Jumat, 25 November 2016

Percakapan Tentang Ateis, Komunis dan Ingat 65

 by: Iit Boit

Photograph: Iit Boit
Percakapan ini terjadi suatu hari di dapur rumah, saat kami bertiga sedang memasak mie rebus.

Bunga, anak saya yang pertama, 11 tahun, duduk di kelas 5 SD, yang memulai dengan kisah ibu gurunya yang pernah bercerita bahwa katanya ada orang yang tidak percaya agama.

Lalu dia bertanya, “Apa ya namanya?” Saya dan ayahnya pada saat yang bersamaan menjawab, “Agnostik?”

“Bukan, apa ya pokoknya ga percaya Tuhan gitu.”

“Oooh, ateis.”

“Iya, iya, ateis. Terus kalau ateis itu katanya pasti komunis.”
Saya yang kemudian menjawab, “Belum tentu, Teh, yang komunis itu belum tentu ateis.”

“Emang komunis itu apa, Ma?” tanya Bunga lagi.

“Komunis itu aliran politik, keyakinan, atau ideologi. Yang bukan komunis tapi ateis juga ada. Yang komunis beragama Islam juga ada. Terus Kristen juga ada, macam-macam. Mungkin ibu guru salah ngasih pengertian.”
Bunga saat itu hanya mengangguk-angguk.

Saya tidak yakin dia paham atau tidak, tapi saat itu saya dan suami saya langsung sadar bahwa perjalanan untuk mengembalikan paham dan ingatan tentang kebenaran itu masih sangat panjang.
Dan untuk saya, saat itu juga saya ingat tentang 65.



Peristiwa 65 memang tidak pernah menyentuh saya secara langsung. Ia datang dalam bentuk pelajaran sejarah, tentang betapa kejamnya PKI ketika melakukan percobaan kudeta pada pemerintah yang berkuasa saat itu.

Saya ingat ketika SD, saat tanggal 30 September, kami satu sekolah berbondong-bondong digiring ke bioskop terdekat dari sekolah untuk menonton film Pengkhianatan G30/S. Kami berdesakan menonton sembari tidak mengerti apa yang ditonton.

Pesan film tersebut hanya satu: komunis itu kejam, PKI itu jahat. Biasanya setelah menonton, ada saja di antara teman kami yang mereka-ulang adegan penembakan atau penyiksaan. Saya sendiri tidak pernah betah menonton dan bahkan bertahun-tahun sesudahnya, ketika film yang sama selalu ditayangkan di TV nasional setiap tanggal yang sama. Saya hanya ingat kalau saya menonton sampai adegan di rumah Jenderal Nasution. Sesudah itu ingatan saya buram.

Saya bernafas lega saat penayangan film itu dihentikan setelah 1998. Saat 1998, saya sedang kuliah tingkat dua. Saya ikut demonstrasi menggulingkan Soeharto. Saya membaca banyak buku yang dilarang beredar. Saya melahap banyak buku sejarah alternatif yang tidak didapat di sekolah, yang membolak-balik apa yang dipercaya dan diajarkan selama di sekolah dasar, menengah, dan atas. Saya mulai tahu kalau ternyata ada idiom bahwa sejarah ditulis oleh pemenang. Saya mulai benar-benar sadar bahwa ternyata Indonesia tidak seindah apa yang diajarkan selama ini.

Selama saya mencari tahu tentang sejarah 65 saya merasa semakin saya tahu soal apa yang terjadi semakin saya takut akan hal yang saya ketahui.
Setelah lulus kuliah pun, saya merasa bahwa pengetahuan soal pembunuhan massal, penyiksaan dan penahanan paksa tidak selalu bisa didiskusikan dengan terbuka dan dengan sembarang orang.

Saya hanya bisa tersenyum kecut setiap kali obrolan keluarga atau misalnya obrolan dengan teman-teman yang tidak sepaham kembali ke arah yang sempit. Bagi mereka, sejarah hanya sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolah, titik.

Di 2012, film Jagal rilis. Lalu film Senyap rilis pada 2014. Saya menonton kedua film dokumenter soal 1965 itu baru awal tahun lalu lewat YouTube di rumah. Sendirian dan tercekam. Sebelumnya saya hanya menonton keriuhan yang terjadi di banyak tempat dari bacaan di koran dan internet.

Di satu sisi, banyak pikiran mulai terbuka tapi ketika orang-orang mulai berdiskusi mengenai apa yang terjadi di 1965, banyak pihak memanfaatkan untuk mengembalikan ketakutan ke tengah-tengah massa. Berita diembuskan: komunisme kembali dengan gaya baru.

Saya melihat dan mengikuti keriuhan yang banyak terjadi, sampai puncaknya pada tahun lalu, saat ada pengadilan rakyat internasional 1965 (IPT65) di Den Haag dan simposium nasional soal 65 di Jakarta awal tahun ini. Negara kukuh pada sikapnya menolak untuk meminta maaf atas tragedi yang terjadi.
Para penyintas mulai hilang satu persatu dimakan zaman. Rekonsiliasi masih sebatas mimpi yang entah kapan terwujud.

Dan itu semua mengembalikan saya ke dapur rumah saya, pada kenyataan bahwa sejarah yang saya baca di sekolah dua dekade lalu masih sama salahnya dengan apa yang anak saya dapat saat ini: PKI itu komunis dan komunis itu ateis.
 
https://medium.com/ingat-65/percakapan-tentang-ateis-komunis-dan-ingat-65-67968cde0841#.6b9y8wl9x

0 komentar:

Posting Komentar