Oleh: Haris Prabowo - 12 Agustus 2018
Dua orang yang bakal maju pada pemilihan presiden tahun depan punya catatan tak menyenangkan terkait HAM.
Pemilihan presiden 2019 telah memasuki babak baru dengan munculnya dua kandidat yang dipastikan bakal bersaing memperebutkan suara masyarakat: Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana berdampingan dengan Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto dengan Sandiaga Salahuddin Uno.
Namun, ada catatan dari empat orang capres dan cawapres di atas kaitannya dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Dua orang di antara mereka punya rekam jejak yang sama sekali tidak mulus soal HAM.
Pada pihak pertama ada Prabowo Subianto. Namanya kerap dikaitkan dengan penghilangan paksa aktivis pro-reformasi pada 1996-1998. Ia bahkan dipecat dari dinas militer karena masalah itu. Pun pada kubu satunya lagi. Ma'ruf Amin adalah otak di balik beragam fatwa yang menyudutkan kelompok marjinal.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan keduanya punya rekam jejak yang sama.
Namun, ada catatan dari empat orang capres dan cawapres di atas kaitannya dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Dua orang di antara mereka punya rekam jejak yang sama sekali tidak mulus soal HAM.
Pada pihak pertama ada Prabowo Subianto. Namanya kerap dikaitkan dengan penghilangan paksa aktivis pro-reformasi pada 1996-1998. Ia bahkan dipecat dari dinas militer karena masalah itu. Pun pada kubu satunya lagi. Ma'ruf Amin adalah otak di balik beragam fatwa yang menyudutkan kelompok marjinal.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan keduanya punya rekam jejak yang sama.
"Kita tahu kelompok apa yang mendukung Prabowo dan kawan-kawan, banyak dari mereka, tentu saja tidak semua, terlibat kasus-kasus intoleransi. Sedangkan Ma'ruf Amin, dalam catatan kami, mengeluarkan fatwa-fatwa yang menimbulkan diskriminasi, bahkan kekerasan kepada minoritas," kata Asfin kepada Tirto, Minggu (12/8/18).Ada banyak cela Ma'ruf, salah satunya ketika 2016 lalu menjadi salah satu saksi yang memberatkan Basuki Tjahaja Purnama dalam persidangan atas tuduhan penodaan agama. Pernyataan ini turut membikin Ahok, yang ketika itu masih jadi Gubernur DKI, mendekam di sel.
Pada 2005, dalam Munas VII MUI, Ma'ruf Amin yang ketika itu menjabat Komisi Fatwa MUI memutuskan Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan.
"Kami juga meminta pemerintah melarang aliran Ahmadiyah," katanya kala itu, seperti dikutip dari Detik.Menurut Asfin, MUI memang punya hak untuk mengeluarkan fatwa. Namun MUI sudah melebihi kewenangan mereka karena dalam keputusan yang sama juga meminta pemerintah pusat menutup rumah ibadah Ahmadiyah.
"Itu sudah melampaui wewenang pendapat keagamaan. Tahun 1980an ada pandangan terhadap Ahamdiyah yang sangat berbeda, tapi tidak bisa meminta negara untuk mengeksekusi, menutup rumah-rumah ibadah. Itu sudah di luar kepantasan," jelasnya.Pernyataan terbuka Ma'ruf juga kerapkali kontroversial dan mendiskreditkan kelompok minoritas, dan ini sejalan dengan pandangannya bertahun-tahun sebelumnya. Ketika Satpol PP Depok menyegel masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di kawasan Sawangan, Depok, pada 2016, Ma'ruf mendukung itu.
Ma'ruf juga pernah mengatakan bahwa LGBT itu haram dan seharusnya dipidana. Ia bilang, kaum LGBT seharusnya direhabilitasi. Pernyataan-pernyataan tersebut, kata Asfin, tentu saja mampu memicu konflik dan kekerasan berkepanjangan karena keluar dari mulut orang yang punya otoritas.
Nasib Minoritas di Masa Depan
Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mengaku pesimistis kasus pelanggaran HAM dan intoleransi bisa selesai dan tidak terulang lagi meski nanti presiden-wakil presiden berganti. Ia menilai kedua kubu sulit menerima keberagaman.
"Saya ragu mereka akan berubah, kecuali ada tekanan luar biasa. Jadinya, nasib kalangan minoritas agama dan gender bisa makin memburuk di Indonesia," katanya kepada Tirto, Minggu (12/8/18).Andreas memprediksi akan banyak sekali kemungkinan buruk jika dua sosok ini menjadi salah satu orang terpenting di Indonesia. "Berbagai diskriminasi ini akan bertambah dan makin sering dipakai. Kalau diskriminasi ini berubah jadi krisis, bisa memicu kekerasan besar. Bagaimana mengatasinya? Bila dilakukan dengan bijaksana—termasuk dengan aktor internasional—mungkin masih bisa," katanya.
Sementara itu, juru bicara jemaat Ahmadiyah, Yendra Budiandra, mengatakan "harapan kami kepada Ma'ruf Amin, jika menjadi wakil presiden, bisa memposisikan diri menjadi pejabat publik yang harus keluar dari jubah sebagai Ketua MUI atau sebagai ketua organisasi NU," kata Yendra kepada Tirto.
"Kami akan selalu mendukung pemerintahan yang sah, apapun itu yang terjadi. Siapa pun yang menjadi presiden dan wakil presiden," tutupnya.
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
0 komentar:
Posting Komentar