Nudia Imarotul Husna
- 25 November 2016 16:53 WIB
Masih ingatkah dengan Pulau Buru? Pulau yang sempat
dijadikan tempat perasingan para tahanan pemerintah orde baru yang diduga
terafiliasi PKI ini terletak di kepulauan Maluku dan menjadi salah satu pulau
terbesar ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan Pulau Seram di
Maluku Tengah. Tercatat, sang punggawa sastra bangsa, Pramoedya Ananta Toer,
pernah diasingkan ke pulau yang dirimbuni pohon-pohon minyak kayu putih ini
lantaran ketajaman karya-karya sastranya yang dianggap dapat merobek kekuasaan
orde baru pada waktu itu.
Pulau Buru dulunya merupakan hutan belantara-- penuh
dengan tumbuh-tumbuhan liar dan juga ilalang di sekitarnya. Namun, gersangnya
Pulau Buru lantas disulap menjadi daerah pertanian luar biasa oleh para tahanan
politik masa orde baru, di antaranya para seniman bangsa yang diduga memiliki hubungan
kedekatan dengan PKI pun ikut mengubah pulau ini menjadi daerah sumber budaya.
Selama 10 tahun mereka bertahan hidup di sana menghasilkan sebuncah hasil bumi
yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar.
Pantai Sanleko, pendaratan
pertama para tahanan politik di Pulau Buru www.bbc.com
Rawa-rawa, padang rumput yang luas, hutan belantara
dengan pohon rotan di sana sini, itulah gambaran awal daerah Pulau Buru,
pemandangan awal yang menjadi suguhan para tahanan politik pertama kali mereka
menginjakan kaki di tanah Buru. Pohon salak yang dikira bisa menjadi asupan
makanan untuk beberapa hari ternyata hanya ujung pohon rotan kering sehingga
mereka harus bekerja keras untuk menyulapnya menjadi lahan yang bisa ditanami
untuk bertahan hidup.
Akhirnya, tepat setelah para tahanan itu sampai di Pulau
Buru, mereka mengerahkan segenap tenaga untuk menciptakan lahan perkebunan baru
sebagai sumber makanan mereka. Pada minggu-minggu awal, para tahanan sempat
mulai menanam singkong dan ubi-ubian di sekitar Buru dan menggemburkan
tanah-tanah yang tandus akibat jarang diolah. Namun, lantaran musim kemarau
yang masih menyelimuti Buru pada waktu itu membuat semua tanaman tidak dapat
tumbuh dengan subur.
Para tahanan politik mulai
menanam tanaman untuk bahan makanan mereka www.kkpk.org
Lambat laun, ketika musim penghujan sudah mulai datang,
tanah mulai gembur dan tanaman singkong mulai bertunas, para tapol menambahi
tanaman pisang dan beberapa bibit buah-buahan yang dapat membantu asupan gizi
mereka selama hidup di sana. Sawah Buru yang awalnya penuh dengan rerimbunan
pohon minyak kayu putih yang kerap mengering karena panas terik matahari dan
juga ilalang yang tak terurus itu kini menjadi area persawahan hijau dengan
luas lebih dari 1.700 hektar yang dijadikan para tahanan politik untuk bertahan
hidup selama mereka dalam masa penahanan.
Gedung kesenian yang
dibangun oleh para tahanan politik di Pulau Buru yang sudah direnovasi www.bbc.com
Selain menghasilkan makanan dan lahan pertanian yang
dapat dimanfaatkan, beberapa tahanan politik yang notabene adalah seniman dan
budayawan berinisiatif untuk membangun sebuah gedung kesenian yang bisa
dijadikan wadah mereka untuk tetap berkarya dan produktif menghasilkan berbagai
kesenian yang dapat mereka berikan untuk warga sekitar.
Tercatat seorang anggota Sekretariat Pusat Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) Oey Hay Djoen bersama para rekannya yang juga seorang
seniman membangun sebuah gedung kesenian di Pulau Buru. Gedung itu digunakan
untuk menampilkan berbagai aktivitas kesenian seperti pertunjukan seni ludruk,
tari cakalele, dan seni drama asal Surabaya ditampilkan dengan panggung yang
dihias dengan ukiran-ukiran kayu artistik. Orkestra dari komponis besar kala
itu bernama Subronto. K. Atmojo juga dipertunjukan untuk menghibur para
tahanan.
Beberapa peninggalan tahanan politik kini masih
dimanfaatkan oleh warga sekitar, seperti gedung kesenian yang kini telah
direnovasi dan tetap kokoh untuk dijadikan segala aktivitas kebudayaan, dan
juga lahan pertanian yang semakin hijau banyak menghasilkan bahan makanan untuk
warga sekitar. Kini Pulau Buru mengubah wajahnya, yang tadinya rawa dan penuh
dengan hutan belantara kini bernuansa surga.
Sumber- BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar