun-hendra-gunawan-satu-kisah-dari-kebon-waru
0 komentar:
Posting Komentar