HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Purwodadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purwodadi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 November 2019

Poncke Princen


Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, lebih dikenal sebagai Poncke Princen (lahir di Den Haag, Belanda, 21 November 1925 – meninggal di Jakarta, 22 Februari 2002 pada umur 76 tahun) adalah seorang oposan sejati berkebangsaan Belanda yang pada 1949 beralih menjadi warga negara Indonesia, sejak muda hingga tua, melawan berbagai rezim yang melakukan penindasan dan penyelewengan, mulai dari Nazi hingga Orde Baru, mulai dari rezim sayap kanan hingga rezim yang cenderung ke-kiri-kiri-an.

Dia hanya hidup di Belanda sejak lahir hingga masa muda, selebihnya dia habiskan di Indonesia. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke.

Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C Princen menggunakan nama Poncke. Siapalah yang peduli. Ia toh sudah lama terbiasa tak punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk kesehatannya.

Di Indonesia, dia terutama dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia. Princen menikah dengan Janneke Marckmann (ke 1971) dan nanti dengan Sri Mulyati. Dia ada empat anak: Ratnawati H.E. Marckmann, Iwan Hamid Marckmann, Nicolaas Hamid Marckmann dan Wilanda Princen.

Latar Belakang

Princen lahir dan tumbuh di Belanda. Dia sempat mengenyam pendidikan di Seminari dari 1939-1943. Pada tahun 1943, tentara Nazi Jerman mulai menginvasi dan menduduki Belanda. Seminari tempat dia sekolah diisolasi dan anak-anaknya dikurung di asramanya karena Belanda berada sepenuhnya dalam suasana perang.

Pada tahun yang sama dia mencoba melarikan diri dan tertangkap oleh Nazi. Dia pun dikirim ke kamp konsentrasi di Vught, lalu dikirim lanjut ke penjara kota Utrecht. Di akhir 1944, sesaat setelah dia bebas dari Jerman, dia kembali ditahan oleh pemerintah - kali ini pemerintah Belanda, karena dia menolak wajib militer di tengah kondisi yang sangat kritis tersebut. Ia pun dengan paksa masuk dinas militer dan dikirim ke jajahan Belanda di timur yang berusaha untuk memerdekakan diri, yaitu Indonesia. Di negara jajahan ini ia tergabung dalam tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL.


Mengabdi Republik, Berjuang untuk Kemanusiaan

Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke yang muak menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya, meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan yakni Tentara Nasional Indonesia.

Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya.

Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949. Pada tahun 1948 pula dia, walaupun seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.

Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan pihak militer yang bertindak sewenang-wenang.

Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966).

Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan Partai Komunis Indonesia (yang saat itu menjadi massa utama pendukung Presiden Sukarno dan rival dari kekuatan militer), mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan Darat. sehingga pamor kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi energi kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer dukungan CIA untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan Suharto menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, Orde Baru, menggantikan rezim yang lama - Orde Lama. Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun. Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.

Mengkritik Rezim Ored Baru

Tetapi Princen kembali dikecewakan dengan rezim yang baru, dan perjuangannya pun tak berhenti walaupun rezim yang berkuasa sudah ganti. Princen justru membela pihak yang dulu memojokkannya, ia membela korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota PKI dan orang-orang yang dituduh komunis.

Pada tahun 1968 Poncke menitipkan sebuah perekam suara kepada Goenawan Moehammad yang saat itu bekerja di Harian Kami dan termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Poncke memintanya mewawancarai Pramoedya Ananta Toer diam-diam dan membuat sedikti laporan tentang keadaan di Kamp tahanan itu buat Amnesty International yang kemudian mengangkat Pramoedya sebagai ‘Prisoner of Conscience” lambang korban yang terinjak.

Tahun berikutnya, Poncke Karena pembelaan terhadap korban-korban yang dituduh PKI ini, Princen sendiri di kalangan umum juga sempat mendapat cap 'komunis' - orang lupa bahwa dia juga menentang kekuasaan yang didominasi komunis pada masa Orde Lama.

Pada tahun 1968-1969, lewat sebuah investigasi, Princen mengungkapkan sejumlah fakta dan memprotes pembantaian massal PKI di Purwodadi Jawa Tengah. Kritik itu jelas melahirkan murka penguasa yang baru dua tahun menikmati imperiumnya. Tidak hanya harus membantah pemberitaan yang menghebohkan tersebut, pemerintah juga perlu mengambil tindakan yang lebih serius tidak hanya terhadap Poncke tapi juga terhadap pers, masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia.

Tak ayal, Tuduhan pengikut komunis sebagai stigma yang paling terkenal untuk mengamputasi musuh politik orde baru digunakan Soeharto, Jenderal M. Panggabean (Panglima AD-KSAD pada waktu itu) dan Mayjen Soerono Reksodimedjo (Pangdam IV Diponegoro) disematkan kepada Princen agar kemudian lebih mudah untuk memenjarakannya.

Tidak hanya kritik yang dikeluarkan Poncke. Kakak dari Keis Princen ini juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk memeriksa laporan yang ia siarkan ke beberapa media nasional soal kasus Purwodadi. Hal itu ditujukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kasus yang cukup menghebohkan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah tersebut. Begitu mengerikannya dampak kasus ini, pada tahun yang sama, ia bersama dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru.

Gerakannya semakin meluas seiring ketidakadilan yang ia saksikan. Tahun 1970, Poncke menjadi salah satu yang mempelopori berdirinya Lembaga Bantuan Hukum.

Pada tahun 1974, Princen terlibat dalam penggalangan demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Pembangunan monumen raksasa ini secara umum dinilai sebagai langkah yang sangat tidak tepat di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih buruk di saat itu. Princen dipenjarakan karena aksinya ini, sejak tahun 1974 hingga 1976.

Berjuang Hingga Akhir Hayat

Sejak dibebaskan tahun 1976, Princen tidak menjadi kendor, tetapi malah semakin vokal membela Hak Asasi Manusia di bawah represi orde militer yang menguasai negeri ini saat itu. Dia terlibat dalam pembelaan HAM di Timor Timur salah satu dari dua kasus yang menonjol adalah pembantaian Santa Cruz dan melindungi puluhan mahasiswa Timor-Timur. dia juga aktif dalam masalah perburuhan. Sejak tahun 1976 dia tak pernah dipenjarakan secara permanen, tetapi berulang kali diinterogasi dan juga diawasi secara ketat oleh polisi, dan mungkin juga militer (yang tak jelas bedanya saat itu - sama-sama ABRI).

Tahun 1980, ia juga ikut mendirikan YLBHI, menjadi pengacara para korban pada peristiwa pembantaian Tanjung Priok (1984), membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Mendagri Rudini (1989).

Mendirikan sebuah Koalisi HAM yang bernama Indonesia Front for Defending Human Right (INFIGHT) 1989, Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (SBMS) tahun 1990, KontraS (1998) dan lain-lain. Pun ketika masyarakat memberinya penghargaan Yap Thiam Hien Award 2002 sebagai tokoh HAM bersama petani Jenggawah Jember, Poncke memandang penghargaan tersebut sebagai bagian yang lahir dari proses panjang perjuangan penegakan HAM secara bersama di Indonesia. Baginya didukung atau tidak bukan menjadi bagian utama dari upaya pembelaannya secara konsisten terhadap manusia tanpa membedakan apakah ia dituduh PRD - yang oleh Orde Baru dianggap turunan dari PKI atau ekstrem kanan.

Princen meninggal pada 22 Februari 2002 sebagai figur yang sangat dihormati dan dihargai oleh tokoh dari berbagai golongan.

Pekerjaannya yang amat mulia kini dicoba diteruskan oleh Ahmad Hambali seorang aktivis muda yang sempat bertemu dalam kondisi berkursi roda ketika sama-sama membela petani Sagara Garut tahun 1990-an. Walaupun pencekalan di tanah leluhurnya masih terus berlangsung hingga ajal menjemput, namun rohnya kini bebas keluar masuk Den Haag, Heemstede, Amersfoort, Enschede, Haarlem dan Sukabumi. Bebas juga dari protes kerdil para veteran perang kolonial, dari Drs. Kamsteeg yang melarangnya menggunakan nama Poncke. Yang tersisa hanya semangatnya. Sang desertir sudah pulang ke kesatuannya.

Sumber tambahan: Ahmad Hambali, LPHAM dan Princen, Pengantar Draft Penelitian Studi Surat-Surat Protes Princen tahun 1990, LPHAM, Jakarta, 2004
            
Pranalan Luar

•(Indonesia) HJC Princen - Haji Belanda Pejuang HAM dalam "Tokoh Indonesia"
•(Inggris) Human Rights Campaigner Continues Fight That He Began Decades Ago as a Dutchman: Just Another Skirmish For Indonesian Warrior, Artikel di International Herald Tribune
•(Inggris) (Belanda) Archief Poncke Princen, Arsip di International Institute of Social History



Pembantaian Purwodadi

Pembantaian Purwodadi merupakan salah satu babak peristiwa pembantaian dan pembersihan sisa-sisa pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) di Purwodadi, GroboganJawa Tengah pada tahun 1968. Pembantaian ini terkenal di dunia internasional setelah salah satu tokoh yang ikut di dalam pembersihan tersebut memberikan kesaksiannya dan ditulis serta disebarluaskan oleh HJC Princen (Poncke Princen) dan koran Harian KAMI dengan editornya yaitu Nono Anwar Makarim. Salah satu hal kontroversi dari kasus ini adalah adanya daerah yang diduga merupakan lokasi kuburan massal korban pembantaian.[1][2][3] Lokasi pembantaian tersebut diduga ada di daerah Kuwu, Hutan Monggot (berada di Geyer), Sungai Ganjing, Sungai Glugu, Waduk Simo, Waduk Nglangon (terletak di Mangunsari, Tegowanu) , SendangtapakDaplangTegowanu (semua berada di Kabupaten Grobogan) serta KedungjatiMojolegi,Boyolali, serta Hutan Sanggarahan.

Reaksi Pemerintah

Jenderal TNI Maraden Panggabean

Selang beberapa hari setelah tersiarnya kabar pembunuhan massal di Purwodadi, banyak petinggi Angkatan Darat waktu itu, seperti Panglima TNI AD Jend. M. Panggabean dan Pangdam Diponegoro Mayjend. Surono Reksodimedjo berlomba-lomba menyatakan bantahannya bahkan Poncke dituduh sebagai agen komunis. Menghadapi tuduhan itu Poncke balas menyerang mengatakan bahwa tuduhan itu tak berdasar karena pada masa Sukarno, di saat PKI ada di atas angin, dia justru menjadi lawannya. “Saya bukan seorang sentimentalis naif,” begitu kata Poncke.[10]

Reaksi Internasional

Reaksi di Belanda
Cees dan Henk yang gagal membuat berita Purwodadi ekslusif akhirnya tetap mengangkat kasus itu di De Haagsche Courant. Hasil reportase Cees dan Henk ternyata membawa dampak yang cukup besar. Berita itu menyulut reaksi dan gelombang protes dari masyarakat internasional, khususnya di Belanda terhadap rezim Orde Baru. Surat kabar Belanda Trouw edisi 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang keberatan dengan niat jalinan kerjasama Belanda-Indonesia karena dengan demikian melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia. Di lain pihak pemimpin kelompok Indonesianis terkemuka, Dr. J.M. Pluvier menyatakan bahwa pemerintah Soeharto bertanggung jawab atas penangkapan terhadap orang-orang kiri dan diskriminasi terhadap golongan Cina.[5]

Frans Seda

Bola salju yang menggelinding sejak peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi terungkap semakin membesar. Dalam rangka lustrum Universitas Katolik Nijmegen, pada tanggal 17 April 1969 diselenggarakan sebuah ceramah dengan mengundang Menteri Keuangan RI, Drs. Frans Seda sebagai penceramah. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk mulai berceramah, Y. van Herte seorang mahasiswa menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI selama bulan Oktober 1965.

 Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata mereka menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Akibatnya suasana menjadi kacau, bahkan Frans Seda diteriaki sebagai "Moordenaar " dan "lafaard..!."(Pembunuh dan Pecundang). Akhirnya ceramah dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan Aula Universitas lewat pintu belakang.[5]

Prof.Dr. Ernst Utrecht

Prof. Dr. W.F. Wertheim, seorang Indonesianis yang juga menjadi salah satu anggota komite Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan Majalah Vrije Nederland juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, Wertheim kembali menegaskan, “tidak ada kerjasama” dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik. Pemerintah Orde Baru, yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim, kemudian melarangnya mengunjungi Indonesia.[5]

Posisi pemerintah Orde Baru semakin terpojok dengan terungkapnya kasus pembunuhan massal di Grobogan. Kasus Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke telah menorehkan aib bagi Orde Baru di awal kekuasaannya. Tidak tanggapnya rezim Soeharto terhadap kasus Grobogan menimbulkan reaksi keras di luar negeri. Prof. Dr. Ernst Utrecht, tokoh Indo-Belanda yang pernah masuk Konstituante RI dan menjadi anggota PNI, dalam sebuah diskusi di Universitas Nijmegen, Belanda, mengatakan bahwa “Repelita is onzin” (Repelita adalah omong kosong). Ia juga mengatakan bahwa bantuan kepada Indonesia adalah sama dengan imperialisme ekonomi yang membawa Indonesia memasuki Kapitalisme Barat. Kejatuhan Soekarno membawa angin segar bagi masuknya pemodal asing karena Soeharto, yang baru saja memegang kendali pemerintahan selama dua tahun, telah mengambil serangkaian langkah-langkah untuk merealisasikan program perbaikan ekonomi dan memulihkan stabilitas politik dalam satu paket dan stabilitas politik dijadikan prasyarat bagi landasan pembangunan ekonomi.[5]

Reaksi di Luar Belanda

Bukan hanya pers Belanda, pers Thailand juga mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita, sehingga perhatian khalayak diarahkan ke Indonesia. Akibatnya Kedutaan Besar RI di Bangkok menjadi sasaran hujatan dan kritik pedas dari berbagai kalangan, baik dari pemerintah maupun organisasi sosial lainnya di Bangkok. Kasus Purwodadi tampaknya berdampak lebih jauh daripada yang diperkirakan. Soeharto yang merasa terganggu oleh peristiwa itu, akhirnya membatalkan kunjungannya ke sejumlah negara Eropa yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Ia memutuskan baru akan mengunjungi Eropa termasuk Belanda pada tahun 1970.[5]

Berbeda dengan publik di Belanda, reaksi pers Amerika Serikat terhadap pembunuhan massal terbesar sesudah Perang Dunia ke II itu dingin-dingin saja. Bahkan semenjak awal tersiar kabar penghancuran PKI di Indonesia, Majalah Time edisi 5 Juli 1966 menuliskan hal tersebut sebagai “berita terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.”[5]


Referensi

1"Penemuan 16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
2. Affan, Heyder (2017-11-16). "Ditemukan 'kuburan massal korban kekerasan 1965 ' di Purwodadi, Jawa Tengah". BBC Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-27.
3. "Jejak Kuburan Massal Purwodadi [1]". ypkp1965.org. Diakses tanggal 2017-11-27.
5. "Purwodadi: Skandal Pertama Orde Baru". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
6. "Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)". SOCIO-POLITICA (dalam bahasa Inggris). 2009-10-21. Diakses tanggal 2017-11-17.
7. Samuel., Totten,; S., Parsons, William; W., Charny, Israel (2004). Century of genocide : critical essays and eyewitness accounts (edisi ke-2nd ed). New York: Routledge. ISBN 9780415944304OCLC 57124951.
8. "Di Balik Berita Purwodadi". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
9. "Soe Hok Gie dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2017-11-27.
10. 1945-, Dhakidae, Daniel, (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792203097OCLC 52594506.

Selasa, 17 September 2019

G30S 1965 - Pembantaian Massal terhadap Anggota dan Tertuduh PKI di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah


Natalia Bulan Retno Palupi
Selasa, 17 September 2019 21:45 WIB

Vannessa Hearman dari Museum Brawijaya (Historia ID)
Tentara menangkap tahanan PKI dalam Operasi Trisula

Pembantaian massal terhadap orang-orang PKI salah satunya di lakukan di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 / G30S 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban.

Merespon peristiwa G30S, hadir kebijakan pemberantasan terhadap orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para simpatisannya yang menyulut konflik sosial di Jawa dan Bali hingga menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Seusai kejadian G30S, konflik yang berujung pembunuhan terjadi di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Salah satunya adalah pembantaian terhadap anggota dan yang tertuduh PKI di GroboganPurwodadi, Jawa Tengah.

Kisah pembantaian massal di Purwodadi pada mulanya sempat diungkapkan oleh Poncke Princen, yang kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain, seperti sejarawan Bonnie Triyana.

Narasi pembantaian massal di GroboganPurwodadi, Jawa Tengah, 
Tribunnewswiki.com kutip dari Liputan Khusus Tempo edisi 1-7 Oktober 2012, 'Pengakuan Algojo 1965'.

Informasi yang dituliskan telah terlebih dahulu dilakukan verifikasi melalui beberapa sumber.

Selain itu juga telah dilakukan pengecekan apakah benar pelaku atau orang yang sekadar ingin dicap berani.
Privasi narasumber tetap diutamakan.

Pencantuman nama seseorang diperoleh melalui izin atau berita yang telah memperoleh izin.

Beberapa orang yang tak ingin disebut namanya, maka akan dicantumkan inisial.

Sedangkan foto yang terpampang adalah mereka yang telah memberikan izin gambar untuk diketahui publik luas.

Tidak ada niatan untuk membuka aib atau menyudutkan orang-orang yang terlibat.

Tribunnewswiki.com tidak mengubah beberapa pernyataan individu untuk menjaga otentisitas sumber.

Usaha Pembuktian Poncke Princen

Pembantaian massal di GroboganPurwodadiJawa Tengah menjadi narasi sejarah yang komprehensif.

Adapun kebenaran adanya peristiwa tersebut sempat diungkapkan oleh Poncke Princen, Bonnie Triyana dan kesaksian sumber lain yang dimiliki oleh Tempo.

Dalam narasi yang dibuat Tempo, dilaporkan bahwa pada tahun 1969, sore hari sebuah Chevrolet Impala datang di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, GroboganJawa Tengah.

Mobil tersebut ditumpangi beberapa pejabat serta satu warga asing yang langsung memasuki kantor kecamatan.

Warga asing tersebut bernama Poncke Princen aktivis hak hak asasi manusia yang pertama kali menyatakan adanya pembantaian 2.000-3.000 anggota Partai Komunis Indonesia di seluruh Grobogan.

Poncke Princen datang bersama Panglima Angkatan Darat Jenderal Maraden Saur Halomoan Panggabean dan Menteri Penerangan Budiardjo.

Kedatangan militer dan pemerintah melalui Menteri Penerangan saat itu bermaksud mengklarifikasi kebenaran pernyataan dari Princen.
Dari kantor kecamatan, rombongan tersebut meluncur ke sebuah kamp tahanan di dekat balai desa.

Seorang saksi mata (seperti dilaporkan Tempo) berujar bahwa sebelumnya, bangunan itu hanyalah gudang beras milik Ang Kwing Tian.
"Militer lalu meminjamnya untuk tempat penahanan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI," ujar salah seorang saksi.
Sesampainya di kamp tahanan, rombongan tidak berhasil membuktikan adanya indikasi pembantaian massal, karena jumlah tahanan masih sama dengan data yang tertulis.

Diberitakan beberapa hari kemudian, ternyata pembuktian yang dilakukan militer dan pemerintah adalah tidak benar.

Sebelum rombongan tersebut datang, kamp tahanan tersebut sebenarnya nyaris kosong.

Hal itu disebabkan karena sebagian besar sudah dieksekusi oleh mereka yang tergabung dalam milisi Pertahanan Rakyat (Hanra) Inti, yang merupakan anggota Hanra terlatih.

Agar jumlahnya kembali sesuai dengan daftar orang yang ditangkap, pihak tentara kembali menangkapi orang, untuk memanipulasi kebenaran berita yang dibawa oleh Poncke Princen.
"Kali ini yang ditangkap bukan orang-orang PKI, melainkan pengagum Sukarno, yang sering disebut Sukarnosentris," ujar saksi mata tersebut
Meskipun Princen gagal untuk membuktikan pembantaian seperti yang dituduhkannya saat itu, namun kedatangan mobil tersebut membawa perubahan di desa tersebut.

Suwito seorang warga sekitar berkomentar perihal pengalamannnya menyaksikan tahanan politik ditangkap.
"Sebelumnya, setiap pukul tiga pagi selalu ada tahanan masuk ke kamp, kemudian siangnya dibawa entah ke mana dan menghilang," kata Suwito, warga daerah Kuwu, GroboganJawa Tengah
Setelan kamp tersebut dibubarkan, tahanan disebar ke tempat lain, dan ketegangan di desa tersebut berangsur terurai.

Sebelum dilakukan pembuktian, Princen mendapat kabar pembantaian itu dari Romo Wignyo Sumarto, seorang pastor di ibu kota Kabupaten GroboganPurwodadi.

Romo bercerita banyak ihwal orang-orang yang ditangkap kemudian dibunuh dalam operasi pembersihan PKI di GroboganPurwodadi yang dikenal dengan nama Operasi Kikis I dan II, pada 1967-1968.

Romo mendengar sendiri hal cerita tersebut dan terdapat pula pengakuan penjaga kamp-kamp tahanan di sebelah timur Semarang.

Dalam kesaksiannya, Romo menuturkan bahwa orang yang ditangkap kemudian dibunuh dengan cara dipukul di bagian kepala menggunakan batangan besi.

Hal itu disampaikan Princen dalam biografinya yang berjudul Kemerdekaan Memilih (seperti yang dikutip Tempo).
"Ini dilakukan pada malam hari setelah kereta api Yogya lewat," ujar Princen.
Beberapa hari setelah Princen mengungkapkan cerita mengenai pembantaian PKI kepada pers, Panglima Kodam VII/ Diponegoro Mayor Jenderal Surono membuat bantahan.

Dia mengatakan apa yang disampaikan Princen adalah bentuk perang urat saraf yang dilancarkan PKI dalam rangka menggagalkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang sedang dilakukan pemerintah Orde Baru.

Kisah Pembantaian Massal di Purwodadi

Dalam bukunya, Princen juga menuturkan bahwa salah satu anggota milisi Hanra Inti, bernama Mamik, menceritakan itu dalam pengakuan dosanya.

Mamik menyatakan telah membunuh 50 orang hanya dalam semalam.
Kesaksian Romo Wignyo ini kemudian diungkap Princen kepada pers nasional dan internasional.

Diakui olehnya, bahwa Henk Kolb, wartawan harian Belanda, HaagscheCoumnt, menjadikan cerita itu sebagai acuan investigasinya.

Dalam laporannya (seperti yang dilaporkan Tempo), Kolb menyebutkan terdapat tujuh tempat pembantaian atau kuburan massal.

Tempat itu berada di Desa Simo (300 mayat yang terkubur), Desa Cerewek (25), Desa Kuwu (100), Desa Tanjungsari (200), Desa Banjarsari (75), Grobogan (50), dan Pakis (100 mayat).

Sedangkan untuk tempat kamp penahanan, yang paling besar adalah gudang beras milik Ang Kwing Tian.

Sementara tahanan yang ditangkap berasal dari berbagai tempat.
"Demikian pula dengan satu regu Hanra Inti yang bertugas jaga di situ," ujar salah satu sumber Tempo yang menjadi asisten petugas kesehatan di kamp tahanan.
Dilaporkan bahwa di kamp tersebut tahanan mengalami siksaan luar biasa, dari pukulan hingga sengatan listrik.

Tidak jarang juga, para tahanan hampir gila lantaran siksaan tersebut.
Pada waktu malam, terkadang para anggota Hanra Inti mengeluarkan sedikitnya 20 tahanan.

Para tahanan kemudian diangkut dengan truk ke suatu tempat.
Di lokasi tersebut, dilaporkan para tahanan dieksekusi dengan cara dipancung atau dipukul tengkuknya dengan besi.

Kisah Pembantaian Massal di Purwodadi: Kesaksian Sugin

Penduduk setempat juga menyebut tempat pembantaian terhadap orang-orang PKI terletak di hutan Gundih di luar Desa Kuwu.

Mereka mengetahui bahwa hutan jati tersebut adalah tempat eksekusi lantaran tanpa sengaja algojo meninggalkan satu potongan kepala yang lupa dikubur.

Seorang petani bernama Sugin, (kesaksian diberikan kepada sejarawan Bonnie Triyana yang dikutip Tempo), mengakui pernah melihat langsung seseorang yang kepalanya dipukul besi hingga tewas.

Sugin berujar bahwa mayat korban langsung dikubur di tempat dan di atasnya ditanam pohon pisang.'

Kisah Pembantaian Massal di Purwodadi: Penangkapan Sugeng

Maskun Iskandar, seorang wartawan Harian Indonesia Raya pernah melaporkan kejadian pembantaian massal di Grobogan.

Ia menyebutkan bahwa razia terhadap PKI di Purwodadi diawali dengan penangkapan seseorang bernama Sugeng.

Sugeng ditangkap karena ia dilaporkan sering merampok.
Dalam pemeriksaannya, Sugeng berujar bahwa PKI dianggapnya sedang giat membentuk Tentara Pembebasan Rakyat.
"Berdasarkan keterangan awal itulah pembersihan terhadap PKI dilakukan," ujar Maskun.
Bonnie Triyana (seperti yang dikutip Tempo) memiliki pandangan berbeda terkait pembantaian massal di PurwodadiJawa Tengah.

Bonnie menyatakan bahwa terdapat perbedaan atas pembantaian di Jawa Timur yang melibatkan masyarakat secara sukarela, sedangkan di Grobogan tentara langsung memberi komando kepada elemen masyarakat.

Senada dengan pernyataan Bonnie, Princen juga berujar bahwa tentara langsung melakukan komando terkait penumpasan anggota PKI
"Lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan (komunis) sendiri daripada saya yang membersihkannya," kata Komandan Kodim 0717 Purwodadi Letnan Kolonel Tedjo Suwarno, seperti dikutip Princen.
Princen menganggap bahwa apa yang dilakukan Tedjo sebenarnya merupakan perintah atasannya.

Kedua argumen tersebut juga mirip dengan sumber yang dimiliki oleh Tempo.
Bahwa terdapat radiogram langsung dari Panglima Kodam VIl/ Diponegoro Mayor jenderal Surono, yang meminta Kodim 0717 melakukan operasi pembersihan PKI.
"Operasi pengamanan ini tentunya berbentuk penangkapan dan pembantaian itu," ujar saksi yang dimiliki Tempo tersebut.
Pembuktian bahwa militer menjadi komando utama atas pembersihan orang-orang PKI terbukti (seperti dilaporkan Tempo).

Hal tersebut terlihat dari ditemukannya perintah dari pusat yang tertuang dalam memori intelijen serah-terima jabatan Kepala Staf Kodam Diponegoro tertanggal 23 Juli 1968.

Memori intelijen ini secara terang-terangan menyebutkan jumlah anggota PKI yang telah ditangkap dalam Operasi Kikis II, terdiri dari: 172 orang klasifikasi A, 248 orang klasifikasi B, dan 472 orang klasifikasi C.
"Biasanya yang klasifikasi A itu yang kategorinya berat dan pasti dihabisi," kata saksi yang dimiliki Tempo.
--
Sumber:
Liputan Khusus Tempo, 1 - 7 Oktober 2012 "Pengakuan Algojo 1965"

Jumat, 26 April 2019

Sejarah Hidup J.C. Princen, Desertir Belanda yang Mendirikan LBH


Oleh: Petrik Matanasi - 26 April 2019

Hidup J.C. Princen penuh romantika di zaman Revolusi. Dia memilih desersi dari ketentaraan Belanda dan berpihak pada Republik.

Johannes Cornelis Princen. tirto.id/Lugas

Pelarian Princen menyeberang ke kubu Republik adalah kisah terbesar dalam sejarah desersi tentara Belanda di Indonesia. Dan dia merasa bukan satu-satunya desertir di keluarga besarnya. Kakek buyutnya, yang jadi idola Princen, juga desersi dari ketentaraan Belanda.

Sedari belia Johannes Cornelis Princen alias Poncke adalah pemuja kebebasan dan tidak begitu menyukai penderitaan orang lain. Orang semacam dirinya tentu saja membenci wajib militer. Princen pernah kabur ke Perancis dari negaranya demi menghindari tugas-tugas jorok yang menguntungkan politikus dan elite kolonial. Namun akhirnya Poncke terjebak pula dalam pekerjaan kotor itu.

Bersama pemuda lain, Poncke dikapalkan. Salah satu orang yang bersamanya adalah Piet van Straveren, pemuda komunis yang benci pada politik negaranya dan justru mencintai Indonesia. Poncke begitu salut terhadap Piet—yang belakangan punya nama Jawa, Pitojo.

Menyesuaikan Diri dengan Cara Hidup Orang Indonesia Suatu kali, ketika sudah berada di Indonesia, Poncke ada janji pada malam hari dengan seorang perempuan Indonesia di seberang Kebun Raya. Poncke membawakannya sekaleng kornet, karena sedang tidak ada uang.
Setelah 30 menit bertemu, mereka pulang ke tempat masing-masing. Sepulangnya ke barak, terdengar suara tembakan. Bersama kawannya, Poncke ambil Sten gun. Setelah masuk ruangan di barak, Poncke terkejut tapi tidak bisa memperlihatkan apa-apa di hadapan kawan-kawan serdadu Belandanya.
“Kami masuk ke ruangan dan melihat terbaring seorang perempuan bersimbah darah. Ini adalah cewek yang baru saja aku kencani,” aku Poncke dalam autobiografinya, Kemerdekaan Memilih (1995: 62).
Hatinya tersayat-sayat melihat Asmuna, gadis itu. Pemandangan tersebut sangat memilukan dan Poncke merasa betapa menjijikannya kawan-kawan serdadunya. Polisi militer, yang diberitahu bahwa Poncke “ada main” dengan perempuan itu, pun menjemputnya. Salah satu anggota polisi militer bilang, “Hei kamu lebih baik periksakan dirinya. Apa kamu tahu dia berpenyakit sifilis?”
Setelah beberapa waktu di Indonesia, Poncke harus menjalani hukuman penjara karena desersi yang pernah dilakukannya pada 1946. Dia dipenjara di Cipinang (Jakarta Timur) dan Poncol (Cimahi). Ketika di Cimahi, pada 1947, Poncke dengar kabar luar biasa: Piet sudah menyeberang ke Republik.
 Poncke mengaku belum terpikir untuk menyeberang. Setelah bebas, Poncke jadi supir pembantu di Bogor. Selama di Bogor, Poncke mulai bergaul dengan orang-orang Indonesia dan belajar bahasa Indonesia.

Suatu pagi pada 26 September 1948, Poncke ke Jakarta dari Sukabumi dengan menebeng jip militer. Ketika berhenti di Jakarta, Geert Verbeek, si supir, percaya bahwa Poncke hendak menyambangi pacarnya. Poncke rupanya mendatangi kantor Balai Pustaka untuk mencari tahu ke mana dia harus pergi untuk kabur ke pihak Republik. Sri Murtioso, yang merasa Poncke sudah gila, akhirnya memberi dua alamat di Semarang dan uang 25 gulden.

Poncke pun naik kereta ke Semarang. Di alamat pertama, Poncke melihat keragu-raguan, dan akhirnya ke alamat kedua, seorang perempuan anggota Palang Merah. Setelah tinggal bersama di rumah keluarga perempuan ini, Poncke nekat mencari kontak sendiri. Akhirnya dia menemukan pemuda Republik bersenjata, yang membawa Poncke berjalan setengah hari ke pos gerilya. Seorang perwira Republik yang bisa bahasa Belanda pun memeriksanya.

Di sekitar Kudus-Pati, Poncke sempat berada di tengah-tengah perseteruan antara milisi komunis dengan tentara pemerintah, sebelum akhirnya Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris menguasai keadaan. Poncke pun bebas. Kemal Idris lalu mengirim Poncke ke Kolonel Gatot Subroto di Solo. Gatot Subroto mempercayainya dan akhirnya Poncke diizinkan ke Yogyakarta, seperti yang diinginkannya.

Di Yogyakarta, Poncke melapor ke Mokoginta—yang tidak percaya pada Poncke dan mengerangkengnya. Ketika keadaan kacau karena Belanda menyerbu, Princen bertemu lagi dengan Kemal Idris, yang sekali lagi membebaskannya dari Penjara Wirogunan.
Tak lupa Idris memberinya dua pilihan, “ikut kami (gerilya) di Jawa Tengah atau kembali ke tentara kamu sendiri?” Poncke ikut pilihan pertama. “Ia mulai menyesuaikan diri dengan cara hidup orang Indonesia,” aku Kemal Idris dalam autobiografinya, Bertarung Dalam Revolusi (1997: 114).
Dengan segera Poncke dijadikan perwira batalion. Poncke yang berwajah bule dimanfaatkan untuk mengelabui orang-orang Belanda, demi mendapatkan senjata dari Belanda, salah satunya dengan menyerang penjaga perkebunan. Bahkan Kemal Idris pernah menugaskannya masuk ke Jakarta untuk mengontak orang-orang Republik. Di mata Kemal Idris, Poncke orang yang kocak. Waktu lewat sungai berkali-kali terpeleset. Kemal geli melihat Poncke memaki-maki Tuhan dalam bahasa Belanda karena kesulitan yang dihadapinya.

Di dalam perjalanan gerilyanya, Poncke lagi-lagi terlibat asmara. Kali ini dengan Nyi Odah. Mereka bahkan menikah. Odah ikut bergerilya. Poncke sebentar bahagia bersama Odah, sebab istrinya itu harus mati muda, terbunuh oleh peluru tentara Belanda.

Setelah gencatan senjata, Poncke yang sudah kehilangan istri akhirnya menulis surat ke ibunya. Menceritakan pelariannya dari kesatuan tentara Belanda dan memilih bergabung dengan tentara Republik. Juga tentang tentara Belanda yang mengejarnya. Tak lupa, Poncke menuliskan nama barunya, Sasmita Atmadja. Dirinya ikut serta dalam menangkal Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling.


Dari Politikus sampai Pendiri LBH Setelah Tentara Belanda angkat kaki, Poncke memilih keluar dari TNI. Dia jadi orang bebas lagi. Dia berkelana dengan sepeda motor BSA. Sebagai jomblo.
“Menurut kebiasaan seorang laki-laki ganteng tak bisa terus menerus hidup melajang,” aku Poncke dalam autobiografinya (hlm. 142).
Setelah itu kawinlah dia dengan Eddah. Lalu dia dapat pekerjaan sebagai kepala screening tentara Belanda yang ingin tinggal di Indonesia. Usai Pemilu 1955, dia terpilih menjadi anggota parlemen sebagai wakil golongan asing. Saat itu dia aktif di partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) atas ajakan A.H. Nasution.

Sejak zaman Sukarno, Poncke jadi orang kritis kepada penguasa. Baik di Orde Lama maupun Orde Baru. Meski dikenal sebagai sosok yang anti-komunis, Poncke masih punya hati dan begitu risih dengan pembantaian massal pasca-1965 di Purwodadi. Poncke lalu menulis laporan soal pembantaian tersebut.

Laporan itu bukannya diseriusi, tapi membuat Poncke dituduh komunis. Sudah menjadi “hukum tak tertulis Orde Baru” bahwa semua yang berseberangan dan menjelek-jelekan Orde Baru maka dia akan dicap komunis. Sebelum tutup usia pada 2002, Poncke dikenal sebagai aktivis HAM. Dia menjadi salah satu pembela orang-orang yang dianggap bersalah dalam kasus Tanjung Priok.
“Dalam bidang advokasi hukum, Princen juga meletakkan peran rintisan. Pada masa awal Orde Baru, 1971, bersama sejumlah tokoh, Princen mendirikan LBH (Lembaga Bantuan Hukum),” tulis R. Eep Saefulloh Fatah dalam Membangun oposisi: agenda-agenda perubahan politik masa depan (1999: 79).
Penulis: Petrik Matanasi Editor: Ivan Aulia Ahsan

Selasa, 21 November 2017

Dirgahayu, Poncke!

Hendi Jo | Selasa 21 November 2017 WIB

Tentang seorang manusia yang memandang kemanusiaan melebihi semua ideologi.


H.J.C. Princen alias Poncke. 
Foto

Hari ini H.J.C. Princen berulangtahun. Jika dia masih ada di tengah kita, usia lelaki yang akrab dipanggil Poncke itu sudah mencapai angka 92. Namun nyatanya Poncke sudah pergi sejak Februari 2002 dan sekarang jasadnya bersemayam di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tempat yang dia pilih sendiri untuk beristirahat panjang.

Poncke sebenarnya sangat bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tahun 1949, Presiden Sukarno telah menganugerahinya Bintang Gerilya dan itu memberinya hak untuk dimakakamkan di “tempat yang terhormat” tersebut. Tapi sejak awal, Poncke telah menolaknya. “Papah pernah bilang ingin dimakamkan sebagai orang biasa saja dan tidak di TMP.Kalibata yang dia bilang banyak koruptornya,” ungkap Wilanda Princen suatu hari kepada saya.

Saya percaya Poncke pernah mengatakan itu. Sebagai pejuang kemanusiaan yang hampir tiap waktu bertempur melawan kesewenang-wenangan, hal-hal yang terkait dengan heroisme baginya sudah selesai. Tak ada sikap pamrih seperti dimiliki sebagian besar para politisi kita hari ini. Karakter dan prinsipnya sangat jelas. “Dia orang yang setia kepada hatinurani dan rakyat tertindas,” ujar Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai.

Romo Mangun tentunya tidak sembarang meyebut Poncke seperti itu. Tapi saya yakin, dia tidak memiliki kalimat lain untuk melukiskan seorang lelaki Belanda yang “nekad” berpihak kepada “kaum ekstrimis” yang dimusuhi negaranya hanya karena soal kemanusiaan. Padahal bila mau, (seperti puluhan ribu serdadu Belanda lainnya saat itu) bisa saja Poncke berdalih bahwa dia hanya eksekutor dari para jenderal semata. Tapi toh itu tidak dilakukannya.

“Aku pernah menjadi bagian suatu negara yang ditindas oleh para fasis Jerman, apakah aku harus berlaku sama seperti para penindas itu kala berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang ingin merdeka?” kata Poncke saat saya wawancarai pada 1996.

Desember 1948, Poncke secara resmi membelot ke kubu Republik. Ia lantas bergabung dengan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi dan ikut melakukan long march dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Bersama sekira seribu prajurit (ditambah para perempuan dan anak-anak), dia berjalan dari hari ke hari hampir dalam waktu dua bulan lamanya menyusuri kaki gunung, hutan, sawah dan sungai.

Masih segar dalam ingatan Poncke, saat mereka tengah berjalan tertatih-tatih dalam suatu barisan panjang, kerap kali pesawat-pesawat tempur militer Belanda menghujani mereka dengan peluru dan bom. Dia harus menjadi saksi semua hal buruk yang ditimbulkan oleh saudara-saudara sebangsanya: orang-orang terluka karena bom, anak-anak stres karena ketakutan dan para istri yang menangis karena kehilangan suami.

“Omong kosong, kalau itu semua tidak membuatku semakin terikat dalam satu nasib dan satu penderitaan dengan mereka!” ujarnya seperti dikutip oleh penulis Joyce van Fenema dalam Kemerdekaan Memilih. Bisa jadi, pengalaman itu pula yang menjadikan Poncke selalu memilih posisi bersama rakyat tertindas dan bersebrangan dengan pihak penguasa. Baginya kemanusiaan melebihi semua ideologi yang dimiliki manusia termasuk nasionalisme.

Setelah keluar masuk penjara karena kerap berbeda pendapat dengan pemerintah Sukarno, pada awal 1969, Poncke lagi-lagi memerahkan kuping penguasa. Kali ini rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang menjadi sasarannya. Saat itu, di hadapan pers, Poncke membongkar pembunuhan ratusan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Purwodadi.

Rezim Orde Baru murka. Mereka menyebut berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat ngawur.

Sudah pasti Poncke tak pernah peduli dengan semua tuduhan tersebut. Bahkan saat dia dikecam sebagai “sekali pengkhianat tetap pengkhianat” oleh Ali Said (Ketua Komnas HAM) karena pembelaanya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, Poncke tetap setia dengan jalan oposisi-nya.

Poncke memang manusia yang jarang dilahirkan oleh zaman. Saya pikir, hingga kini tak banyak orang seperti dia lagi. Kendati begitu banyak hal yang bisa diteladani darinya, orang-orang hari ini agaknya tidak akan seberani dia lagi ketika harus memilih jalan. Dirgahayu, Poncke!

Sumber: Historia.Id