HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Foto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Foto. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Mei 2019

Sepetik harapan mantan tapol di Pulau Buru

Jumat, 17 Mei 2019

Pantai Sanleko
Pantai Sanleko tempat mendaratnya para tahanan politik unit IV saat di buang di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Bergetar tangan Diro Utomo saat menceritakan tersiksanya ia dan ribuan tahanan politik lainnya pada awal masa pembuangan mereka di Pulau Buru untuk dipaksa bekerja membuka hutan dan membuat sawah hanya dengan sebuah cangkul.

Diro Utomo pria berusia 83 tahun itu dibawa ke Pulau Buru pada tahun 1971 dan langsung ditempatkan Unit XVIII meski tanpa ada alasan yang jelas mengapa ia ditangkap dan ditahan.

Memeluk kawan senasib
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) memeluk kawan senasibnya Slamet (kanan) di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pulau Buru yang berada di Maluku menjadi lokasi tempat pemanfaatan (Tefaat) yang kemudian berubahan menjadi Inrehab (Instalasi Rehabilitas) para tahanan politik yang ditangkap pasca-G30S/PKI untuk dimanfaatkan membangun kawasan persawahan.

Hamparan sawah
Hamparan sawah hasil kerja paksa para tahanan politik di Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Namun dari sekitar 12 ribu tahanan politik yang dibawa ke Pulau Buru tak semuanya terkait dengan organisasi terlarang PKI. Banyak dari mereka yang difitnah sebagai anggota PKI karena ada yang tak suka pada mereka.

Tugu peresmian
Tugu peresmian nama desa Savana Jaya pada masa pembuangan tahanan politik di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

“Pada saat itu telunjuk lebih mematikan dari pada senjata, seseorang yang tidak suka sama kita dengan mudahnya menunjuk kita sebagai PKI sehingga kita ditangkap dan dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan”, ujar Diro.

Seperti Solikhin, pria berusia 84 tahun itu ditangkap bersama istrinya pada pertengahan 1966 di Tasikmalaya karena di halaman rumahnya ditemukan peta rencana penyerangan kantor polisi yang sama sekali ia tak pernah melihat peta tersebut sehingga ia harus dibuang ke Pulau Buru pada tahun 1970 dan menghuni unit IV/Savana Jaya.

Menetap di Pulau Buru
Mantan tahanan politik Sugito (kanan) bersama istrinya Sugiharti yang juga anak mantan tahanan politik memilih menetap di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Selama menjalani kerja paksa, para tahanan politik pun kerap mendapatkan kekerasan dari tentara yang mengawasi mereka selama bekerja di unit masing-masing.
Panen padi
Foto hasil reproduksi empat tahanan politik saat melakukan panen padi di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

“Boleh dibilang Pulau Buru ini dibangun dengan keringat dan air mata tahanan politik sehingga Buru kini telah menjadi lumbung padi di kawasan Indonesia Timur”, tutur Solikhin yang memilih hidup di Savana Jaya.

Berladang
Mantan tahanan politik Diro Utomo berladang di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Mulai tahun 1972, banyak istri dan anak para tapol didatangkan dari Pulau Jawa sehingga setelah masa pembebasan pada tahun 1979 banyak para mantan tahanan politik lebih memilih menetap di Pulau Buru tempat dimana mereka menghabiskan waktunya dalam bekerja paksa.

Anak mantan tapol
Anak mantan tahanan politik bekerja sebagai pegawai di SDN 1 Waepo, Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Kehadiran anak-anak tapol yang masih gadis pun menimbulkan benih-benih cinta dari para tahanan politik yang masih bujangan. Banyak dari mereka yang menikah dan memilih menetap di Buru.

Foto lawas
Foto mantan tahanan politik Solikhin memeluk istrinya sebelum ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Seperti Sugito, pria kelahiran 1942 itu jatuh hati dengan seorang anak tahanan politik bernama Sugiharti yang akhirnya menikah pada masa tahanan politik 1978 meski di akte pernikahannya tertulis pekerjaan seorang tahanan politik.

Foto pernikahan
Foto hasil reproduksi pernikahan tahanan politik Sugito (kedua kiri) dan anak mantan tahanan politik Sugiharti (kedua kanan) pada tahun 1978 di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Para mantan tahanan politik yang berada di Pulau Buru kini sudah hidup dengan tenang, ada yang menghabiskan sisa hidupnya dengan bertani hingga membuka warung untuk memenuhi kebutuhan hidupnnya.

Berpose di depan rumah
Mantan tahanan politik Solikhin berada di depan rumahnya di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Mereka pun telah berbaur dengan para transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa meski sesekali ada saja yang menyebut mereka “dasar PKI” bila ada seseorang yang jengkel dengan mereka.

Mencoblos saat Pemilu
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) dan anak dari tahanan politik Sugiharti (kedua kiri) melakukan pencoblosan saat Pemilu 2019 di Savana Jaya Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pascapemilu 2019, mantan tahanan politik berharap siapapun presiden yang terpilih nanti dapat mengembalikan nama baik mereka dan keluarganya agar mereka dapat hidup lebih aman dan tentram. Harapan tak terjadi lagi peristiwa yang pernah mereka rasakan pun terus terucap.

Foto dan teks : Hafidz Mubarak A 

Jumat, 10 Mei 2019

Menunggu waktu di Pulau Buru


Editor Foto : Bismo Agung - 16:44 WIB - Jumat, 10 Mei 2019

Di Pulau Buru, dua belas ribu tahanan politik pernah mendiami kawasan itu. Hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika dinyatakan bebas, banyak tahanan pulang ke Pulau Jawa, tapi ada juga yang memilih tinggal di Pulau Buru, pulau yang dianggapnya sebagai rumah mereka sampai mati.

Atika Fauziyyah

TAHANAN | Pulau Buru, sungguh elok. Tapi dibalik keelokannya, sejarah suram tercecer di sini. Berada di Kepulauan Maluku, Pulau Buru adalah penjara alam nan ganas bagi mereka yang disangka anggota dan simpatisan PKI. Hutan dan lautnya luas, ombak di perairannya pun lumayan keras menjadi pembatas bagi para tahanan politik yang kebanyakan datang dari Jawa.

Atika Fauziyyah

YANG TERSISA | Sekitar 12.000 orang yang dituding sebagai simpatisan dan anggota PKI hidup sebagai tahanan di Pulau Buru. Satu di antaranya adalah Solihin, 84 tahun. Bersama 300 eks tapol ia memilih meneruskan hidupnya di pulau itu. Datang dari Jawa Barat, Solihin ingat benar derita menjadi tahanan di Pulau Buru.

Atika Fauziyyah

NISAN | Di Pulau Buru, nisan yang terserak menjadi bukti dari banyaknya tahanan yang mati. Solihin yang mantan pegawai Pusat Pertanian Negara di Jawa Barat itu ingat betul nestapa yang dialami olehnya dan sejawatnya kala itu. Ia masih mengenang bagaimana satu persatu tahanan di Pulau Buru memilih mati karena ganasnya hidup di pulau itu. Solihin merasa beruntung karena ia masih bisa bertahan hingga kini, bahkan ia sempat pulang ke kampung halaman dan membawa istrinya untuk melanjutkan hidup di Pulau Buru.

Atika Fauziyyah

SENIMAN | Dahulu Solihin adalah seniman suling. Iamenjejakkan kaki di Pulau Buru karena kerap turut dalam pertunjukkan seni yang digagas PKI. Ketika dinyatakan bebas Solihin sebenarnya bisa saja pergi meninggalkan Buru, tapi pengalaman pahit ketika pulang ke kampung halaman membuat ia terpaksa kembali ke pulau yang disebutnya sebagai penjara masa lalu.


Atika Fauziyyah

KENANGAN | Ketika ia diangkut ke Pulau Buru pada 1969, Solihin meninggalkan istrinya di kampung halamannya di Sumedang, Jawa Barat. Ia berjumpa kembali pada 1972 ketika pulang ke kampungnya setelah dinyatakan bebas. Namun stigma tapol yang menakutkan, dan berdampak pada kerabat, membuat Solihin memilih kembali ke Buru bersama sang istri. Etty Rohmayati, istri Solihin wafat di Pulau Buru pada 2015. Kepergiannya meninggalkan kenangan, juga kesepian bagi lelaki itu.

Atika Fauziyyah

BURU | Sampai saat ini Pulau Buru adalah wilayah yang sulit. Hutannya yang lebat, tanahnya yang keras membuat hidup di pulau itu amatlah sukar dijalani. Hampir tak ada bekas bangunan yang dapat mengingatkan Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tahanan politik. Barak-barak yang dulu menjadi tempat tidur para tahanan di 22 unit sejak lama dihancurkan. Dan saat ini hanya menyisakan beberapa rumah yang dibangun oleh para tapol yang memilih tinggal.

Atika Fauziyyah

SENDIRI | Di rumahnya yang berada di Desa Savana Jaya, Solihin kini tinggal sendiri. Ia tak lagi bekerja sebagai buruh tani. Anaknya memilih merantau ke Pulau Jawa dan ke Namlea, Buru, dan untuk menghidupi dirinya ia hidup dari kelihaiannya bermain suling.

Atika Fauziyyah

KELAM | Pulau Buru memang sejarah kelam bagi siapa pun, termasuk bagi Indonesia itu sendiri. Pada foto, patung Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Patimurra berdiri. Panitia Umar adalah tentara yang mati dibunuh para tahanan pada 1972. Dan patung itu dibuat oleh para tapol atas perintah tentara untuk mengenang sosoknya.

Atika Fauziyyah

DICURIGAI | Meski kebebasan telah dihirup oleh Solihin, ketakutan akan stigma PKI masih saja menghantui. Para eks tapol saat ini masih saja hidup dicurigai, Solihin berkisah beberapa bulan lalu ia didatangi polisi yang takut ideologi PKI bangkit kembali. Solihin yang mengaku trauma akan stigma itu akhirnya membakar buku-buku politik yang masih ia miliki.

Atika Fauziyyah

RUMAH | Bagi Solihin, Pulau Buru adalah rumahnya saat ini. Laki-laki dari tatar sunda itu pun rela mati dan berkenan dimakamkan di Buru yang disekililingnya berdiri bukit dan terhampar laut luas berwarna biru dengan ombak yang ganas.

Kamis, 31 Mei 2018

Foto: Presiden Jokowi Temui Peserta Aksi Kamisan di Istana Merdeka


31 Mei 2018, 19:15 WIB

Pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut di hadir 19 anggota keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, Talangsari, Munir, Tanjung Priok, Tragedi 1965-1968, dan Tragedi Penghilangan Paksa 1997-1998

Editor: Johan Fatzry
Photographer: Angga Yuniar














Kamis, 02 Februari 2017

Photo Story: Terbuang dari Negeri Sendiri

Kamis 02 Februari 2017 - 17:51


Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Bertemu kaum terbuang. Itulah yang terjadi pada Rosa Panggabean saat pergi ke Negeri Kincir Angin untuk berlatih fotografi. Ini pengalaman seumur hidup, dan meninggalkan kesan kuat di benak fotografer perempuan itu.

Bermula dari tugas Ocha, sapaan Rosa, untuk membuat photo story unik. Tahun itu, 2014, Ocha beruntung bisa terbang ke Belanda karena menerima Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam atas salah satu karya fotografinya.

Maka demi memenuhi PR pelatihannya, Ocha berdiskusi dengan kawannya yang sudah lama tinggal di Belanda. Hingga akhirnya ia menetapkan pilihan hendak mengangkat cerita tentang kaum eksil Indonesia yang tinggal di Belanda.

Mereka terusir dari Indonesia, dari negeri sendiri, ketika pergolakan politik terjadi pada periode 1964-1966. Kala itu pemerintahan Sukarno beralih ke Soeharto, dan banyak di antara mereka yang dikirim Sukarno untuk bertugas atau belajar ke luar negeri tiba-tiba mendapati paspor dan kewarganegaraan mereka telah dicabut tanpa sebab jelas.

Maka, Ocha menemui mereka: eksil yang hidup dalam pembuangan, tanpa punya kesempatan untuk mencium lagi tanah kelahirannya.
Dari 9 orang eksil yang ditemui Ocha, hanya 3 orang yang bersedia untuk dipotret untuk diangkat kisahnya. Wajar, trauma begitu mendalam tertanam pada diri mereka. Tak semua mau cerita hidupnya diketahui publik. Bisa jadi kerabat di Indonesia terkena dampak.

Ocha tak bisa lupa ekspresi dan gestur para eksil itu.
“Begitu emosional. Waktu ngobrol sama mereka, kemarahan (karena dibuang) itu masih ada. Bertahun-tahun (mereka dibuang),” ujar Ocha saat berbincang dengan kumparan di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/1).
Berusia senja dan hidup terpisah jauh dari keluarga, para eksil dilanda kerinduan mendalam terhadap sanak saudara mereka.
Ocha tergugah. Dia tak bisa tinggal diam. Dia merasa harus membantu mereka, sekecil apapun. Akhirnya, Ocha membuat satu buku berisi kisah para eksil.

Seperti isinya, judul buku itu adalah Exile. Di dalamnya, Ocha menceritakan kisah hidup tiap eksil yang berhasil ia wawancarai dan potret.

Bagi Ocha, kisah hidup mereka merupakan bagian dari sejarah yang harus diketahui masyarakat Indonesia.
“Mereka ini orang-orang tua dan pelaku sejarah,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan waktu dan tenaga, Ocha mempublikasikan bukunya pada tahun 2015 secara indie. Ia menjualnya di lingkaran pertemanan dan keluarga.
“Terjual 180 buku. Gue produksi 50 buah dulu karena enggak punya uang. Self-publish. Terus gue tawarin ke orang-orang, terus ada yang order lagi, gue produksi lagi. Sampai tiga kali cetak,” kata Ocha.
Selain dikemas dalam buku, kisah mengenai eksil itu pun dimuat National Geographic dalam situsnya.

Ocha, satu dari sedikit fotografer perempuan kawakan Indonesia, lantas membagi sejumlah foto Exile kepada kumparan. Berikut kisah mereka seperti dituturkan langsung oleh Ocha.

Chalik, salah satu eksil di Belanda. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Chalik Hamid. Ia adalah penulis untuk LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat), sebuah organisasi kiri yang fokus pada isu seni dan budaya. Di zaman kepemimpinan Soekarno, Chalik dikirim ke Albania pada awal tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Perubahan pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto kemudian terjadi di tahun tersebut, dan berujung pada pencabutan paspornya. Ia tidak bisa kembali ke Indonesia, dan memutuskan untuk pindah ke Belanda di akhir tahun 1989.

Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Sarmadji berumur 83 tahun. Pada tahun 1965, ia dikirimkan ke China untuk belajar. Paspornya dicabut oleh zaman pemerintahan Soeharto saat itu. Sarmadji tidak bisa kembali ke tanah air Indonesia. Dalam kesesakan hidupnya, motto ini selalu menguatkan: turn grief into strength (ubah kepedihan menjadi kekuatan).

Sarmadji, salah satu eksil. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Pak Sarmadji di kediamannya yang tenang di Belanda.

Buku berisi narasi indoktrinasi. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, sebuah buku yang berisi paham dan pegangan dasar yang pernah dimiliki oleh Bangsa Indonesia guna mewujudkan Sosialisme Indonesia sebagai cita-cita negara. Buku ini menjadi salah satu buku 'wajib' untuk memahami dasar negara di zaman Orde Lama.

Kumpulan surat dari masa lalu. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Kumpulan surat yang ditulis dan diterima oleh Pak Chalik setelah dirinya melarikan diri. Beberapa di antaranya adalah surat balasan yang diterima oleh Pak Chalik dari kawan-kawan seperjuangan yang terpisah di berbagai negara bagian lain.

Bukti kesetiaan terhadap Soekarno. (Foto: Rosa Panggabean/2014)

Bukti setia. Foto Soekarno masih kuat menggantung di dinding kamar eksil. Kesetiaan pada kepemimpinan Soekarno tak pernah luntur dilumat zaman.

Sumber: Kumparan 

Rabu, 09 November 2016

Catatan Fotografer Adrian Mulya

Adrian Mulya | Nov 9, 2016


Ni Made Murjiwati lahir di Denpasar 1942 (Fotografer: Adrian Mulya)

Silet. Obor. Genjer-Genjer. Tari telanjang. Itulah sederet bayangan dalam benak saya ketika mendengar kata ‘Gerwani’. Bayangan yang terbentuk akibat puluhan tahun menonton film Pengkhianatan G30s/PKI yang, sialnya, ditayangkan tiap tahun di TV pada zaman pemerintahan Soeharto. Bayangan itu tergerus pelan-pelan, oleh berbagai buku penelitian dan kesaksian yang membawa saya pada kesadaran baru seputar peristiwa 1965.

Aktivitas fotografi membawa saya berinteraksi langsung dengan para perempuan Gerwani. Berawal dari ajakan seorang kawan untuk memotret mereka, saya terus mencari banyak informasi tentang Gerwani melalui buku-buku. salah satunya Kembang-Kembang Genjer karya Fransisca Ria Susanti. Sejak itu, keinginan saya untuk membuat foto para perempuan Gerwani semakin kuat.

Sekitar tahun 2007, Gentur, kawan yang aktif di IKOHI, mengajak saya ke sebuah pertemuan untuk menjenguk seorang mbah mantan anggota Gerwani yang sudah sulit berjalan. Itu kali pertama saya berkenalan dengan komunitas perempuan sepuh penyintas tragedi 1965. Saya merasa canggung, sekaligus tersentuh melihat persaudaraan para mbah Gerwani. Di sana, Gentur dikelilingi banyak perempuan sepuh yang memperlakukannya seperti cucunya sendiri.

Perkenalan berlanjut ke sebuah panti jompo di Jalan Kramat 5 yang menaungi delapan mbah penyintas. Sejak itu, saya sering bertamu ke panti untuk sekadar bercakap-cakap dan semakin mengenal para mbah.
Akhirnya, saya sampaikan keinginan untuk membuat foto portrait mereka, karena saya kagum dengan perjalanan hidup mereka.

Setiap kali ada pertanyaan dari para mbah, “Untuk apa kami difoto?” Setiap kali pula saya jawab, “Kalau hidup adalah ujian, maka para mba sudah lulus jadi profesor,” dan tertawalah para mbah.

Sri Suprapto lahir di Boyolali, 1928 (Fotografer: Adrian Mulya)

Pemotretan awal berlangsung baik, namun tidak cukup mendalam. Seperti pemotretan KTP saja. Hubungan kami belum cair, beberapa mbah masih menutup diri.

Waktu terus berjalan, saya terus mengunjungi panti di sela-sela perkerjaan fotografi lainnya. Kadang saya mengajak para mbah menonton teater, pernah pula mengajak naik bajay nonton Lewat Djam Malam, film yang pernah mereka tonton dalam versi aslinya saat masih muda. Di hari lebaran dan natal, kue kering buatan ibu saya selalu saya bawakan ke panti. Sayangnya, ketika ibu saya meninggal dunia, saya kehilangan kue untuk dibawa ke panti. Peristiwa hidup kami — meninggalnya ibu saya, problem yang sempat dialami para mbah dengan pengelola panti — semakin mendekatkan kami dan mencairkan hubungan yang tadinya kaku, sebatas fotografer dan subjek.

Kasminah lahir tahun 1947 dan Kusdalini 1945 di Solo (Fotografer: Adrian Mulya)

Sebagai fotografer, naluri pemburu pasti ada. Namun saya tidak ingin hanya memotret begitu saja lalu selesai. Saya membuka diri untuk segala kemungkinan. Ketika duduk bersama dan bercengkerama, kami menjadi sama tak ada rentang usia, di sinilah saya melihat kemanusiaan. Bersama para mbah, saya menyelami dunia orang lanjut usia yang sebenarnya sama dengan dunia anak muda: ada kecemburuan, senang memperhatikan dan diperhatikan, dan berdandan sebelum diabadikan kamera. Waktu mengantarkan saya pada perpisahan beberapa mbah yang tutup usia.

Saya selalu ingin menangkap semangat dan gairah hidup para mbah yang istimewa ini. Setelah mengenal mereka lebih dalam, beberapa mbah saya foto ulang untuk mendapatkan kedalaman yang belum tercapai pada tahun-tahun awal pemotretan. Mbah-mbah di panti juga memperkenalkan saya kepada penyintas yang tinggal di luar panti dan saya potret hingga belakangan ini.

Kala mengobrol dengan para mbah, saya menemukan sikap tubuh dan sorot mata terbaik mereka yang segera saya catat dalam ingatan untuk diaplikasikan saat pemotretan.

Saya ingin membuat portrait para mbah dalam keadaan terbaiknya. Kenapa? Mereka telah mengalami tahun-tahun yang pahit dan sakit, yang mereka lalui dengan tenang dan berani. Saya ingin menempatkan mereka sebagai para pemenang kehidupan.

Suti lahir di desa Musuk, Boyolali, 1920 (Fotografer: Adrian Mulya)

Pesan Tariq Ali, penulis dan aktivis asal Pakistan, dalam sebuah diskusi semakin meneguhkan niat untuk terus memotret para mbah.
Ia berkata, ketika pemerintah bungkam tentang peristiwa 65 dan akibatnya, maka tugas para pemerhatinyalah untuk membuka dan menyebarkannya ke publik.

Melalui karya foto, saya berharap bisa memotret dan mendengar kisah tentang tahun-tahun yang laing mengubah hidup mereka.

Mengenal para mbah pemenang dalam kehidupan, telah menghapus bayangan tentang Gerwani yang kejam yang bertahun-tahun ditanamkan oleh Orde Baru.

Di masa muda, para mbah ini adalah perempuan yang bergitu bersemangat menata diri untuk kemajuan bangsa, khususnya perempuan. Ini tercermin dari cerita-cerita mereka yang membuka Taman Kanak Kanak, merintis penitipan anak bagi para buruh, memberantas buta huruf, menentang poligami.

Lalu mengapa mereka hendak dihabisi?

Pertanyaan ini meminta jawaban yang sampai sekarang belum kita dengar. Tapi kita belum mencapai titik akhir penuntasan tragedi 1965. Semoga buku foto ini bisa menjadi sebentuk tanda koma untuk meneruskan diskusi yang mengarah lebih dekat pada kebenaran.

Esai ini adalah pengantar buku Pemenang Kehidupan (KPG, 2014), karya fotografi Adrian Mulya dengan penulis Lilik HS tentang para perempuan penyintas’65.

Adrian Mulya lulus dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara. Perkenalannya dengan kamera bermula dari kawan ayahnya, sekitar tahun 1997. Sejak itu, ia memotret berbagai genre, lalu memperdalam fotografi di Galeri Fotojurnalistik Antara (GFJA). Perjumpaannya dengan beberapa fotografer senior membawa minatnya ke dunia foto dokumenter. Karyanya telah dimuat media lokal maupun asing, lembaga nirlaba maupun komersial. Ia mulai memotret para penyintas tragedi 1965yang disebutnya para pemenang kehidupansejak tahun 2007, berawal dari keingintahuannya tentang organisasi Gerwani, yang hingga kini masih menanggung stigma buruk. Baginya, memotret mereka adalah memotret kehidupan itu sendiri. Ia akan terus mendokumentasikan perjalanan hidup mereka dalam keadaan terbaiknya, sampai mereka satu per satu hilang.

Sumber: Ingat 65 

Minggu, 15 Mei 2016

Masa lalu yang tersembunyi


Ken Setiawan - May 15, 2016


Sudah jam 4 pagi ketika kapal feri yang saya tumpangi mendarat di Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Maluku. Disambut dengan kegelapan yang, menurut perasaan saya, sangat cocok untuk ukuran pulau yang punya latar belakang sejarah sebagai kamp penjara. 

Saya datang ke  pulau Buru untuk melacak jejak langkah ayahku Hersri Setiawan, seorang mantan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Jawa Tengah dan wakil Komite Nasional Indonesia di Biro Pengarang Asia Afrika di Kolombo. Ayah ditangkap pada tahun 1969, dan setelah ditahan di beberapa penjara di sekitar Jakarta pada tahun 1971 beliau dikirim ke Pulau Buru bersama 12.000 tahanan politik (Tapol) lainnya.

Awalnya tak banyak yang tersisa dari Pulau Buru walaupun di masa lalu tempat ini adalah penjara. Barak-barak yang dulunya dihuni Tapol sudah dibongkar. Namun jika dicermati, bekas-bekas masa lalu pulau Buru sebagai kamp kerja paksa masih cukup terasa.

Sejak tahun 1969 para Tapol telah berdatangan ke pulau Buru, dan tugas pertama mereka adalah membuka lahan pertanian. Tak hanya itu, mereka juga harus membuat jalan, membuka sawah, dan membangun desa. Kerja paksa ini dirancang sebagai hukuman bagi tahanan, namun tujuan pemerintah yang sebenarnya adalah mempersiapkan pulau Buru untuk keperluan transmigrasi. Pemerintah menyebut pulau Buru sebagai Tempat Pemanfaatan (Tefaat) dan Instalasi Rehabilitasi (Inrehab).

Sebelum transmigran datang ke pulau Buru, sejak tahun 1972 ada beberapa keluarga Tapol yang pindah untuk menyusul anggota keluarga mereka yang ditahan. Tapol yang disatukan kembali dengan keluarganya itu tidak dibebaskan, namun diberi sedikit kebebasan. Sebagai contoh, mereka boleh tinggal di rumah masing-masing dan tidak lagi tinggal di barak. Beberapa dari rumah itu sampai sekarang masih ada, karena ada beberapa Tapol yang memilih untuk tinggal menetap di sana setelah dibebaskan pada tahun 1977. 


Sebuah rumah yang dibangun Tapol, sekitar 1972, untuk persiapan kedatangan keluarga

Para Tapol juga membangun beberapa bangunan lainnya, seperti bangunan sekolah. Di Desa Savanajaya yang berada sekitar 20 kilometer dari Namlea, para Tapol membangun Sekolah Dasar setempat. Pada saat itu dan bahkan sampai sekarang, anak-anak di pulau Buru diajar oleh (mantan) Tapol. Di tempat lain di Indonesia, mantan Tapol justru dilarang untuk mengajar.


Sekolah Dasar di Savanajaya

Berhadapan dengan sekolah Savanajaya, ada sebuah balai kesenian. Balai ini juga dibangun oleh para Tapol. Para Tapol dulunya menggunakan balai ini untuk pertunjukan seni yang “dinikmati” sesama Tapol dan para pengawal termasuk komandan unit. Balai ini sekarang masih digunakan untuk pertunjukan dan berbagai acara desa. Balai kesenian Savanajaya direnovasi dengan bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Maluku pada tahun 2014. Sayangnya, renovasi ini justru membuat banyak keluarga Tapol kecewa karena mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaannya.

Tiang-tiang yang awalnya dibuat oleh para Tapol dari kayu putih kemudian diganti dengan bahan-bahan beton. Beberapa keluarga Tapol mengambil tiang yang asli, karena menurut mereka tiang itu merupakan bagian dari kisah hidup mereka di masa lalu.


Balai kesenian Savanajaya

Beberapa mantan Tapol Pulau Buru berfoto bersama di Balai Kesenian
Di dekat balai kesenian ada sebuah monumen yang menunjukkan sejarah pulau Buru sebagai kamp penjara.


Dikenal dengan sebutan ‘Tugu’, monumen ini dimaksudkan untuk menandai hari jadi resmi Desa Savanajaya. Monumen ini merupakan simbol penindasan bagi banyak mantan Tapol.


Monumen Tugu di Savanajaya

Piagam di belakang monumen Tugu, menyebut siapa saja yang terlibat dalam pembangunan Savanajaya, termasuk semua unit kamp penjara
Monumen serupa juga ada di tempat lain.

Di pantai Sanleko, tempat banyak para Tapol pertama mendarat, sebuah taman rekreasi dibangun pada tahun 1972 yang secara ironis diberi nama ‘Jaya Bakti’. Taman Jaya Bakti dibuka oleh komandan kamp pada saat itu, A.S. Rangkuti, yang juga dikenal dengan kekejamannya. Rangkuti kemudian diangkat menjadi walikota Medan pada tahun 1980 sampai 1990.


Pantai Sanleko, tempat para Tapol mendarat untuk pertama kali


Piagam di pantai Sanleko yang menandai pembukaan taman rekreasi

Monumen-monumen ini menampilkan sejarah Pulau Buru sebagai bentuk pembangunan dengan terbentuknya desa-desa dan taman-taman rekreasi. Namun demikian, harga dari pembangunan tersebut nyaris tidak terlihat.

Hanya batu-batu nisan tua tempat para Tapol bersemayam yang menunjukkan jerih payah pengorbanan mereka. Nama-nama Tapol itu kini sudah hampir tak bisa dibaca karena dihempas oleh hujan, badai, dan waktu.


Nisan sederhana di atas makam seorang Tapol bernama Heru Santoso yang meninggal dalam usia 37 tahun, hanya beberapa bulan sebelum pembebasannya

Bagi masyarakat mantan Tapol pulau Buru, sawah-sawah yang tersebar di banyak tempat di pulau tersebut menjadi warisan paling nyata dari kerja keras mereka. Hari ini, produksi beras merupakan sumber penghasilan utama pulau Buru, selain juga minyak kayu putih, kopra, pala, cengkeh, dan hasil tambang emas yang baru-baru ini dibuka. 

Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo (dikenal sebagai 'Jokowi') mengunjungi pulau Buru. Ia menjadi presiden RI kedua yang ke sana sesudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkunjung pada tahun 2006.

Dalam kunjungannya, Jokowi mendorong para petani setempat untuk menaikkan hasil panen sebagai bagian dari program Pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan. Pemerintah menginginkan Pulau Buru bisa menjadi lumbung beras untuk Indonesia Timur.

Presiden Jokowi telah menjanjikan bantuan keuangan dan peralatan serta meminta Pemerintah Daerah untuk mengelola pertambangan emas dengan lebih baik lagi guna mewujudkan hal ini. Produksi beras memang sedang menurun akhir-akhir ini karena masyarakat lebih memilih untuk menambang emas daripada bekerja di sawah, karena besarnya pemasukan dari aktivitas ini.


Banyak toko kecil yang menjual emas di pinggir jalan


Pada bulan Mei 2015, Jokowi mengunjungi sawah-sawah ini

Produksi beras di Pulau Buru dan rencana pemerintah untuk untuk menjadikan Pulau Buru sebagai tulang punggung kemandirian pangan di Indonesia Timur tak bisa dipisahkan dari sejarah pulau Buru sebagai kamp penjara.

Sawah-sawah yang berdiri di antara tahun 1969 hingga 1979 tersebut dibangun dari hasil kerja paksa para Tapol. Banyak mantan Tapol yang kemudian mengungkapkan kekecewaan mereka atas sedikitnya pengakuan pemerintah atas sumbangsih mereka dalam membangun pulau Buru.


Salah satu spanduk yang dipasang untuk menyambut kunjungan Jokowi

Banyak di antara para penduduk Pulau Buru hari ini yang pada awalnya merupakan transmigran yang datang pada akhir tahun tujuh puluhan. Mereka tidak hanya dijanjikan tanah tetapi juga lahan pertanian yang siap pakai. Banyak di antara mereka yang bahkan belum punya pengalaman dalam mengolah lahan pertanian.
Seorang transmigran dari pulau Jawa bernama Untung menyampaikannya sebagai berikut, “Suharto berkata pada kami bahwa komunis itu jahat. Namun ketika saya datang, mereka [para Tapol tersebut] justru mengajari saya cara bertani dan mengolah lahan pertanian”.
Walaupun hingga saat ini negara tak kunjung mengakui hasil jerih payah dan penderitaan para Tapol, jasa-jasa mereka dalam membangun Pulau Buru justru tak terlupakan oleh orang-orang seperti pak Untung. 


Bapak Untung belajar menggarap sawah dari tahanan politik

Ken Setiawan (setiawan.k@unimelb.edu.au) adalah McKenzie Postdoctoral Fellow di University of Melbourne. Risetnya berfokus pada wacana-wacana Hak Asasi manusia di Asia Tenggara. Ken Setiawan berbicara tentang kunjungannya ke Pulau Buru bersama Dave McRae dalam Talking Indonesia podcast Indonesia at Melbourne.