Oleh: Petrik Matanasi - 17 April 2019
Tanda gambar peserta Pemilu 1955. LIFE/Howard Sochurek
Tentara boleh memilih dalam Pemilu 1955.
Saat itu banyak prajurit AD yang menyoblos PKI.
Pemilu 1955 memperbolehkan Kolonel Alex
Evert Kawilarang, Panglima Tentara Siliwangi, dan bawahan-bawahannya ikut
memilih. Meski pangkatnya tergolong tinggi, Alex Kawilarang rela dan tidak
masalah ketika harus mengantre di belakang prajurit-prajurit yang pangkatnya
jauh lebih rendah. Begitulah yang tertangkap dari foto di autobiografinya yang
disusun Ramadhan K.H., AE Kawilarang: Untuk
Sang Merah Putih (1988: 283).
Letnan Dua Raden Muhammad Yogie Suardi
Memet—yang belakangan pernah menjadi Menteri Dalam Negeri di zaman Orba—ada di
belakang Alex Kawilarang. Orang yang berdiri mengantre di depan Yogie bukan
perwira, tapi prajurit yang pangkatnya lebih rendah lagi.
Kisah itu bukan satu-satunya cerita soal
Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memilih dalam Pemilu 1955.
Pengawal legendaris Presiden Sukarno,
Mangil Martowidjojo, dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999: 191)
menyebut, "Polisi Negara (juga) ikut serta dalam Pemilu 1955".
Tak hanya para anggota TNI dan polisi
boleh mencoblos dalam pemilu. Di antara mereka pun ada yang mendirikan partai
politik. Terdapat Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) yang jadi peserta Pemilu
1955. Beberapa kolonel—Abdul Haris Nasution, Gatot Subroto, dan Azis
Saleh—mendirikan suatu partai bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI). Dari partai inilah sejarah Pemuda Pancasila bermula.
“Banyak tentara yang oleh karena latar-belakangnya, keyakinan pribadinya atau pengaruh lingkungan dan tradisi keluarga memilih partai-partai tertentu,” tulis Daud Sinjal dan kawan-kawan dalam Laporan Kepada Bangsa (1996: 195).
Banyak Tentara Pilih PKI
Partai yang populer di era 1950-an itu
adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang sudah berakar dari zaman kolonial.
Lalu ada Masyumi, yang merupakan gabungan organisasi Islam. Ada pula Partai
Komunis Indonesia (PKI), yang sangat populer di kalangan petani, buruh, dan
kaum miskin.
Masih menurut Daud Sinjal, kala itu IPKI
belum mengakar dan pendidikan politik tentara juga belum matang. Menurut Abdul
kadir—yang belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Penerangan dan berpangkat
terakhir mayor jenderal—kalau tentara ikut mencoblos maka akan terpecah-pecah.
IPKI dan P3RI tidak sukses. IPKI cuma
dapat lima kursi parlemen. P3RI juga tidak lebih dari IPKI.
Mangil menyebut, “tidak ada seorang anggota polisi yang memaksa rakyat, menakut-nakuti rakyat untuk menyoblos tanda gambar P3RI.”
Dua partai itu tak semujur Partai Komunis
Indonesia (PKI), yang dinarasikan Orde Baru kerap berkampanye secara licik.
Kemenangan PKI sebagai partai nomor 4 dalam perolehan suara adalah kejutan bagi
para pembencinya.
"Tahun 1955, 30 persen tentara memilih PKI," kata Soemarsono dengan kagum dalam Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah (2008: 62).
"TNI yang waktu Peristiwa Madiun baru menembaki kita atau disuruh menembaki kita, tetapi warga TNI memberikan suara 30 persen."
Bagi Soemarsono, Pemilu 1955 adalah
pemilu demokratis karena tentara dibolehkan memilih.
Sementara itu, Achmadi Moestahal dalam
Dari Gontor ke Pulau Buru: Memoar H. Achmadi Moestahal (2002) menyebut,
“intelnya militer Zulkifi Lubis banyak mengawasi prajurit dari hasil coblosan,
karena mereka tahu bahwa mayoritas Angkatan Darat nusuk PKI” (hlm. 143).
Lubis mengatakan sendiri hal itu sambil
khawatir. Moestahal berkesimpulan di lingkaran tentara pilihan itu tidaklah bebas
dan rahasia.
“Saya sendiri memilih PKI,” aku Moestahal, yang sejak lulus sekolah rakyat punya simpati dengan gerakan kiri sambil tetap memegang teguh ajaran Islam. “Karena saya melihat waktu itu program partai ini populis, membela buruh, membela orang kecil yang diperlakukan sewenang-wenang.”
Banyak perwira Angkatan Darat tidak
senang dengan keberhasilan PKI. Dan yang paling memukul adalah banyaknya
prajurit Angkatan Darat yang mencoblos PKI.
Ada seorang komandan resimen yang malu
setengah mati kepada atasan ketika hasil pemilihan menyebutkan bahwa mayoritas
prajurit di bekas batalion yang pernah dipimpinnya memilih PKI.
Pernah terlintas di kepala perwira
tertentu yang anti-komunis untuk menyerang kantor PKI. Seperti dicatat Daud
Sinjal (1996), Achmad Nasuhi, perwira Siliwangi yang dikenal anti-komunis,
pernah mengajak Kapten Abdul Kadir Besar untuk menggranat kantor CC PKI. Abdul
Kadir tidak suka ide itu meski dia juga tak suka komunis. Namun penggranatan
tetap terjadi pada Juli 1957 (hlm. 196).
Jualan Isu Kemiskinan
Dekade 1950-an adalah masa penuh
kemiskinan. Jangankan kaum kuli, para abdi negara berpangkat rendah pun hidup
dalam kemelaratan. Mereka jadi sasaran empuk kampanye PKI. Seperti dirilis
Harian Rakjat (28/9/1955), PKI menyatakan: bagi para prajurit, polisi, dan
pegawai negeri lainnya, memilih PKI berarti jaminan hak-haknya terpenuhi dan
perbaikan gaji. Jualan isu kemiskinan yang dilakukan PKI ternyata cukup manjur.
Partai-partai zaman sekarang, meski benci minta ampun pada PKI, meniru cara-cara
PKI demi mendapat simpati massa.
Abdul Haris Nasution, yang sempat jadi
pimpinan Partai IPKI, tidak memilih terjun berlama-lama sebagai politikus
partai. Dia kemudian diaktifkan kembali oleh Bung Karno sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD). Dan IPKI memang tidak punya masa depan sebagai partai
besar.
Tentu lebih baik menjadi pemimpin kaum
bersenjata daripada jadi pemimpin partai kecil. Dengan jadi KSAD, Nasution
semakin kuat dan punya posisi tawar tinggi, bahkan di hadapan Sukarno. Setelah
Orde Baru lahir, hak pilih tentara kemudian hilang. Pasal 11 UU nomor 15 tahun
1969 menyebut, “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak
menggunakan hak memilih.”
Pasal 14 UU tersebut juga menyebutkan,
“Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak dipilih.”
Dalam konsep Orde Baru, tentara dicanangkan untuk berdiri di atas semua
golongan. Pada kenyataannya, "semua golongan" yang dimaksud adalah
Golongan Karya (Golkar).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
0 komentar:
Posting Komentar