by: Iit Boit
Percakapan ini terjadi suatu hari di dapur rumah, saat kami bertiga sedang memasak mie rebus.
Bunga,
anak saya yang pertama, 11 tahun, duduk di kelas 5 SD, yang memulai
dengan kisah ibu gurunya yang pernah bercerita bahwa katanya ada orang
yang tidak percaya agama.
Lalu dia bertanya, “Apa ya namanya?” Saya dan ayahnya pada saat yang bersamaan menjawab, “Agnostik?”
“Bukan, apa ya pokoknya ga percaya Tuhan gitu.”
“Oooh, ateis.”
“Iya, iya, ateis. Terus kalau ateis itu katanya pasti komunis.”
Saya yang kemudian menjawab, “Belum tentu, Teh, yang komunis itu belum tentu ateis.”
“Emang komunis itu apa, Ma?” tanya Bunga lagi.
“Komunis
itu aliran politik, keyakinan, atau ideologi. Yang bukan komunis tapi
ateis juga ada. Yang komunis beragama Islam juga ada. Terus Kristen juga
ada, macam-macam. Mungkin ibu guru salah ngasih pengertian.”
Bunga saat itu hanya mengangguk-angguk.
Saya
tidak yakin dia paham atau tidak, tapi saat itu saya dan suami saya
langsung sadar bahwa perjalanan untuk mengembalikan paham dan ingatan
tentang kebenaran itu masih sangat panjang.
Dan untuk saya, saat itu juga saya ingat tentang 65.
Peristiwa
65 memang tidak pernah menyentuh saya secara langsung. Ia datang dalam
bentuk pelajaran sejarah, tentang betapa kejamnya PKI ketika melakukan
percobaan kudeta pada pemerintah yang berkuasa saat itu.
Saya
ingat ketika SD, saat tanggal 30 September, kami satu sekolah
berbondong-bondong digiring ke bioskop terdekat dari sekolah untuk
menonton film Pengkhianatan G30/S. Kami berdesakan menonton sembari tidak mengerti apa yang ditonton.
Pesan
film tersebut hanya satu: komunis itu kejam, PKI itu jahat. Biasanya
setelah menonton, ada saja di antara teman kami yang mereka-ulang adegan
penembakan atau penyiksaan. Saya sendiri tidak pernah betah menonton
dan bahkan bertahun-tahun sesudahnya, ketika film yang sama selalu
ditayangkan di TV nasional setiap tanggal yang sama. Saya hanya ingat
kalau saya menonton sampai adegan di rumah Jenderal Nasution. Sesudah
itu ingatan saya buram.
Saya
bernafas lega saat penayangan film itu dihentikan setelah 1998. Saat
1998, saya sedang kuliah tingkat dua. Saya ikut demonstrasi
menggulingkan Soeharto. Saya membaca banyak buku yang dilarang beredar.
Saya melahap banyak buku sejarah alternatif yang tidak didapat di
sekolah, yang membolak-balik apa yang dipercaya dan diajarkan selama di
sekolah dasar, menengah, dan atas. Saya mulai tahu kalau ternyata ada
idiom bahwa sejarah ditulis oleh pemenang. Saya mulai benar-benar sadar
bahwa ternyata Indonesia tidak seindah apa yang diajarkan selama ini.
Selama
saya mencari tahu tentang sejarah 65 saya merasa semakin saya tahu soal
apa yang terjadi semakin saya takut akan hal yang saya ketahui.
Setelah
lulus kuliah pun, saya merasa bahwa pengetahuan soal pembunuhan massal,
penyiksaan dan penahanan paksa tidak selalu bisa didiskusikan dengan
terbuka dan dengan sembarang orang.
Saya
hanya bisa tersenyum kecut setiap kali obrolan keluarga atau misalnya
obrolan dengan teman-teman yang tidak sepaham kembali ke arah yang
sempit. Bagi mereka, sejarah hanya sesuai dengan apa yang diajarkan di
sekolah, titik.
Di 2012, film Jagal rilis. Lalu film Senyap
rilis pada 2014. Saya menonton kedua film dokumenter soal 1965 itu baru
awal tahun lalu lewat YouTube di rumah. Sendirian dan tercekam.
Sebelumnya saya hanya menonton keriuhan yang terjadi di banyak tempat
dari bacaan di koran dan internet.
Di
satu sisi, banyak pikiran mulai terbuka tapi ketika orang-orang mulai
berdiskusi mengenai apa yang terjadi di 1965, banyak pihak memanfaatkan
untuk mengembalikan ketakutan ke tengah-tengah massa. Berita diembuskan:
komunisme kembali dengan gaya baru.
Saya
melihat dan mengikuti keriuhan yang banyak terjadi, sampai puncaknya
pada tahun lalu, saat ada pengadilan rakyat internasional 1965 (IPT65)
di Den Haag dan simposium nasional soal 65 di Jakarta awal tahun ini.
Negara kukuh pada sikapnya menolak untuk meminta maaf atas tragedi yang
terjadi.
Para penyintas mulai hilang satu persatu dimakan zaman. Rekonsiliasi masih sebatas mimpi yang entah kapan terwujud.
Dan
itu semua mengembalikan saya ke dapur rumah saya, pada kenyataan bahwa
sejarah yang saya baca di sekolah dua dekade lalu masih sama salahnya
dengan apa yang anak saya dapat saat ini: PKI itu komunis dan komunis
itu ateis.
https://medium.com/ingat-65/percakapan-tentang-ateis-komunis-dan-ingat-65-67968cde0841#.6b9y8wl9x
0 komentar:
Posting Komentar