HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Tjakrabirawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tjakrabirawa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Oktober 2019

Kisah Eks Anggota Cakrabirawa Selamatkan Polisi dari Lubang Buaya


Muhamad Ridlo - 06 Okt 2017, 02:00 WIB

Mantan Anggota Cakrabirawa, Ishak, berfoto dengan latar belakang lukisan saat masih aktif berdinas. Ia masih gagah di usianya yang ke 81 tahun. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purbalingga - "Tahu polisi yang selamat dari Lubang Buaya, Sukitman kan. Sukitman saya yang menyelamatkan," tiba-tiba Ishak, menyela, kala bercerita soal tragedi 1 Oktober 1965.

Ishak adalah mantan anggota pasukan elite pengawal presiden, Cakrabirawa. Tugasnya di ring 1 adalah menjaga keselamatan presiden, sebagai unit yang selalu menempel ke mana pun presiden bergerak.

Sebelum menjadi pengawal paling dekat Sukarno, dia adalah ajudan Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa yang akhirnya divonis mati karena dinyatakan bersalah melakukan kudeta dan menggerakkan pasukan untuk membunuh enam jenderal dan satu perwira AD.

Ishak berkisah pada Jumat, 1 Oktober 1965, sedianya ia akan mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Ia tak terlalu paham agendanya. Namun, berdasarkan informasi yang diperolehnya waktu itu, presiden hendak hadir di sebuah acara olahraga.

"Sebagai prajurit, informasi detailnya yang seperti itu baru akan diberitahukan ketika akan berangkat. Kita kalau akan berangkat baru diberi pembagian tugas," ucapnya, Selasa, 4 Oktober 2017.

Tetapi, ia batal mengawal Presiden Sukarno. Pasalnya, pada sore 30 September 1965, tiba-tiba Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa memintanya untuk mendampinginya ke Lubang Buaya. Tempatnya digantikan oleh pengawal lainnya, Bagyo.

"Kamu ikut saya saja," Ishak menirukan perintah Letkol Untung.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tugasnya adalah mengantar Letkol Untung, tak ada yang lain. Ketika satu kompi Cakrabirawa bertugas menjemput para jenderal, ia tetap berada di Lubang Buaya.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu di jipnya. Tempat parkirnya, ia sebut, relatif jauh dari pusat kegiatan, sehingga tak begitu memahami detail peristiwa yang terjadi.

"Tugas Cakrabirawa saat itu, menjemput para jenderal untuk dihadapkan kepada presiden. Kalau saya tugasnya mengantar Letkol Untung. Saya tidak ikut menjemput," kata dia.

Informasi samar-samar beredar. Enam jenderal berhasil dijemput. Namun, dua orang meninggal dunia lantaran melawan. Tak berapa lama, rentetan tembakan terdengar. Enam jenderal dan satu perwira AD meninggal dunia.
Di tengah situasi yang tak pasti itu, ia mendapat firasat yang buruk.

"Wah, salah ini. Lutut saya langsung lemas. Apes saya. Mati saya," ujarnya.

Di tengah kekalutan situasi kala itu, ia diperintahkan untuk menembak mati Sukitman. Ia adalah polisi yang ditangkap di sekitar kediaman Mayor Jenderal DI Pandjaitan. Sukitman dikhawatirkan akan membocorkan lokasi penguburan para jenderal.

"Saya jawab. Orang tidak salah kok ditembak," ujarnya, menceritakan situasi kala itu.

Atasan di Cakrabirawa itu, kata Ishak, lantas pergi, tanpa berbicara apa pun. Rupanya, anggota Cakrabirawa yang memberi perintah itu juga tengah kalut. Saat situasi memungkinkan, dia memerintahkan Sukitman bersembunyi di jipnya.

"Lalu saya bilang ke Sukitman, sudah kamu tiduran saja di jip saya. Lalu saya bawa ke Istana Negara. Sukitman kemudian pergi," ucap Ishak.

Bertahun-tahun kemudian, Ishak dan Sukitman dipertemukan di Rutan Salemba. Kondisi terbalik kala itu. Ishak yang tadinya berbobot 73 kilogram, saat itu sudah turun menjadi 40 kilogram. Namun, polisi itu rupanya masih mengenali Ishak.

"Waktu bertemu itu, Sukitman itu sampai nyembah-nyembah karena saya menyelamatkan dia," ujarnya mengenang.

Jumat, 04 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Kematian Para Prajurit Cakrabirawa Setelah Subuh Maut 1 Oktober 65


Oleh: Petrik Matanasi - 4 Oktober 2019

Ilustrasi Nasib Naas Prajurit dan Sersan Batalyon Untung. tirto.id/Sabit

Parade kematian para prajurit Resimen Cakrabirawa yang memimpin penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam G30S.

Pagi tanggal 16 Februari 1990 adalah pagi terakhir bagi empat orang mantan pasukan Cakrabirawa. Johannes Surono, Paulus Satar Suryanto, Simon Petrus Solaiman, dan Norbertus Rohayan dijemput dari selnya di Penjara Cipinang hendak dieksekusi. Satu regu tembak telah menunggu.

Dalam catatan Amnesty International Report (1991:119), keempat tahanan itu hampir semuanya telah lansia. Ketika diekseskusi, Johannes Surono berusia 60 tahun, Paulus Satar Suryanto 57 tahun, Simon Petrus Solaiman 60 tahun, dan Norbertus Rohayan 49 tahun.

Di antara mereka, hanya Rohayan yang mendapat kunjungan dari keluarga. Pamannya menjenguk Rohayan beberapa hari sebelum ia dieksekusi. Inside Indonesia nomor 14 April 1988 menyebut bahwa ia menderita diabetes dan penyakit lainnya.

Dua dekade lebih mereka ditahan rezim Orde Baru karena terlibat G30S. Saat peluru satu persatu menghabisi hayat, kematian mereka terdengar hingga negeri Belanda seperti diberitakan oleh surat kabar De Volkskrant edisi 19 Februari 1990.

Menurut Majalah Tapol nomor 98 April 1990, mereka ditangkap antara tanggal 4 hingga 8 Oktober 1965.

Rohayan berasal dari Angkatan Udara. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkalah Militer distrik Bandung pada 8 November 1969. Ia sempat mengajukan banding, namun pada Februari 1987 bandingnya ditolak. Lalu pada 5 Desember 1989 ia mengajukan grasi, dan lagi-lagi ditolak. Pada malam 1 Oktober 1965, Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto.

Sehari sebelum penangkapan Norbertus Rohayan, Satar Suryanto lebih dulu dicokok. Seperti terdapat dalam Gerakan 30 September dihadapan Mahmillub 2 Di Djakarta Perkara Untung (1966:21), Satar adalah sersan mayor dengan NRP 107453. Ia menjabat sebagai komandan peleton II Kompi C Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang tinggal di Asrama Tanah Abang. Saat menjadi saksi dalam perkara Untung pada 1966, usianya sekitar 34 tahun dan masih beragama Islam.

Satar memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman dan dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Permohonan bandingnya ditolak, dan sebelum dieksekusi ia memakai nama Paulus Satar Suryanto.

Sebagaimana kawannya, Johannes Surono pun sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Saat itu usianya 36 tahun dan beragama Islam dengan nama Surono Hadiwijono. Lelaki kelahiran Pucungsawit, Solo itu adalah komandan peleton III kompi C batalyon Untung di Cakrabirawa.

Surono memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo dan ditangkap pada 8 Oktober 1965. Lima tahun kemudian ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan banding dan grasinya ditolak pada tahun 1986 dan 1989.

Jika Norbertus Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto, maka Simon Petrus Solaiman adalah orang yang diberi tugas oleh Letnan Satu Dul Arif untuk memimpin penculikan petinggi Angkatan Darat tersebut.

Menurut sumber pemerintah, Solaiman kelahiran Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 1927. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 ketika Mayor Jenderal Soeprapto dan perwira Angkatan Darat lainnya dikebumikan di Taman Makam Kalibata.

Solaiman dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Seperti ketiga kawannya, banding dan grasi yang ia ajukan semuanya ditolak pemerintahan daripada Soeharto.


Para Eksekutor dan Pemimpin Penculikan Lainnya

Selain keempat orang tersebut, ada juga seorang prajurit bernama Anastasius Buang. Usia penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman itu seumuran dengan Rohayan. Pertengahan 1980-an, Buang terancam dihukum mati. Namun ia baru meninggal secara misterius pada September 1989. Jenazah Buang berhasil ditemukan oleh keluarganya.

Rohayan dan Buang punya kesalahan yang sama dengan Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo, mereka sama-sama menjadi eksekutor operasi penculikan.

Gijadi yang kelahiran Solo tahun 1928 adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Ia ditangkap pada 4 Oktober 1965 dan sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Menurut Inside Indonesia nomor 14 April 1988, Gijadi dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.

Bersama Sersan Mayor Soekardjo yang memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan, Gijadi dieksekusi mati pada Oktober 1988.

Setelah puluhan tahun menjadi tahanan Orde Baru, para pemimpin penculikan dan penembak dari pasukan Cakrabirawa itu pada akhirnya menyusul dua atasan mereka, Letnan Kolonel Untung dan Letnan Satu Dul Arif, ke alam kubur.

Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa, sementara Dul Arif Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Untung. Sebagai prajurit penjaga presiden, para sersan dan kopral yang memimpin penculikan dan penembakan para jenderal tak dapat menolak perintah kedua atasannya.

Maka pada malam menjelang Subuh 1 Oktober 1965, mereka bergerak menculik dan menghabisi para perwira Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada presiden lewat isu Dewan Jenderal. Puluhan tahun kemudian, parade kematian itu mereka hadapi sendiri.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Sebelum dieksekusi regu tembak, sejumlah terpidana mati peristiwa G30S memilih memakai nama Katolik.

Rabu, 02 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Nasib Apes Para Serdadu Rendahan yang Terlibat G30S


Oleh: Petrik Matanasi - 2 Oktober 2019

Ilustrasi Para Penculik Jendral. tirto.id/Sabit

Kisah para serdadu berpangkat rendah yang menculik dan membunuh petinggi Angkatan Darat pada Subuh 1 Oktober 1965.

Menjelang malam 1 Oktober 1965, Sersan Satu Ishak Bahar dibuat kaget oleh komandan batalionnya, Letnan Kolonel Untung Bin Syamsuri. Bintara di Batalion Kawal Kehormatan I Resimen Cakrabirawa itu diminta Untung untuk menjadi ajudannya. Setahu Ishak, seorang ajudan biasanya berpangkat di atas bintara, seperti letnan.
“Pak, saya kan masih seorang sersan pertama,” kata Ishak.
Ia tak bisa menolak setelah Untung menyinggung masa lalu Ishak yang seorang anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang berafiliasi dengan Masyumi. Saat itu, Masyumi adalah musuh rezim Sukarno sehingga dibubarkan pada 1960.
“Ikut saya,” kata Untung.
Saat mengikuti Untung ke Lubang Buaya pada malam hari, Ishak diberi pangkat letnan tituler. Bersamanya, ikut juga Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I/Jaya Sakti yang berada di bawah Kodam Jakarta Raya pimpinan Umar Wirahadikusumah.

Sebelum ke Lubang Buaya, jip yang ditumpangi Ishak singgah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Di sana, Abdul Latief bertemu dengan Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto yang tengah menunggui putra bungsunya (Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto) yang dirawat karena ketumpahan kuah sop panas.
“Itu urusan mereka, saya sebagai ajudan waktu itu tidak tahu menahu,” ujar Ishak Bahar kepada Tirto, mengomentari pertemuan Abdul Latief dengan Soeharto.
Setibanya di Lubang Buaya, Ishak hanya berjaga di sana sepanjang malam. Ia tak ikut dalam regu-regu penculik yang dikomandoi Letnan Satu Dul Arif. Menurutnya, malam itu di Lubang Buaya sepi, tak ada Gerwani dan tarian lagu "Genjer-genjer".
"Itu palsu," ujar Ishak membantah isu tersebut.
Informasi ini bertolak belakang dengan keterangan Soekitman, Agen Polisi Tingkat II yang ikut dibawa ke Lubang Buaya saat ia berpatroli dan menjadi saksi pembunuhan. Menurutnya, di lokasi pembunuhan para petinggi Angkatan Darat itu justru terdapat para sukarelawan yang berasal dari Pemuda Rakyat dan Gerwani (lihat menit 14.50-15.07).

Terlepas dari hal tersebut, setelah pasukan penculik kembali dengan korbannya masing-masing, Ishak merasa tersiksa melebihi kesepian yang berjam-jam sebelumnya ia lakoni. Dua dari enam jenderal yang dibawa telah terbunuh, yakni Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan dan Letnan Jenderal Ahmad Yani.
“Aduh, cilaka ini,” gumamnya membatin.
Para jenderal dan satu perwira lainnya yang masih hidup, kemudian dianiaya dan dibunuh serta dimasukan ke dalam sumur tua. Soekitman, seorang polisi berpangkat rendah yang ikut dibawa para penculik hampir saja ikut dibunuh jika ia tak mencegahnya. Setelah "acara" selesai, Ishak dan anggota Cakrabirawa lainnya kemudian meninggalkan Lubang Buaya.
“Saya pulang membawa truk-truk Cakrabirawa,” ucapnya.
Esoknya, Ishak Bahar jadi tahanan Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur.
“Saya diinjak-injak. Saya ingat itu tanggal 2 Oktober 1965. Jadi sejak itu selama 13 tahun saya tidak sempat pulang kampung ke Purbalingga,” ungkapnya.



Hukum Mati bagi Penembak Yani

Selain Ishak Bahar, prajurit berpangkat rendah lain yang bernasib apes setelah G30S adalah Sersan Mayor Bungkus. Ia yang saat itu memimpin penculikan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, harus mendekam selama 33 tahun dalam tahanan Orde Baru. Sejak 1965, Bungkus baru dibebaskan pada 1998 ketika Soeharto tumbang.

Seperti ia sampaikan kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant Major Bungkus" (Jurnal Indonesia edisi Oktober 2004), pada malam itu ia dan kawan-kawannya dikumpulkan Letnan Satu Dul Arif, komandan kompi C batalion II pimpinan Untung. Mereka yang jumlahnya sekitar 60 orang itu mendapat perintah untuk menculik petinggi Angkatan Darat yang dituduh akan mengkudeta Presiden Sukarno.

Bersama Bungkus, di antaranya ada Sersan Dua Raswad, Prajurit Kepala Doblin, Sersan Tumiran, Sersan Gijadi, Prajurit Satu Athanasius Buang, Sersan Mayor Satar Suryanto, Sersan Dua Sukardjo, dan Prajurit Nor Rohayan. Mereka tidak semuanya berasal dari Cakrabirawa, melainkan ada juga yang berasal dari Brigade Infanteri 1 seperti Soekardjo yang menculik D.I. Panjaitan.

Nasib Satar, Gijadi, dan Rohayan lebih buruk daripada Ishak Bahar dan Bungkus. Jiwa mereka direnggut di hadapan regu tembak setelah 25 tahun dalam penahanan.

Gijadi adalah penembak Ahmad Yani. Serdadu kelahiran Solo itu menarik picu senapan mesin ringan Thompson ke arah Ahmad Yani setelah mendengar perintah dari Sersan Dua Raswad.
“Mereka yang menculik adalah para sersan, kopral dan di bawahnya lagi yang tidak tahu apa-apa,” kata Kolonel CPM (purnawirawan) HW Sriyono, yang juga mantan perwira Cakrabirawa.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh


Selasa, 01 Oktober 2019

Lubang Buaya, Akhir Tragedi Berdarah Gerakan 30 September 1965


Nila Chrisna Yulika - 01 Okt 2019, 08:05 WIB



Lubang buaya adalah saksi bisu pembantaian para jenderal pada 30 September 1965. Dalam tragedi itu, tujuh pahlawan revolusi yang gugur dibuang ke dalam sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter.

Sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI telah melakukan beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani. Kemudian, menyebarkan desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan pemerintahan.

Dewan Jenderal adalah sebuah nama yang ditujukan untuk menuduh beberapa jenderal TNI AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Situasi semakin memanas ketika berkembang isu bahwa Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan (machts-vertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sesudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan melakukan coup kontra-revolusioner.

Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan, susunan Kabinet Dewan Jenderal yang sudah disiapkan, terdiri dari:

1. Perdana Menteri: Jenderal AH Nasution
2. Wakil Perdana Menteri/Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad Yani
3. Menteri Dalam Negeri: RM Hadisubeno Sosrowerdojo (Politikus Partai Nasional Indonesia, Mantan Gubernur Jawa Tengah, Mantan Walikota Semarang)
4. Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani (Politikus Partai Nasional Indonesia)
5. Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro
6. Menteri /Jaksa Agung: Mayjen S Parman
7. Menteri Agama: KH Rusli
8. Menteri / Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi waktu itu)
9. Menteri / Panglima Angkatan Laut: tidak diketahui
10. Menteri / Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya Rusmin Nurjadin
11. Menteri / Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol Jasin

Pimpinan PKI DN Aidit membicarakan isu Dewan Jenderal dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada Pangad Letjen. A. Yani: "Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?"

Jenderal Yani menjawab, "Tidak benar, Pak. Yang ada ialah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat,".

Lalu isu itu dikembangkan lagi dengan menyebutkan, ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup kontra-revolusioner. Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.

Seperti dikutip dari Sekretariat Negara RI: "Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia - Latar belakang, aksi dan penumpasannya", tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan dan muntah-muntah.

Menurut dokter terdapat dua kemungkinan dengan kondisi Soekarno yaitu beliau akan wafat atau akan menjadi lumpuh.
Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran Pimpinan PKI, DN Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk merebut kekuasaan.

Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh TNI AD. PKI kemudian melaksanakan rapat dalam rangka menentukan langkah-langkah yang dianggap tepat. Rapat yang dilaksanakan tersebut adalah:

1. Tanggal 6 September 1965 membicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno.
2. Tanggal 9 September 1965 membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam mengadakan gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan.
3. Tanggal 13 September 1965 tentang peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta.
4. Tanggal 15 September 1965, di antaranya membicarakan persoalan kesatua-kesatuan yang akan diajak serta dalam gerakannya.
5. Tanggal 17 September 1965 membicarakan tentang kesatuan yang sudah sanggup dalam gerakan seperti yang disediakan oleh Kol. Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono.
6. Tanggal 19 September 1965 membahas gerakan-gerakan di bidang politik, militer, dan observasi dengan Sjamkamarujaman ditunjuk sebagai koordinatornya.
7. Tanggal 22 September 1965 penentuan sasaran para perwira tinggi Angkatan Darat.
8. Tanggal 24 September 1965 memantapkan kesanggupan dan kesediaan tenaga-tenaga yang telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan yang akan digerakkan.
9. Tanggal 26 September 1965 pemantapan terhadap rapat sebelumnya.
10. Tanggal 29 September 1965 penetapan nama gerakannya yaitu Gerakan 30 September dan putusan perubahan hari H dan jam J yang dibuat oleh Sjam.

Saat Tragedi Berdarah

Gerakan G30S ini juga melibatkan sebagian pasukan Tjakrabirawa. Adalah Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Letkol Untung Syamsuri yang memimpin gerakan ini.

Seperti dikutip dari Merdeka.com, Petrik Matanasi, penulis buku, "Tjakrabirawa", Untung memanfaatkan hari ulang tahun ABRI yang jatuh pada 5 Oktober untuk menggalang kekuatan pada 30 September 1965. Dalam peringatan HUT ABRI, dia ditunjuk sebagai pengatur parade pasukan. Posisi ini membuat dia punya kesempatan mengontak bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro.

Pasukan G30S dibagi dalam tiga kelompok yakni Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani dan dipimpin perwira dari Tjakrabirawa, anak buah Untung.
Pasopati dalam penculikan membunuh langsung tujuh Jenderal AD yang akan diculik. Sebelumnya ada 8 Jenderal yang akan diculik. Namun satu nama, Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro lolos karena sedang melawat ke China. Satuan Pasopati terdiri dari 250 anggota Tjakrabirawa.

Sersan Mayor Boengkoes, anggota resimen Tjakrabirawa yang menjadi salah satu pelaku penculikan terhadap tujuh jenderal mengungkap sebelum penculikan terjadi, ada pengarahan di kawasan Halim Perdanakusuma pada 30 September 1960 pukul 15.00 WIB.

Dalam arahan tersebut, disebutkan ada sekelompok jenderal yang dinamakan Dewan Jenderal untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno.
Boengkoes mengungkapkan, dia bersama para komandan pasukan kemudian dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa, Letnan Satu Doel Arif. Kemudian pasukan dibagi menjadi tujuh yang bertugas menculik ketujuh Dewan Jenderal. Adapun Boengkoes masuk dalam tim yang bertugas menculik Jenderal MT Harjono, hidup atau mati.

Tepat 1 Oktober 1965 dini hari, rombongan pasukan ini pun berarak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma kemudian membelah Jakarta. Mereka menuju Menteng, dimana rumah para jenderal berada. Sebagian lagi ke Kebayoran Baru, rumah Jenderal DI Panjaitan.

Tiga dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan.

Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S. Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup. Sementara Jenderal Abdul Harris Nasution yang jadi target utama penculikan berhasil lolos. Sementara putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean yang dikira Nasution diculik.

Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. 

Menurut keterangan Boengkoes, Tjakrabirawa bukan pasukan mengeksekusi mati para jenderal. Dirinya hanya ditugaskan membawa para jenderal itu ke Lubang Buaya. Menurut dia, ada pasukan lain yang melakukan eksekusi tersebut.

Dikisahkan Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat yang diwawancarai CNN Indonesia, tiga jenderal yang masih hidup termasuk Pierre Andreas Tendean dibawa ke rumah penyiksaan. 

Rumah penyiksaan yang dimaksud Yutharyani itu merupakan kediaman salah seorang warga Desa Lubang Buaya. Rumah itu kini berada dalam Kompleks Monumen Pancasila Sakti. Tak seperti sekarang, dulu Lubang Buaya ialah hutan karet yang sepi penduduk.
"Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah," ujar dia.
"Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S. Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan melakukan kudeta," kata Yutharyani.
Pada titik itulah, menurut Yutharyani, penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. Mereka semua Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean akhirnya tewas dibunuh.
"Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras,".
Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."
Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang Buaya itu, hari telah berganti. 1 Oktober 1965.

Sumur ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat diangkat.

Sementara mengenai penyiksaan kepada para jenderal sebelum dimasukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, terbantahkan melalui hasil visum yang dilakukan lima dokter atas perintah tertulis yang ditandatangani Soeharto saat itu selaku Pangkostrad.

Kelima dokter itu diperintahkan untuk melakukan otopsi dan VR (visum et repertum) atas jenazah para jenderal tersebut. Kelima dokter itu adalah:

1. Dr. Roebiono Kertopati, Brigadir Jenderal pimpinan tinggi kedua pada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
2. Dr. Frans Pattiasina, Kolonel TNI, Korp Kesehatan Militer Nrp. 14253, Perwira Kesehatan pada RSPAD.
3. Dr. Sutomo Tjokronegoro, Profesor pada Fakultas Kedokteran pada Universitas Indonesia, ahli Penyakit dan Kedokteran Forensik
4. Dr. Liauw Yan Siang. Ahli Kedokteran Forensik Universitas Indonesia,
5. Dr. Lim Joe Thay, Dosen pada Kedokteran Forensik, Universitas Indonesia.

Hasil otopsi dan visum itu tidak menemukan adanya pencungkilan bola mata maupun sayatan pada tubuh jenderal. Para dokter juga tidak menemukan adanya pemotongan pada alat vital salah satu jenderal seperti cerita yang berkembang selama ini.

Asal Usul Lubang Buaya

Suasana di kompleks pemakaman Datuk Banjir di Kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Jauh sebelum tragedi memilukan itu terjadi, nama tempat di Jakarta Timur itu memang sudah disebut Lubang Buaya. Ini tentu memiliki sejarah tersendiri atas penyebutan wilayah tersebut.

Setelah ditelusuri, nama Lubang Buaya tersebut konon disematkan oleh orang sakti zaman dahulu bernama Datuk Banjir. Tempat ini dikenal sebagai markas buaya ganas.

Menurut keturunan Datuk Banjir, Yanto, kala itu sang buyut tengah melintasi sungai besar di kawasan Lubang Buaya dengan menggunakan getek, serta bambu panjang sebagai dayungnya. Namun dalam perjalanan, bambu dayung itu tak menyentuh dasar sungai. Bambu itu tiba-tiba menyentuh ruang kosong.

Setelah itu, lanjut dia, ruang kosong itu seolah menyedot material di atasnya. Akibatnya, bambu dayung dan getek serta Datuk Banjir turut tenggelam. Saat tenggelam itulah, Datuk melihat sarang buaya di dasar sungai.
"Bambu panjang (buat dayung) itu makin tenggelem, sampai bener-bener tenggelem. Lalu Mbah juga ikut tenggelem. Namun tiba-tiba dia muncul di deket sini," kata Yanto kepada Liputan6.com, Rabu, 22 Maret 2017, sambil menunjuk hamparan tanah kosong berupa rawa-rawa.
Setelah tenggelam ke dalam sungai dan muncul dengan tiba-tiba, Datuk Banjir kemudian menepi. Dia merenungi pengalaman spritual itu termasuk saat melihat sarang buaya di dalam sungai itu.
"Karena itulah dinamai Lubang Buaya dan Mbah langsung bermukim di sini, beranak pinak, sampai saya sekarang," kata Yanto.
Datuk Banjir hidup di zaman Belanda masih menjajah. Ia turut serta dalam perjuangan melawan kompeni. Dalam pertempuran melawan Belanda, Datuk Banjir disebutkan menunjukkan kesaktiannya.

Meski kisah-kisah itu disebut tak masuk logika, Yanto menyatakan kejadian itu memang terjadi. Bahkan sekitar dua bulan lalu, peristiwa yang sama juga terjadi.
"Ya, bisa kelelep gitu, kayak orang kelelep. Mereka (serdadu kompeni) kayak tenggelem. Dua bulan lalu ada yang berenang segala, itu di aspal, ada tentara yang berenang. Pas ditanya, dia bilang ada banjir, padahal kering," tutur Yanto.
Kejadian yang dialami tentara itu lantaran sang prajurit dianggap bersikap arogan. Dia tidak mengindahkan pantangan yang ada sehingga seolah-olah merasa tenggelam​.
"Enggak usah dilanjutin. Tapi ya gitu, sudah dibilang jangan, masih dikerjain, ya kena jadinya," ucap Yanto
Hingga akhir hayatnya, Datuk Banjir mengajarkan ilmu agama dan ilmu silat, serta ilmu batin. Ia meninggal dunia di Lubang Buaya dan dimakamkan tak jauh dari Monumen Pancasila Sakti.

Lubang Buaya Kini

Sejumlah siswa berfoto bersama di depan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Minggu (1/10). Bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila, sejumlah pelajar mengadakan napak tilas ke monumen Kesaktian Pancasila. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sejak 30 September 1965, Lubang Buaya berubah wujud. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menyulapnya menjadi kompleks memorial megah.

Dua tahun setelah Gerakan 30 September, 1967, Soeharto membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga. Enam tahun kemudian, 1973, di atas lahan itu diresmikan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.

John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah University of British Columbia dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mengistilahkan Lubang Buaya kini sebagai “tanah keramat.”

"Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung perunggu para perwira yang tewas. Semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan patung para perwira, ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap mengembang," demikian John Roosa memaparkan dalam bukunya.

Di Kompleks monumen Pancasila Sakti juga dijadikan area tempat wisata bagi orang-orang yang ingin mengetahui sejarah.
Kompleks Lubang Buaya kini memang bukan hanya berfungsi sebagai monumen sejarah, tapi juga jadi bagian dari wisata ziarah.

Sementara sumur yang menjadi tempat pembuangan jasad para jenderal menjadi situs inti di zona utama Kompleks Memorial Lubang Buaya. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, situs itu memiliki luas sembilan hektare.
Lubang sumur berdampingan dengan tiga bangunan yang menjadi saksi bisu Gerakan 30 September 1965, yakni rumah penyiksaan, pos komando, dan dapur umum.

Kompleks Lubang Buaya terus mengalami penataan sepanjang Orde Baru. Terhitung dua dekade setelahnya, Soeharto membangun dua museum sebagai etalase sejarah dalam bentuk diorama.

Pada 1981, Soeharto meresmikan Museum Paseban yang merunutkan cerita persiapan pemberontakan, penculikan jenderal, penganiayaan, pelarangan Partai Komunis Indonesia, hingga peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.

Selanjutnya pada 1992, Soeharto meresmikan Museum Pengkhianatan PKI. Ini museum penutup sebelum Soeharto lengser pada 1998. Museum ini memuat diorama tentang sepak terjang PKI di Indonesia.

Peristiwa G30S tahun 1965, dengan Lubang Buaya sebagai lokasi sentral tragedi menjadi tanda berakhirnya riwayat PKI. Kejadian itu membuat PKI dihancurkan, dan dinyatakan sebagai partai terlarang tahun berikutnya, 1966.

Benar atau tidaknya eksistensi Dewan Jenderal tak diketahui jelas hingga saat ini, sama seperti G30S yang memiliki sejarah gelap, dengan dalang yang tak pernah terungkap.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Jumat, 05 Oktober 2018

Kisah Eks-Cakrabirawa Penjemput Jenderal Nasution Melawan Stigma PKI


Muhamad Ridlo - 05 Okt 2018, 04:01 WIB

Sulemi dan istri adalah sepasang orang tua yang bahagia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Mendadak Sulemi (77) mengangkat kedua kakinya ke meja. Mantan prajurit Cakrabirawa ini memperlihatkan kedua jempolnya yang bengkok. Kukunya bergelombang dan tumbuh tak normal.

Cacat di jempol kaki dan bekas luka di sekujur tubuhnya itu adalah kenangan yang didapatnya ketika meringkuk di tahanan, sebelum Mahkamah Luar Biasa atau Mahmilub. Ia ditangkap, tepatnya menyerahkan diri, lantaran dituduh terlibat G30S PKI.

Sepanjang waktu selama di tahanan, bekas anggota pasukan elite pengawal presiden ini dipaksa mengaku PKI. Namun, ia bersikukuh bahwa dia hanya menjalankan perintah komandan untuk menjemput Jenderal Nasution.
"Saya prajurit hanya menjalankan perintah atasan. Dalam umur saya, tidak pernah terlibat politik. Kalau perwira menengah, mayor ke atas mungkin," ucapnya bercerita saat diinterogasi Provost.
Tiap jawaban itu meluncur dari mulutnya, ia sadar bakal menghadapi siksaan. Pukulan, tendangan, dipukul popor bedil dan diseret adalah derita yang mesti dirasakan tiap kali diinterogasi.

Bekas prajurit Cakrabirawa dengan pangkat sersan satu ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.

Tulang punggungnya patah. Belikatnya melesak remuk ke dada akibat pukulan benda keras dan tendangan bertubi-tubi.

Namun, di antara siksaan yang diterimanya, yang paling menyakitkan adalah ketika jempol kakinya ditindih dengan kaki meja. Lantas, meja itu diduduki oleh interogator.
"Kemudian kukunya dicopot dengan tang. Rasanya seperti disambar halilintar. Sakitnya minta ampun. Kedua bola mata saya seolah copot keluar," kata bekas prajurit Cakrabirawa ini. Dia tak pernah lupa peristiwa ini.

Terlibat Penjemputan Jenderal Nasution

Bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Keadaan lantas membaik saat Palang Merah Internasional berkunjung ke tahanan. Saat itu, ia menyebut sudah tak lagi bisa berjalan. Saat buang air besar, ia mesti merayap seperti kadal.
"Daripada saya mengaku PKI, lebih baik mati," ucapnya tegas.
Akibat terlibat upaya penculikan Jenderal Nasution, ia divonis mati. Seluruh harapannya buyar. Ia mesti melepas istri dan anak semata wayangnya.

Namun, oleh pengacara militernya, ia dibujuk untuk mengajukan banding dan berhasil. Dari vonis mati hukumannya berubah menjadi seumur hidup.

Lantas ia dipindah ke Pamekasan, Madura, bersama 32 tahanan politik lainnya. Selama 15 tahun, ia menghabiskan waktu di balik jeruji penjara hingga akhirnya bebas pada Oktober 1980, bulan ini 38 tahun lalu.

Bebas dari penjara bagi Sulemi bukan berarti lepas dari penderitaan. Pulang ke Purbalingga, ia mendapati kakaknya yang seorang PNS di Dinas Pertanian dipecat. Padahal, sang kakak sama sekali tak tahu peristiwa yang terjadi di Jakarta pada Oktober 1965.

Keluarganya juga mesti menanggung perundungan, lantaran dianggap sebagai keluarga pengikut PKI. Penderitaan itu rupanya mesti ditanggung oleh keluarga besarnya.
"Seharusnya yang dihukum itu pimpinan. DI/TII Kartosuwiryo, yang dihukum juga para pimpinan," dia menuturkan.
Terseok-seok, ia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan didapat, tak lama kemudian, dipecat begitu bos mengetahui latar belakangnya sebagai bekas prajurit Cakrabirawa.

Secercah Harapan Usai Reformasi 1998


Sulemi dan istri di kediamannya di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di kala susah itu, Tuhan memberi secercah berkah dengan mengirimkan sosok Sri Murni, seorang janda. Mantan istri rekannya sendiri.

Berdua, mereka mulai mendayung biduk di tengah gelombang masa 80-an yang tak ramah. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk mematung.

Keahlian ini didapatnya ketika dipenjara di Pamekasan. Salah satu napi adalah seniman yang juga seorang dosen seni rupa. Rekannya ini masuk penjara karena menjadi anggota Lekra.

Sesekali, patungnya laku. Tetapi, di saat lain, tak ada yang mencarinya. Singkat kata, mematung tak bisa menjamin dapurnya tetap mengepul.

Lantas, ia dan istrinya sepakat untuk membuat warung makan. Tak mudah untuk hidup dari sektor jasa. Apalagi, usaha ini membuatnya mesti berinteraksi dengan bermacam konsumen.

Ada kalanya, pelanggan tak lagi kembali begitu mengetahui sang pemilik warung adalah bekas prajurit Cakrabirawa, yang pada masa Orde Baru selalu diembuskan berasosiasi dengan PKI. Tetapi, ia selalu berusaha berlapang dada.
"Saya juga beribadah sebagaimana biasa. Kebetulan rumah saya dekat dengan masjid,” tuturnya.
Ekonomi keluarga Sulemi berangsur pulih. Masalah muncul ketika anak-anaknya beranjak besar dan membutuhkan biaya pendidikan. Istrinya rela membuka kios daging di pasar, sendirian.

Kemudian, seperti mimpi, reformasi bergulir. Gus Dur menjadi presiden. Masa ini ditandai dengan pulihnya hak-hak bekas tahanan politik seperti Sulemi.

Perlahan tapi pasti, semuanya membaik. Bahkan, anak bungsunya menjadi aparat. Sesuatu yang amat haram pada masa Orde Baru.


Kamis, 04 Oktober 2018

Kronologi Tertembaknya Ade Irma Nasution Versi Bekas Prajurit Cakrabirawa


Muhamad Ridlo - 04 Okt 2018, 01:02 WIB

Sulemi bersumpah prajurit Cakrabirawa tak sengaja menembak Ade Irma Nasution. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Perawakannya kurus tinggi. Di usianya yang ke 77 tahun, bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi, tampak masih trengginas. Di hadapannya, sebungkus kretek dan segelas kopi kental menemani obrolan kami sore itu.

Pada mulanya, mantan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini tampak biasa dan rileks. Namun, ketika mulai bercerita peristiwa 1 Oktober 65, ia tampak muram.

Sebelum bercerita, pria kelahiran 1940 ini bersumpah bahwa dia akan menceritakan sebenar-benarnya peristiwa malam 1 Oktober yang kelak mengubah nasibnya dari prajurit terhormat menjadi pesakitan, termasuk kronologi tertembaknya Ade Irma Nasution.

Ia berkisah, Rabu, 29 September 1965, ia dikumpulkan komandan kompinya, Letnan Satu Dul Airif, dan menginformasikan bahwa Presiden Soekarno terancam oleh kelompok Dewan Jenderal.

Dewan Jenderal akan menggulingkan Presiden Soekarno pada 5 Oktober 1965, yang berarti kurang dari sepekan. Maka, Komandan mereka di Batalion 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung, memutuskan untuk bertindak dan menghadapkan anggota Dewan Jenderal kepada Presiden Sukarno.
"Ada instruksi Komandan Batalion, yakni Letkol Untung ya. Yang mengatakan bahwa mulai tanggal itu juga, untuk Batalion 1 Kawal Kehormatan itu, situasi konsinyir berat, untuk menghadapi nanti pada tanggal 5 Oktober akan terjadi kudeta, dari para perwira-perwira Angkatan Darat," dia menerangkan kepada Liputan6.com akhir 2017 lalu.
Sulemi adalah seorang prajurit yang ditugaskan mengawal keselamatan Presiden Sukarno. Maka, ia pun menyimpukan bahwa keselamatan Sukarno terancam. Dan itu adalah tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi Sukarno.

Lantas, tiba tanggal 1 Oktober dini hari. Sulemi tergabung menjadi salah satu anggota pasukan yang bertugas menjemput para jenderal. Perintahnya saat itu jelas, jemput hidup atau mati. Sulemi, bersama sekitar 35 kawan dari lintas kesatuan bertugas menjemput Jenderal Nasution.

Lantaran informasi yang keliru, pasukan Cakrabirawa itu sempat salah sasaran. Mereka masuk ke rumah menteri JE Leimana yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Nasution.

Dini hari di Rumah Nasution

Lantaran terlibat penculikan Jenderal Nasution, bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi, meringkuk di penjara selama 15 tahun. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sulemi menggambarkan, malam itu suasana amat tegang ketika pletonnya tiba di kediaman Nasution. Namun, semuanya berjalan lancar. Tiba di gerbang utama, mereka diantar oleh satu pleton penjaga kediaman Nasution yang berasal dari Kostrad. Mereka diantar ke dalam rumah.

Di pintu utama, pintu tak terkunci. Namun, ketika masuk, 10 anggota penjemput tak menemukan Nasution. Mereka pun lantas mencarinya di beberapa kamar. Dari salah satu kamar, Nasution tiba-tiba membuka pintu.

Namun, melihat ada tiga prajurit Cakrabirawa di depan pintu, Nasution kembali mengunci pintu. Sulemi lantas meminta agar pintunya dibuka.
Namun, tak ada jawaban.
"Mungkin sudah curiga, kalau melihat Cakrabirawa," kata Sulemi, saat ditemui di rumahnya di Purbalingga.
Sebagai prajurit, Sulemi perintahnya adalah menjemput hidup atau mati. Dua anggota pasukan, Kopral Sumarjo dan Hargiono, membuka paksa kunci besi dengan rentetan senjata sten atau senapan serbu.

Senjata menyalak. Pintu pun terbuka, tetapi Nasution sudah tak ada di kamarnya.

Sementara, Sulemi mendengar ada suara rentetan tembakan senjata serbu dari luar rumah. Nasution kabur melompat pagar. Ia tak bisa memastikan siapa yang menembak di luar rumah kala itu.

Namun, ia bisa memastikan bahwa pemegang senjata bren adalah Kopral Sarjo. Meski demikian, mereka tak mengejarnya. Sebab, perintah mereka adalah menjemput tanpa menganggu tetangga sekitarnya.

Di dalam rumah, suasana semakin tegang. Di dalam kamar, Sulemi sempat melihat istri Nasution berjalan bolak-balik dengan gelisah sembari menggendong Ade Irma.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa Ade Irma tertembak. Noda darah yang selintas dilihatnya dikira hanya luka goresan. Ade Irma pun ternyata anak yang benar-benar tabah.

Tembakan ke Gagang Kunci Meleset ke Punggung Ade Irma

Sulemi dan istri kini adalah sepasang kakek-nenek yang berbahagia dikelilingi anak, cucu dan saudara yang mencintainya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Saat itu, Sulemi baru mendengar, ada seorang anak menangis. Namun, ia tak berpikir bahwa anak itu, Ade Irma Nasution, tertembak kala Sumarjo dan Hargiono menembak gagang pintu.
"Saat itu tidak menangis. Baru setelah saya keluar, ada suara tangisan anak kecil. Tapi saya kira itu tangisan karena takut," dia menerangkan.
Tembakan gagang kunci inilah malapetaka untuk Ade Irma Nasution.
Rupanya, satu peluru dari senapan prajurit Cakrabirawa meleset dari gagang kunci dan mengenai punggung bocah berusia 5 tahun yang tengah digendong ibunya.

Ia bersumpah, tembakan yang mengenai punggung Ade Irma Nasution adalah pantulan dari peluru yang ditembakkan ke gagang kunci. Sama sekali tak ada unsur kesengajaan menembak anak kecil tak berdosa.

Belakangan, cerita tertembaknya Ade Irma diramatisir menjadi salah satu bukti kekejaman Cakrabirawa. Ia muncul dalam film dan narasi-narasi sejarah.

Cakrabirawa digambarkan sebagai pasukan yang kejam dan tak memiliki hati. Padahal, saat itu Cakrabirawa hanya berniat menjemput Nasution dan tak berniat sedikit pun mencelakai Ade Irma yang kala itu baru berusia 5 tahun.
"Edan apa. Buat apa, anak tidak ada sangkut pautnya. Itu yang sangat luar biasa fitnahnya. Wong saat di dalam itu, dia kena peluru itu saya juga tidak tahu. Setelah saya sampai di luar rumah itu, mendengar dia menangis," dia mengungkapkan.
Akibat terlibat penculikan dan dianggap terlibat G30S PKI, Sulemi divonis mati. Belakangan, vonisnya diringankan di tingkat banding menjadi penjara seumur hidup. Akan tetapi, penyiksaan di luar perikemanusiaan mesti ditanggungnya selama dalam tahanan.

Senasib dengan Sulemi, dua orang penembak kunci pintu juga divonis berat. Hargiono dihukum mati, sementara Sumarjo dihukum seumur hidup.

Sulemi bebas pada tahun 1980, usai ada tekanan lembaga HAM internasional. Saat itulah ia baru tahu, Ade Irma Nasution, tertembak dan meninggal dunia beberapa hari kemudian.
"Saya baru mengetahui Ade Irma tertembak itu, kan, di luar," dia menambahkan.

Rabu, 03 Oktober 2018

Mimpi Buruk Bekas Prajurit Cakrabirawa dan Api Cinta dalam Penjara


Muhamad Ridlo - 03 Okt 2018, 09:01 WIB

Eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi berfoto bersama dengan istrinya, Sri Murni. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Keheningan malam rumah sederhana di Purbalingga, Jawa Tengah, itu tiba-tiba pecah oleh teriakan kesakitan Sulemi (78). Lagi-lagi, eks prajurit Cakrabirawa itu kembali bermimpi buruk.

Sang istri, Sri Murni, tergopoh-gopoh membangunkan suaminya. Terkadang, kakek dan nenek ini memang tak selalu tidur sekamar.

Sejak awal menikahi Sulemi, Sri Murni sadar tak hanya sekadar mencintai seorang prajurit. Lebih dari itu, ia mesti bersahabat dengan masa lalu suaminya yang penuh dengan duri.
"Kalau tidur itu teriak-teriak. Saya kan tidur sendiri, bapak di sini. Kalau istilahnya direp-repi. Sampai sekarang, saya jadi heran. Itu ya, seminggu dua kali. Teriak-teriak," ucap Sri Murni kepada Liputan6.com, akhir 2017 lalu.
Satu hal yang membuat Sri tahu betapa menderitanya Sulemi, yakni sejak awal menikah hingga saat ini, Sulemi kerap mengigau. Kadang, Sulemi berteriak kesakitan. Di lain waktu, hanya teriakan yang tak jelas.

Dan itu sering terjadi. Setidaknya mimpi buruk itu datang sepekan dua kali. Belakangan, Sri tahu, suaminya benar-benar mengalami trauma akibat penyiksaan dalam penahananannya selama di penjara usai dituduh terlibat G30S PKI.

Sulemi adalah bekas prajurit Batalyon 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal Presiden Soekarno, dengan komandan Letkol Untung.

Belakangan, ia memang tergabung dalam pasukan Pasopati, yang bertugas menjemput Jenderal AH Nasution. Situasi politik membuatnya dituduh terlibat intrik politik hingga berakhir penyiksaan luar biasa kejam selama di penjara.

Sulemi pun mengakui, ingatan dan trauma penyiksaan selama di tahanan kerap mendatanginya saat tertidur. Terutama, kala dijemput oleh seregu petugas penjara militer. Tiap dijemput, ia tahu, sepulangnya nanti akan disiksa sampai tubuhnya remuk.

Tulang belikat, kaki, dan pinggangnya patah. Tubuhnya penuh dengan bekas sundutan rokok, luka karet yang dibakar, setrum, hingga kuku yang dicopot dengan tang. Mimpi itu secara berkala terus menghantuinya.

Tiap hari di tahanan bagi Sulemi bak neraka. Itu dialaminya pasca pemindahan penahanannya dari Pomdam Diponegoro ke Salemba. Sembari menunggu Mahmilub, ia disiksa habis-habisan. 

Mantan prajurit Cakrabirawa  ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.

Vonis Mati untuk Prajurit Cakrabirawa

Selama di penjara, eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi mendapat siksaan tak terkira. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)

Sulemi tentu tak mengaku. Ia mengakui terlibat menculik Jenderal Nasution. Dan itu pun lantaran dia diperintah oleh komandannya, Letkol Untung dan Letnan Satu Dul Arif, atasannya. Soal politik yang melatarbelakangi kejadian itu, Sulemi tak tahu menahu.
"Saya seorang militer. Tugas saya ya ini. Nah, suatu saat, saya dipaksa, akan dibaptis sebagai seorang komunis. Mana mungkin saya mengaku. Saya dalam umur segitu kok, mau berkecimpung dalam soal ideologi, dan partai," Sulemi menegaskan.
Tentara-tentara yang memeriksanya itu, berupaya meruntuhkan pertahanan Sulemi. Sulemi dipukul dengan kursi kayu, jempolnya diganjal dengan kursi, disetrum, hingga dicabut kukunya.

Tiap kali diperiksa, Sulemi harus ditandu ke selnya. Dan itu diterimanya sepanjang tahun, dua kali seminggu. Asal kondisi tubuhnya mulai pulih, penyiksaan kembali dilakukan.
"Kalau toh saya harus dihukum mati, itulah risikonya. Tapi kalau saya mati dalam keadaan penasaran (mengaku PKI) lebih baik saya mati. Mati dalam penyiksaan daripada harus mengaku PKI," ucap Sulemi.
Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan adalah kuasa Tuhan. Ia pun yakin, doa ibunya di Purbalingga selalu menyertainya. Harapan bisa berkumpul dengan istri dan anak semata wayangnya pun menjadi kekuatan yang tiada tara.

Selama dua tahun sebelum menghadapi Mahmilub, dia makan nasi berkutu dengan jumlah yang amat sedikit. Di atas nasi itu, ditaruhlah lauk berupa sepotong ikan asin. Sementara, minumnya diambil dari selokan di dalam penjara, disedot dengan selang batang daun pepaya.

Siksaan dan berbagai perlakuan kejam itu baru berakhir kala ia akan diajukan ke Sidang Mahmilub. Sulemi divonis mati. Namun, bagi Sulemi, vonis mati itu tak ada artinya dibanding siksaan yang hampir tiap hari diterimanya.

Ia pun melihat, hakim yang menjatuhinya hukuman mati menangis. Ia paham, sang hakim yang seorang militer pasti tahu apa yang diperbuat prajurit hanyalah perintah pimpinan.
"Prosesnya hanya sebentar, seminggu, tetapi terus-menerus, tiap hari. Akhirnya diputus mati," ucapnya.
Ia pun tak ada niatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Militer Tinggi. Sebab, ia merasa tak salah dan tak ada keinginan sedikit pun untuk bernegosiasi.

Di sisi lain, harapannya untuk bertemu dengan keluarganya kontan luruh. Ia pun pasrah pada garis nasib yang mesti dilakoninya.

Ia lantas berkirim surat kepada istri pertamanya untuk merelakan kematiannya. Dengan kegagahan seorang prajurit, ia juga mempersilakan istrinya untuk menceraikannya. 
"Kalau suruh minta ampun kepada Pak Harto. Ya, maaf, lebih baik saya ditembak mati saja. Ya, bagi saya itu haram. Saya sudah sakit sekali," dia menuturkan.
Akan tetapi, penasihat hukum militernya berpendapat lain. Sulemi kemudian mengajukan banding dan mendapat keringanan hukuman menjadi penjara seumur hidup.

Sulemi lantas dipindah ke tahanan Pamekasan bersama sekitar 32 tahanan politik lainnya. Di tempat itu, Sulemi menyadari meninggalkan seorang istri dan anak. Ia pun kemudian mempersilakan agar istrinya menggugat cerai. Maka, sejak itu, Sulemi tak lebih dari orang yang terbuang.

Doa Bunda dan Harapan Bekas Tahanan Politik

Sulemi kini hidup damai bersama dengan istri, anak-anak dan cucu beserta keluarga yang selalu mencintainya. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)

Di penjara Pamekasan pula, Sulemi mendengar kakaknya dipecat dari status PNS-nya, lantaran keterlibatannya dalam peristiwa 1965. Padahal menurut Sulemi, kakaknya itu sama sekali tidak tahu dan sama sekali tak terlibat politik.
"Saya sampai heran. Enggak ngerti apa-apa kok dipecat. Kalau dia itu, dinas ke kantor ya ke kantor, pulang ya pulang," ujarnya.
Kekuatan Sulemi usai bercerai dengan istri pertamanya saat itu adalah doa ibunya. Secara rutin, ia berkirim kabar ke ibundanya di Purbalingga.

Hingga akhirnya, di 1980 ia dibebaskan, setelah mendapat grasi atau pengampunan dari Presiden Soeharto. Pengampunan itu, menurut Sulemi, akibat tekanan HAM PBB agar Indonesia lebih memperhatikan hak-hak tahanan politik.
"Sebanyak 10 orang narapidana seumur hidup seluruh Indonesia dibebaskan, termasuk saya. Tahun 1980 keluar, bulan Oktober," dia mengungkapkan.
Rupanya, penderitaan Sulemi tak begitu saja pungkas usai dibebaskan dari tahanan dan penjara 15 tahun. Saat kembali ke kampungnya di Purbalingga, dia mendapati seluruhnya berubah, kecuali keluarganya.

Mudah ditebak, seorang bekas tahanan politik bakal kesulitan mendapat pekerjaan. Bahkan, tetangganya sendiri enggan menyapa. Satu-satunya tempat ia bersandar adalah keluarganya.

Saat itu, mulai berkarya membuat patung berbahan batu, kayu, atau pasir dan semen. Saat berada di Penjara Pamekasan, ia bersama dengan seorang seniman patung dari sekolah tinggi seni di Yogyakarta. Sang seniman dipenjara lantaran menjadi anggota Lekra, underbouw PKI.

Lantas, ia menikah dengan seorang perempuan, yang menemaninya hingga saat ini, Sri Murni. Sadar mematung tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, Sulemi dan Sri membuka kantin.

Lantas, Sri berjualan daging di Pasar Purbalingga. Kerja keras mereka mulai menampakkan hasil, meski tak bisa juga bisa dibilang cukup.

Waktu berjalan, masa pun berubah. Nasib baik berpihak kepada bekas tahanan politik usai reformasi 1998. Anak bungsu Sulemi bahkan kini menjadi seorang aparat.
"Setelah Presidennya Gus Dur, situasinya membaik. Tekanan kepada orang-orang seperti saya berkurang," dia menerangkan.
Kini, Sulemi, bersama istrinya, disibukkan dengan kunjungan-kunjungan ke saudara dan cucu-cucunya. Terkadang, mereka menghabiskan waktu di Magelang. Ada kalanya, mereka menengok cucu, yang tinggal di Purbalingga.