HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Oey Hay Djoen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Oey Hay Djoen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 April 2019

Marx House


Oey Hay Djoen


Hari itu barangkali telah sangat menentukan perjalanan hidupku.
Pada suatu hari di akhir tahun 1945 atau awal 1946 itu, aku mampir ke subuah gedung tua yang terletak di ujung jalan "spoorstraat“ tepat di belokan ke jalan "Boldi“. Di atas pintu masuk gedung itu terpasang papan nama: "Serikat Rakjat“, dalam huruf-huruf cat hitam di atas latar belakang cat merah menyala.

Aku mampir ke situ karena mengetahui bahwa di situ ada dijual buku-buku yang telah menarik perhatian dan minatku.

Selagi asyik melihat-lihat dan memperhatikan buku-buku yang secara sederhana digelar di atas sebuah meja panjang (di ruangan depan yang dimaksudkan sebagai semacam toko buku itu, tidak ada lemari-lemari atau rak-rak buku sebagaimana layaknya di sebuah toko buku), dan yang di antaranya aku dapatkan buku Manifesto of the Comunist Party, aku merasakan tangan seseorang menepuk bahuku.
“Anda berminat akan buku-buku seperti ini?“ tanya seseorang yang berdiri di belakangku.
Seseorang berperawakan tegap, tidak terlalu tinggi, dan bermata sedikit juling. Belakangan aku mengetahui bahwa orang itu bernama Tukliwon, seseorang yang berbapak seorang Digulis, dan belum lama “pulang“ ke Indonesia dari Australia.
Sambil membalikkan badanku, aku menjawab, “O, saya Cuma lihat-lihat saja. Dan memang saya tertarik pada buku-buku seperti ini.“
Dan dari perkenalan secara “kebetulan“ itu, berkembanglah percakapan yang mengasyikkan, dan yang berakhir dengan sebuah penawaran Tukliwon itu padaku: “Apakah anda berminat untuk lebih mengenal dan mendalami yang ditulis dalam buku-buku seperti ini? Jika anda mau, maka saya dapat memperkenalkan dan mengantar anda sehingga anda dapat mengikuti semacam mimbar pengetahuan politik.“
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan yang disampaikan oleh Tukliwon padaku, setiap petang hari, dari jam 19:00 hingga (rata-rata) pukul 22:00 aku mengikuti yang kemudian ternyata adalah kursus Serikat Rakjat, suatu bagian dari kegiatan pendidikan/pengkaderan yang dilakukan oleh Seksi Comite Partai Komunis Indonesia di kota Malang itu.

Sejak kapan kursus-kursus itu diadakan, tidak pernah aku ketahui. Tetapi kursus itu tanpa dipungut bayaran. Dan tanpa ikatan apapun. Yang bertindak sebagai pemberi kursus itu juga seorang Digulis, bernama Sujitno. Seorang yang berbadan tegap, berwajah kasar dan hitam. Seseorang yang tidak akan pernah kulupakan, karena gayanya “mengajar“ yang selalu tegas, jelas dan lengkap.

“Kursus“ itu aku ikuti selama kira-kira 4 atau enam bulan. Dan yang kudapatkan dari kursus itu adalah pengetahuan paling dasar mengenai sebab-sebab dan sumber-sumber adanya kemiskinan, adanya penindasan manusia oleh manusia, tentang kapitalisme dan imperialisme.
Aku tidak mengetahui apakah setelah mengikuti kursus Serikat Rakjat itu sekian bulan lamanya, aku dianggap sudah mencapai tingkat “tamat“, tetapi pada suatu hari, setelah selesai kursus untuk hari itu, aku diundang oleh pak Jitno untuk menemuinya.

Pak Jitno menanyakan/menawarkan padaku, apakah aku berminat untuk melanjutkan “kursus“ Serikat Rakjat itu dengan mengikuti Marx House, yang diselenggarakan oleh sebuah badan gabungan dari Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia di Yogya.

Marx House itu untuk setiap angkatan berlangsung dua bulan lamanya.
Mengikuti Marx House juga tiada dipungut biaya, bahkan sebaliknya, para pesertanya akan tinggal dalam sebuah asrama, singkat kata disediakan papan dan pangan serta pelajaran sesuai jadwal, 7 hari dalam seminggu dan 4 jam di pagi dan 4 jam di petang hari, dengan waktu-waktu tertentu untuk studi bersama dan diskusi bahan pelajaran.
Angkatan Marx House yang ditawarkan padaku adalah angkatan ke 2.

*

Tempat Marx House angkatan ke 2 itu diselenggarakan adalah bekas gedung administrator Pabrik Gula Padokan di Yogya.

Sebelum masuk ke gedung itu, aku sempat mengalami stress berat, karena setibanya di Yogya dan mendaftar ke sebuah alamat di (kalau tidak salah) Songoyudan, aku ditolak mengikuti Marx House itu, dengan alasan (walaupun aku menyerahkan sepucuk surat keterangan dan rekomendasi dari pak Jitno dari Serikat Rakjat) bahwa aku masih di bawah usia (usiaku pada waktu itu sudah 17, pertengahan tahun 1946).

Besar kemungkinan bahwa penolakan itu datangnya dari Sitoroes, salah seorang sekretaris Partai Sosialis. Aku sebenarnya tidak berdaya melakukan sesuatu apapun untuk menembus penolakan itu sekalipun aku sudah sepenuh hati ingin mengikuti Marx House itu, karena ku pikir ini suatu kesempatan yang tidak akan datang seratus tahun sekali bagiku.

Ternyata, aku "diselamatkan" oleh intervensi Tan Ling Djie, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia, yang --seperti juga Sitoroes-- belum pernah aku kenal/jumpa sebelumnya. Hingga hari ini, 60 tahun kemudian, aku tidak mengetahui (bahkan bertanya pun tidak) dasar yang dipakai Tan Ling Djie mengijinkan aku mengikuti Marx House itu.
Maka masuklah aku ke Marx House, Padokan, Yogyakarta, angkatan 2 - tahun 1946.

Para peserta "pendidikan" di Marx House itu terdiri dari para aktivis partai, serikat buruh (aku sendiri tidak mengetahui ke dalam kategori mana diriku dimasukkan, karena aku tidak aktif di sesuatu partai maupun serikat buruh. Mungkin aku diterima sekedar karena rekomendasi Serikat Rakjat Malang itu) dari berbagai daerah. Jumlahnya tidak aku ingat, mungkin sekitar 40 atau 50 orang. Yang masih kuingat hingga sekarang, hanyalah beberapa orang yang kemudian aku sering berhubungan dengannya, antara lain Soedarmo dan Ahmad Ireng yang memimpin SBPP Surabaya, Siti Asiah, pemimpin Gerwis/Gerwani dan kemudian menjadi istri Satyagraha (wartawan terkemuka Soeloeh Indonesia dari PNI), H.M. yang kemudian aku ketahui menjadi seorang pimpinan NU, Mbak S. yang kemudian kekuketahui menjadi istri seorang menteri dalam pemerintahan Soekarno.

Suasana dan pergaulan dalam Marx House itu setepatnya disebut sebagai keakraban yang layaknya sebuah keluarga besar. Urusan rumah tangga berada di tangan bijaksana dari Ibu Jaetun.

Setelah jarak waktu yang enampuluh tahun ini, sungguh membuat diriku menggandrungi kebersamaan sesama peserta, yang memang berdisiplin, tetapi bukan disiplin mati dan yang mematikan inisiatif dan kreativitas. Rasa kebersamaan itu tidak saja menghidupkan jam-jam pelajaran maupun diskusi-diskusi, tetapi dan terutama membina dan mengukuhkan keakraban dan kepedulian antara sesama peserta.

Selama dua bulan itu, aku berusaha sebanyak-banyak mungkin dan selengkap-lengkap (semendalam) mungkin menyerap semua pelajaran yang diberikan. Msterialisme Dialektik dari pak Jaetun, Digulis dan yang secara pribadi kuberi julukan Mr Universum, Ekonomi Politik dari pak Akhiar (pada tahuh + 1997 meninggal dalam usia 92 tahun), yang darinya aku beruntung mendapatkan dan menyimpan sebuah buku catatan mengenai pekerjaan di bawah tanah yang dilakukan pak Akhiar pada tahun-tahun 1949-1950-an (segera setelah peristiwa Madiun), Gerakan Buruh dari Gondo, bangsawan Yogyakarta yang kini hidup di negeri Belanda, Organisasi dari Abdulrahman, yang adalah juga salah seorang laksamana RI pertama, mantan ajudan laksamana Belanda yang berkedudukan di Colombo di masa perang dunia ke II, yang meninggal dalam usia 82 pada tahun 2004. Dan dari "guru-guru" lain yang sungguh bukan orang sembarangan: pak Alimin, Sardjono, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Setiadjit, Maruto Darusman.

Jika dibandingkan keadaan masa itu dan sekarang, maka keberadaan dan yang diselenggarakan/dilaksanakan Marx House sebagai dan dalam bidang pendidikan kader dan politik sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa. Dan dalam mengajukan segala macam kritik tentang kekurangan-kekurangan Marx House, apa yang dihasilkannya dan apa jadinya dengan semua usaha itu, jangan sekejabpun orang melupakan dalam keadaan bagaimana, dengan perlengkapan yang bagaimana, dengan sumber daya bagaimana semua itu telah dilakukan.o 

Senin, 24 September 2018

Gerakan 30 September: Hilangnya Catatan Jujur Sarwo Edhi Wibowo dan Surat Pengakuan Aidit


K. Tatik Wardayati - Senin, 24 September 2018 | 15:30 WIB


Intisari-Online.com – Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang kemudian menjadi titik balik perubahan besar politik negeri ini, tak cukup mudah dipahami meski banyak buku, artikel, laporan, dan kesaksian telah dibuat.

Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang mengambil manfaat? Ibarat sebentuk gambar yang terdiri atas banyak potongan kertas, belum terbentuk gambar yang utuh.  Celakanya, banyak kertas palsu atau rekayasa.

Buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang - Catatan Julius Pour (2010) ini mencoba menyusun kembali gambar berdasarkan kesaksian para tokoh penting di seputar peristiwa itu.

Mayong Suryo Laksono mencukil buku tersebut dan dimuat di Majalah Intisari edisi November 2010, dengan judul asli Mencari Titik Terang dari Kelamnya Sejarah Indonesia.

Pada dini hari 12 Maret 1966, Letjen Soeharto langsung menandatangani Surat Keputusan No. 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI. Sejak itu, semua surat yang dikeluarkannya selalu dengan alinea pembuka "Atas Nama Presiden Sukarno"

Setelah berkonsolidasi dengan Panglima AU, AL, dan Angkatan Kepolisian, Letjen Soeharto melakukan pembersihan PKI. Di pemerintahan, di organisasi, dan di kelompok-kelompok masyarakat.

Selain penangkapan dan penyidangan lewat Mahkamah Militer Luar Biasa, penyerbuan juga dilakukan mengingat masih ada senjata api yang dikuasai PKI.

Ujung tombak operasi pembasmian PKI adalah pasukan RPKAD di bawah Kolonel (Inf.) Sarwo Edhie Wibowo yang setahun sebelumnya membebaskan RRI dan Kantor Telekomunikasi, juga membebaskan Bandara Halim Perdanakusumah dari penguasaan G30S.

Operasi pembersihan PKI saat itu berlanjut ke Jawa Tengah dan Jawa Timur karena perlawanan masih ada. Bahkan Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Staf Letkol Sugiono menjadi korban penculikan kelompok perlawanan yang ternyata juga beranggotakan tentara.

Pertempuran tak terhindarkan. Bukan hanya melawan tentara pembelot, tetapi juga masyarakat sipil bersenjata, bahkan Gerwani yang melawan dengan penghinaan.

Tanpa ragu-ragu Sarwo Edhie menindak, bahkan dengan jalan kekerasan.
Korban berjatuhan tak terhindarkan. Juga di Bali dan Sumatera Utara.

Petaka terjadi karena kematian tidak hanya karena pertempuran. Tapi banyak juga karena dibunuh setelah penangkapan. Terdengar berita-berita sadistis semacam penyembelihan, pembunuhan massal, hingga penghanyutan mayat di sungai.

Dunia internasional menyoroti. Pemerintah lantas membentuk Komisi Pencari Fakta (FFC – Fact Finding Commission) agar jumiah korban bisa diketahui lebih pasti.

Dalam rapat pleno terakhir, Komisi yang diketuai Menteri Dalam Negeri merangkap Gubemur Djakarta Raja Mayjen dr. Soemarno itu menyepakati jumlah korban yang ditinjau di daerah sekitar Medan, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Bali, pendeknya belum seluruh Indonesia, selama kurun waktu Desember 1965 sampai 2 januari 1966 sudah berjumlah 80.000 orang.
"Apa yang terjadi sesudahnya tidak diketahui setelah aksi pembunuhan ternyata berlangsung terus, malahan semakin meningkat," kenang Oei Tjoe Tat, Menteri Negara yang juga anggota FFC.
Sesudah semua anggota membubuhkan tanda tangan, Oei bertanya kepada Jenderal (Pol.) Soetjipto Joedodihardjo, Panglima Angkatan Kepolisian, 
"Apa benar angka korban hanya 80.000 yang tewas?"
Soetjipto menjawab, "Sudah pasti lebih banyak, tapi apa gunanya dibuat ramai-ramai?"
Dari anggota lain, Menteri Penerangan Mayjen Achmadi, Oei mendapat jawaban, "Jumlahnya ya, ada kalau sepuluh kali lipat."
"Kamu kok bersedia tanda tangan angka 80.000?" Oei mendesak.
 “Yo wis ben (yah, biarkan saja)."
Setelah dr. Soemarno menyerahkan laporan kepada Presiden Soekarno, 2 Januari 1966, Presiden memanggil Oei secara pribadi.
"Jumlah sebenarnya berapa?" "Berdasarkan pengalaman mengikuti FFC, jumlah korban sekitar lima sampai enam kali lipat, jadi lebih kurang angkanya 500.000 atau 600.000," jawab Oei.
Rum Aly, Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia, dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 melukiskan,
"Perkiraan moderat memang menyebut angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain antara satu juta sampai dua juta jiwa. Tetapi Sarwo Edhie, yang berada di lapangan pascaperistiwa, suatu ketika pernah menyebut angka tiga juta jiwa. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka itu."
Menurut Rum Aly, "Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan mengenai pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 maupun masa-masa sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut.

Mungkin saja ada angka-angka signifikan dalam catatannya. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie hilang di tangan orang, justru dalam rangka untuk menerbitkannya.

Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan yang hilang tersebut pasti berisikan hal-hal yang sangat berharga dan relatif tidak mengandung unsur-unsur pemalsuan sejarah. Atau, naskah catatan itu hilang karena justru bersih dari pemalsuan sejarah?

Hilangnya catatan Sarwo Edhie melengkapi hilangnya naskah asli Surat Perintah 11 Maret, juga telah dihilangkannya surat pengakuan Aidit, yang ditulis hanya sehari sebelum menjalani eksekusi.

Epilog

Sabtu sore, 12 Maret 1966:

Satu kompi pasukan RPKAD menyerbu sebuah rumah di Jalan Madiun, Menteng, Jakarta Pusat. Tembak-menembak terjadi ketika para penjaga keamanan berpakaian sipil mencoba melawan.

Sesudah pertempuran, 21 penjaga keamanan dan karyawan gedung tanpa papan nama tersebut dapat diringkus. Sejumlah dokumen dan senjata yang disita menunjukkan bangunan tersebut markas Badan Pusat Intelijen (BPI) yang diketuai Soebandrio.

Senin pagi, 14 Maret 1966:

Para mahasiswa melakukan pawai berkabung keliling Jakarta, berangkat dari halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jln. Salemba Raya, Jakarta Pusat. Biro penerangan KAMI mengumumkan, tujuh rekan mereka di tiga kota gugur selama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Arief Rahman Hakim mahasiswa di Jakarta, Djubaedah dan Moh. Syafei pelajar di Jakarta, Hassanudin dan Syarief Akadir mahasiswa di Makassar, Margono dan Arief Winangun pelajar di Yogyakarta.

Senin malam, 14 Maret 1966:

Jakarta dalam suasana mencekam. Tapi kesibukan justru terjadi di markas pasukan empat angkatan. Di Tjidjantung pasukan RPKAD, di Tjilandak pasukan KKO-AL, demikian pula Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AU di Tjililitan. Mereka menerima kabar bahwa pasukan Brimob Kepolisian disiagakan.
Ketegangan baru berakhir Selasa dini hari setelah Jenderal Nasution, yang tak lagi punya jabatan setelah disingkirkan Presiden Sukarno dari jabatan Menteri Keamanan Nasional, memanggil panglima angkatan ke rumahnya.
"Ketegangan dipicu oleh informasi yang menyesatkan dari Waperdam Soebandrio bahwa RPKAD akan menyerbu Halim, seperti kejadian awal Oktober tahun lalu."

Selasa siang, 15 Maret 1966:

Dalam rapat raksasa gemuruh di Taman Suropati, Jakarta Pusat, Zamroni, anggota Prsidium KAMI  Pusat menantang Bung Karno,
"Kalau benar aksi-aksi mahasiswa selama ini dibiayai CIA, gantung saya di depan umum." Zamroni memberikan bantahan setelah dari Istana muncul tuduhan, Dinas Rahasia AS CIA pernah mengirim dana AS$ 50.000 untuk membiayai aksi penggulingan Presiden Sukarno.

Info itu sekian tahun kemudian, sesudah dokumen-dokumen CIA dibuka, ternyata memang benar terjadi. CIA pernah menyerahkan dana tersebut lewat Adam Malik.

Rabu siang, 16 Maret 1966:

Mahasiswa dan pelajar kembali membanjiri Gedung DPR Gotong Rojong, menyampaikan daftar anggota Kabinet yang haus di-retool karena dituduh sebagai pendukung gelap PKI.

Mereka adalah Soebandrio, Johannes Leimena, Chaerul Saleh, Astrawinata, Jusuf Muda Dalam, Surjadi, Sutomo Martopratomo, Suhadi Reksowardojo, Armunanto, Setiadi, Surachman, Achadi, Prijono, Soemmardjo, Sadjaro, Mayjen dr. Soemamo, Mayjen Achmadi, Laksamana Oemar Dhani, Kurwet Kartadiredja, Ali Sastroamidjojo, Sudibjo, Oei Tjoe Tat, Gusti Subamia, dan Asmara Hadi.

Rabu malam,  16 Maret:

Siaran warta berita RRI Pusat dimulai dengan pengumuman dari Istana Merdeka. Waperdam III Chaerul Saleh membacakan pengumuman Presiden No. 1/Pres/66 yang menyatakan  penyesalan sebesar-besarnya karena masih ada sikap dan usaha dari sebagian anggota masyarakat untuk memaksakan kehendak.

Terlebih-lebih dilakukan secara ultimatif kepada Presiden dan para menteri yang sedang bertugas membantu Kepala Negara.

Kamis pagi, 17 Maret:

Pengumuman Presiden Rabu malam dijawab massa dengan menyerbu ke berbagai departemen yang menterinya harus diretool. Soegiarso Soerojo melukiskan,
"Para menteri yang masih di kamar kerjanya langsung diminta segera meninggalkan tempat. Kalau menolak akan ramai-ramai dibopong keluar dan diamankan di Markas Komando Kostrad."
Kamis malam, 17 Maret:

Jakarta menjadi kota mati. Jalan-jalan lengang, hanya disibukkan oleh lalu-lalang kendaraan militer. Warta berita pukul 19.00 WIB yang biasanya dipancarkan ke seluruh RRI daerah mendadak menghilang.

Sepanjang malam, siaran RRI Pusat hanya berisi lagu-lagu perjuangan yang diputar berulang-ulang. Semua perjalanan kereta api dan pesawat terbang dibatalkan oleh pasukan Kostrad.

Jumat pagi, 18 Maret:

Panglima Angkatan Darat selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto, lewat Stasiun RRI Pusat membaca pengumuman Nomor 5,
"... atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, telah mengambil tindakan pengamanan terhadap 15 menteri karena ada indikasi, mereka tersangkut dalam petualangan G30S/PKI atau setidak-tidaknya diragukan itikad baiknya ketika menjalankan tugas."
Untuk pertama kalinya, pemakaian istilah G30S dikaitkan dengan PKI.
Tugas menangkap Soebandrio, yang sejak Peristiwa G30S meletus tinggal di Istana, ditangani sendiri oleh Panglima Kodam V Djaja. Amirmachmud menghadap Bung Karno dan melapor bahwa dirinya ditugaskan untuk mengamankan Soebandrio.
"Terserah," jawab Bung Karno singkat.
"Siap, kerjakan," kata Amirmachmud sambil menghormat.
Beberapa saat setelah Soebandrio dinaikkan ke atas jip, Bung Karno mendekat, merangkul Amirmachmud sambil berbisik,
"Mir, jangan kau bunuh ya ...." "Siap Pak. Saya jamin tidak terjadi. Orde Baru kami tidak akan meniru praktik-praktik Lubang Buaya."

Rabu, 30 September 2015

Kala Putri Petinggi Lekra Menari untuk Soeharto

Prima Gumilang, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 23:18 WIB

Ilustrasi tari (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia -- Jiwa seni di tubuh Jean Luyke, istri anggota dewan Partai Komunis Indonesia (PKI) Oey Hay Djoen, masih menyala. Bahkan jiwa seni itu mengalir ke putri tunggalnya, Mado.

Padahal saat itu kondisi hidupnya berada di titik nadir, lantaran sang suami ditahan atas tuduhan terlibat peristiwa G30S. Oey dipenjara selama 14 tahun, paling lama di Pulau Buru, Maluku.

Usia Jean saat itu masih 30 tahun. Tidak sebatas harus menghidupi keluarga, ia juga berjuang mempertahankan rumahnya agar tidak disita tentara. Sementara, rumahnya di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta, yang dijadikan markas Lekra, telah dirampas negara.
"Kami tinggal mengikuti nasib yang amburadul, saya harus berdiri sendiri, juga mempertahankan rumah yang mau disita," ujar Jean saat ditemui di rumahnya di kawasan Cibubur, pada Rabu (30/9).
Pada situasi itu, Mado sempat merasa kurang percaya diri sebagai anak kader PKI. Kepada Mado, Jean berpesan agar dirinya berani mengusir rasa malu dan takut. Dia tidak ingin Mado menderita karena ayahnya berstatus sebagai tahanan politik Orde Baru.
"Mami bilang, kamu jangan malu. Papi bukan orang jahat. Dia korban politik," ujar Mado mengingat pesan Jean.
Di tengah situasi sulit tersebut, Jean ingin putrinya tetap beraktivitas seperti biasa, layaknya anak-anak pada umumnya. Saat Jean mengetahui Mado suka menari, dia salurkan bakat itu ke sanggar tari. Mado kemudian sering latihan menari di kawasan dekat RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Tak disangka, bakat Mado berkembang pesat. Dia menjadi penari profesional. Di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Mado dipilih mewakili sanggarnya. Dia diundang menari di istana kepresidenan. 
"Bapaknya ditahan di Pulau Buru, anaknya menari untuk Soeharto, di Istana Negara. Bahkan, kelompoknya sampai sekarang masih akrab, sampai tua enggak tahu ayahnya (Mado) siapa," ujar Jean.
Pada 1979, Oey keluar dari Pulau Buru. Dia adalah tahanan terakhir yang dibebaskan bersama beberapa kawannya, termasuk sastrawan Pramoedya Ananta Toer. 
Setelah pembebasan itu, Oey sempat mengadakan reuni kecil di rumahnya, Rawamangun, Jakarta Timur. Reuni itu, kata Jane, sekadar untuk silaturahmi. "Awalnya sedikit yang ikut, pada takut," ujar Jane.
Pasca pertemuan itu, ada tawaran kerja sama dalam berkesenian. Oey dan kelompoknya diminta berpartisipasi dalam gelaran konser musik amal. Konser itu sebagai wadah penggalangan dana untuk panti jompo. Pada 1995, mereka menggelar konser tersebut di Jakarta Convention Centre bersama putra Presiden RI pertama, Guruh Soekarno Putra.

Oey mengikuti konser itu bersama kelompok musik Gembira. Ini adalah kelompok musik pimpinan Sudarnoto, pencipta lagu Garuda Pancasila yang juga seniman Lekra.

Konser itu, menurut Jean, murni untuk kegiaan sosial. Tak ada agenda politik apa pun. Karena itu gelaran musik tersebut berjalan lancar tanpa diusik pemerintahan Soeharto.
"Itu khusus untuk cari dana sosial, tidak ada bicara politik, lepas sama sekali. Kita kan low profile. Enggak mau teriak-teriak. Kita dari dulu bersahabat, sampai tua juga bersahabat," katanya.
Konser itu membuktikan bahwa jiwa berkesenian para seniman Lekra tetap tumbuh, meski di tengah situasi sulit. Pasca konser tersebut, mereka ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. "Kita sisihkan dari uang pentas untuk ke makam Bung Karno," kata Jane.
(Prima Gumilang/vga)
CNN Indonesia 

Arena Berkesenian Lekra di Jalan Cidurian 19


Prima Gumilang, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 21:23 WIB

Jane Luyke, istri mendiang Oey Hay Djoen anggota Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). (CNN Indonesia/Suriyanto)

Jakarta, CNN Indonesia -- Suatu hari di era 1960-an, aktor kawakan Soekarno M. Noer berlatih seni peran di sebuah rumah di Jalan Cidurian 19, Cikini, Jakarta Pusat. Ayah Rano Karno itu sedang menyiapkan peran dalam sebuah film berjudul Buih dan Kasih karya Bachtiar Siagian.

Bukan hanya Soekarno M. Noer, aktris Laila Sari pun pernah berlatih tari di sana. Selain keduanya, sejumlah seniman nasional kala itu juga tak jarang berkesenian di rumah nan jembar. Beberapa di antaranya Fifi Young, Mak Wok, dan Hamid Arief.

Rumah di Jalan Cidurian 19 yang kemudian disebut Rumah Cidurian adalah markas para seniman. Tempat itu merupakan Sekretariat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang kerap dicap sebagai kepanjangan tangan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang budaya.

Pemilik rumah tersebut adalah Oey Hay Djoen, anggota sekretariat Lekra yang juga kader PKI. Jean Luyke, istri Oey, menuturkan bahwa banyak seniman dibesarkan di sana. Mereka berlatih drama, ludruk, bermain musik, diskusi sastra, melukis, dan kegiatan seni lainnya. Bahkan banyak pula yang tinggal di rumah itu.
"Kalau mereka mau pentas, latihannya di sana. Soalnya ruangan di rumah saya kan besar," kata Jane saat ditemui CNN Indonesia di rumahnya di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, pada Rabu (30/9).
Meskipun itu sekretariat Lekra, namun tidak semua orang yang datang adalah anggota Lekra. Jane selalu terbuka kepada siapa pun yang ingin mengasah kesenian di rumah itu. 
"Enggak semua anggota Lekra, tapi kalau ada yang tanya, ya Lekra," kata Jane.
Para seniman Lekra, menurut Jane, mengerjakan karya-karyanya dengan didasari pada persoalan kehidupan sehari-hari. Mereka berkarya dengan muatan pesan untuk lebih mendekatkan pada realitas sosial.
"Kesenian yang dibangun dekat dengan kehidupan sehari-hari, nasionalis, enggak aneh-aneh," tutur Jean.
Lekra dibentuk setelah lima tahun Negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Para pendiri Lekra menganggap revolusi Indonesia telah gagal. Berbeda dengan pernyataan Bung Karno ketika itu, yang menganggap revolusi belum selesai.

Karena itu, Lekra dibentuk untuk merebut kedaulatan dengan cara-cara kebudayaan. Oey sendiri memaknai kebudayaan sebagai usaha sadar manusia untuk emansipasi dan memenuhi kebutuhan hidup.

Jane mengaku senang dengan keakraban para seniman di rumahnya. Jika ada seniman yang datang dari daerah lain, Jean menyambut hangat. Dia selalu menyediakan makanan bagi setiap tamu yang datang. 
"Saya senang, mereka bersahabat. Teman banyak datang. Tapi lama-lama terlalu banyak yang datang," kata Jean.

"Memaknai kebudayaan sebagai usaha sadar manusia untuk emansipasi dan memenuhi kebutuhan hidup." Jean Luyke, istri petinggi Lekra Oey Hay Djoen
Biasanya para pelukis yang ingin menggelar pameran transit di rumah Cidurian. Mereka menyiapkan lukisan sekaligus bermalam. Bahkan ada tamu yang harus tidur di atas meja atau di dalam gudang, lantaran tak mendapat tempat. 

"Kalau mereka belum dapat penginapan, menginap di tempat kita," katanya.
Saat peristiwa G30S pecah, Lekra ikut diseret sebagai pihak yang dituduh bertanggung jawab. Rumah Cidurian 19 yang dijadikan kantor Lekra, kata Jean, telah dirampas oleh tentara. Begitu juga dengan anggota dan para seniman yang dicap dekat dengan Lekra.

Jean menyayangkan organisasi kebudayaan yang selama ini berjalan kompak dan akrab, harus dilenyapkan karena kepentingan politik.
"Organisasinya (Lekra) kompak. Waktu saya dengar ada yang ditangkap, dibunuh, aduh kasihan," ujar Jane dengan mata berkaca-kaca. (Prima Gumilang/vga)

Cerita Janda Lekra Berebut Rumah dengan Tentara


Suriyanto, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 10:40 WIB

Jane Luyke, isteri mendiang Oey Hay Djoen, petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dituduh terlibat salam G30S. (CNN Indonesia/Suriyanto)

Jakarta, CNN Indonesia -- Jane Luyke sama sekali tak pernah membayangkan kehidupan bahagia bersama suaminya, Oey Hay Djoen bisa sirna dalam sekejap. Pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965, suaminya yang saat itu merupakan petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sekaligus anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia ditahan.

Hanya dalam hitungan hari setelah tragedi G30S, Oey ditangkap militer. Sesaat itu pula kehidupan Jane dan keluarga berubah. 
”Tentara dari Kodim yang datang ke rumah," kata Jane yang kini berusia 81 tahun, saat ditemui CNN Indonesia di kediamannya.
Sejak saat itu Jane harus menghadapi semuanya sendiri. Selain membesarkan anaknya, Mado, yang saat itu masih kecil, Jane juga harus menghadapi tentara dan sejumlah pihak yang ingin merampas rumahnya di kawasan Rawamangun, Jawa Timur. 
Belum lagi orang-orang yang terprovokasi dan ingin menghancurkan rumahnya karena dicap sebagai rumah PKI. 
"Pernah ada yang datang bawa obor mau bakar rumah, saya aja bicara baik-baik dan masuk ke rumah," kata Jane.
Selain di Rawamangun, rumah keluarga Oey Hay Djoen yang lain terletak di Jalan Cidurian Menteng, Jakarta Pusat. Di rumah itu memang ramai dipakai banyak aktivitas, mulai dari nongkrong orang partai hingga dipakai sebagai sanggar oleh Lekra.

Kepada mereka yang mau merusak dan merampas rumahnya yang di Rawamangun, Jane menjelaskan bahwa rumah tersebut adalah milik pribadinya, bukan pemberian partai. Termasuk kepada tentara yang mendatangi rumahnya. 
"Ada satu pleton tentara datang dan tinggal di rumah," katanya. 
Para tentara tersebut semula datang karena tenggat waktu yang diberikan pada Jane untuk mengosongkan rumah sudah habis. Namun Jane saat itu bergeming dan tetap tinggal di rumah. 
"Tekad saya kalau mau kosongkan rumah silakan, tapi saya akan tetap tinggal di rumah ini," katanya. 
Tak juga berhasil merampas, para tentara itu lantas tinggal di rumah tersebut. Berbulan-bulan lamanya sejak 1965, para tentara tersebut menjadikan rumah tersebut sebagai barak. Bahkan komandan tentara tersebut sempat beranak pinak di rumah tersebut. 
"Baru keluar tahun 1990, itupun sebelum meninggal komandan itu pesan agar keluarganya diurusi," ujar Jane.

Selain tentara yang berusaha merampas rumah, kelurahan juga yang ingin menjadikan rumah yang berdiri di atas tanah 1.000 meter persegi itu sebagai kantor. Beruntung saat itu Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membuat edaran agar rumah yang sedang dalam pengawasan tak boleh diambil.
“Bukan hanya instansi pemerintah, ada pula orang yang tiba-tiba datang mengaku pemilik rumah,” ujar Jane.
Rumah Jane akhirnya bisa terselamatkan. Lantas dijual untuk membeli rumah di kawasan Cibubur yang saat ini ditinggali Jane, menghabiskan hari tuanya.

Menurut Jane, jika saat itu ia tak kuat mental dan meninggalkan rumah, bisa jadi rumah tersebut bukan miliknya lagi. 


Hal tersebut yang terjadi pada rumahnya di Cidurian, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah yang pernah dijadikan markas Lekra itu, kini sudah tak bisa lagi ia raih lantaran “diputihkan” pemerintah.

Setelah peristiwa G30S, rumah tersebut kabarnya sudah berganti-ganti pemilik. Ada cerita unik soal tentara yang menduduki rumahnya dulu. Suatu ketika, saat para tentara sudah pergi, Jane bertemu dengan pemungut putung rokok di sebuah terminal. Pemungut putung rokok itu memanggil dirinya. Tapi karena tak kenal, ia tak memperdulikan panggilan itu.
"Dia datang ke saya, tanya 'Masih ingat saya tante? saya tentara yang dulu di rumah tante'," kata Jane menirukan ucapan orang tersebut. Dari situ Jane tahu jika tak semua orang yang menduduki rumahnya dulu tentara dari Kodim Jakarta Timur. Ada orang bayaran yang hanya diberikan baju loreng untuk menduduki rumahnya. 
Dari kejadian itu Jane makin bersyukur dia bisa mempertahankan rumahnya tersebut. Rumah yang pada akhirnya ia lego untuk membeli kediaman baru untuk dirinya menghabiskan hari tua bersama anak, cucu dan cicitnya. (sur/sip)

Selasa, 08 April 2014

Oei Hiem Hwie dan Medayu Agung: Merawat Kenangan, Membangun Sejarah


8 April 2014


Perpustakaan Medayu Agung dibentuk dari kenangan dan pengalaman pribadi sang pemilik, Oei Hiem Hwie, demi membangun sejarah yang lebih besar.

Begitu kita memasuki Perpustakaan Medayu Agung, di sebelah kanan terpajang foto hitam putih Bung Karno dalam satu pigura besar. Foto tersebut merupakan karya dari sang pemilik dan pengelola perpustakaan, Oei Hiem Hwie, saat dia masih bekerja sebagai wartawan di harian Trompet Masjarakat. Di sebelah pigura, satu kotak kaca memuat versi kecil foto tersebut, bersebelahan dengan foto Oei muda pada saat mewawancarai Bung Karno. Di sela-sela berbagai dokumen, tertata beberapa kantong kecil berisi butiran merica, cengkeh, dan silika untuk menyerap kelembapan dan mengusir serangga.

Kotak kaca berisi kenang-kenangan dari almarhum Bung Karno dan Haji Masagung untuk Oei Hiem Hwie. Foto: Kathleen Azali

Kotak itu juga memuat satu piringan hitam dan kaset-kaset berisi pidato Bung Karno, antara lain pada peringatan hari kemerdekaan ke-6 di halaman Istana Negara, dan di depan mahasiswa Unair pada tahun 1959. Di sebelahnya lagi, tampak foto Haji Masagung, seorang Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan perpustakaan Yayasan Idayu.

Memasuki Perpustakaan Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro

Terletak di kawasan Medokan Ayu, Rungkut, daerah selatan Surabaya, Perpustakaan Medayu Agung memuat berbagai buku, koran, majalah, kliping, foto dan berbagai dokumen bersejarah. Berbeda dengan perpustakaan umum, koleksi Perpustakaan Medayu Agung cukup terspesialisasi, dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua koleksi.

Pertama, koleksi khusus, dengan fokus utama subyek sejarah, karya-karya Pramoedya Ananata Toer (termasuk naskah aslinya), Bung Karno, dan masalah pembauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua, koleksi langka, yang mencakup buku-buku kuno terbitan pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, dalam bahasa Belanda, Inggris, Melayu, dan Jerman, yang sudah sangat jarang dapat ditemukan. Selain dua koleksi utama tersebut, ada banyak pula koran dan majalah terbitan lama dan kliping pers.

Tak heran, gedung berukuran 10×10 menter ini menjadi salah satu simpul arsip dokumen yang sangat penting di Surabaya. Banyak wartawan, mahasiswa, dan peneliti dari dalam maupun luar negeri telah berkunjung ke sini, antara lain Claudine Salmon, Charles Coppel, Daniel S. Lev, Benedict Anderson, Roger Tol, Rie Poo Tian, John Sidel, He Geng Xin, Tan Ta Sen, Mona Lohanda, Mira Sidharta, dan Pramoedya Ananta Toer sendiri.

Gagasan apa yang dibangun dan tertanam dalam pengarsipan Medayu Agung? Apa hubungannya dengan persoalan di sekitarnya—konteks, dan individu-individu yang turut berperan membangunnya? Kondisi (sejarah) apa yang membentuk dan mendukung seorang Oei Hiem Hwie, dan Perpustakaan Medayu Agung?

Oei Hiem Hwie di dalam Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro

Oei Hiem Hwie lahir di Malang pada 24 November 1935. Ayah Oei, adalah seorang totok dari Hokkian. 
 “Kawin mbek ibu saya, orang Jawa Tengah. Ibu saya itu orang qiao shen, Tionghoa sini, peranakan, trus pindah Malang, aku lahir,” jelasnya.
Sebelum Oei menjadi wartawan, dari kecil ia sudah hobi mengoleksi buku dan mengklipin. Selain itu, rupanya, dia mewarisi banyak buku kuno dari keluarganya.
“Ada banyak, tinggalane engkong.  Engkongku itu yo, engkong dari papa, dari ibu, itu…. konco Belandane banyak. Pas Belanda jatuh, Belanda pulang, buku-bukune dikek’no.”

Pertama kali berdiri pada 17 Maret 1900 di Batavia, berbagai cabangnya kemudian berdiri di pelosok Hindia Belanda. Sekolah THHK didirikan dengan dukungan iuran tahunan sebesar 3,000 guilderdari dewan, dengan tujuan menyediakan pendidikan gratis bagi semua anak keturunan Tionghoa dari berbagai lapisan sosial ekonomi. THHK juga menunjukkan perhatian khusus pada pendirian bibliotheekatau perpustakaan, dan penyebarluasan pengetahuan.


Buku-buku peringatan THHK dari berbagai kota. Foto: Erlin Goentoro

Menurut Oiyan Liu (2010), THHK dan gerakan pendidikan Tionghoa dapat dikatakan sebagai reaksi publik Tionghoa lokal pada kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda saat itu yang menyediakan pendidikan dan subsidi hanya kepada bumiputra, sementara komunitas Tionghoa tidak diberi akses pendidikan (kecuali untuk beberapa Tionghoa peranakan). Dengan mengumpulkan dana sendiri, mereka membangun gerakan pendidikan untuk menunjukkan perlawanan politis mereka, dan membangun jaringan tidak hanya ke Tiongkok daratan, tapi juga Singapura. Hubungan dengan Singapura ini dikatakan cukup membuat pemerintah kolonial Belanda mengkhawatirkan persaingan pengaruh dengan pemerintahan kolonial Inggris. Pemerintah Belanda akhirnya pada 1908 mendirikan Hollandsche Chineesche School (HCS, Sekolah Tionghoa Belanda) yang kemudian bersaing dengan THHK dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat Tionghoa di Hindia.

Koleksi pers Tionghoa. Foto: Erlin Goentoro

Tamat SMA, Oei melanjutkan mengikuti kursus jurnalistik, profesi yang saat itu disebut sebagai “ratu dunia”. Sebagai catatan, partisipasi masyarakat Tionghoa dalam dunia pers Hindia Belanda dimulai sebagai kontributor atau editor koran, sementara kepemilikannya dipegang oleh pihak Belanda atau Eurasia. Tapi pada tahun 1884, seiring dengan jatuhnya harga gula, berbagai pers di Hindia Belanda mengalami kesulitan finansial.

 Era ini kemudian menjadi penanda awal bermunculannya penerbitan dan jurnalisme vernakuler Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi sadar tidak saja potensi bisnis koran, tapi juga peran pers dalam pembentukan opini publik. Ketidakpuasan pada perilaku pemerintah kolonial diutarakan melalui pers, dan pada akhirnya turut berperan besar dalam pembentukan pikiran dan juga gerakan THHK.

Ijazah pendidikan jurnalistik Oei Hiem Hwie. Foto: Kathleen Azali

Karena waktu itu di Malang tidak ada sekolah wartawan, Oei mengikuti pelatihan jurnalistik di Universitas Res Publika di Yogyakarta, yang dulu didirikan oleh Baperki. (Selain Res Publika, Oei mendapat satu lagi ijazah pendidikan jurnalistik dari Pro Patria, dengan tahun kelulusan 1962.)

Kotak kaca yang memuat berbagai dokumen Baperki. Foto: Erlin Goentoro

“Aku anak buahe Siauw Giok Tjan. Jadi saya wartawan, aku juga orang Baperki. Lha, aku sekretaris Baperki Malang, gitu lho,” jelas Oei.
Lulus pendidikan jurnalistik, Oei mencari kerja di Trompet Masjarakat yang berlokasi di seberang Tugu Pahlawan, Surabaya. “Dulu di situ. Bawah itu percetakan. Atas, kantor. Jadi saya ngantor ndek nggone atas.” Awalnya hanya sebagai kontributor, Oei kemudian menjadi pekerja tetap yang ditugaskan di bidang sosial politik; dengan trem listrik, ia kerap datang meliput ke pengadilan-pengadilan.

Sepatah Dua Patah Kata oleh Goei Poo An dalam Trompet Masjarakat. Foto: Erlin Goentoro

Motto Trompet Masjarakat adalah, “Membawa suara kaum ketjil bebas dari segala pengaruh.” Trompet Masjarakat didirikan oleh oleh seorang Tionghoa, Goei Poo An, yang sudah sejak 1925 aktif di berbagai koran peranakan. Awalnya dengan Perniagaan, kemudian Sin Jit Po, Sin Tit Po, dan Mata Hari, sebelum akhirnya mendirikan Trompet Masjarakat di mana ia menjabat sebagai dirjen dari tahun 1947. Dalam tim redaksi ada juga Mana Adinda dan Amak Yunus. Pelaksana sehari-hari Trompet Masjarakat adalah Saleh Said, seorang muslim dari Ampel. “Jadi [isinya] bukan hanya orang-orang Tionghoa. Macem-macem. Karena itu saya pengen kerja di sana.”

Sisa Trompet Masjarakat (tertanggal 19 November 1960) yang dapat diamankan Oei. Foto: Kathleen Azali

Kemudian meletuslah peristiwa 30 September 1965. Trompet Masjarakat ditutup, dan Oei ditangkap. Foto-foto, koran, majalah, buku, dan berbagai dokumen dirampas dan dibakar. Beberapa dokumen yang sensitif diamankan adik Oei di atas plafon rumah mereka di Malang. Karena tidak ada cukup bukti yang menunjukkan keterlibatan Oei dalam PKI, Oei masuk dalam kategori B. Ditahan tanpa sidang. Kategori A, disidang. Kategori C, bebas.   “Katanyaa [bebas]…,” ujar Oei tertawa.

Awalnya Oei ditahan di Batu, kemudian dipindah ke Lowokwaru di Malang. Kadang-kadang, Oei dipindah ke Surabaya, di Kalisosok. Atau terkadang di Koblen, di Rumah Tahanan Militer yang sekarang sudah dihancurkan. Oei dipindah-pindahkan antara Malang dan Surabaya selama lima tahun sebagai tahanan politik. Kemudian tahun 1970, Ia “dinaikkan sepur, pagi-pagi, berangkat ke Cilacap. Sebelum ke Pulau Buru, semua ke Nusa Kambangan, masuk Karang Tengah. Cuma 2-3 bulan, baru ke Pulau Buru.”

Oei menganggap penjara sebagai akademi, tempat dia belajar. Di dalam penjara, Oei dan teman-teman tahanan membuat kelompok belajar, untuk belajar bahasa, dan juga untuk mengarahkan pikiran. Oei tinggal di Pulau Buru antara tahun 1970 dan 1978, di mana dia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer. Kebetulan tempat Pram ditahan berada di dekat ladang tempat Oei mencangkul.
 “Jadi kalau saya liat ndak ada seng jaga, saya mbrosot masuk.” Karena tidak ada kertas, Oei membantu Pram memotong kertas untuk menulis dari karung pembungkus semen.
Kotak memuat naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, dan surat-surat Pram kepada Oei. Foto: Kathleen Azali

Hingga akhirnya, ketika Oei dibebaskan di tahun 1978, Pram menitipkan naskah-naskah tulisan tangan dan ketikannya ke Oei Hiem Hwie untuk dibawa keluar. Untungnya lagi, Oei tidak digeledah, sehingga naskah-naskah tersebut selamat. Setelah Pramoedya dibebaskan setahun berikutnya pada 1979, Oei menemuinya untuk mengembalikan naskah-naskah tersebut. Pram menolak, meminta Oei untuk menyimpankan naskah aslinya. Pram akan menyimpan fotokopinya saja.

Foto Oei dan Pram setelah bebas di tahun 1980. Foto: Kathleen Azali

Oei tiba dengan selamat ke Surabaya. Dia, dengan lebih dari 4.000 eks-tapol (total 4.288, menurut surat), diberi surat pembebasan “pengembalian ke masyarakat”, dan mendapatkan KTP dengan tanda ET. Singkatan dari Eks Tapol, atau plesetannya, “Elek Terus.” Dengan KTP tersebut, Oei kesulitan mencari pekerjaan.
“Ndak iso kerjo. Cari kerjaan ya mbek orang ditolak. Pigi bank mau pinjem uang aja mau bikin modal, dibilang ndak ada. Yak apa. Karena tapol, ya, eks tapol,” jelasnya tertawa. “Wong orang ngasi kue lho, ditaruh di luar. Mlayu wedi.”
Status ET di KTP Oei baru dihapus setelah KTPnya diganti menjadi KTP seumur hidup (karena waktu itu Oei sudah berumur lebih dari 60 tahun), setelah Asmara Nababan menjadi sekretaris Komnas HAM.

Surat “pengembalian 4.288 orang tahanan G-30-S/PKI Gol. “B” ke masyarakat” yang membebaskan Oei di tahun 1978. Foto: Kathleen Azali

Oei kemudian dihubungi oleh Haji Masagung (Tjio Wie Tay), seorang Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung.
 Selain TB Gunung Agung, Haji Masagung juga mendirikan Yayasan Idayu di Jakarta, yang juga mengelola dokumentasi dan perpustakaan. Haji Masagung mengusulkan Oei pindah tempat tinggal dari Malang agar tidak terus menerus dipantau, karena ada banyak tangan militer hingga tingkat RT/RW. Meskipun KTP Oei tetap beralamat Malang, Oei pindah ke Surabaya, bekerja di Toko Buku dan Perpustakaan Sari Agung, yang juga didirikan oleh Masagung di Jalan Tunjungan.

Dari pekerjaannya dengan Masagung ini lah, Oei mengenal dan mempelajari pengelolaan perpustakaan. Toko Buku dan Perpustakaan Sari Agung, meski kini sudah tidak ada lagi, tampaknya banyak meninggalkan ingatan yang membekas bagi banyak masyarakat Surabaya, terutama karena koleksinya yang terbilang cukup lengkap. Selain itu, Oei juga menjadi sekretaris pribadi Masagung yang bertugas mengantar Masagung berdakwah ke berbagai pesantren dan masjid di Jawa Timur.

Ketika Masagung meninggal di tahun 1992, Oei pun pensiun. Bermodal pengalamannya mengelola perpustakaan Sari Agung, dengan hati-hati ia memindahkah buku-buku dan dokumen-dokumennya dari Malang ke Surabaya. Pada awalnya, Oey bercerita saat itu belum berani menurunkan dokumen-dokumen tersebut dari atas plafon, apalagi karena Orde Baru masih berkuasa dan larangan masih berlaku. Setelah Reformasi, baru Oei berani menurunkannya secara bertahap. Kondisinya cukup rapuh karena disimpan di atas plafon selama 13 tahun lebih.
“Buku-buku ini bolong semua. Dimakan renget. Tapi untung bolongnya ndak ke tulisan. Ada yang bolong bisa tembus gitu. Coba’o rayap, habis, dibakar.”
 Saat itu, Oei sempat didatangi dua orang peneliti Australia, yang ingin membeli seluruh koleksinya untuk diboyong ke Negeri Kangguru dengan harga satu milyar rupiah. Oei kesulitan mengkonfirmasi nama peneliti tersebut, tapi ada yang menyebut bahwa salah satunya adalah Charles Coppel yang menulis Indonesian Chinese in Crisis (1983), disertasi yang kemudian menjadi salah satu buku rujukan utama dalam kajian Tionghoa Indonesia.

Oei kemudian bertemu dengan Ongko Tikdoyo, seorang pengusaha yang juga aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan di Buddhist Education Center (BEC) Surabaya. Oei bercerita sebenarnya sudah mengenal Ongko ketika ia masih kecil, karena ayah Ongko dulu adalah bendahara Baperki Kepanjen, sementara Oei adalah sekretaris Baperki Malang. Ongko mendorong Oei untuk membentuk perpustakaan. Hanya saja, sempitnya rumah Oei saat itu, dengan usaha berjualan air minum isi ulang dan elpiji, tidak memungkinkan untuk membuka perpustakaan. Ongko berjanji akan membantu pendanaan sewa tempat.

Perpustakaan Medayu Agung sekarang. Foto: Erlin Goentoro

Tahun 2001, Perpustakaan Medayu Agung dibuka di rumah sewa kontrak di Jalan Medayu Selatan VII/22. Sebentar saja, rumah kontrakan itu pun penuh dengan koleksi buku-buku, arsip majalah, dan kliping yang terus bertambah. Ongko kembali menemui Oei Hiem Hwie, dengan mengajak Sindunata Sambudhi, pemilik Hakiki Donarta, dan Ir. Juliastoro. Menyadari bahwa rumah kontrakan itu tidak lagi cukup, mereka mengusulkan mencari tanah dan membangun rumah baru.

Pada praktiknya, Sindunata Sambudhi dan Ongko Tikdoyo banyak mendukung dana, baik dari uang mereka sendiri maupun mencarikan dari donatur lain. Sementara Juliastono, dalam kapasitasnya sebagai insinyur, banyak membantu pro bono dalam pembangunan gedung perpustakaan, yang sekarang sudah berpindah di atas tanah sendiri di Jl. Medayu Selatan IV/42-44.

Untuk memenuhi persyaratan izin membuka perpustakaan dari pemerintah kota, diperlukan adanya pustakawan resmi dengan latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Akhirnya dengan dukungan dana dari yayasan, Oei membiayai kuliah S1 Ilmu Perpustakaan untuk pekerja pertamanya, Harun. Selain itu, untuk mendapatkan izin, diperlukan adanya pos satpam di depan gedung perpustakaan untuk penjagaan. Untunglah, lokasi Perpustakaan Medayu Agung sekarang berada tepat di depan pos penjagaan kompleks perumahan. Sebuah kebetulan yang patut disyukuri.

Lantai 2 Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro

Saat ini, ada enam pekerja di Medayu Agung, selain Oei sebagai pengelola utama yang bekerja tanpa gaji. Di lantai dasar, ada dua ruangan tertutup, satu memuat koleksi langka, satunya koleksi khusus. Ruang koleksi langka adalah satu-satunya ruang dengan pendingin ruangan, memuat banyak buku kuno dan buku sejarah yang sudah rapuh dan perlu dijaga suhu dan kelembapannya. Di dalam ruangan ini, dapat ditemukan Oud Batavia, Soerabaja Oud and Nieuw, The History of Java karya Raffles, berjilid-jilid katalog koleksi seni rupa Bung Karno, hingga cetakan awal Mein Kampf. Oei bercerita bahwa kebanyakan koleksi ini ia dapatkan dari engkongnya. Ruang koleksi khusus memuat buku-buku dengan subjek Pramoedya Ananata Toer, Bung Karno, dan masalah pembauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia.

Di tengah-tengah lantai dasar, rak-rak berisi bendel-bendel majalah berjejer berderet-deret. Ada beberapa kotak kaca di sela-selanya. Salah satu kotak berisi naskah-naskah tulisan tangan dan ketikan Pramoedya Ananata Toer, berdampingan dengan surat-surat Pram kepada Oei. Satu kotak lain, yang telah saya sebutkan di awal tulisan, memuat koleksi kenangan dari Bung Karno dan Haji Masagung, berisi naskah Sosialisme Utopia yang ditandatangani oleh Bung Karno, beserta piringan hitam pidato, dan foto-foto Bung Karno dan Haji Masagung. Kotak kaca yang lain lagi, memuat buku-buku lama, salah satunya Max Havelaar. Ada pula kotak kaca yang khusus memuat dokumen-dokumen Baperki, seperti koran Berita Baperki dan buku Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar oleh Siauw Giok Tjhan. Pada tiap kotak kaca, terpasang pigura aluminium menjelaskan isi kotak.

Oei menunjukkan satu bendel klipingnya. Foto: Erlin Goentoro

Sedikit tersembunyi di sudut ruangan, di dekat mesin fotokopi, beberapa rak memuat buku-buku yang ditulis dalam bahasa Tionghoa. Di dekatnya lagi, ada rak yang memuat berbagai kliping koran yang Oei kumpulkan dan bendel dalam map yang dibuat sendiri dari kardus. Subjeknya mungkin cukup acak, tapi jelas menunjukkan minat pribadi dan konteks zaman Oei, antara lain: Masagung, Pers Indonesia, Resensi dan Peninjauan Buku, KGB, India, SARA, Vietnam, Timor-Timur, Mahasiswa, Kasus Tanah, Cersam Sie Djin Koei, ASEAN, Polandia Bergolak, Sejarah Surabaya. Topik Bung Karno, G30S, ditempatkan dalam kardus buatan sendiri karena banyaknya.

Di lantai atas, ada lebih banyak lagi buku-buku dan berbendel-bendel koran, dibungkus rapat dalam plastik. Beberapa butir kapur barus diselipkan di dalamnya. Ada satu komputer di pojok ruangan untuk digitalisasi katalog. Printer di sebelahnya tampak berdebu. Subjek di lantai dua lebih beragam, meski tetap mencerminkan minat sosial politik Oei, antara lain agama, wayang, militer dan politik, Pancasila, Soeharto, pers dan jurnalistik, perang dan kemerdekaan, sosial budaya, ekonomi, filsafat.

Sistem katalogisasi Oei. Foto: Erlin Goentoro

Di awal proses katalogisasi, Oei membuat sistem kategori sendiri. Misalnya, MPI adalah kode untuk Masalah Pembauran dan Integrasi. SHT adalah Masalah Soeharto. PJ, Pers dan Jurnalistik. Tiap buku yang datang, dikategorikan dalam kategori-kategori tersebut, kemudian diberi nomor, seiring dengan bertambahnya koleksi. Sekarang, beberapa koleksinya mulai diberi Kode Desimal Dewey (Dewey Decimal Code, DDC), ditempelkan di bawah kode lama yang Oei buat. Namun mungkin DDC pun tidak akan terlalu membantu, melihat begitu spesifiknya koleksi Medayu Agung.

Hingga saat ini, setiap hari Oei masih tekun menandai koran yang akan dia kliping. Selain koran-koran berbahasa Indonesia, Oei juga berlangganan koran berbahasa Mandarin dan majalah berbahasa Jawa. Karena penglihatan yang makin kabur, Oei bercerita dalam sehari rata-rata hanya mampu menggunting empat kliping. Sementara persediaan buku dan koran yang perlu disortir dan dikliping datang berkardus-kardus.

Bertumpuk-tumpuk koran dalam bungkusan plastik dengan kapur barus di dalamnya. Foto: Erlin Goentoro

Ada beberapa hal yang dapat kita garisbawahi dari Oei Hiem Hwie dan Medayu Agung. Oei memiliki ketekunan dan integritas yang luar biasa dalam mengarsip, terutama karena hubungan yang erat antara sejarah perpustakaan ini dengan sejarah pribadinya. Keluarga, pendidikan, dan individu-individu di sekitarnya berperan besar dalam pembentukan sejarahnya, pribadinya, dan pertemanannya, yang kemudian juga terbangun dan tertanam dalam gagasan arsip Medayu Agung. Koleksi buku dari keluarganya (dan teman-teman keluarganya) mengisi koleksi buku langka.
Pendidikan Tiong Hoa Hwee Koan, Universitas Res Publica, pekerjaannya sebagai wartawan, dan aktivitasnya di Baperki, berperan besar dalam pembentukan pribadi, pertemannya, dan koleksi khususnya. Begitu pula perjumpaannya dengan Pram di Pulau Buru.

Tidak hanya mereka membentuk koleksi arsip Medayu Agung, tapi juga membangun reputasi dan spesialisasinya. Dengan mengembangkan gagasan arsip yang erat berhubungan dengannya, Oei tidak memposisikan dirinya sekedar sebagai arsiparis atau pustakawan pasif, tapi dengan aktif berpartisipasi membentuk pemahaman mengenai berbagai subjek yang ia rangkai dalam koleksinya.

Foto kenangan Oei mewawancarai Soekarno. Foto: Erlin Goentoro

Sampai sekarang, Medayu Agung tidak pernah mendapatkan dana sepeserpun dari pemerintah. Hanya pengakuan sebagai perpustakaan yang sah pada 23 Mei 2005, dan penghargaan Board Preference dalam Surabaya Academy Award 2004. Pengorbanan, ketekunan, dan kerja keras Oei hanya disokong oleh inisiatif pribadi teman-temannya. Biaya operasional perpustakaan ini sekitar 10 juta per bulan, untuk membayar gaji enam pegawai, listrik, dan air. Semua dana didapatkan dari yayasan melalui kocek pribadi anggota dan teman-temannya. Selain di ruang koleksi langka, pendingin ruangan tidak dinyalakan untuk menghemat listrik. Meskipun dewan pembina pun memiliki keinginan untuk membuat acara dan digitalisasi koleksi, hal tersebut memerlukan langkah-langkah dan komitmen yang tidak sedikit.

Yang kemudian menjadi beban pikiran Oei—dan kita semua—adalah regenerasi dan keberlanjutan Medayu Agung ke depan. Sudah terlalu banyak perpustakaan swadaya dengan koleksi legendaris di Indonesia yang hilang dan koleksinya tersebar ketika sang pendiri tidak dapat lagi mengelolanya—perpustakaan H.B. Jassin dan perpustakaan Bung Hatta biasanya langsung meloncat ke pikiran. Sejujurnya saat menulis ini, saya teringat pada nasib “mentor” Oei, Haji Masagung, dan perpustakaannya, Perpustakaan Yayasan Idayu.

Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya terpaku pada jerih payah dan ketekunan mereka, tapi mulai memikirkan bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan dan kondisi yang berkelanjutan agar kerja keras mereka dapat dinikmati dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.