Oleh: Petrik Matanasi - 26
April 2019
Hidup J.C. Princen penuh romantika di zaman
Revolusi. Dia memilih desersi dari ketentaraan Belanda dan berpihak pada
Republik.
Johannes Cornelis Princen.
tirto.id/Lugas
Pelarian Princen menyeberang ke kubu Republik adalah
kisah terbesar dalam sejarah desersi tentara Belanda di Indonesia. Dan dia
merasa bukan satu-satunya desertir di keluarga besarnya. Kakek buyutnya, yang
jadi idola Princen, juga desersi dari ketentaraan Belanda.
Sedari belia Johannes Cornelis Princen alias Poncke
adalah pemuja kebebasan dan tidak begitu menyukai penderitaan orang lain. Orang
semacam dirinya tentu saja membenci wajib militer. Princen pernah kabur ke
Perancis dari negaranya demi menghindari tugas-tugas jorok yang menguntungkan
politikus dan elite kolonial. Namun akhirnya Poncke terjebak pula dalam
pekerjaan kotor itu.
Bersama pemuda lain, Poncke dikapalkan. Salah satu orang
yang bersamanya adalah Piet van Straveren, pemuda komunis yang benci pada
politik negaranya dan justru mencintai Indonesia. Poncke begitu salut terhadap
Piet—yang belakangan punya nama Jawa, Pitojo.
Menyesuaikan Diri dengan Cara Hidup Orang Indonesia Suatu
kali, ketika sudah berada di Indonesia, Poncke ada janji pada malam hari dengan
seorang perempuan Indonesia di seberang Kebun Raya. Poncke membawakannya
sekaleng kornet, karena sedang tidak ada uang.
Setelah 30 menit bertemu, mereka pulang ke tempat
masing-masing. Sepulangnya ke barak, terdengar suara tembakan. Bersama
kawannya, Poncke ambil Sten gun. Setelah masuk ruangan di barak, Poncke
terkejut tapi tidak bisa memperlihatkan apa-apa di hadapan kawan-kawan serdadu
Belandanya.
“Kami masuk ke ruangan dan melihat terbaring seorang perempuan bersimbah darah. Ini adalah cewek yang baru saja aku kencani,” aku Poncke dalam autobiografinya, Kemerdekaan Memilih (1995: 62).
Hatinya tersayat-sayat melihat Asmuna, gadis itu. Pemandangan tersebut sangat memilukan dan Poncke merasa betapa menjijikannya kawan-kawan serdadunya. Polisi militer, yang diberitahu bahwa Poncke “ada main” dengan perempuan itu, pun menjemputnya. Salah satu anggota polisi militer bilang, “Hei kamu lebih baik periksakan dirinya. Apa kamu tahu dia berpenyakit sifilis?”
Setelah beberapa waktu di Indonesia, Poncke harus
menjalani hukuman penjara karena desersi yang pernah dilakukannya pada 1946.
Dia dipenjara di Cipinang (Jakarta Timur) dan Poncol (Cimahi). Ketika di
Cimahi, pada 1947, Poncke dengar kabar luar biasa: Piet sudah menyeberang ke
Republik.
Poncke mengaku
belum terpikir untuk menyeberang. Setelah bebas, Poncke jadi supir pembantu di
Bogor. Selama di Bogor, Poncke mulai bergaul dengan orang-orang Indonesia dan
belajar bahasa Indonesia.
Suatu pagi pada 26 September 1948, Poncke ke Jakarta dari
Sukabumi dengan menebeng jip militer. Ketika berhenti di Jakarta, Geert
Verbeek, si supir, percaya bahwa Poncke hendak menyambangi pacarnya. Poncke
rupanya mendatangi kantor Balai Pustaka untuk mencari tahu ke mana dia harus
pergi untuk kabur ke pihak Republik. Sri Murtioso, yang merasa Poncke sudah
gila, akhirnya memberi dua alamat di Semarang dan uang 25 gulden.
Poncke pun naik kereta ke Semarang. Di alamat pertama,
Poncke melihat keragu-raguan, dan akhirnya ke alamat kedua, seorang perempuan
anggota Palang Merah. Setelah tinggal bersama di rumah keluarga perempuan ini,
Poncke nekat mencari kontak sendiri. Akhirnya dia menemukan pemuda Republik
bersenjata, yang membawa Poncke berjalan setengah hari ke pos gerilya. Seorang
perwira Republik yang bisa bahasa Belanda pun memeriksanya.
Di sekitar Kudus-Pati, Poncke sempat berada di
tengah-tengah perseteruan antara milisi komunis dengan tentara pemerintah,
sebelum akhirnya Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris menguasai
keadaan. Poncke pun bebas. Kemal Idris lalu mengirim Poncke ke Kolonel Gatot
Subroto di Solo. Gatot Subroto mempercayainya dan akhirnya Poncke diizinkan ke
Yogyakarta, seperti yang diinginkannya.
Di Yogyakarta, Poncke melapor ke Mokoginta—yang tidak
percaya pada Poncke dan mengerangkengnya. Ketika keadaan kacau karena Belanda
menyerbu, Princen bertemu lagi dengan Kemal Idris, yang sekali lagi
membebaskannya dari Penjara Wirogunan.
Tak lupa Idris memberinya dua pilihan, “ikut kami (gerilya) di Jawa Tengah atau kembali ke tentara kamu sendiri?” Poncke ikut pilihan pertama. “Ia mulai menyesuaikan diri dengan cara hidup orang Indonesia,” aku Kemal Idris dalam autobiografinya, Bertarung Dalam Revolusi (1997: 114).
Dengan segera Poncke dijadikan perwira batalion. Poncke
yang berwajah bule dimanfaatkan untuk mengelabui orang-orang Belanda, demi
mendapatkan senjata dari Belanda, salah satunya dengan menyerang penjaga
perkebunan. Bahkan Kemal Idris pernah menugaskannya masuk ke Jakarta untuk
mengontak orang-orang Republik. Di mata Kemal Idris, Poncke orang yang kocak.
Waktu lewat sungai berkali-kali terpeleset. Kemal geli melihat Poncke
memaki-maki Tuhan dalam bahasa Belanda karena kesulitan yang dihadapinya.
Di dalam perjalanan gerilyanya, Poncke lagi-lagi terlibat
asmara. Kali ini dengan Nyi Odah. Mereka bahkan menikah. Odah ikut bergerilya.
Poncke sebentar bahagia bersama Odah, sebab istrinya itu harus mati muda,
terbunuh oleh peluru tentara Belanda.
Setelah gencatan senjata, Poncke yang sudah kehilangan
istri akhirnya menulis surat ke ibunya. Menceritakan pelariannya dari kesatuan tentara
Belanda dan memilih bergabung dengan tentara Republik. Juga tentang tentara
Belanda yang mengejarnya. Tak lupa, Poncke menuliskan nama barunya, Sasmita
Atmadja. Dirinya ikut serta dalam menangkal Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
pimpinan Westerling.
Dari Politikus sampai Pendiri LBH Setelah Tentara Belanda
angkat kaki, Poncke memilih keluar dari TNI. Dia jadi orang bebas lagi. Dia
berkelana dengan sepeda motor BSA. Sebagai jomblo.
“Menurut kebiasaan seorang laki-laki ganteng tak bisa terus menerus hidup melajang,” aku Poncke dalam autobiografinya (hlm. 142).
Setelah itu kawinlah dia dengan Eddah. Lalu dia dapat
pekerjaan sebagai kepala screening tentara Belanda yang ingin tinggal di Indonesia.
Usai Pemilu 1955, dia terpilih menjadi anggota parlemen sebagai wakil golongan
asing. Saat itu dia aktif di partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) atas ajakan A.H. Nasution.
Sejak zaman Sukarno, Poncke jadi orang kritis kepada
penguasa. Baik di Orde Lama maupun Orde Baru. Meski dikenal sebagai sosok yang
anti-komunis, Poncke masih punya hati dan begitu risih dengan pembantaian
massal pasca-1965 di Purwodadi. Poncke lalu menulis laporan soal pembantaian
tersebut.
Laporan itu bukannya diseriusi, tapi membuat Poncke
dituduh komunis. Sudah menjadi “hukum tak tertulis Orde Baru” bahwa semua yang
berseberangan dan menjelek-jelekan Orde Baru maka dia akan dicap komunis.
Sebelum tutup usia pada 2002, Poncke dikenal sebagai aktivis HAM. Dia menjadi
salah satu pembela orang-orang yang dianggap bersalah dalam kasus Tanjung
Priok.
“Dalam bidang advokasi hukum, Princen juga meletakkan peran rintisan. Pada masa awal Orde Baru, 1971, bersama sejumlah tokoh, Princen mendirikan LBH (Lembaga Bantuan Hukum),” tulis R. Eep Saefulloh Fatah dalam Membangun oposisi: agenda-agenda perubahan politik masa depan (1999: 79).
Penulis: Petrik Matanasi Editor: Ivan Aulia
Ahsan
0 komentar:
Posting Komentar