Tampilkan postingan dengan label Foto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Foto. Tampilkan semua postingan
Jumat, 17 Mei 2019
Sepetik harapan mantan tapol di Pulau Buru
Jumat, 17 Mei 2019
Pantai Sanleko
Pantai Sanleko tempat mendaratnya para tahanan politik unit IV saat di
buang di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Bergetar tangan Diro Utomo saat menceritakan tersiksanya
ia dan ribuan tahanan politik lainnya pada awal masa pembuangan mereka di Pulau
Buru untuk dipaksa bekerja membuka hutan dan membuat sawah hanya dengan sebuah
cangkul.
Diro Utomo pria berusia 83 tahun itu dibawa ke Pulau Buru
pada tahun 1971 dan langsung ditempatkan Unit XVIII meski tanpa ada alasan yang
jelas mengapa ia ditangkap dan ditahan.
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) memeluk kawan senasibnya
Slamet (kanan) di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Pulau Buru yang berada di Maluku menjadi lokasi tempat
pemanfaatan (Tefaat) yang kemudian berubahan menjadi Inrehab (Instalasi
Rehabilitas) para tahanan politik yang ditangkap pasca-G30S/PKI untuk
dimanfaatkan membangun kawasan persawahan.
Hamparan sawah hasil kerja paksa para tahanan politik di Savana Jaya,
Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Namun dari sekitar 12 ribu tahanan politik yang dibawa ke
Pulau Buru tak semuanya terkait dengan organisasi terlarang PKI. Banyak dari
mereka yang difitnah sebagai anggota PKI karena ada yang tak suka pada mereka.
Tugu peresmian nama desa Savana Jaya pada masa pembuangan tahanan
politik di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
“Pada saat itu telunjuk lebih mematikan dari pada
senjata, seseorang yang tidak suka sama kita dengan mudahnya menunjuk kita
sebagai PKI sehingga kita ditangkap dan dijadikan tahanan politik tanpa melalui
proses pengadilan”, ujar Diro.
Seperti Solikhin, pria berusia 84 tahun itu ditangkap
bersama istrinya pada pertengahan 1966 di Tasikmalaya karena di halaman
rumahnya ditemukan peta rencana penyerangan kantor polisi yang sama sekali ia
tak pernah melihat peta tersebut sehingga ia harus dibuang ke Pulau Buru pada
tahun 1970 dan menghuni unit IV/Savana Jaya.
Mantan tahanan politik Sugito (kanan) bersama istrinya Sugiharti yang
juga anak mantan tahanan politik memilih menetap di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA
FOTO/Hafidz Mubarak A)
Selama menjalani kerja paksa, para tahanan politik pun
kerap mendapatkan kekerasan dari tentara yang mengawasi mereka selama bekerja
di unit masing-masing.
Foto hasil reproduksi empat tahanan politik saat melakukan panen padi
di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
“Boleh dibilang Pulau Buru ini dibangun dengan keringat
dan air mata tahanan politik sehingga Buru kini telah menjadi lumbung padi di
kawasan Indonesia Timur”, tutur Solikhin yang memilih hidup di Savana Jaya.
Mantan tahanan politik Diro Utomo berladang di Pulau Buru, Maluku.
(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Mulai tahun 1972, banyak istri dan anak para tapol
didatangkan dari Pulau Jawa sehingga setelah masa pembebasan pada tahun 1979
banyak para mantan tahanan politik lebih memilih menetap di Pulau Buru tempat
dimana mereka menghabiskan waktunya dalam bekerja paksa.
Anak mantan tahanan politik bekerja sebagai pegawai di SDN 1 Waepo,
Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Kehadiran anak-anak tapol yang masih gadis pun
menimbulkan benih-benih cinta dari para tahanan politik yang masih bujangan.
Banyak dari mereka yang menikah dan memilih menetap di Buru.
Foto mantan tahanan politik Solikhin memeluk istrinya sebelum ditangkap
dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Seperti Sugito, pria kelahiran 1942 itu jatuh hati dengan
seorang anak tahanan politik bernama Sugiharti yang akhirnya menikah pada masa
tahanan politik 1978 meski di akte pernikahannya tertulis pekerjaan seorang
tahanan politik.
Foto hasil reproduksi pernikahan tahanan politik Sugito (kedua kiri)
dan anak mantan tahanan politik Sugiharti (kedua kanan) pada tahun 1978 di
Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Para mantan tahanan politik yang berada di Pulau Buru
kini sudah hidup dengan tenang, ada yang menghabiskan sisa hidupnya dengan
bertani hingga membuka warung untuk memenuhi kebutuhan hidupnnya.
Mantan tahanan politik Solikhin berada di depan rumahnya di Pulau Buru,
Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Mereka pun telah berbaur dengan para transmigran yang
didatangkan dari Pulau Jawa meski sesekali ada saja yang menyebut mereka “dasar
PKI” bila ada seseorang yang jengkel dengan mereka.
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) dan anak dari tahanan politik
Sugiharti (kedua kiri) melakukan pencoblosan saat Pemilu 2019 di Savana Jaya
Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Pascapemilu 2019, mantan tahanan politik berharap
siapapun presiden yang terpilih nanti dapat mengembalikan nama baik mereka dan
keluarganya agar mereka dapat hidup lebih aman dan tentram. Harapan tak terjadi
lagi peristiwa yang pernah mereka rasakan pun terus terucap.
Foto dan teks : Hafidz
Mubarak A
Jumat, 10 Mei 2019
Menunggu waktu di Pulau Buru
16.45
Documentary, Foto, Genosida Politik, Kisah, Kliping #65, Persekusi, Pulau Buru, Sejarah
No comments
Editor Foto : Bismo Agung - 16:44 WIB -
Jumat, 10 Mei 2019
Di Pulau Buru, dua belas ribu tahanan politik pernah
mendiami kawasan itu. Hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang dianggap
terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika dinyatakan bebas, banyak
tahanan pulang ke Pulau Jawa, tapi ada juga yang memilih tinggal di Pulau Buru,
pulau yang dianggapnya sebagai rumah mereka sampai mati.
Atika Fauziyyah
TAHANAN | Pulau Buru, sungguh elok. Tapi dibalik
keelokannya, sejarah suram tercecer di sini. Berada di Kepulauan Maluku, Pulau
Buru adalah penjara alam nan ganas bagi mereka yang disangka anggota dan
simpatisan PKI. Hutan dan lautnya luas, ombak di perairannya pun lumayan keras
menjadi pembatas bagi para tahanan politik yang kebanyakan datang dari Jawa.
Atika Fauziyyah
YANG TERSISA | Sekitar 12.000 orang yang dituding sebagai
simpatisan dan anggota PKI hidup sebagai tahanan di Pulau Buru. Satu di
antaranya adalah Solihin, 84 tahun. Bersama 300 eks tapol ia memilih meneruskan
hidupnya di pulau itu. Datang dari Jawa Barat, Solihin ingat benar derita
menjadi tahanan di Pulau Buru.
Atika Fauziyyah
NISAN | Di Pulau Buru, nisan yang terserak menjadi bukti
dari banyaknya tahanan yang mati. Solihin yang mantan pegawai Pusat Pertanian
Negara di Jawa Barat itu ingat betul nestapa yang dialami olehnya dan
sejawatnya kala itu. Ia masih mengenang bagaimana satu persatu tahanan di Pulau
Buru memilih mati karena ganasnya hidup di pulau itu. Solihin merasa beruntung
karena ia masih bisa bertahan hingga kini, bahkan ia sempat pulang ke kampung
halaman dan membawa istrinya untuk melanjutkan hidup di Pulau Buru.
Atika Fauziyyah
SENIMAN | Dahulu Solihin adalah seniman suling.
Iamenjejakkan kaki di Pulau Buru karena kerap turut dalam pertunjukkan seni
yang digagas PKI. Ketika dinyatakan bebas Solihin sebenarnya bisa saja pergi
meninggalkan Buru, tapi pengalaman pahit ketika pulang ke kampung halaman
membuat ia terpaksa kembali ke pulau yang disebutnya sebagai penjara masa lalu.
Atika Fauziyyah
KENANGAN | Ketika ia diangkut ke Pulau Buru pada 1969,
Solihin meninggalkan istrinya di kampung halamannya di Sumedang, Jawa Barat. Ia
berjumpa kembali pada 1972 ketika pulang ke kampungnya setelah dinyatakan
bebas. Namun stigma tapol yang menakutkan, dan berdampak pada kerabat, membuat
Solihin memilih kembali ke Buru bersama sang istri. Etty Rohmayati, istri
Solihin wafat di Pulau Buru pada 2015. Kepergiannya meninggalkan kenangan, juga
kesepian bagi lelaki itu.
Atika Fauziyyah
BURU | Sampai saat ini Pulau Buru adalah wilayah yang
sulit. Hutannya yang lebat, tanahnya yang keras membuat hidup di pulau itu
amatlah sukar dijalani. Hampir tak ada bekas bangunan yang dapat mengingatkan
Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tahanan politik. Barak-barak yang dulu
menjadi tempat tidur para tahanan di 22 unit sejak lama dihancurkan. Dan saat
ini hanya menyisakan beberapa rumah yang dibangun oleh para tapol yang memilih
tinggal.
Atika Fauziyyah
SENDIRI | Di rumahnya yang berada di Desa Savana Jaya,
Solihin kini tinggal sendiri. Ia tak lagi bekerja sebagai buruh tani. Anaknya
memilih merantau ke Pulau Jawa dan ke Namlea, Buru, dan untuk menghidupi
dirinya ia hidup dari kelihaiannya bermain suling.
Atika Fauziyyah
KELAM | Pulau Buru memang sejarah kelam bagi siapa pun,
termasuk bagi Indonesia itu sendiri. Pada foto, patung Pelda Panita Umar,
Prajurit Sapta Margais Kodam XV Patimurra berdiri. Panitia Umar adalah tentara
yang mati dibunuh para tahanan pada 1972. Dan patung itu dibuat oleh para tapol
atas perintah tentara untuk mengenang sosoknya.
Atika Fauziyyah
DICURIGAI | Meski kebebasan telah dihirup oleh Solihin,
ketakutan akan stigma PKI masih saja menghantui. Para eks tapol saat ini masih
saja hidup dicurigai, Solihin berkisah beberapa bulan lalu ia didatangi polisi
yang takut ideologi PKI bangkit kembali. Solihin yang mengaku trauma akan
stigma itu akhirnya membakar buku-buku politik yang masih ia miliki.
Atika Fauziyyah
RUMAH | Bagi Solihin, Pulau Buru adalah rumahnya saat
ini. Laki-laki dari tatar sunda itu pun rela mati dan berkenan dimakamkan di
Buru yang disekililingnya berdiri bukit dan terhampar laut luas berwarna biru
dengan ombak yang ganas.
Kamis, 31 Mei 2018
Foto: Presiden Jokowi Temui Peserta Aksi Kamisan di Istana Merdeka
31 Mei 2018, 19:15 WIB
Pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut di hadir 19
anggota keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, Talangsari, Munir,
Tanjung Priok, Tragedi 1965-1968, dan Tragedi Penghilangan Paksa 1997-1998
Editor: Johan Fatzry
Photographer: Angga Yuniar
Kamis, 02 Februari 2017
Photo Story: Terbuang dari Negeri Sendiri
Kamis 02 Februari 2017 - 17:51
Sumber: Kumparan
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa
Panggabean/2014)
Bertemu kaum terbuang. Itulah yang
terjadi pada Rosa Panggabean saat pergi ke Negeri Kincir Angin untuk berlatih
fotografi. Ini pengalaman seumur hidup, dan meninggalkan kesan kuat di benak
fotografer perempuan itu.
Bermula dari tugas Ocha, sapaan
Rosa, untuk membuat photo story unik. Tahun itu, 2014, Ocha beruntung
bisa terbang ke Belanda karena menerima Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam
atas salah satu karya fotografinya.
Maka demi memenuhi PR
pelatihannya, Ocha berdiskusi dengan kawannya yang sudah lama tinggal di
Belanda. Hingga akhirnya ia menetapkan pilihan hendak mengangkat cerita tentang
kaum eksil Indonesia yang tinggal di Belanda.
Mereka terusir dari Indonesia,
dari negeri sendiri, ketika pergolakan politik terjadi pada periode 1964-1966.
Kala itu pemerintahan Sukarno beralih ke Soeharto, dan banyak di antara mereka
yang dikirim Sukarno untuk bertugas atau belajar ke luar negeri tiba-tiba
mendapati paspor dan kewarganegaraan mereka telah dicabut tanpa sebab jelas.
Maka, Ocha menemui mereka: eksil
yang hidup dalam pembuangan, tanpa punya kesempatan untuk mencium lagi tanah
kelahirannya.
Dari 9 orang eksil yang ditemui
Ocha, hanya 3 orang yang bersedia untuk dipotret untuk diangkat kisahnya.
Wajar, trauma begitu mendalam tertanam pada diri mereka. Tak semua mau cerita
hidupnya diketahui publik. Bisa jadi kerabat di Indonesia terkena dampak.
Ocha tak bisa lupa ekspresi dan
gestur para eksil itu.
“Begitu emosional. Waktu ngobrol sama mereka, kemarahan (karena dibuang) itu masih ada. Bertahun-tahun (mereka dibuang),” ujar Ocha saat berbincang dengan kumparan di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/1).
Berusia senja dan hidup terpisah
jauh dari keluarga, para eksil dilanda kerinduan mendalam terhadap sanak
saudara mereka.
Ocha tergugah. Dia tak bisa
tinggal diam. Dia merasa harus membantu mereka, sekecil apapun. Akhirnya, Ocha
membuat satu buku berisi kisah para eksil.
Seperti isinya, judul buku itu
adalah Exile. Di dalamnya, Ocha menceritakan kisah hidup
tiap eksil yang berhasil ia wawancarai dan potret.
Bagi Ocha, kisah hidup mereka
merupakan bagian dari sejarah yang harus diketahui masyarakat Indonesia.
“Mereka ini orang-orang tua dan pelaku sejarah,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan waktu dan
tenaga, Ocha mempublikasikan bukunya pada tahun 2015 secara indie. Ia
menjualnya di lingkaran pertemanan dan keluarga.
“Terjual 180 buku. Gue produksi 50 buah dulu karena enggak punya uang. Self-publish. Terus gue tawarin ke orang-orang, terus ada yang order lagi, gue produksi lagi. Sampai tiga kali cetak,” kata Ocha.
Selain dikemas dalam buku, kisah
mengenai eksil itu pun dimuat National Geographic dalam situsnya.
Ocha, satu dari sedikit fotografer
perempuan kawakan Indonesia, lantas membagi sejumlah foto Exile kepada
kumparan. Berikut kisah mereka seperti dituturkan langsung oleh Ocha.
Chalik, salah satu eksil di Belanda. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Chalik Hamid. Ia adalah penulis untuk LEKRA
(Lembaga Kebudajaan Rakjat), sebuah organisasi kiri yang fokus pada isu seni
dan budaya. Di zaman kepemimpinan Soekarno, Chalik dikirim ke Albania pada awal
tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Perubahan pemerintahan di bawah
kepemimpinan Soeharto kemudian terjadi di tahun tersebut, dan berujung pada
pencabutan paspornya. Ia tidak bisa kembali ke Indonesia, dan memutuskan untuk pindah
ke Belanda di akhir tahun 1989.
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Sarmadji berumur 83 tahun. Pada tahun 1965, ia
dikirimkan ke China untuk belajar. Paspornya dicabut oleh zaman pemerintahan
Soeharto saat itu. Sarmadji tidak bisa kembali ke tanah air Indonesia. Dalam
kesesakan hidupnya, motto ini selalu menguatkan: turn grief into strength (ubah
kepedihan menjadi kekuatan).
Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Pak Sarmadji di kediamannya yang tenang di Belanda.
Buku berisi narasi indoktrinasi. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, sebuah buku yang
berisi paham dan pegangan dasar yang pernah dimiliki oleh Bangsa Indonesia guna
mewujudkan Sosialisme Indonesia sebagai cita-cita negara. Buku ini menjadi
salah satu buku 'wajib' untuk memahami dasar negara di zaman Orde Lama.
Kumpulan surat dari masa lalu. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Kumpulan surat yang ditulis dan diterima oleh
Pak Chalik setelah dirinya melarikan diri. Beberapa di antaranya adalah surat
balasan yang diterima oleh Pak Chalik dari kawan-kawan seperjuangan yang
terpisah di berbagai negara bagian lain.
Bukti kesetiaan terhadap Soekarno. (Foto: Rosa Panggabean/2014)
Bukti setia. Foto Soekarno masih kuat
menggantung di dinding kamar eksil. Kesetiaan pada kepemimpinan Soekarno tak
pernah luntur dilumat zaman.
Sumber: Kumparan
Rabu, 09 November 2016
Catatan Fotografer Adrian Mulya
22.10
Article, Documentary, Foto, hoax ala orba, Kisah, Kliping #65, Sejarah #Gerwani, Tragedi
No comments
Adrian Mulya | Nov 9, 2016
Sumber: Ingat 65
Ni Made Murjiwati lahir di Denpasar 1942 (Fotografer:
Adrian Mulya)
Silet. Obor. Genjer-Genjer. Tari telanjang. Itulah sederet bayangan dalam
benak saya ketika mendengar kata ‘Gerwani’. Bayangan yang terbentuk akibat
puluhan tahun menonton film Pengkhianatan G30s/PKI yang, sialnya, ditayangkan
tiap tahun di TV pada zaman pemerintahan Soeharto. Bayangan itu tergerus
pelan-pelan, oleh berbagai buku penelitian dan kesaksian yang membawa saya pada
kesadaran baru seputar peristiwa 1965.
Aktivitas fotografi membawa saya berinteraksi langsung dengan para
perempuan Gerwani. Berawal dari ajakan seorang kawan untuk memotret mereka,
saya terus mencari banyak informasi tentang Gerwani melalui buku-buku. salah
satunya Kembang-Kembang Genjer karya Fransisca Ria Susanti. Sejak itu,
keinginan saya untuk membuat foto para perempuan Gerwani semakin kuat.
Sekitar tahun 2007, Gentur, kawan yang aktif di IKOHI, mengajak saya ke
sebuah pertemuan untuk menjenguk seorang mbah mantan anggota Gerwani yang sudah
sulit berjalan. Itu kali pertama saya berkenalan dengan komunitas perempuan
sepuh penyintas tragedi 1965. Saya merasa canggung, sekaligus tersentuh melihat
persaudaraan para mbah Gerwani. Di sana, Gentur dikelilingi banyak perempuan
sepuh yang memperlakukannya seperti cucunya sendiri.
Perkenalan berlanjut ke sebuah panti jompo di Jalan Kramat 5 yang menaungi
delapan mbah penyintas. Sejak itu, saya sering bertamu ke panti untuk sekadar
bercakap-cakap dan semakin mengenal para mbah.
Akhirnya, saya sampaikan keinginan untuk membuat foto portrait mereka,
karena saya kagum dengan perjalanan hidup mereka.
Setiap kali ada pertanyaan dari para mbah, “Untuk apa kami difoto?” Setiap kali pula saya jawab, “Kalau hidup adalah ujian, maka para mba sudah lulus jadi profesor,” dan tertawalah para mbah.
Sri Suprapto lahir di Boyolali, 1928 (Fotografer:
Adrian Mulya)
Pemotretan awal berlangsung baik, namun tidak cukup
mendalam. Seperti pemotretan KTP saja. Hubungan kami belum cair, beberapa mbah
masih menutup diri.
Waktu terus
berjalan, saya terus mengunjungi panti di sela-sela perkerjaan fotografi
lainnya. Kadang saya mengajak para mbah menonton teater, pernah pula mengajak
naik bajay nonton Lewat Djam Malam, film yang pernah mereka tonton dalam versi
aslinya saat masih muda. Di hari lebaran dan natal, kue kering buatan ibu saya
selalu saya bawakan ke panti. Sayangnya, ketika ibu saya meninggal dunia, saya
kehilangan kue untuk dibawa ke panti. Peristiwa hidup kami — meninggalnya
ibu saya, problem yang sempat dialami para mbah dengan pengelola panti — semakin
mendekatkan kami dan mencairkan hubungan yang tadinya kaku, sebatas fotografer
dan subjek.
Kasminah lahir tahun 1947 dan
Kusdalini 1945 di Solo (Fotografer: Adrian Mulya)
Sebagai fotografer, naluri pemburu pasti ada. Namun saya tidak ingin hanya
memotret begitu saja lalu selesai. Saya membuka diri untuk segala kemungkinan.
Ketika duduk bersama dan bercengkerama, kami menjadi sama tak ada rentang usia,
di sinilah saya melihat kemanusiaan. Bersama para mbah, saya menyelami dunia
orang lanjut usia yang sebenarnya sama dengan dunia anak muda: ada kecemburuan,
senang memperhatikan dan diperhatikan, dan berdandan sebelum diabadikan kamera.
Waktu mengantarkan saya pada perpisahan beberapa mbah yang tutup usia.
Saya selalu ingin menangkap semangat dan gairah hidup para mbah yang
istimewa ini. Setelah mengenal mereka lebih dalam, beberapa mbah saya foto
ulang untuk mendapatkan kedalaman yang belum tercapai pada tahun-tahun awal
pemotretan. Mbah-mbah di panti juga memperkenalkan saya kepada penyintas yang
tinggal di luar panti dan saya potret hingga belakangan ini.
Kala mengobrol dengan para mbah, saya menemukan sikap tubuh dan sorot mata
terbaik mereka yang segera saya catat dalam ingatan untuk diaplikasikan saat
pemotretan.
Saya ingin membuat portrait para mbah dalam
keadaan terbaiknya. Kenapa? Mereka telah mengalami tahun-tahun yang pahit dan
sakit, yang mereka lalui dengan tenang dan berani. Saya ingin menempatkan
mereka sebagai para pemenang kehidupan.
Suti lahir di desa Musuk,
Boyolali, 1920 (Fotografer: Adrian Mulya)
Pesan Tariq Ali, penulis dan aktivis asal Pakistan, dalam sebuah diskusi
semakin meneguhkan niat untuk terus memotret para mbah.
Ia berkata, ketika pemerintah bungkam
tentang peristiwa 65 dan akibatnya, maka tugas para pemerhatinyalah untuk
membuka dan menyebarkannya ke publik.
Melalui karya foto, saya berharap bisa memotret dan mendengar kisah tentang
tahun-tahun yang laing mengubah hidup mereka.
Mengenal para mbah pemenang dalam kehidupan, telah menghapus bayangan
tentang Gerwani yang kejam yang bertahun-tahun ditanamkan oleh Orde Baru.
Di masa muda, para mbah ini adalah perempuan yang bergitu bersemangat
menata diri untuk kemajuan bangsa, khususnya perempuan. Ini tercermin dari
cerita-cerita mereka yang membuka Taman Kanak Kanak, merintis penitipan anak
bagi para buruh, memberantas buta huruf, menentang poligami.
Lalu mengapa mereka hendak dihabisi?
Pertanyaan ini meminta jawaban yang sampai sekarang belum kita dengar. Tapi
kita belum mencapai titik akhir penuntasan tragedi 1965. Semoga buku foto ini
bisa menjadi sebentuk tanda koma untuk meneruskan diskusi yang mengarah lebih
dekat pada kebenaran.
Esai ini adalah pengantar buku Pemenang Kehidupan (KPG,
2014), karya fotografi Adrian Mulya dengan penulis Lilik HS tentang para
perempuan penyintas’65.
Adrian Mulya lulus dari Fakultas Hukum Universitas
Tarumanegara. Perkenalannya dengan kamera bermula dari kawan ayahnya, sekitar
tahun 1997. Sejak itu, ia memotret berbagai genre, lalu memperdalam fotografi
di Galeri Fotojurnalistik Antara (GFJA). Perjumpaannya dengan beberapa
fotografer senior membawa minatnya ke dunia foto dokumenter. Karyanya telah
dimuat media lokal maupun asing, lembaga nirlaba maupun komersial. Ia mulai
memotret para penyintas tragedi 1965 — yang disebutnya para ‘pemenang kehidupan’ — sejak tahun 2007, berawal dari
keingintahuannya tentang organisasi Gerwani, yang hingga kini masih menanggung
stigma buruk. Baginya, memotret mereka adalah memotret kehidupan itu sendiri.
Ia akan terus mendokumentasikan perjalanan hidup mereka dalam keadaan terbaiknya,
sampai mereka satu per satu hilang.
Sumber: Ingat 65
Minggu, 15 Mei 2016
Masa lalu yang tersembunyi
Ken Setiawan - May 15, 2016
Sudah jam 4 pagi ketika kapal feri yang saya tumpangi
mendarat di Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Maluku. Disambut dengan kegelapan
yang, menurut perasaan saya, sangat cocok untuk ukuran pulau yang punya latar
belakang sejarah sebagai kamp penjara.
Saya datang ke pulau Buru untuk melacak jejak
langkah ayahku Hersri Setiawan, seorang mantan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat
(LEKRA) Jawa Tengah dan wakil Komite Nasional Indonesia di Biro Pengarang Asia
Afrika di Kolombo. Ayah ditangkap pada tahun 1969, dan setelah ditahan di
beberapa penjara di sekitar Jakarta pada tahun 1971 beliau dikirim ke Pulau
Buru bersama 12.000 tahanan politik (Tapol) lainnya.
Awalnya tak banyak yang tersisa dari Pulau Buru walaupun
di masa lalu tempat ini adalah penjara. Barak-barak yang dulunya dihuni Tapol
sudah dibongkar. Namun jika dicermati, bekas-bekas masa lalu pulau Buru sebagai
kamp kerja paksa masih cukup terasa.
Sejak tahun 1969 para Tapol telah berdatangan ke pulau
Buru, dan tugas pertama mereka adalah membuka lahan pertanian. Tak hanya itu,
mereka juga harus membuat jalan, membuka sawah, dan membangun desa. Kerja paksa
ini dirancang sebagai hukuman bagi tahanan, namun tujuan pemerintah yang
sebenarnya adalah mempersiapkan pulau Buru untuk keperluan transmigrasi. Pemerintah
menyebut pulau Buru sebagai Tempat Pemanfaatan (Tefaat) dan Instalasi
Rehabilitasi (Inrehab).
Sebelum transmigran datang ke pulau Buru, sejak tahun
1972 ada beberapa keluarga Tapol yang pindah untuk menyusul anggota keluarga
mereka yang ditahan. Tapol yang disatukan kembali dengan keluarganya itu tidak
dibebaskan, namun diberi sedikit kebebasan. Sebagai contoh, mereka boleh
tinggal di rumah masing-masing dan tidak lagi tinggal di barak. Beberapa dari
rumah itu sampai sekarang masih ada, karena ada beberapa Tapol yang memilih
untuk tinggal menetap di sana setelah dibebaskan pada tahun 1977.
Sebuah rumah yang dibangun Tapol, sekitar
1972, untuk persiapan kedatangan keluarga
Para Tapol juga membangun beberapa bangunan lainnya,
seperti bangunan sekolah. Di Desa Savanajaya yang berada sekitar 20 kilometer
dari Namlea, para Tapol membangun Sekolah Dasar setempat. Pada saat itu dan
bahkan sampai sekarang, anak-anak di pulau Buru diajar oleh (mantan) Tapol. Di
tempat lain di Indonesia, mantan Tapol justru dilarang untuk mengajar.
Sekolah Dasar di Savanajaya
Berhadapan dengan sekolah Savanajaya, ada sebuah balai
kesenian. Balai ini juga dibangun oleh para Tapol. Para Tapol dulunya
menggunakan balai ini untuk pertunjukan seni yang “dinikmati” sesama Tapol dan
para pengawal termasuk komandan unit. Balai ini sekarang masih digunakan untuk
pertunjukan dan berbagai acara desa. Balai kesenian Savanajaya direnovasi
dengan bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Maluku pada tahun 2014. Sayangnya,
renovasi ini justru membuat banyak keluarga Tapol kecewa karena mereka sama
sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaannya.
Tiang-tiang yang awalnya dibuat oleh para Tapol dari kayu
putih kemudian diganti dengan bahan-bahan beton. Beberapa keluarga Tapol
mengambil tiang yang asli, karena menurut mereka tiang itu merupakan bagian
dari kisah hidup mereka di masa lalu.
Balai kesenian Savanajaya
Beberapa mantan Tapol Pulau Buru berfoto bersama di Balai
Kesenian
Di dekat balai kesenian ada sebuah monumen yang
menunjukkan sejarah pulau Buru sebagai kamp penjara.
Dikenal dengan sebutan ‘Tugu’, monumen ini dimaksudkan
untuk menandai hari jadi resmi Desa Savanajaya. Monumen ini merupakan simbol
penindasan bagi banyak mantan Tapol.
Monumen Tugu di Savanajaya
Piagam di belakang monumen Tugu, menyebut siapa saja yang
terlibat dalam pembangunan Savanajaya, termasuk semua unit kamp penjara
Monumen serupa juga ada di tempat lain.
Di pantai Sanleko, tempat banyak para Tapol pertama
mendarat, sebuah taman rekreasi dibangun pada tahun 1972 yang secara ironis
diberi nama ‘Jaya Bakti’. Taman Jaya Bakti dibuka oleh komandan kamp pada saat
itu, A.S. Rangkuti, yang juga dikenal dengan kekejamannya. Rangkuti kemudian
diangkat menjadi walikota Medan pada tahun 1980 sampai 1990.
Pantai Sanleko, tempat para Tapol mendarat
untuk pertama kali
Piagam di pantai Sanleko yang menandai
pembukaan taman rekreasi
Monumen-monumen ini menampilkan sejarah Pulau Buru
sebagai bentuk pembangunan dengan terbentuknya desa-desa dan taman-taman
rekreasi. Namun demikian, harga dari pembangunan tersebut nyaris tidak
terlihat.
Hanya batu-batu nisan tua tempat para Tapol bersemayam
yang menunjukkan jerih payah pengorbanan mereka. Nama-nama Tapol itu kini sudah
hampir tak bisa dibaca karena dihempas oleh hujan, badai, dan waktu.
Nisan sederhana di atas makam seorang Tapol
bernama Heru Santoso yang meninggal dalam usia 37 tahun, hanya beberapa bulan
sebelum pembebasannya
Bagi masyarakat mantan Tapol pulau Buru, sawah-sawah yang
tersebar di banyak tempat di pulau tersebut menjadi warisan paling nyata dari
kerja keras mereka. Hari ini, produksi beras merupakan sumber penghasilan utama
pulau Buru, selain juga minyak kayu putih, kopra, pala, cengkeh, dan hasil
tambang emas yang baru-baru ini dibuka.
Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo (dikenal sebagai
'Jokowi') mengunjungi pulau Buru. Ia menjadi presiden RI kedua yang ke sana
sesudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkunjung pada tahun 2006.
Dalam kunjungannya, Jokowi mendorong para petani setempat
untuk menaikkan hasil panen sebagai bagian dari program Pemerintah untuk
mencapai kemandirian pangan. Pemerintah menginginkan Pulau Buru bisa menjadi
lumbung beras untuk Indonesia Timur.
Presiden Jokowi telah menjanjikan bantuan keuangan dan
peralatan serta meminta Pemerintah Daerah untuk mengelola pertambangan emas
dengan lebih baik lagi guna mewujudkan hal ini. Produksi beras memang sedang
menurun akhir-akhir ini karena masyarakat lebih memilih untuk menambang emas
daripada bekerja di sawah, karena besarnya pemasukan dari aktivitas ini.
Banyak toko kecil yang menjual emas di
pinggir jalan
Pada bulan Mei 2015, Jokowi mengunjungi
sawah-sawah ini
Produksi beras di Pulau Buru dan rencana pemerintah untuk
untuk menjadikan Pulau Buru sebagai tulang punggung kemandirian pangan di
Indonesia Timur tak bisa dipisahkan dari sejarah pulau Buru sebagai kamp
penjara.
Sawah-sawah yang berdiri di antara tahun 1969 hingga 1979
tersebut dibangun dari hasil kerja paksa para Tapol. Banyak mantan Tapol yang
kemudian mengungkapkan kekecewaan mereka atas sedikitnya pengakuan pemerintah
atas sumbangsih mereka dalam membangun pulau Buru.
Salah satu spanduk yang dipasang untuk
menyambut kunjungan Jokowi
Banyak di antara para penduduk Pulau Buru hari ini yang
pada awalnya merupakan transmigran yang datang pada akhir tahun tujuh puluhan.
Mereka tidak hanya dijanjikan tanah tetapi juga lahan pertanian yang siap
pakai. Banyak di antara mereka yang bahkan belum punya pengalaman dalam
mengolah lahan pertanian.
Seorang transmigran dari pulau Jawa bernama Untung menyampaikannya sebagai berikut, “Suharto berkata pada kami bahwa komunis itu jahat. Namun ketika saya datang, mereka [para Tapol tersebut] justru mengajari saya cara bertani dan mengolah lahan pertanian”.
Walaupun hingga saat ini negara tak kunjung mengakui
hasil jerih payah dan penderitaan para Tapol, jasa-jasa mereka dalam membangun
Pulau Buru justru tak terlupakan oleh orang-orang seperti pak Untung.
Bapak Untung belajar menggarap sawah dari
tahanan politik
Ken Setiawan (setiawan.k@unimelb.edu.au) adalah
McKenzie Postdoctoral Fellow di University of Melbourne. Risetnya berfokus pada
wacana-wacana Hak Asasi manusia di Asia Tenggara. Ken Setiawan berbicara
tentang kunjungannya ke Pulau Buru bersama Dave McRae dalam Talking
Indonesia podcast Indonesia at Melbourne.
Langganan:
Postingan (Atom)