17.04.2019 - Vidi Athena Dewi Legowo - Zipperer
Dalam masa jabatan keduanya, Jokowi harus lebih berani.
Tidak ada lagi yang dipertaruhkan. Ia harus membenahi isu-isu HAM yang telah
diabaikannya sejak 2014. Opini pemimpin redaksi DW Indonesia Vidi
Legowo-Zipperer.
Sejujurnya, kemenangan calon presiden petahana, Joko
Widodo bukanlah kejutan. Semua hasil survei yang dilakukan sebelum pemilihan
presiden sudah memprediksikan Jokowi sebagai pemenang.
Tapi, sejak kemenangan Donald Trump dalam
pilpres Amerika Serikat pada tahun 2017, kita telah belajar untuk tidak
meremehkan kekuatan para pemilih yang belum memutuskan. Selama beberapa hari
terakhir kampanye, Jokowi melakukan segala cara untuk meyakinkan golongan putih
alias golput agar pergi memilih.
Sebelum debat presiden terakhir, Jokowi kembali
menampilkan imejnya sebagai rockstar. Di depan ratusan ribu pendukungnya
di Gelora Bung Karno, penampilannya mengingatkan kembali akan sosok Jokowi lima
tahun yang lalu.
Vidi Legowo-Zipperer, pemimpin redaksi Indonesia DW
Selama masa kampanye 2014 silam, Jokowi mendapat dukungan
kuat pemilih milenial dan disebut oleh media asing sebagai "Barack Obama
dari Indonesia." Dia dipandang sebagai perwakilan generasi muda dan orang
luar yang tidak berasal dari kalangan elit pemerintahan Indonesia yang lama.
Imej inilah yang membuatnya terpilih sebagai presiden Indonesia pada pilpres
saat itu.
Tapi dalam pilpres kali ini, Jokowi bukan lagi sosok yang
baru. Selama masa jabatan pertamanya, ia menerima banyak kritik dari para
pendukungnya, karena dianggap cenderung mengakomodasi kepentingan kelompok
elit.
Keputusan Jokowi untuk memilih Ma'ruf Amin sebagai calon
wakil presiden pasangannya juga mengejutkan banyak orang. Jokowi dianggap
mengkompromikan nilai-nilai yang selama ini diyakininya, untuk memenangkan poin
politik.
Walau demikian, kita tidak boleh menutup mata dan
mengabaikan fakta, bahwa Jokowi juga mencapai sukses di banyak sektor. Dia
telah berhasil menggiatkan kembali pembangunan infrastruktur yang mandeg. Tahun
ini, Indonesia membuka jalur kereta bawah tanah pertama di ibu kota, Jakarta.
Ditambah lagi program Kartu Indonesia Sehat, yang
disebut-sebut sebagai program pemerintahan Joko Widodo yang paling sukses dalam
memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat golongan bawah.
Masa jabatan kedua Jokowi, sesuai aturan akan
menjadi masa jabatannya yang terakhir. Jokowi memperoleh kesempatan kedua untuk
memenuhi janjinya dari lima tahun yang lalu.
Jokowi memulai masa jabatan presiden pada
tahun 2014 dengan catatan hukum kurang menggembirakan, dengan menandatangani
eksekusi mati delapan pelaku kejahatan narkoba. Ia mengabaikan permohonan para
pemimpin asing untuk membatalkan eksekusi.
Dia juga tidak mengabulkan tuntutan pegiat HAM untuk
penyelesaian komprehensif pembunuhan massal atas aksi kekerasan pada tahun
1965 dan 1966.
Jokowi memilih untuk diam ketika Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok, gubernur DKI Jakarta yang menggantikannya, yang vokal menentang
radikalisme dan giat memberantas korupsi, masuk penjara karena tuduhan pasal karet
penistaan agama. Dan di masa jabatannya pula, komunitas LGBT dan minoritas
agama makin ditindas.
Banyak masalah hak asasi manusia di Indonesia masih perlu
ditangani dan dituntaskan oleh Jokowi. Namun, banyak aktivis HAM yang tidak
lagi terdengar suaranya di tahap akhir kampanye pemilu. Ada anggapan, ini
sengaja dilakukan agar tidak membahayakan peluang Jokowi dalam pemilihan
presiden 2019.
Jika asumsi ini benar, berarti masyarakat Indonesia masih
memiliki harapan, bahwa Jokowi masih dapat memenuhi janji-janjinya sebelum ia
lengser di tahun 2024. Ini adalah masa jabatan terakhir Jokowi. Tidak ada lagi
yang harus dipertaruhkan untuk era kepemimpinan berikutnya. Jadi, inilah
saaatnya bagi Jokowi untuk bersikap lebih berani dan bersuara tegas mengangkat
masalah HAM di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar