Adrian Mulya | Nov 9, 2016
Ni Made Murjiwati lahir di Denpasar 1942 (Fotografer:
Adrian Mulya)
Silet. Obor. Genjer-Genjer. Tari telanjang. Itulah sederet bayangan dalam
benak saya ketika mendengar kata ‘Gerwani’. Bayangan yang terbentuk akibat
puluhan tahun menonton film Pengkhianatan G30s/PKI yang, sialnya, ditayangkan
tiap tahun di TV pada zaman pemerintahan Soeharto. Bayangan itu tergerus
pelan-pelan, oleh berbagai buku penelitian dan kesaksian yang membawa saya pada
kesadaran baru seputar peristiwa 1965.
Aktivitas fotografi membawa saya berinteraksi langsung dengan para
perempuan Gerwani. Berawal dari ajakan seorang kawan untuk memotret mereka,
saya terus mencari banyak informasi tentang Gerwani melalui buku-buku. salah
satunya Kembang-Kembang Genjer karya Fransisca Ria Susanti. Sejak itu,
keinginan saya untuk membuat foto para perempuan Gerwani semakin kuat.
Sekitar tahun 2007, Gentur, kawan yang aktif di IKOHI, mengajak saya ke
sebuah pertemuan untuk menjenguk seorang mbah mantan anggota Gerwani yang sudah
sulit berjalan. Itu kali pertama saya berkenalan dengan komunitas perempuan
sepuh penyintas tragedi 1965. Saya merasa canggung, sekaligus tersentuh melihat
persaudaraan para mbah Gerwani. Di sana, Gentur dikelilingi banyak perempuan
sepuh yang memperlakukannya seperti cucunya sendiri.
Perkenalan berlanjut ke sebuah panti jompo di Jalan Kramat 5 yang menaungi
delapan mbah penyintas. Sejak itu, saya sering bertamu ke panti untuk sekadar
bercakap-cakap dan semakin mengenal para mbah.
Akhirnya, saya sampaikan keinginan untuk membuat foto portrait mereka,
karena saya kagum dengan perjalanan hidup mereka.
Setiap kali ada pertanyaan dari para mbah, “Untuk apa kami difoto?” Setiap kali pula saya jawab, “Kalau hidup adalah ujian, maka para mba sudah lulus jadi profesor,” dan tertawalah para mbah.
Sri Suprapto lahir di Boyolali, 1928 (Fotografer:
Adrian Mulya)
Pemotretan awal berlangsung baik, namun tidak cukup
mendalam. Seperti pemotretan KTP saja. Hubungan kami belum cair, beberapa mbah
masih menutup diri.
Waktu terus
berjalan, saya terus mengunjungi panti di sela-sela perkerjaan fotografi
lainnya. Kadang saya mengajak para mbah menonton teater, pernah pula mengajak
naik bajay nonton Lewat Djam Malam, film yang pernah mereka tonton dalam versi
aslinya saat masih muda. Di hari lebaran dan natal, kue kering buatan ibu saya
selalu saya bawakan ke panti. Sayangnya, ketika ibu saya meninggal dunia, saya
kehilangan kue untuk dibawa ke panti. Peristiwa hidup kami — meninggalnya
ibu saya, problem yang sempat dialami para mbah dengan pengelola panti — semakin
mendekatkan kami dan mencairkan hubungan yang tadinya kaku, sebatas fotografer
dan subjek.
Kasminah lahir tahun 1947 dan
Kusdalini 1945 di Solo (Fotografer: Adrian Mulya)
Sebagai fotografer, naluri pemburu pasti ada. Namun saya tidak ingin hanya
memotret begitu saja lalu selesai. Saya membuka diri untuk segala kemungkinan.
Ketika duduk bersama dan bercengkerama, kami menjadi sama tak ada rentang usia,
di sinilah saya melihat kemanusiaan. Bersama para mbah, saya menyelami dunia
orang lanjut usia yang sebenarnya sama dengan dunia anak muda: ada kecemburuan,
senang memperhatikan dan diperhatikan, dan berdandan sebelum diabadikan kamera.
Waktu mengantarkan saya pada perpisahan beberapa mbah yang tutup usia.
Saya selalu ingin menangkap semangat dan gairah hidup para mbah yang
istimewa ini. Setelah mengenal mereka lebih dalam, beberapa mbah saya foto
ulang untuk mendapatkan kedalaman yang belum tercapai pada tahun-tahun awal
pemotretan. Mbah-mbah di panti juga memperkenalkan saya kepada penyintas yang
tinggal di luar panti dan saya potret hingga belakangan ini.
Kala mengobrol dengan para mbah, saya menemukan sikap tubuh dan sorot mata
terbaik mereka yang segera saya catat dalam ingatan untuk diaplikasikan saat
pemotretan.
Saya ingin membuat portrait para mbah dalam
keadaan terbaiknya. Kenapa? Mereka telah mengalami tahun-tahun yang pahit dan
sakit, yang mereka lalui dengan tenang dan berani. Saya ingin menempatkan
mereka sebagai para pemenang kehidupan.
Suti lahir di desa Musuk,
Boyolali, 1920 (Fotografer: Adrian Mulya)
Pesan Tariq Ali, penulis dan aktivis asal Pakistan, dalam sebuah diskusi
semakin meneguhkan niat untuk terus memotret para mbah.
Ia berkata, ketika pemerintah bungkam
tentang peristiwa 65 dan akibatnya, maka tugas para pemerhatinyalah untuk
membuka dan menyebarkannya ke publik.
Melalui karya foto, saya berharap bisa memotret dan mendengar kisah tentang
tahun-tahun yang laing mengubah hidup mereka.
Mengenal para mbah pemenang dalam kehidupan, telah menghapus bayangan
tentang Gerwani yang kejam yang bertahun-tahun ditanamkan oleh Orde Baru.
Di masa muda, para mbah ini adalah perempuan yang bergitu bersemangat
menata diri untuk kemajuan bangsa, khususnya perempuan. Ini tercermin dari
cerita-cerita mereka yang membuka Taman Kanak Kanak, merintis penitipan anak
bagi para buruh, memberantas buta huruf, menentang poligami.
Lalu mengapa mereka hendak dihabisi?
Pertanyaan ini meminta jawaban yang sampai sekarang belum kita dengar. Tapi
kita belum mencapai titik akhir penuntasan tragedi 1965. Semoga buku foto ini
bisa menjadi sebentuk tanda koma untuk meneruskan diskusi yang mengarah lebih
dekat pada kebenaran.
Esai ini adalah pengantar buku Pemenang Kehidupan (KPG,
2014), karya fotografi Adrian Mulya dengan penulis Lilik HS tentang para
perempuan penyintas’65.
Adrian Mulya lulus dari Fakultas Hukum Universitas
Tarumanegara. Perkenalannya dengan kamera bermula dari kawan ayahnya, sekitar
tahun 1997. Sejak itu, ia memotret berbagai genre, lalu memperdalam fotografi
di Galeri Fotojurnalistik Antara (GFJA). Perjumpaannya dengan beberapa
fotografer senior membawa minatnya ke dunia foto dokumenter. Karyanya telah
dimuat media lokal maupun asing, lembaga nirlaba maupun komersial. Ia mulai
memotret para penyintas tragedi 1965 — yang disebutnya para ‘pemenang kehidupan’ — sejak tahun 2007, berawal dari
keingintahuannya tentang organisasi Gerwani, yang hingga kini masih menanggung
stigma buruk. Baginya, memotret mereka adalah memotret kehidupan itu sendiri.
Ia akan terus mendokumentasikan perjalanan hidup mereka dalam keadaan terbaiknya,
sampai mereka satu per satu hilang.
Sumber: Ingat 65
0 komentar:
Posting Komentar